My Wishes

Ooc, Gs, Typo, tidak sesuai EYD dll.

Main Cast : Luhan, Sehun, JongIn and Kyungsoo

Rated : T

Chapter : 1/21?

Hari ini aku berjalan dengan menggunakan sebuah pakaian yang cukup tebal dan mantel yang membuat tubuhku semakin hangat, salju turun dengan sangat lebat tahun ini. aku terus berjalan menyusuri jalan di kota Seoul siang hari yang tertutup salju ini.

"Nyonya. Sebaiknya anda naik mobil saja." Ucap seseorang yang tak lain adalah supir pribadi yang sengaja appa carikan untukku.

"Sudah kubilang kalau aku ingin jalan kaki, kembalilah."

"Tapi… tuan akan memecatku karena telah meninggalkan nyonya."

"Aku juga akan memecatmu sekarang jika kau masih mengikutiku."

"Tapi …"

"Kembali sekarang dan aku jamin kau masih memiliki pekerjaan itu." Ucapku tegas.

"Baiklah saya pamit. Hati – hati." ucap supir itu dan segera pergi. Aku kembali melangkahkan kakiku sesekali menyeretnya membuat salju yang ada ditanah ikut bergeser.

Kalian tidak tau siapa aku bukan?

Baiklah.

Perkenalkan namaku Luhan dan aku adalah anak dari seorang pria yang sangat kaya bernama Yi Fan atau banyak dikenal dengan Kris dan ibuku adalah Zi Tao atau dikenal dengan Tao. Mereka berdua sangat – sangat sibuk dengan pekerjaan mereka jadi bukan hal yang aneh jika aku hanya tinggal sendiri dirumah dan sebagai gantinya aku disediakan fasilitas apapun yang aku mau dan appa juga menjagaku dengan ketat karena mereka yang jarang ada untuk menjagaku. Aku bukan wanita yang manja ataupun selalu menghambur – hamburkan uang seperti temanku yang memiliki harta. Aku tidak suka gaya hidup glammor yang selalu identik dengan barang – barang mahal dengan kualitas yang tinggi.

itu membuatku jijik.

Sekarang dunia ini benar – benar dikuasai oleh sebuah benda yang selalu disebut uang. Mereka semua mengumpulkan banyak sekali uang untuk menambah kekayaan mereka. Tidak terkecuali kedua orang tuaku, mereka benar – benar gila akan pekerjaan dan harta. Beberapa kali aku menyuruh mereka untuk berhenti bekerja dan diam dirumah tapi mereka selalu saja menganggapnya sebagai angin lalu.

Dan ini sudah belangsung selama bertahun – tahun sampai aku sendiri sudah terbiasa menerima semua keadaan ini. aku terus menelusuri jalanan kota seoul yang semakin lama semakin dingin saja. Salju benar – benar mengguyur Seoul tahun ini. Aku menatap taman yang biasanya dipenuhi oleh bunga kini ditutupi oleh salju putih. Tanpa sengaja sudut mataku menatap seorang pria yang tengah duduk di taman yang sepi itu sambil memadang sebuah buku yang berada ditangannya dan sesekali dia memandang hamparan salju putih yang sekarang menutup tanah.

'apa yang dia liat? Apa dia hanya melihat salju yang turun ditanah? Apa yang menarik?'

aku tak begitu memperdulikannya dan memilih untuk menerus perjalanan, kembali menelusuri kota Seoul yang tidak akan lama lagi menjelang sore. Suasana sudah mulai gelap dan orang – orang sudah pasti sedang kembali menuju rumahnya masing – masing, tapi aku tidak perduli, aku terus saja melanjutkan perjalanku, namun jujur saja, aku bahkan tak tahu kemana aku akan pergi. Aku hanya mengikuti hatiku dan terus berjalan. Dan tanpa aku sadari waktu berputar begitu cepat, saat aku melirik jam yang melingkar ditanganku sudah menunjukan pukul 7 malam.

"kenapa begitu cepat?" gumamku pada diri sendiri. Aku menatap sekeliling ternyata jalanan benar – benar kosong tanpa orang dan aku sendiri baru sadar kalau aku ada disebuah gang tua yang sangat jauh dari rumahku sendiri.

"Sial. Kalau begini aku harus pulang menggunakan taxi." Decakku. Dengan segera akupun mencari jalan keluar dari gang tua ini untuk mencari taxi. Aku menundukan kepalaku dan merapatkan jaket yang aku pakai.

"Hey… cantik mau kemana?" Tanya seorang pria yang tanpa aku sadari ada didepanku.

"Pergi sana." Ucapku ketus sambil terus berjalan melewati 2 pria yang terlihat mabuk itu.

"Uhhh… kau cantik tapi sayang sekali kau telihat sangat galak." Ucapnya sambil mencengkram tanganku.

"Ya! Lepaskan atau aku akan teriak!" Ucapku sambil mencoba melepaskan cengkramannya.

"Diam lah! Jika kau ingin teriakpun tidak akan ada yang mendengar. Apa kau tidak sadar? Sekarang kau ada di pinggirngan sungai han."

Benarkah aku ada dipinggiran sungai Han? Sial! Jika seperti ini benar – benar tidak akan ada orang yang mendengarkanku.

"Lepaskan!" Teriakku sambil terus mencoba melepaskan cengkrangamnya.

"Hahaha… manis sekali wanita satu ini. bagaimana kalau kau temanin kita minum?"

"Mana sudi! Lepaskan!" tapi sekarang tuli kedua orang bodoh ini merapatkan dirinya kearahku membuatku benar – benar tersudutkan.

"Ow… maaf aku menganggu aktivitas kalian." Ucap seseorang yang tiba – tiba muncul didepanku.

"Hey! Tolong aku." Seruku sambil mengigil karena jaketku ditarik lepas oleh salah satu dari mereka.

"Ada anak penganggu, bagaimana kalau dia kita kuras untuk minum besok?"

"Benar juga." Jawab salah satu pria yang tengah mencengkram tanganku.

"Hey! Kau bocah! Jangan lari!" Ucapnya yang langsung menghampiri pria yang kini ada dihadapanku. Bodohnya pria itu tidak lari, dia malah membeku ditempat dan melihatku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Keluarkan dompetmu!" Teriak pria yang mabuk itu. Perlahan dia mengeluarkan dompet dari saku belakangnya dan memberikannya pada si pria yang tengah mabuk itu.

"Whahaha… besok kita akan pesta." Ucap pria yang masih mencengkram tanganku. Demi apapun jika tanganku sudah lepas aku akan menendangnya ke sungai Han.

"Lepaskan jaketmu sepertinya itu bagus dan bisa dijual." Ucap pria mabuk itu.

"Jangan, ini jaket satu – satunya milik saya." Ucapnya.

"Apa peduliku huh? Cepat lepaskan atau mayatmu akan terambang disuang Han." Ancamnya. Perlahan diapun membuka jaketnya dan…

Pria mabuk itu langsung terkapar di tanah karena pukulanya. Aku kaget bukan main karena tanpa aku sadar kekuatannya benar – benar menakjubkan.

"Bocah! Berani – beraninya kau memukul temanku huh!" Teriak pria sialan yang ada disebelahku ini.

"Lepaskan dia atau kau juga akan sama terkapar sepertinya."

"Cih. Jangan harap, sebaiknya kau menyerahkan dompetmu itu atau nyawa gadis manis ini yang akan melayang." Ucapnya sambil mencekikku dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menyentuh pipiku kasar.

Pria itu mendengus dan memalingkan wajahnya.

"Hahaha. Cepat lakukan apa yang aku perintahkan. Berikan dompetmu dan lepaskan jaketmu itu." Teriaknya sambil menekan tangannya membuatku semakin sesak. Diapun menuruti apa yang diakatan pria sialan ini.

"Bagus sekali, sekarang bawa itu kemari." Ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya bermaksud untuk mengambil dompet dan jaket sang pria. Tapi….

Aku menutup mataku karena kaget dan membekukan tubuhku, selanjutnya terdengar suara pukulan. Aku membuka mataku dan mendapati pria mabuk itu terkapar dengan luka memar di wajahnya.

"Sekarang pergi atau mayat kalian akan melayang di sungai Han." Intrupsinya dengan datar. Kedua pria mabuk itupun segera pergi dengan terseok – seok karena memar di tubuh mereka. Aku menatap dia yang kini tengah membereskan bajunya yang berantakan.

"Khamsamnida" Ucapku sambil membungkukan badan.

"Kau baik – baik saja bukan?"Tanya dia ramah. Saat aku menatapnya, aku baru sadar kalau dia adalah pria yang tadi tak sengaja aku lihat di taman.

"Gwenchanayo, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa kau baik – baik saja?"

"Ya, aku inikan pria jadi aku lebih kuat-Tunggu… apa itu?" tanyanya sambil mendekat kearahku. Dia mengulurkan tangannya kearahku. Dia mengusap sudut bibirku yang sedari tadi perih.

"Darah." Gumamnya. Aku baru sadar kalau bibirku berdarah karena tadi saat aku gugup aku mengigitnya terlalu kencang.

"Gwencha…"

BUGH!

Tubuhnya tiba – tiba terbanting ditanah.

"Ya! Jangan ganggu nyonya muda!" Teriak seorang pria yang tak asing lagi di telingaku. Jongdae. Dia adalah bodyguarku.

"Apa yang akan kau lakukan pada nyonya muda huh?" dan itu adalah Chanyeol supirku.

"Ya! Berhenti kalian berdua." Teriaku saat Chanyeol dan Jongdae bersiap untuk menghanjarnya.

"Waeyo? Bukannya dia mencoba untuk memperkosamu atau semacamnya?" tanya Jongdae.

"ANIYO! Dia yang malahan menyelamatkanku dari dua pria mabuk." Jeriku.

"Benarkah?" tanya mereka berdua.

"Tentu saja. Lepaskan dia!" Ucapku sambil menarik pria yang tadi menyelamatkanku dari tanah.

"Gwenchana?" tanyaku.

"Ne." Jawabnya singkat.

"Maafkan kedua orang ini, mereka berdua telah menuduhmu yang bukan – bukan."

"Tidak apa – apa. Aku mengerti, mereka pasti akan salah sangka."

"Bagaimana tidak salah sangka dengan kondisinya yang seperti ini, jaket yang berada tanah, baju yang kusut dan dia juga mendekati nyonya." Timpal Chanyeol.

"Chanyeol-ah, jangan berkata seperti itu." Ucapku membuat chanyeol diam.

"Sekali lagi aku minta maaf." Ucapku membungkukan badan.

"Gwenchana, sebaiknya kau pulang, ini sudah malam." Ucapnya.

"Ah. Ne. Khamsahamida. Annyeonghi kyeseyo." Ucapku.

"Ne. Annyeong. Aku harap kita bisa bertemu lagi." Ucapnya.

Aku mengangguk dan tersenyum pada pria itu sebelum Chanyeol dan Jongdae menariku ke luar dari gang tua ini. Chanyeol membukakan pintunya untukku dan akupun segera masuk. Jongdae dan Chanyeol duduk didepan sedangkan aku duduk dibelakang.

"Ini, tadi saat dijalan aku belikan kopi, sudah agak dingin memang tapi lumayan untuk sekedar menghangatkan."

"Ahh… gomawo Jongdae-ah." Ucapku sambil menerima kopi yang diberikan oleh Jongdae. Dengan segera ku menyeruput kopi yang mulai dingin itu.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Jongdae.

"Tadi saat aku akan pulang ada dua pria mabuk yang mendekatiku mereka bahkan akan memperkosaku…"

"JINJJA?" Timpal Jongdae.

"Eo. tapi untungnya ada…" Oh. Aku lupa menanyakan namanya. "Ah…" Desahku kecewa.

"Waeyo?" tanya Jongdae.

"Jongdae-ah aku lupa menanyakan namanya. Aish… babo." Ucapku.

"Mungkin nanti nyonya akan bertemu lagi dengannya." ucap Jongdae. Akupun mengangguk dan bersadar pada jok.

"Kita sudah sampai." ucap Chanyeol.

"Oh benarkah? Aku kira masih ada dijalan." Ucapku sambil turun dari mobil.

"Nyonya. Darimana saja? saya sangat khawatir." Ucap Baekhyun yang tak lain adalah maid yang ada dirimahku.

"Aku baru saja jalan – jalan. Tolong siapkan makanan untukku." Ucapku.

"Oh ya tentu. Tapi sebaiknya nyonya ganti baju terlebih dahulu."

"Arraseo. Kau itu lebih cerewet dari Chanyeol kekasihmu itu." Ucapku sambil menaiki tangga.

"Nyonya apa yang anda katakan?"

"Jangan menyangkal. Aku tau semua." Teriakku sambil masuk kedalam kamar.

Senang sekali rasanya bisa menjaili Baekhyun. Aku yakin dia pasti akan malu setelah mati sekarang. Tanpa berpikir panjang lagi aku menganganti bajuku dengan piama yang terbuat dari sutra dan mengikat rambutku yang berwarna pirang terurai. Aku menatap pantulan diriku dicermin sekilas.

"Bibirku berdarah karena kejadian tadi." Gumamku menatap darah yang sudah kering dibibirku. Tanpa memperdulikannya akupun turun dan menuju meja makan.

"Baek.. sudah siapkah?" tanyaku.

"Tentu nyonya, silahkan."

"Baek temani aku makan." Ucapku sambil duduk dikuris yang sudah disiapkan.

"Tapi..."

"Tidak ada tapi – tapian. Ajak juga Minseok, Jongdae dan Chanyeol." Potongku.

"Baiklah." Ucapnya sambil menarik nafas panjang dan melesat memanggil ketiga orang itu. Tidak lama kemudian merekapun datang.

"Ayo makan bersama. Sudah lama kita tidak makan bersama." Ucapku.

"Tapi nyonya ini-" Aku menatapnya dingin. Aku tidak suka jika mereka selalu menolak ajakkanku.

"Arraseo. Ayo makan." Ucap Chanyeol. Duduk didepan Baekhyun sedangkan Jongdae duduk didepan Minseok.

"Kalian serasi sekali. Aku jadi iri." Ucapku pada mereka yang sesekali melirik satu sama lain.

"Nyonya-" Protes Baekhyun.

"Wae? Kalian kira aku tidak tau kalau kalian saling menyukai huh?" tanyaku sambil menyantap makanan yang ada dihadapanku.

"Tidak. Kami hanya-"

"Berhentilah memanggilku nyonya, kalian sudah aku anggap sebagai keluargaku. Aku terima maid yang lain memannggilku nyonya muda tapi tidak untuk kalian. Aku tidak suka mendengarnya." Ucapku.

"Tapi nyonya… kami tidak enak pada yang lain." Ucap Jongdae.

"Kalau begitu berhentilah bekerja disini dan jadilah keluargaku." Ucapku.

"APA?" teriak mereka bersamaan bahkan puluhan maid yang berjajar kini menatap kami.

"Heem. Berhentilah bekerja dan jadilah keluargaku." Ulangku.

"Nyonya jangan bercanda. Bagaimana jika kami berhenti? Darimana kami akan makan?" Tanya Chanyeol.

"Maka dari itu berhentilah memanggilku nyonya." Ucapku.

"Baiklah nyo…"

"Luhan." Tungkasku.

"Luhan." Ucap Baekhyun.

"itu terdengar lebih baik." ucapku sambil tersenyum.

"Sudah, cepat habiskan makanan kalian. Oh… kalau ada maid yang keberatan kalian tinggal bilang saja padaku." Teriaku disambut dengan anggukan oleh semua tak terkecuali orang – orang yang sedang berada dimeja makan bersamaku ini.

~My Wishes~

Hari ini salju masih turun dengan sangat lebat tapi karena bosan aku memutuskan untuk pergi keluar.

"Nyonya-" Panggil Chanyel.

"Oh Tuhan. Sudah kubilang jangan panggil aku nyonya Chanyeol." Ucapku menghentikan langkah.

"Ah.. Joesonghaeyo. Tapi nyonya mau kemana?" Tanyanya.

"Aku mau keluar sebentar."

"Biar aku antar nyo-maksudku Luhan jangan pergi keluar sendiri, aku tak mau hal kemarin kembali terjadi."

Benar juga. Aku tak mau hal yang kemarin terulang.

"Baiklah, cepat antarkan aku." Ucapku.

"Siap." Jawabnya sambil berjalan menuju mobil. Aku mengikutinya dari belakang dan merapatkan jaketku karena salju benar – benar mengguyur Seoul.

"Kita akan kemana hari ini?"

Aku sendiri tak tau aku sendiri akan pergi kemana. aku memutar otakku mencari tempat yang kira – kira menarik di Seoul ini.

"Kita pergi ke taman kota." Ucapku disambung dengan anggukan oleh Chanyeol. Mesin mobilpun dinyalakan dan kita segera pergi menuju taman kota. Aku menatap keluar mobil melewati jendela yang sekarang sudah mulai di tutupi salju. Beberapa kali mesin pembersih bergerak menyeret tumpukan salju yang menghalangi pandangan Chanyeol dari jalan.

"Kita sudah sampai." Ucapnya. Aku menatap keluar, ternyata benar ini sudah sampai. mataku menelusuri setiap sudut di taman dan tiba – tiba mataku bertemu dengan sebuah objek yang sama sekali tidak bisa kau lepaskan.

"Chanyeol. Sebaiknya kau pulang. Nanti aku akan menelphonenmu."

"Tapi-"

"Ayolah, aku akan baik – baik saja kali ini. Aku yakin." Ucapku mencoba meyakinkannya.

"Baiklah, hati – hati dan jika ada apa langsung telphone aku atau Jongdae, ne?"

"Arraseo. Nanti aku akan menelphonemu." Ucapku. Akupun menunggu Chanyeol lenyap dari pandangan. Setelah itu barulah aku berjalan menelusuri taman yang sudah dipenuhi oleh salju ini, sesekali aku mengangkat kakiku tinggi – tinggi karena salju menyulitkanku untuk berjalan meskipun sekarang aku menggunakan boot. Aku menghampiri pria yang sedang duduk di kursi panjang itu yang sekarang sudah kembali dipenuhi oleh butiran salju.

"Hi." Sapaku dari belakang membuatnya sedikit terlonjak, dia menatapku dan tiba – tiba tersenyum begitu manis membuat jantungku tiba – tiba berderup kecang.

Ada apa ini ?

"Hi. Kau wanita yang kemarin bukan?" Tanyanya.

"Ya. Boleh aku duduk disini?" Tanyaku menunjuk kursi yang masih kosong.

"Tentu saja." Tanpa aku duga dia mengibaskan tangannya bermaksud untuk menghilankan butiran salju yang ada di kursi.

"Ah… Khamsahamida." Ucapku sambil duduk disampingnya. Aku menatapnya dari samping, dia begitu tampan dengan mata sipitnya, rambut coklatnya dan bibir tipisnya.

Luhan! Apa yang kau pikirkan huh? Akupun menghilangkan pikirkan aneh itu dari benakku.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya memecahkan keheningan.

"Aku hanya bosan berada dirumah jadi aku memutuskan untuk jalan – jalan kesini." Jawabku seadanya.

"Kau aneh, seharusnya wanita itu diam dirumah saat musim dingin seperti ini." Ucapnya.

"Shireoyo. Tidak ada yang menarik jika aku hanya berada seharian dirumah. Dan kenapa kau ada disini? Diam ditaman sendiri ditengah hujan salju seperti ini, bukankah itu telihat aneh?"

"Haha. Benar juga."

"Jadi, sebenarnya apa yang kau lakukan disini? Apa kau sedang merenung karena putus dari kekasihmu?" candaku.

"Haha. Tidak, sebenarnya aku sedang mengamati bunga."

Apa dia gila? Mengamati bunga di saat musim dingin seperti ini?

"Bunga apa maksudmu?"

"Lihatlah kedepan." Ucapnya sambil menunjuk. Aku baru menyadari kalau tidak jauh dari tempatku duduk ada beberapa deret bunga yang tumbuh dari bawah tumpukan salju, mahkota bunga itu berwarna putih susu dengan dengan warna jamrud di bagian segmennya dan bunga ini memiliki struktur yang tak terlalu besar dan satu hal lagi, bunga itu sangat indah.

"Bunga apa itu?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.

"Indah bukan? Namanya Snowdrop atau bisa disebut juga dengan Milk Flower. Bunga ini tumbuh saat musin dingin tapi dibeberapa negara mereka tumbuh saat musim semi."

"Kenapa mereka tumbuh saat musim dingin seperti ini?"

"Inilah uniknya bunga Snowdrop ini, mereka tumbuh di titik terbeku pada musim dingin ini. Hebatnya lagi disaat bunga lainnya layu dan mati karena musim dingin, bunga Snowdrop justru tumbuh dengan mekarnya seakan – akan memberiku sebuah…." Dia sedikit menghela nafasnya sebelum melanjutka perkataannya. "harapan." Lanjutnya dalam sebuah bisikan tapi aku masih tetap bisa mendengarnya.

"Sepertinya kau mengetahui banyak tentang bunga satu ini." ucapku.

"Tentu saja, semua ini karena aku sangat menyukainya, salah satu hal yang aku sukai dari musim dingin selain salju adalah Snowdrop. Saat aku menatapnya aku merasakan ketenangan menjalar disetiap sudut tubuhku." Jawabnya sambil memandang lurus kedepan.

"Benar, bunga ini seperti memberikan sebuah harapan dan ketenangan bagi setiap orang yang menatapnya." Dia menatapku dan kembali memamerkan senyuman manisnya. Oh Tuhan, Jika dia terus melakukan hal itu aku benar – benar akan mati berdiri disini.

"Kau menyukainya?" tanyanya. Aku mengangguk sambil membalas senyumannya.

"Aku baru tau kalau ada bunga seperti ini. tapi sayang aku hanya bisa melihatnya saat musim dingin saja." ucapku kecewa. Aku benar – benar kecewa, kenapa bunga secantik ini hanya tumbuh saat musim dingin saja?

"Tenang saja kau masih bisa melihatnya walaupun musim dingin sudah berakhir." Ucapnya.

"Bagaimana bisa bukannya kau-" ucapanku terputus saat dia mengeluarkan sebuah kertas dengan gambar bunga Snowdrop yang sangat indah.

"Kau u menggambarnya?" tanyaku sambil mengambil kertas itu dari tangannya.

"Tentu saja, kau suka?" tanyanya. Aku menanguk tanpa melepaskan pandanganku dari gambar yang dilukis oleh sebuah pensil ini.

"kalau begitu ambilah." Ucapnya. Aku menatapnya tak percaya.

"Benarkah? Tidak usah, ini terlalu bagus. Aku yakin kau tak akan rela." Ucapku sambil kembali menyodorkan gambar itu padanya.

"Tenang saja aku masih punya yang lainya." Ucapnya sambil menunjukan beberapa gambar yang ada dibuku dengan bungkus yang terbuat dari kulit kuda berwarna coklat itu. Saat dia membukanya disana masih ada sebuah geratan tangan yang sangat rapih melukis sebuah bunga Snowdrop yang terlihat baru saja mekar.

"Cantik. Boleh aku lihat?" tanyaku. Dia mengangguk dan menyodorkan buku itu padaku. dengan hati – hati aku membuka lembar demi lembar bukunya. Dan benar saja dugaanku, dia memiliki bakat melukis yang sangat luar biasa. Gambarannya begitu terlihat sangat nyata.

"Apa semua ini buatanmu?" Tanyaku.

"Tentu saja, lihat ini." Ucapnya sambil membuka beberapa halaman depan bermaksud menunjukan sebuah lukisan padaku.

"Ini adalah Clara. Dia memiliki bentuk tangan yang sangat indah. Lihat saja." ucapnya menunjukan gambar sebuah tangan padaku. Saat aku mendengarnya memuju wanita lain hatiku terasa sakit entah kenapa, itu terjadi begitu saja. Aku membuka halaman berikutnya dan menemukan gambar yang sama yaitu Clara.

"Sepertinya kau menyukai wanita satu ini, kau menggambarnya berulang kali." Ucapku. Dia hanya terkekeh saat aku mengatakan hal itu.

"Tidak, dia adalah seorang wanita muda yang buta, aku menemuinya saat aku berada di New York. Lihat ini." Ucapnya sambil menunjukan sebuah foto yang ada dibelakang. Aku menatapnya kaget Clara sedang menggunakan kaca mata yang menutupi matanya ditambah sebuah tongkat yang membuat dia terlihat memang seperti seorang yang tak bisa melihat.

"Oh." Ucapku malu. Aku terus mengobrol dengannya tanpa ingat waktu.

"Ini sudah sore, aku harus segera pulang kalau tidak mereka akan panik." Gumamku.

"Mereka? Apa yang kau maksud mereka adalah orang tuamu?"

Aku hanya tersenyum miris. Orang tua? Mereka bahkan tak tau kalau aku sedang berada diluar rumah saat musim dingin seperti ini.

"Bukan, mereka adalah anak buah appa dan ummaku. Sedangkan orang tuaku sedang sibuk di New York sana. Kau tau, bisnis dan semacamnya." Ucapku sendu. Aku selalu saja menjadi sendu jika ada yang mengingatkanku tentang kesibukan orang tuaku.

"Oh maaf." Ucapnya.

"Ya? Kenapa meminta maaf?" Tanyaku tak mengerti.

"Entahlah, tapi kau terlihat kesepian. Iya kan?" aku kaget dengan ucapannya, darimana dia tau? "Jadi karena itulah aku meminta maaf." Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab.

"Tidak apa – apa, toh yang kau katakan memang benar." Ucapku.

"LUHAN!" sahut – sahut terdengar seseoranng memanggilku. Jongdae, siapa lagi kalau bukan dia.

"Sepertinya aku harus pulang." Ucapku.

"Tentu saja." Ucapnya sambil bangkit, tiba – tiba mengulurkan tangannya di atas kepalanku ternyata dia membersihkan butiran salju yang menempel ditopiku.

"Oh, Kamsahamnida"

Aku baru sadar kalau dari tadi aku belum tau namanya.

"Ah-kita lupa belum berkenalan." Ucapnya seakan mengetahui pikiranku.

"Luhan imnida." Ucapku menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.

" Oh Sehun imnida. Kau berasal dari korea?" Tanya Sehun.

"Tidak, Eomma dan Appaku berasal dari China." Jawabku.

"LUHAN!" Teriak Jongdae -lagi- dan aku mengendus kesal.

"Sepertinya orang itu mencarimu Luhan-ssi." Ucapnya.

"Bisakah kita tidak berbicara formal satu sama lain?" Tanya Luhan ragu.

"Baiklah, kalau begitu panggil saja aku Sehun."

"Eo, Sehun-ah." Ucapku sambil tersipu.

"Apa kita akan bertemu lagi?" tanyanya.

"Sepertinya begitu, jika kau ingin bertemu denganku datanglah ketaman ini, aku akan berada disini. Aku tak mau meninggalkan moment bunga Snowdrop saat bertumbuh dimusim dingin ini." Ucapku.

"Benarkah? Baiklah." Ucapnya sambil kembali memamerkan senyuman manisnya.

"Sehun, aku harus kembali. Annyeonghi kyeseyo."

"Annyeong." Jawabnya. Akupun membalikan tubuhku menghampiri Jongdae yang sekarang ada di bahu jalan meneriakan namaku. Semoga aku bisa betemu lagi dengannya.

.

.

.

~To Be Continued~