SELAMAT MALAM, SEMUANYAA~!
Maaf, saya apdetnya sangat telat … #sungkemkesemuapembaca Yaah, sebenarnya saya ada waktu nulis, sih, libur di sana-sini begini... Cuma mager aja :3 #kerisbeterbangan #saltomenghindar
Saa... Bagian Kedua ini panjangnya kurang lebih 150% lebih panjang dari Bagian Pertama. Ditulis sebagian besar di jam yang juga sama absurdnya—saya yakin Anda sudah pada mimpi indah pas saya nulis ending fict ini. :3 Salahkan otak saya yang baru bisa nyala sense of words-nya selewat tengah malam. Bermata panda, bermata panda, deh, saya~ =.=
Oya, warning kali ini lebih pendek, kok :3 #teruus?
Ehehe, selamat membaca! XD
SUMMARY :
Antara kau dan aku—haruskah kita terus jadi seteru?/ "Je weet wel, Indië? Je kunt nooit weglopen van mij—Kau tahu, Indië? Kau takkan pernah bisa lari dariku..."/"Aku takkan pernah tunduk padamu."
DISCLAIMER :
Saya gak bakal bosen teriak, "Hidekazu Himaruya-sensei, JADIIN INDONESIA OFFICIAL CHARA, DONG!" QuQ
WARNING :
Dramatisasi peristiwa sejarah; sangat disarankan untuk membaca dulu "In Een Kopje Koffie—Dalam Secangkir Kopi" (Karena, yaah, masih ada hubungannya sedikit-sedikit sama twoshot saya yang satu itu—masih promosi terselubung #grins); yaoi (Nethmale!Indo, of course :3); rate M karena kekerasan, penggunaan bahasa kasar dan implicit sex scene di Bagian Pertama (perang, umpatan antara dua mantan, dan masa lalu yang menghantui; apa lagi memangnya? Di chap ini gak ada adegan aneh-anehnya, kok. Tenang aja :3 Atau jangan-jangan malah pada kecewa? #bamburuncingmelayang); OC,OOC & typo (Pemunculan tokoh-tokoh sejarah di sana-sini dan lainnya, just because. Saya usahain si Netherland dan karakter para tokoh sejarah IC. Meski soal Raka, kan terserah saya mau digalauin sebegimana juga. #grinslikeaboss Dan, ah, ada 'seseorang' yang 'gak sengaja' terdeskrip di sini #sungkemsamayangngerasa); penggalan puisi gaje di sana-sini. In the end, as usual, DON'T LIKE, DON'T READ. Terima kasih sudah bersedia membaca peringatan panjang ini. Kali ini sungguhan—selamat membaca! :D
.
.
Jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta, hampir tengah malam, 18 Agustus 1945
Kau menghempaskan diri ke balai-balai rumah yang menjadi saksi kemerdekaanmu, menarik napas panjang saat punggungmu menyentuh kasur kapuk empuk.
—hanya dua warna sederhana
—tapi terlalu berharga nilainya
Kau menolehkan kepala, matamu tertumbuk pada lipatan merah dan putih yang ditaruh istri pemilik rumah di atas meja di ruang tengah—sang tuan rumah sedang mandi setelah kecapaian seharian ini, sang istri sedang di dapur membuatkanmu teh dan anak-anak mereka sudah tidur. Kau bangun dari pembaringanmu, perlahan beranjak menuju hadapan panji-panjimu—milikmu, meski mungkin bukan satu-satunya sejagad.
Jemarimu menelusuri kain katun Jepang hasil jahitan istri pemilik rumah—yang kebetulan suaminya baru diangkat jadi Presiden alias bosmu, secara aklamasi, hari ini—menikmati bagaimana teksturnya terasa di bawah belaimu dan kau tersenyum.
—hanya selembar bentangan
—tapi terlampau dalam ia punya kandungan
Tersenyum—karena kau telah merdeka.
Tersenyum—karena sejak pukul sepuluh pagi kemarin, lipatan dwiwarna yang kini kau sentuh akan bebas berkibar menentang lazuardi.
Tersenyum—karena Merah Putih itu akan meneriakkan lantang, bahwa kau telah bebas dari penjajahan.
—hanya selembar perca yang dinamai saka
—tapi baginya tiada duanya
"Sang Saka Merah Putih..." dendangmu, senyum itu masih menghinggapi bibirmu.
Kau bersumpah, apapun yang terjadi, mulai kini takkan kau biarkan dwiwarna itu dilarang berkibar di jengkal tanahmu lagi. Tidak sekarang, besok, tidak kapan pun.
—duajamu, milikmu, yang kini bebas menentang angkasa
Apapun yang terjadi, takkan kau biarkan dwiwarna itu dikotori.
.
.
Hetalia Axis Powers©Hidekazu Himaruya
ROODE = merah©sherry-me
.
ROODE = merah
( Sebuah fanfiksi untuk memperingati Hari Pahlawan )
.
Bagian Kedua
Dari Tiga Jadi Dua
.
Kau tahu pasti
bagaimanapun kau lari
kau takkan bisa menghindari—
kusut benang takdir yang mengikat jemari—
kau dan dia.
.
.
Hotel Yamato, Jalan Tunjungan 65 Surabaya, pagi beranjak siang, 19 September 1945
Empat orang dalam kombinasi yang menaikkan alis memasuki bangunan hotel bergaya art nouveau dan bercat oranye pekat itu—diiringi gegap gempita massa yang memekikkan merdeka, membuat dada pemuda bermata jati dalam rombongan empat orang itu membuncah karena bangga dan haru. Begitu mereka: Residen Sudirman, Raka, Sidik, dan Hariyono, memasuki hotel dan pintu tertutup, dua orang bertampang Eropa menyambut mereka hangat—sehangat yang bisa diperlihatkan oleh tentara negara yang pernah menjajah negaranya, ia—dan mengantarkan mereka ke kamar 33.
Mata Raka menyisir gedung yang diarsiteki J. Apfrey itu. Ia menajamkan semua indranya, mencoba menilai situasi dan kondisi yang ia dan rombongannya hadapi sekarang. Ia tahu, perbuatan mereka sekarang ini bisa dibilang seperti mengumpankan kepala sendiri ke harimau kelaparan. Hanya empat orang melawan semua interniran RAPWI di gedung ini—meski di luar sana ratusan rakyat siap meringsek masuk dan mengubah gedung ini jadi medan pertempuran, dan sungguh itu hal yang paling tidak ia harapkan—adalah hal yang sangat berbahaya.
—bukan sekali dua kali kuumpankan diri
—toh aku takkan bisa mati
Raka melirik Hariyono di sebelahnya—Residen Sudirman dan Sidik berjalan dengan panduan dua orang Eropa itu di depan mereka—dan pemuda itu meliriknya balik. Mereka bertukar pesan tanpa kata-kata.
Apapun yang terjadi, utamakan keselamatan Sudirman—itu adalah hal yang mereka bertiga sepakati dalam briefing singkat di mobil tadi, bertiga karena pihak yang dilindungi merasa tak perlu diprioritaskan, tipikal pemimpin yang baik tentu saja.
Kamar 33.
Pintu dibuka, menampakkan ruang dengan meja berukuran sedang dan kursi-kursi yang ditata mengelilinginya. Raka tak terlalu memperhatikan interior ruangan itu karena matanya sudah keburu terbelalak lebar saat melihat sosok yang berada paling belakang dalam panitia penyambutan mereka di ruangan itu.
—karena mungkin tidak kini
—tidak tanpamu juga mengikuti
Dia...
Sosok yang berada dalam hidupnya selama tiga setengah abad. Sosok yang mengenalkannya pada dunia, termasuk rasa yang pantang ia sebut namanya, padanya. Sosok yang dulu selalu memeluk dan mengecupnya, sekaligus menyayat tubuhnya dari balik bayangan. Sosok yang mengajarinya banyak hal, termasuk secara otodidak menyembunyikan konspirasi dalam secangkir kopi. Sosok yang hadir dalam mimpinya—mau disebut sensual atau erotis, ia tidak peduli—tadi pagi.
Napasnya tercekat.
Sial.
Harusnya ia sudah menduga, dalam kapal Inggris yang berlabuh di Jakarta 4 hari silam—seseorang di ibukota mengiriminya telegram tentang kabar luar biasa buruk itu di hari itu juga—ada dia. Dan alih-alih kota lain, ia memilih Surabaya—ia yakin, tanpa tahu bahwa ia sudah ada di sini tiga hari sebelumnya, kebetulan aneh lainnya yang selalu mengintai mereka—kota besar di Jawa yang paling jauh dari ibukota. Kota yang strategis untuk memulai pertempuran, cukup besar untuk membuat berita tersebar secepat api menyambar dedaunan kering, dan cukup jauh dari ibukota untuk mendapat tanggapan layak dari pemerintah republik yang baru terbentuk.
—kau, yang pergi dengan geram dan kembali diam-diam
—kau, tidakkah cukup menginvasi malam demi malam?
Lebih-lebih, ia memulainya lewat pengibaran bendera.
Brengsek.
Pemuda bermata jati itu mengepalkan jemarinya erat—terlampau erat hingga ia takkan heran jika saat ia membuka tangannya nanti ia akan menemukan bekas merah kukunya menancap dalam di telapak tangannya.
Pria bermata zamrud di hadapannya menyeringai—dan ia harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak melemparkan tinjunya, dan mungkin satu dua tendangan memutar, ke muka itu.
"Goedemorgen, Resident Sudirman—selamat pagi, Residen Sudirman," sapaan dilemparkan pria yang berada di depan rombongan penyambut mereka.
"Selamat pagi. Saya rasa tidak sopan jika cuma Anda yang mengenal saya. Nama Anda, Meneer?"
Sapaan balik yang luar biasa tenang—dengan badai menanti pasti di belakang, Raka bisa melihat itu—dilontarkan pemimpin rombongan mereka.
Raka meraba saku celananya—di saat yang sama, ia melihat pria dengan luka di dahi itu juga meraba ikat pinggangnya. Raka memicingkan matanya.
Betapa aneh, saat dua orang yang entah berapa tahun sudah tak bertemu dan menyimpan ketidaksukaan yang berbeda jenis satu sama lain, bisa memiliki satu pikiran yang sama di saat mereka bertemu kembali dan belum saling sapa sama sekali. Pikiran yang sama—bahwa pertemuan impromptu yang direncanakan akan berlangsung diplomatis ini, tidak akan berakhir penuh kedamaian.
—kenapa pula harus kembali sekarang?
—kenapa pula dengan bedil siap dikokang?
—kenapa harus aku dan kau, dalam perang?
.
.
Raka sudah merasakan firasat buruk saat Ploegman—pria dengan leher berbalut syal belang biru putih itu pasti sengaja memilih orang bebal ini untuk mewakili RAPWI pada perundingan diplomatis ini—menolak permintaan Residennya untuk menurunkan bendera triwarna. Dan firasat buruk itu terbukti saat pria tolol itu menghardik Residennya—sekaligus merendahkan dirinya.
"Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui."(1)
—aku terbiasa dengan merah
—bukan mawar di tengah padang
—tapi darah di atas tubuh penuh lubang
Ia sudah menyesal karena sudah menahan diri dengan tidak langsung melubangi kepala Ploegman saat itu juga—atau perinsanan bedebah di belakang pria itu, yang menyeringai dengan jumawa, mendidihkan darah Raka, saat warganya yang bangsat itu mengucapkan penghinaan padanya—saat si keparat itu tiba-tiba mengokang sepucuk senjata api entah dari mana, meneriakkan paksaan agar Residennya segera pergi dan...
BANG.
Letusan pistol—revolver, kaliber kecil—menggema di kamar 33 Hotel Yamato.
"Je... verdamnt!"
Ploegman meringis memegangi tangannya yang barusan ditendang Sidik—peluru bersarang ke dinding kamar, pistolnya terlempar—Sidik sendiri sudah maju dan mencoba mencekiknya, tampaknya pemuda itu sudah memperkirakan hal ini. Hariyono segera berlari mendekati Residen Sudirman dan menariknya keluar dengan pistol terkokang siap ditembakkan—pemuda itu benar melaksanakan kesepakatan mereka tadi.
Raka? Jangan ditanya. Dia punya musuhnya sendiri, yang kini sedang mengacungkan sepucuk revolver ke dahinya dari jarak lima depa—yang ia tanggapi dengan perlakuan serupa.
Namun sialnya, belum ia sempat menarik pelatuk revolvernya, tiga tentara Belanda yang terkejut mendengar letusan pistol sudah menerobos masuk dengan pedang teracung. Raka bergegas mengubah arah moncong pistolnya, namun sayang Sidik keburu jadi sasaran.
Letusan pistol terdengar lagi. Kali ini tiga kali dan semuanya memakan korban.
—aku terbiasa dengan merah
—bukan delima matang di pohonnya
—melainkan punya mereka yang nyawanya kurenggut paksa
"Leuk schot—tembakan bagus," suara familiar, namun sudah lama tak ia dengar dari jarak begini dekat, itu menembus gendang telinga Raka tanpa permisi.
Dan terdengar terlalu tenang daripada seharusnya. Membuat pemuda berambut ikal hitam itu mengalihkan tatapannya dari target tembakannya—tiga orang tentara yang baru masuk dan kini sudah tergeletak tak bernyawa di lantai kamar 33—ke satu-satunya makhluk hidup di ruangan ini yang ia yakini sudah merencanakan semua hal dari awal.
"Ned... je klootzak—kau bajingan."
Ned, panggilan sayang Koninkrijk der Nederlanden, menyeringai—ia ingat jelas kalimat itu. Kalimat yang sama yang diucapkan si mata jati padanya 32 tahun silam di kediaman mereka di pinggiran Batavia. Kalimat yang mengawali aksi brutalnya—aksi yang dicapnya sendiri sebagai tindakannya yang paling mendekati verba 'bercinta'.
—aku terbiasa dengan merah
—dengan luka yang kau gurat di jengkal raga
—dengan bekas kecup bak kiambang di leher dan dada
"Itu bukan cara menyapa yang benar, Indië. Bukankah sudah kuajarkan dulu padamu?"
Mata jati yang biasanya teduh itu kini bergolak karena berang. Ia bisa merasakan dengan jelas meski tidak melihatnya langsung. Amarah rakyatnya di luar hotel sana yang bergolak karena mendengar letusan pistol—sebagai efeknya, seluruh sel tubuhnya memanas—dan mulai merangsek ke dalam gedung. Ia bisa mendengar gemuruh pekik mereka, meneriakkan untuk maju menyerang dan mengambil tangga. Bibirnya mengulaskan senyum tipis—ia tahu pasti mereka berniat mengganti sendiri bendera yang kini berkibar di teras atap utara gedung ini.
"Namaku Indonesia, Bedebah. Bukan Indië. Yang kau ajarkan padaku?" Raka menurunkan moncong pistolnya, mengarahkannya ke dada kiri lawannya—ia tahu mereka immortal, tapi dengan satu tembakan ke jantung, setidaknya perinsanan takkan bisa bergerak dalam 24 jam, "Seingatku, kau cuma melecehkanku dan menyiksa rakyatku."
"Seingatku, kau sangat menikmati saat datang dalam pelukanku dan melenguhkan namaku."
Ah, ya. Malam terakhir mereka bersama. Raka meneriakkan namanya di puncak kenikmatannya—nama manusianya, Willem. Kenikmatan nista—yang sampai sekarang pun ia tak tahu kenapa ia masih saja mengingatnya sebagai salah satu memori yang tak begitu buruk bersama pria itu. Dan mengingatnya membuat wajah Raka panas—panas yang berbeda dari yang sebelumnya ia rasakan, bukan karena rakyatnya, tapi sebagai dirinya. Karena ia sendiri—sebagai Raka, bukan Republik Indonesia.
—ya, aku terbiasa dengan merah
—hingga tak mengerti, kenapa bisa tanganku merah kini
—milikmu atau punyaku?
Wajah Raka takkan bisa lagi lebih merah dari ini—dan ia sendiri tak tahu apakah itu karena berang atau malu tak ketulungan.
"Keparat..."
Seringai di wajah sang Belanda takkan bisa lebih lebar dari itu.
.
Di luar sana, para pemuda sudah mencapai ruang muka hotel. Mereka mengamuk, meraung dengan senjata api rampasan, golok dan parang.
Sebagian pemuda yang lain berebut naik ke atas hotel lewat luar dengan bantuan tangga bambu, tak peduli meski berondongan peluru menyertai aksi mereka. Hariyono termasuk salah satu yang berpartisipasi—setelah sebelumnya ia menunaikan tugasnya untuk mengantarkan Residen Sudirman ke tempat yang aman.
.
BRAK.
Tubuh pemuda dengan kemeja yang kini mulai dirembesi darah itu mendarat di atas meja, yang langsung terbelah dua, tak kuat menanggung besar gaya yang menghantamnya. Pandangannya mulai kabur.
Ternyata memang benar. Tak seharusnya ia ikut-ikutan melempar revolver, tak menggunakannya—karena gengsi pula—seperti yang dilakukan musuhnya. Tak seharusnya ia terprovokasi dan mempercayai sepenuhnya kemampuan bertarung tangan kosongnya. Iya, dia memang lebih muda—tapi itu bukan poin kelebihannya, lawannya jelas menang pengalaman setelah ratusan tahun pertempuran di Benua Biru sana. Iya, tubuhnya lebih mungil dan dia punya kecepatan—tapi lawannya jelas punya kekuatan, secara fisik pun hal itu sudah kentara.
—aku membencimu
—tahukah engkau?
Dalam sepuluh menit setelah pertempuran satu lawan satu mereka, Raka sudah dijadikan bulan-bulanan. Jikalau dia manusia biasa, pastilah napasnya sudah putus sekarang. Sayang semua perinsanan immortal—hanya bisa dibunuh jika sama sekali sudah tak ada jiwa manusia yang menjadi orb-nya, sel penyusun jiwanya—jadi dia masih bisa bernapas, tersengal-sengal dan mendengar derak mengerikan dari tulang-tulangnya yang patah dan menyambung sendiri. Bagian dari kemampuan regenerasi tubuh insaninya—yang meski semua lukanya parah begitu rupa, akan mampu kembali seperti semula dalam kurun waktu 48 jam. Meski bekasnya akan lama sekali hilangnya.
"Je weet wel, Indië?—Kau tahu, Indië?"
Raka menarik napas pelan—dadanya sakit, tulang rusuknya patah?—saat mantan kolonialisnya itu mendekatinya perlahan.
.
Satu orang yang berhasil memanjat sampai ke pertengahan tangga jatuh tertembak. Lalu satu lagi. Dan lagi. Tapi tak ada seorang pun yang berniat mundur. Mereka berlomba-lomba untuk segera sampai ke puncak.
Hariyono dan Kusno Wibowo adalah dua orang yang berhasil sampai ke atas sana.
.
"Je kunt nooit weglopen van mij—Kau takkan pernah bisa lari dariku..."
Willem berlutut, mendekatkan diri ke eks-koloninya yang kini sama sekali tak bisa bergerak...
CUIH
... namun ternyata masih bisa meludahinya. Dengan saliva bercampur darah.
—aku tahu
—karena aku juga padamu, bukankah begitu?
"Aku takkan pernah tunduk padamu."
Mata zamrud itu menggelap.
.
Sesampainya di atas sana, dua pemuda itu berteriak mendesak, meminta: adakah kiranya yang membawa bendera merah putih? Tapi tak ada. Tak ada yang membawa dan mereka sudah sampai di atas sana.
Padahal bendera tiga warna itu harus segera diubah jadi dwiwarna. Dari merah, putih dan biru, menjadi merah dan putih.
Hanya merah dan putih.
.
Tangan besar pria itu—yang dulu mengelus puncak kepalanya lembut, yang dulu merengkuhnya bak menyentuh boneka porselen—menjambak rambutnya kasar dan membanting kepalanya ke lantai.
Sia...
Raka tak sempat menyelesaikan umpatannya—sekalipun itu hanya kata yang terbersit dalam pikirannya. Satu hantaman final ke kepala itu benar-benar melenyapkan kesadarannya yang tersisa.
Raka tak bisa melihat—pria itu bersimpuh di sebelah tubuhnya yang tak sadarkan diri dan perlahan merengkuh tubuhnya yang berlumuran darah. Raka tak bisa melihat—pria itu menelusuri wajahnya dengan bibirnya seraya membisikkan kata bak mantra.
—entah, karena yang kutahu
—dunia berkomplot membenci engkau dan aku
"Wachten—tunggu," bibir itu menyentuh dahinya, "Wacht op mij—tunggu aku."
Bibir itu—yang kini merah karena berlumuran darahnya—beringsut turun, memberikan kecupan kecil di sepanjang rahangnya, "Ben je terug in mijn armen—kau pasti akan kembali ke pelukanku."
Sebelum akhirnya menyentuh bibirnya—mengecupnya perlahan, "Leuk of niet leuk—suka tak suka."
.
Tak kurang akal, kedua pemuda itu segera mengerek turun bendera Belanda, lantas dengan gigi dan kedua tangan merobek bagian birunya, sebelum kembali menaikkannya ke puncak tiang sana. Massa yang ada di bawah sana menyambut kibaran bendera dwiwarna dengan pekik "Merdeka". Merah dan putih kembali berkibar di puncak saka.
Hanya merah dan putih.
.
.
Roodebrug—Jembatan Merah, Surabaya, lepas tengah hari, 10 November 1945
Sialan! Inggris bajingan! Belanda keparat!
Raka menyumpahi kedua mantan kolonialisnya yang kini menyerbunya berbarengan—mereka membombardir Surabaya seperti Berlin di Perang Dunia II!—seraya berlari dari serbuan peluru dengan senapan tergenggam erat di tangan.
Persetan jika secara resmi Inggris yang melakukan invasi dan mencoba menghancurkannya di pertempuran fase pertama 28-30 Oktober silam. Demi apapun ia tak peduli. Karena nyatanya, tentara kompeni brengsek itu juga turut menembaki kotanya kini.
Kotanya yang harus menanggung derita karena ultimatum keparat dari pasukan si alis lapis legit itu.
.
9 November 1945
Mansergh mengeluarkan ultimatum agar seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 keesokan harinya dan supaya orang-orang Indonesia yang bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diserahkan. Ultimatum itu disebarkan melalui udara ke seluruh kota.
Selain itu Mansergh secara eksplisit memperingatkan bahwa semua anak-anak dan wanita harus sudah meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 malam itu dan memberikan ancaman hukuman mati bagi setiap orang Indonesia yang membawa senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.
.
Terkutuk kau Sekutu!
Tentu saja, mana mau ia dan rakyatnya menerima begitu saja tindak semena-mena macam itu. Mereka sudah merdeka! Dan mereka akan memperjuangkannya hingga tetes darah penghabisan!
Merdeka atau Mati!
Itu sumpahnya—sumpah rakyatnya, yang disuarakan bersama dengan kebulatan tekad untuk menghadapi apapun yang mungkin menghalanginya. Sumpah yang mereka—rakyat Surabaya—sepakati tanpa influensi apapun dari pemerintah pusat. Ya, bahkan Presiden dan Menteri Luar Negeri pun menyerahkan sepenuhnya segala keputusan atas ultimatum sewenang-wenang itu pada mereka—rakyat Surabaya sendiri.
Dan mereka—arek-arek Surabaya yang bermental baja—takkan takut meski harus mengubah kota yang mereka tinggali menjadi ladang api.
.
Bismillah Hirochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD
Tetap Merdeka !
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, ikhlas berkorban dengan tekad MERDEKA atau MATI !
Sekali merdeka tetap merdeka !
Soerabaja, 9 November 1945
Ttd
(1) TKR Kota
(2) PRI
(3) BPRI
(4) TKR Sidoardjo
(5) BBI
(6) TKR Laut
(7) TKR Peladjar
(8) P.I.
(9) BBM (Barisan Berani Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11) TKR Djombang
(12) dll
.
BLAAR.
Satu ledakan bom lagi menghantam gedung di kiri jalan. Raka bergegas ke sana. Ia harus membantu evakuasi.
Senapan jenis arisaka ditentengnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan untuk menopang seorang pejuang—masih muda, mungkin baru 13 tahun—yang tertimpa reruntuhan gedung karena bom yang baru dijatuhkan barusan.
—dari dulu kita sama tahu
—kau dan aku, jelas kita seteru
"Iki ditulung sik iki!—Ini ditolong dulu ini!" teriaknya pada seorang gadis—Harusnya wanita ada di garis belakang atau dapur umum! Di sini terlampau bahaya, pikirnya sesaat yang lantas diabaikannya—yang entah bagaimana bisa berada di pos pertolongan garis depan.
"Glethakna kene, Cak! Dakperiksa!—Baringkan di sini, Cak! Kuperiksa!"
Raka segera membaringkan pemuda yang merintih kesakitan itu—tulang rusuk patah, pendarahan di kepala, sepertinya terjadi pula pendarahan organ dalam—dan bergegas kembali ke medan pertempuran.
—sejak tak lagi kusuguhkan kopi untukmu saban pagi
—sejak tak lagi kau rengkuh tubuhku di penghujung hari
Roodebrug—Jembatan Merah—kini akan merah karena darah rakyat, Raka tersenyum miris seraya menembak ke sana-sini. Sesekali ia akan berhenti dan mengarahkan mereka yang membawa korban ke pos pertolongan.
Raka terus maju—pertempuran di tengah jembatan memanas. Jika jembatan ini berhasil mereka duduki, mereka akan bisa memepet tentara Inggris dan Belanda itu ke sisi lain kota. Mungkin terhitung sebagai kemenangan kecil—tapi yang kecil-kecil itulah yang akan jadi besar kan?
Satu tembakan. Dua tembakan. Puluhan tembakan setelah berganti amunisi entah berapa kali.
Oh, sialan.
Di sana, sekitar 200 meter dari tempatnya berada sekarang—meski rambut jabrik aneh itu ditutupi pelindung kepala, ia masih bisa mengenalinya—ada dia. Si brengsek yang menghajarnya habis-habisan 52 hari silam, hingga ia sama sekali tak sadarkan diri selama 12 jam, ditemukan oleh—untungnya—pasukan kiriman pusat yang mengetahui keberadaannya sebagai perinsanan negara tiga jam kemudian dan disuruh kembali ke Jakarta oleh bosnya yang habis-habisan mengkhawatirkannya. Tentu saja dia menolak kembali ke ibukota. Surabaya lebih membutuhkannya. Dan ia belum membalas perbuatan mantan penjajahnya yang keparat itu. Yang akhirnya kini kembali ada di hadapannya.
—sejak itu hanya anyir darah dan hangus mesiu
—sejak itu hanya bedil beradu dan desing peluru
Ia berteriak—sengaja agar suaranya bisa menembus jerit kesakitan, desing peluru, dan letusan bom di sana-sini—penuh dengki, penuh amarah menggelegak, "WILLEEEEEEM!"
Pria itu menyadari keberadaannya—aneh, karena seharusnya teriakan itu tak sampai di telinganya—dan tatap mereka bertemu. Tatap manik sehijau pepucuk daun itu bersua dengan sorot mata bak kokoh batang kayu. Dan seringai terpulas di bibir sang pria Eropa.
Pria itu berjalan mendekat ke arahnya—bayonet di tangan ditembakkannya ke arah lain—dengan tatap yang masih mengunci matanya.
—karena tak pernah takdir berseru
—agar kita jumpa mesra di kebun bunga, Kasihku
"Ten slotte kunnen we elkaar weer—akhirnya kita bisa bertemu lagi," pria itu bergumam—heran, kenapa ia bisa mendengarnya di tengah segala suara ini?—padanya, menyebut nama yang dia berikan padanya, "Indië."
Seringai serupa berkeluk di bibir Raka.
"Kali ini kau akan kubalas," desisnya seraya perlahan menarik pelatuk senapan yang sejak sekian detik lalu diarahkannya ke kepala mantan penjajahnya—dan takkan pernah ia biarkan dia menjajah tanah ini, dirinya lagi, "Keparat."
—tapi tak mengapa, sungguh
—karena begini pun, kita masih bisa saling rengkuh
—kau dan aku, dalam peluk takdir yang membuat kita melepuh
—luruh dalam kemelut yang terlampau sepuh
.
.
Sejarah bukan kisah satu arah
Ia berulang—menceritakan dendam, luka dan amarah
Ia berulang—mendongengkan digdaya, berkah dan anugerah
Ya, Kawan.
Tak sekalipun ia berkata agar kau membenci.
Tak sekalipun ia berkata agar kau tak peduli.
Ia ingin kau mengerti—bahwa dalam segala prahara pasti ada bahagia akhirnya.
Ia ingin kau pahami—bahwa tiap luka pasti akan sembuh kala saatnya tiba.
Meski berbilang dasawarsa, meski berabad lamanya.
Demi tulang tersaput debu yang tak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.(2)
Demi pemilik masa depan yang akan kita tuturkan kisah ini.
.
.
TAMAT
.
.
.
—masihkah kau percaya
—setiap kisah hanya punya satu akhir saja?
.
Jembatan Merah, Surabaya, menjelang petang, 10 November 2012
Sosok pemuda berambut ikal yang baru dipangkas pendek itu menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia masih capai. Tadi pagi ia baru saja mengikuti upacara tabur bunga dari geladak KRI-591 di Dermaga Koarmatim Ujung, yang seperti biasa, berakhir dengan jamuan dan basa-basi para pejabat.
Bukannya ia tak suka bila tiap tahun digelar upacara mengenang Hari Pahlawan seperti itu. Ia tentu suka, tentu senang—tapi lain cerita kalau makin lama upacara khusyuk itu kesannya berubah jadi hanya formalitas saja kan?
Pemuda yang sore itu memilih mengenakan skinny jeans dan T-shirt berlogo lambang kota tempatnya berada itu menumpukan diri pada pembatas jembatan yang bercat merah, mencondongkan diri begitu rupa hingga kedua tangannya terjulur melewati pembatas jembatan—seolah hendak menggenggam udara di atas Sungai Kalimas yang airnya kecoklatan.
Angin laut membelai kulitnya—dingin, namun tak dirasanya. Bising kendaraan mencoba menerobos gendang telinganya. Namun keburu dihadangnya dengan sumpalan earphone yang disambungkan ke ponselnya, memutar tembang keroncong yang dilantunkan Mus Mulyadi.
Tembang ciptaan Gesang, yang diberi judul sesuai nama tempat ia berada kini.
.
Jembatan Merah, sungguh gagah berpagar gedung indah
Sepanjang hari yang melintasi silih berganti
Mengenang susah hati patah ingat jaman berpisah
Kekasih pergi sehingga kini belum kembali
Biar Jembatan Merah
Andainya patah, aku pun bersumpah
Akan kunanti dia, di sini bertemu lagi
.
Ponsel layar sentuhnya berdering—mengumandangkan Wilhelmus van Nassouwe—ia tersenyum, tahu siapa si penelepon tanpa perlu melihat layar ponselnya, dan mengangkatnya.
"Halo?" sapanya dengan nada malas—sengaja untuk menutupi bahwa ia senang.
"Waar ben je?—Di mana kau?" suara di seberang sana terdengar sebal, dan ia sungguh menikmati fakta itu.
"Di Jembatan Merah. Anginnya enak, nih," jawabnya ringan.
"Op ... shit. Fijn. Ik ben er over vijf minuten. Waag het niet om van daar!—Di... shit. Baiklah. Aku ke sana dalam lima menit. Jangan berani beranjak dari sana!" hardik suara di ujung sana.
Ia terkekeh, "Oke!"
Pemuda itu patuh kali ini, tak beranjak sedikit pun. Lagu di telinganya sudah berganti menjadi Sepasang Mata Bola, Sundari Soekotjo—keroncong lagi—kala orang yang dinantinya tiba. Dari taksi berwarna biru yang sopirnya tampak kaget karena penumpangnya meminta turun di tempat yang absurd—di tengah jembatan.
"Je bent—kau ini..."
Orang lain mungkin sudah keburu kabur jika melihat orang asing berambut pirang jabrik dengan bekas luka di dahi, bertinggi badan lebih dari 180 cm, menatap tajam dengan ekspresi datar dipertanyakan—ah, hari ini ia berpakaian normal: celana jeans, kemeja lengan pendek dan topi, tanpa mantel aneh dan syal kesayangannya—ekspresi datar, sih, datar, tapi dengan mata mendelik begitu seram?
"Hei, Willem!" pemutar musik sudah dimatikan dan cengiran tersungging di bibir si pemuda—beserta senyum tulus bahagia atas kedatangannya.
Kalau begini, bagaimana bisa Willem marah?
Tatapan matanya melunak sebelum ia menghampiri pemuda itu dan meraup tubuh yang jauh lebih mungil darinya itu—168 cm, mereka terpaut lebih dari 20 cm—ke pelukannya. Hanya sekilas memang—karena si pemuda tak suka bila pria itu sengaja menjadikan ekspresi kasih mereka sebagai santapan umum—namun tindakan spontan itu hampir membuat oleng motor yang dikendarai seorang gadis berkacamata dan berjaket Departemen Biologi UNAIR yang kebetulan lewat di jalanan sebelah mereka—fujoshi?
"Weet je niet dat ik uitgeput?—Apa kau tak tahu aku kecapekan?" gerutuan pria itu membuat si pemuda nyengir, "Na het vliegen uren van Amsterdam, dan ineens je vertelde me om te komen tot Surabaya? Zelfs mijn baas zal niet in staat zijn om me om dit te doen. Wees dankbaar dat ik van je hou, Raka.—Setelah terbang berjam-jam dari Amsterdam, dan mendadak kau bilang supaya aku datang ke Surabaya? Bahkan bosku pun tak bisa membuatku melakukan ini. Berterimakasihlah bahwa aku mencintaimu, Raka."
Dan cengiran itu berubah menjadi kekehan ketika Raka—nama pemuda itu—mendengar kalimat terakhir pria itu. Willem tersenyum—senyum yang sangat amat jarang diperlihatkannya pada siapapun tapi selalu muncul saat ia bersama Raka—melihat reaksi sang pemuda bermata jati.
Raka tersenyum lebar, melompat mundur selangkah, dan merentangkan kedua tangannya lebar, "Welkom in Surabaya!—Selamat datang di Surabaya!"
Willem tersenyum, masih—jarang-jarang kekasihnya yang sulit berterus terang itu, Kiku akan menyebut sikap Raka itu tsundere, bersikap begini jujur dan manis—melihat kelakuan Raka.
"Kau harus minta maaf padaku, Raka."
Raka mengernyitkan alis—ups, langkah yang salah, Willem—mendengar itu, menduga bahwa sikap super-pelit Willem kambuh lagi, "Karena kau harus naik penerbangan tambahan? Heh, kan aku yang bayar penerbanganmu dari Jakarta ke sini."
"Karena kau mempercepat waktu pertemuan kita bulan ini—aku jadi tak bisa menyiapkan apa-apa untukmu," jawaban lugas—serangan balik yang tepat sasaran—dari Willem, dan membuat apapun bantahan kasar yang akan keluar dari bibir merah Raka terhenti simultan.
Raka memutar matanya, rona merah samar yang tak terdeteksi mata melintas pipinya—romantis juga ada batasnya, Willem, "Kan cuma maju empat hari."
Willem sok mendengus—emphasis pada kata sok, karena sebenarnya ia senang Raka memintanya datang pada hari ini. Hari yang sudah puluhan tahun mereka hindari jika membuat janji. Hari yang, setelah tujuh tahun hubungan mereka membaik, setelah enam tahun mereka kembali menjajaki hubungan antar individu—bukan negara, bukan mantan penjajah dan koloninya—adalah hari yang selalu mereka hindari.
Dan tempat pertemuan ini.
Di sini, Jembatan Merah, yang enam puluh tujuh tahun silam jadi saksi bisu semua kejadian itu—letusan bom yang tak kunjung henti, desing peluru tiap sedetik sekali, pertemuan berdarah mereka entah untuk yang kesekian kali.
Jika begini, bolehkah? Bolehkah Willem berharap—bahwa Raka sudah memaafkannya?
"Mau makan?" ujar Raka tiba-tiba.
Willem mengangguk, "Lapar."
Raka tersenyum, "Ke Jalan Embong Malang, yuk. Di seberang Hotel Marriot ada tempat makan enak!"
Willem mengernyitkan alis—nada suara itu kelewat ceria itu selalu mengindikasikan ada yang tidak beres, "Pedas, ya?"
Seringai sekilas muncul di bibir Raka, sebelum ia tersenyum lebar—berusaha menghapus prasangka sang pacar, "Enggak, kok. Enak. Beneran."
Raka tak perlu bilang, kan, kalau mereka akan pergi ke warung Rawon Setan?
.
.
—pilihlah sendiri akhir kisahmu
.
Catatan :
(1) Dari berbagai sumber di internet—termasuk Wikipedia—yang tumben-tumbennya sepakat semua.
(2) Dicuplik dari puisi "Krawang-Bekasi", Chairil Anwar 1948
Dan akhirnya fict absurd yang harusnya selesai dipublish 10 November lalu ini selesai juga. Ternyata saya memang tak bisa menahan diri untuk bikin epilog gaje nan fluffy itu. Yaah... jadinya struktur fict ini mirip fict twoshots saya yang satu itu, ya? =_= Ya sudahlah. #authorgakkreatif
Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan mereview Bagian Pertama, saya akan lebih berterimakasih lagi kalau Anda sekalian bersedia mereview juga Bagian Kedua ini. Anggap saja bersedekah sama saya. Ehehe. #taboked
Review, please... :D
Luv,
sherry