Warning: Tidak jelas, OOC (out of character), penuh dengan typo (kesalahan dalam penulisan), alay (berlebihan), sinetronisme(beraliran sinetron Indonesia), hiatus (istirahat lama dari pekerjaan), Unpredictable Story(?)
.
.
.
By: MASASHI KISHIMOTO
Disclaimer: SHIFUDO
(Loh? Kok?)
.
.
.
"Apa maksudnya ini?!"
.
.
.
Ruangan mendadak hening saat Kushina berteriak.
"Kushina-sama, saya sudah katakan untuk menjaga sikap anda!"
"Urusai-tteba ne! Kalian belum menjawab pertanyaanku! Apa maksudnya direktur baru?!"
"Kushina, ini semua demi menjaga kestabilan perusahaan", ujar Jiraiya menjelaskan.
"Perusahaan, perusahaan... Apa itu saja yang kalian pikirkan?! Ayahku baru meninggal seminggu lalu! Dimana rasa hormat kalian kepada atasan kalian?! Apa kalian juga tidak memikirkan aku?!"
"Kushina, bukannya tidak menghargai ayahmu. Kami juga sangat memikirkan dirimu. Tapi, perusahaan ini memiliki pegawai yang banyak. Kami tidak bisa bekerja dengan baik tanpa pemimpin yang akan mengatur kinerja pegawai. Apabila perusahaan tidak aktif dalam waktu yang lama, kita bisa mengalami kerugian besar dan akhirnya bangkrut"
"Tapi, paman−"
"Ayahmu juga kakekmu pasti tidak ingin perusahaan yang dibangun dengan susah payah ini hancur hanya karena keegoisan putrinya", sela kakek tua bernama Homura yang sedari tadi diam.
Kushina menatap pria itu dengan tajam. Kemudian memalingkan wajahnya dan berdecak kesal. "Aku mengerti. Lakukan saja sesuka kalian", ujarnya sambil menyilangkan tangannya dan menghempaskan dirinya ke kursi.
"Baiklah. Kita lanjutkan lagi. Dengan mempertimbangkan usia Kushina yang masih muda dan masih bersekolah, kita tidak bisa menunjuknya sebagai direktur secara resmi. Karena itu, kami memutuskan suatu penyelesaian", wanita tua itu menatap Kushina.
"Uzumaki Kushina-sama, kau akan bertunangan dengan seorang pewaris perusahaan besar"
Mendengar hal itu, mata Kushina terbelalak. Dia berdiri secara tiba-tiba dan kembali menggebrak meja.
"A-Apa?!", pekik Kushina mengagetkan semua orang. "Tu-Tunggu dulu! Ke-kenapa begitu?! Kenapa harus begitu?!"
"Kau tidak punya kemampuan dalam memimpin perusahaan. Ayahmu juga tidak pernah mengajarkanmu. Kami tidak bisa membiarkanmu menjadi seorang direktur. Dengan tidak adanya direktur resmi, perusahaan akan melemah dan hal itu dapat dimanfaatkan oleh pesaing lain untuk menghancurkan kita"
"Kalau begitu, suruh saja Paman Jiraiya! Aku juga tidak pernah bermimpi untuk menjadi direktur!"
"Jiraiya-san sudah ditugaskan untuk memimpin perusahaan cabang yang sama besarnya dengan perusahaan utama. Letaknya juga berada jauh dari sini. Jika Jiraiya-san menjadi direktur utama, kami tidak memiliki orang lain yang cukup pantas untuk menggantikan posisi Jiraiya-san di kantor cabang"
"Ta-tapi kenapa harus tunangan? Kenapa tidak tunjuk orang lain untuk menjadi sekretaris atau manajer! Kalian bilang kalau kalian sudah mempertimbangkan umurku? Aku juga masih bersekolah!"
"Orang yang kami tunjuk merupakan kolega ayahmu. Perusahaan kita sudah menjalin kerjasama dengan perusahaan miliknya. Seperti halnya dengan perusahaan suku cadang Uchiha. Tentu saja kami mempertimbangkan umurmu. Kalau tidak, mungkin kami sudah menyuruhmu berhenti sekolah dan menikah"
Kushina melotot dan berbisik pelan, "Koharu-baa-san, kau menyuruhku menjaga sikap tapi kau sama sekali tidak menjaga mulutmu..."
Kushina berpikir sejenak untuk mencari pembelaan, "Tidak mau! Kalian tidak bisa memaksaku! Kalian bukan ayah atau ibuku! Kalian tidak bisa menyuruhku bertunangan! Hanya ayahku yang boleh memerintahku!"
"Kalau soal itu, sebenarnya ayahmu pernah merencanakan untuk mempererat hubungan kerjasama dengan menikahkan kalian. Semua sudah dipersiapkan Kalau saja kejadian itu tidak terjadi, sekarang pasti−"
"Homura-san!", potong Jiraiya.
"...Maaf, aku terlalu banyak bicara"
Kushina menatap kaget, "Ayah sudah merencanakan ini? Tanpa sepengetahuanku?! Lalu, apakah orang itu mengetahui rencana ini sejak dulu juga?!"
Jiraiya mengangguk.
"Kuso! Siapa orang itu sebenarnya?!"
"Benar juga. Lebih baik kalau kau bertemu langsung dengannya. Masuklah, Namikaze Minato-sama"
Kushina kembali terbelalak kaget. Kepalanya langsung menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Seorang pemuda yang sudah amat sangat dikenalnya, masuk dengan pakaian rapi. Bukan seragam sekolah, melainkan setelan jas hitam yang terlihat mahal.
"Maaf kalau aku mengganggu"
"Mina... tapi... ah... kenapa...", Kushina menggumam tidak jelas. Mendadak kepalanya terasa berat.
Minato menoleh ke arah Kushina dan tersenyum. "Selamat siang, Kushina"
Belum sempat membalas salam pemuda yang disebut bernama Minato itu, Kushina sudah lebih dulu kehilangan kesadarannya.
.
.
.
Kushina membuka matanya. Yang dilihatnya hanyalah putih. Rupanya dia tengah menghadap atap. Aroma obat tercium dan Kushina langsung mengenali tempat dimana dia berbaring sekarang.
"Kau sudah sadar?"
Suara lembut yang sangat dikenalnya membuat Kushina mengalihkan pandangannya ke arah sofa yang berada tak jauh dari tempatnya berbaring.
"Syukurlah, aku sudah menduga kalau hal ini terlalu tiba-tiba untukmu. Tapi aku tidak mengira kalau akan jadi begini", ujar pemuda bersurai kuning yang perlahan bangkit dari sofa dan berjalan ke arah Kushina.
"Maafkan aku", lanjutnya lagi sambil tersenyum lemah.
Kushina menatap Minato lemah. "Minato..."
"Ya, ini aku", ujar Minato lembut. Dia duduk di pinggiran tempat tidur.
"Kenapa..?"
"Hm? Ah, kau masih penasaran padaku? Entah kenapa, aku sedikit kagum padamu. Hmm... Darimana memulainya ya? Ah, begini. Dulu ayahku pernah bekerja sama dengan ayahmu. Mereka membangun perusahaan bersama. Kemudian ayahku keluar dan memutuskan untuk membangun usaha sendiri. Dan ayahmu membantu ayahku dalam mendirikan perusahaan yang saat ini kupegang. Perusahaan ayahku sukses dan bekerja sama dengan perusahaan ayahmu. Sejak saat itulah aku mengenalmu. Kau mengerti?"
"Tapi, aku tidak mengenalmu..."
"Tentu saja. Pertunangan itu direncanakan diam-diam oleh ayahmu dan ayahku. Aku ikut serta dalam pembicaraan rencana itu karena mereka pikir aku sudah cukup dewasa. Waktu itu usiaku 15 tahun, sama sepertimu. Tapi, kau masih sangat kekanakan dan ayahmu menduga kau pasti akan menolaknya. Ya, kan?"
"Tentu saja...", ujar Kushina sambil mengubah posisi tidurnya menjadi duduk bersandar.
Minato tertawa pelan, "Dugaan ayahmu benar. Karena itulah ayahmu menunggumu sampai sedikit dewasa. Tapi, beliau pergi sebelum sempat mengatakannya"
Kushina menundukkan kepala. "Begitu..."
"Ya"
"Lalu, kenapa kau menggunakan 'Minato'?"
Minato terdiam sejenak. "Ah, maksudmu Namikaze 001-238-4?"
"Err... apapun itu"
Minato kembali tertawa pelan, "Sebenarnya itu hanya uji coba penemuan baru ayahmu. Hasil kerjasama denganku"
"Hah? Hanya karena itu?"
Minato terdiam. Mimik wajahnya berubah. "Tentu saja tidak"
Perlahan Minato meraih tangan Kushina dan menggenggamnya erat. Hal itu sontak membuat Kushina kaget setengah mati.
"Kalau hanya uji coba, tidak mungkin sampai susah-susah meniru wajahku dan menggunakanmu sebagai kelinci percobaan. Yang ingin kulakukan sebenarnya adalah untuk tetap berada di dekatmu. Aku ingin menjagamu"
Wajah Kushina memerah seketika. "Ehh...ah..I-itu..."
"Aku ingin mengenalmu lebih dekat. Lebih dalam. Aku ingin tahu lebih banyak tentang tunanganku"
Minato mengecup tangan Kushina, "Aku ingin menjadi satu-satunya yang mengetahui semua rahasiamu"
Kushina semakin tak terkendali. Jantungnya berdegup kencang seakan-akan hendak melompat keluar. "Mi-Minato..."
Tetapi, mendadak Minato tersenyum lebar. "Ah, aku suka sekali melihat wajahmu yang seperti itu, Kushina"
Seketika itu pula, Kushina merasa kehilangan sesuatu. Rasanya hampa. Tapi, wajahnya kembali memerah saat menyadari Minato mengerjainya.
"Mi-Minato! Dasar mesum! Kau benar-benar menyebalkan!", ujar Kushina meraih bantal dan berusaha menghajar Minato.
Minato berkelit dan kemudian bergerak menjauh. Senyum masih menghiasi wajahnya. "Syukurlah kau benar-benar Kushina!"
"Apa maksudmu?!"
"Maksudku, Kushina seharusnya tidak mudah pingsan begitu saja! Ternyata hanya pura-pura!"
"A-aku pingsan sungguhan! Kau yang membuatku jadi begini!"
"Baiklah, baiklah. Maafkan aku ya, Kushina-sama"
"Berhenti menggunakan panggilan itu!"
Minato tersenyum kemudian melihat jam tangannya. "Aku harus pergi. Kau pingsan terlalu lama, lihat sekarang sudah waktunya makan malam"
"Apa?! Jangan kira kau bisa lari dariku! Urusan kita belum sele−"
Tangan Minato mendarat di kepala Kushina. "Aku akan kembali lagi. Ngomong-ngomong, yang kukatakan padamu tadi, itu sungguhan"
Kushina terpaku pada posisinya. Minato mengelus kepalanya pelan lalu beranjak pergi.
"Sungguhan? Yang mana? Yang barusan? Yang mana? Tidak mungkin yang itu, kan? Minato pasti mengerjaiku lagi! Ta-tapi... bagaimana kalau dia serius?!"
.
.
.
"Berhenti kuliah?"
"Bukan berhenti, pulanglah sebentar. Kaa-san sangat rindu padamu"
"Tapi, kenapa tiba-tiba?", tanya Minato mengerutkan dahinya.
"Ada sesuatu yang penting yang harus kita bicarakan. Sangat penting!"
Minato menyesap tehnya, "Tidak bisa lewat telepon saja?"
Terdengar suara hela nafas di ujung sana, "Kau benar-benar banyak tanya. Ayah dan anak sama saja", kemudian terdengar suara protes seorang pria.
Minato tersenyum mendengar pertengkaran kecil orang tuanya melalui telepon. "Memangnya ada masalah apa, Kaa-san? Kaa-san tahu kalau kuliahku akan selesai sebentar lagi"
"Kuliahmu bisa ditunda dulu! Ini lebih penting! Lagipula kau masih muda! Kaa-san menyesal menuruti keinginanmu untuk kuliah ke Jerman. Bayangkan! Umurmu masih 15 tahun dan kau akan menjadi professor! Kau seharusnya masih duduk di bangku SMP dan menikmati masa mudamu! Kau bahkan lebih parah dari ayahmu!", kembali terdengar protes di ujung sana.
"Baiklah, baiklah, aku akan pulang. Tapi hanya sebentar. Mungkin sekitar 2-3 hari", ujar Minato mengalah. Dia tidak pernah bisa menang melawan ibunya. Sama seperti ayahnya.
Minato tiba dua jam sebelum waktu makan malam, ayah dan ibunya datang menjemputnya.
"Kaa-san, berhenti memelukku. Kita di tempat umum", ujar Minato seraya tersenyum.
"Apa yang kau katakan? Apa salahnya seorang ibu memeluk anaknya?"
"Anak laki-lakimu ini sudah besar! Tentu saja dia malu!", bela ayah Minato sambil merangkul pundak anaknya.
"Memang ayah dan anak−"
"Sama saja!", ujar Minato dan ayahnya serempak. Kemudian mereka tertawa.
Minato heran ketika sedan mewah yang ditumpanginya melewati jalan menuju rumahnya begitu saja. Mobil tersebut justru berhenti di depan butik milik ibunya.
"Kaa-san?"
"Ayo masuk Minato! Kita sudah terlambat!"
"Terlambat untuk apa?"
Tanpa jawaban apapun, Minato ditarik masuk oleh ibunya. Kemudian, ibunya asyik memilih setelan pakaian mewah untuk laki-laki.
"Mana yang kau sukai Minato? Yang ini atau ini?"
"Kaa-san, untuk apa?"
"Pilih saja!"
"Hhh... Yang ini saja", jawab Minato asal.
"Baiklah, ganti pakaianmu! Cepat, cepat!"
Minato kembali tercengang saat, sedan mewah yang ditumpanginya memasuki halaman sebuah rumah mewah. Rumah tersebut sama bagusnya dengan milik ayahnya. Seakan baru sedetik lalu keluar dari ruang ganti, sekarang dia sudah berdiri di depan barisan anak tangga berlapis karpet merah menuju pintu depan rumah tersebut.
Pintu rumah itu terbuka dan keluarlah seorang pria yang sebaya dengan ayahnya. Di belakangnya menyusul beberapa pelayan.
"Namikaze-san! Lama tidak bertemu!"
"Benar sekali! Kau pikir kapan terakhir kali kita minum bersama, Uzumaki-san?"
Dahi Minato mengerut. Uzumaki? Dia seakan pernah mendengar nama itu. Ah! Pasti salah satu kolega ayahnya.
"Ah, perkenalkan ini istriku dan anakku, Minato"
"Ah, anakmu yang jenius itu?"
Merasa namanya dipanggil, Minato tersadar dari lamunannya.
"Kau ini bisa saja! Minato, beri salam padanya. Dia teman bisnisku. Kami membangun perusahaan bersama"
Minato tersenyum, "Selamat malam"
"Selamat malam. Ah, anakmu benar-benar pendiam. Sepertinya tidak akan cocok dengan anakku"
Minato menaikkan sebelah alisnya.
"Jangan bilang begitu! Anak seorang Uzumaki pasti sangat pandai bergaul!"
"Tapi anakku sangat berlawanan dengan anakmu. Aku sedikit meragukan rencana kita sekarang"
"Tidak apa-apa. Justru bagus jika saling melengkapi, bukan?"
Perasaan Minato mulai tidak enak. Dia merasa dirinya memainkan peran penting pada acara malam ini.
"Kalau begitu masuklah. Anakku sudah menunggu kita di dalam"
Mereka masuk ke dalam rumah mewah tersebut. Kemudian, memasuki ruang makan. Minato masih asyik melihat desain rumah yang menurutnya sangat menarik.
"Nah, itu anakku"
Minato mengalihkan pandangannya ke depan. Pupilnya membesar saat melihat seorang gadis seusianya berdiri di dekat meja makan dengan gaun berwarna hijau pastel. Yang menarik perhatian Minato adalah rambut merah yang indah tergerai sampai ke punggung gadis itu. Gadis itu balik menatapnya, Minato segera mengalihkan pandangannya.
"Nah, Kushina. Perkenalkan namamu", ujar pria yang merupakan ayah gadis itu sambil menepuk punggungnya.
"Perkenalkan, namaku Uzumaki Kushina. Usiaku 15 tahun"
.
"Minato-sama, kita sudah sampai", tegur seseorang membuyarkan lamunan Minato.
"Ah, ya", gumam Minato sambil menatap keluar jendela. Dia telah sampai ke sebuah restoran mewah.
Seorang pria dengan pakaian pelayan menghampirinya dan membukakan pintu sedan mewah Minato.
"Selamat datang, Tuan", sapanya.
Minato turun dari mobil dan mengangguk kecil. Setelah itu, dia berjalan masuk ke restoran tersebut. Matanya menatap sekeliling dan menemukan orang yang dicarinya.
"Selamat malam, Tuan. Apakah anda sudah reservasi tempat?"
"Ya, aku ditunggu seseorang", ujar Minato.
"Apakah anda melihat orang yang menunggu anda?"
"Ya, aku sudah melihatnya"
"Baiklah, silakan menikmati malam anda di restoran kami"
Minato kembali mengangguk kecil dan berjalan menghampiri meja yang terletak di ujung ruangan.
"Maaf membuatmu menunggu. Aku harus menunggu Kushina sadar dulu"
"Tidak masalah, kau tidak ingin pesan sesuatu?", ujar pria yang kini duduk berhadapan dengan Minato.
"Tidak, Jiraiya-san"
"Terserah kau saja. Bagaimana keadaan Kushina?"
"Dia sudah sadar. Dan dia juga tidak apa-apa. Sepertinya dia hanya syok"
"Dia bertanya sesuatu padamu?"
"Ya, dia bertanya tentang kenapa aku memakai robot penjaga padanya"
"Lalu?"
"Kujawab kalau itu hanya salah satu penemuan besar ayahnya"
Jiraiya terdiam, "Apa kau masih belum bisa memaafkan ayahnya?"
Kali ini Minato yang terdiam. "Masih belum...", ujar Minato setengah berbisik.
"Apa kau juga akan membenci Kushina?"
Mimik wajah Minato berubah. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membencinya. Setiap kali jauh darinya, keinginanku untuk balas dendam kembali muncul! Tapi, saat berada di dekatnya, aku..."
Minato memejamkan matanya. "...Senyumnya selalu bisa menenangkanku. Seakan semua kebencianku pada Uzumaki menghilang begitu saja"
Jiraiya tidak menjawab.
Minato tertawa hambar, "Rasanya lucu, aku mengatakan aku benci pada Uzumaki kepada salah satu dari mereka"
Kemudian, suasana menjadi hening.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?", tanya Jiraiya memecah kesunyian.
Minato tidak bergeming. Jiraiya mengambil rokok dari sakunya. "Apa yang ingin kau lakukan sekarang?"
Minato mendongkakkan kepala dan tersenyum sinis, "Aku akan tetap melakukannya. Aku akan membalas dendam orangtuaku"
Minato bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pergi.
"Bagaimana dengan Kushina?"
Langkah Minato terhenti. Jiraiya menatap Minato tajam sambil menghisap rokoknya.
"Aku akan melupakannya. Seperti dia melupakan aku"
.
.
.
Kok ceritanya makin kemana-mana, ya? Kayak sinetron Indonesia? Ya, udahlah...
Hmm... Jadi Minato yang asli sudah muncul? Wah! Bagaimana bisa? Tunggu chap selanjutnya, ya! Yang jelas bakal lama lagi :')
Maap membuat kalian menunggu, reader-sama tachi! Mohon review-nya!