Title :

Life

Characters :

Kim Jaejoong

Jung Yunho

Jung Jiyool

Go Ara

The tree dongsaengs of DongBang

And others

Disc :

God. Themselves. Their company. Fans. And family.

Warn :

Boys Love. OC. Typo(s).

Life imaginachun


Chapter 3.

The New Path of The Twisted Plot.

Beyond the sadness is a brilliance. Only those who have passed through know. Parting and meeting again—even in the fight for tomorrow.

Everything is alright. It's the aesthetics of this way of life

-Fated (Tohoshinki).


Sudah memasuki musim dingin pada tahun 2003. Aku cukup menyesal meninggalkan buku ini begitu saja. Tiga bulan lalu kami pindah—ya, aku dan U-know—kesebuah apartemen yang lebih besar daripada apartemen kecilku. Tapi kami tidak berdua saja, ada tiga orang lain yang ikut dengan kami.

Tiga orang yang saat ini resmi menjadi member dalam grup ini. Walaupun kami belum tahu kapan kami akan debut, dan apa nama grup yang akan kami bawa, kami berlima sangat optimis bahwa sajangnim tidak akan menghancurkan impian kami—tentu saja, susunan grup bahkan sudah diatur. Hanya nama grup dan kapan kami debut saja yang belum pasti. Satu diantara tiga orang itu adalah Xiah. Sedangkan dua lainnya adalah Choikang dan Micky. Choikang masuk sekitar pertengahan tahun kemarin. Sedangkan Micky baru bergabung bulan Juni lalu. Micky adalah pendatang dari Virginia—walaupun ia kelahiran dan pernah tinggal di Seoul, namun bahasa Koreanya bisa dikatakan cukup buruk. Ia acap kali menggunakan logat America-nya ketika sedang berbicara—yang kemudian dijadikan Xiah sebagai bahan candaan. Aku, U-know, Xiah serta Choikang dimasukkan dalam grup awal tahun ini. Dan tepat pada pertengahan, Micky mulai bergabung dengan kami.

Awalnya kami sempat heran mengapa trainee baru bisa dengan mudah dimasukkan begitu saja. Ia bahkan sudah mengetahui dengan jelas kapan ia akan debut. Sedikit iri, memang. Namun seperti kata U-know, kami harus bisa berhubungan baik karena sebentar lagi kami akan terus melakukan aktifitas bersama-sama.

Dan tentang Choikang... Ia adalah yang termuda diantara kami. Usianya baru 15 tahun, namun memiliki tinggi yang lebih dariku. Oh—dan suaranya juga. Aku masih ingat bagaimana U-know dan Heechul-hyung melongo saat mendengar suara tinggi Choikang.

"Aku rasa ia bisa memecahkan sebuah gelas dengan suaranya itu," ucap Heechul-hyung kala itu.

Dan ada satu hal lagi yang ingin kuberitahu...

...Tentang kekasih U-know.

.

.

.

Sudah dua bulan ini Jiyool tidak melihat Ara. Menurut pemberitaan dan gosip di televisi, ibunya itu kini ada di Paris, mempersiapkan acara fashion show besar yang akan diadakan pada akhir bulan. Sedangkan Yunho... entahlah. Jiyool merasa tidak perlu peduli akan keadaan ayahnya itu. Dia menampar Umma, dan juga aku, pikir Jiyool. Tidak akan mengherankan jika suatu hari ia akan mencampakkan kami berdua.

Karena dimata Jiyool, sosok sang ayah sudah berubah.

Yunho bukan lagi sosok seorang ayah yang menyayanginya. Jiyool tidak ingat kapan, atau mengapa. Yang ia sadari adalah, Yunho semakin menjauh. Tidak lagi menanyainya ketika makan malam, bahkan mulai jarang berada di rumah dan hampir tidak pernah memberi kabar. Dan selama Yunho tidak ada, maka rumah hanya akan diisi oleh Jiyool, Ara dan para pembantu. Changmin dan Junsu sesekali datang—Yoochun tidak bisa karena sebagai seorang aktor, kesibukannya tidak bisa ditolerir.

Jiyool juga memperhatikan ibunya. Wanita yang berprofesi sebagai model dan designer itu pun tampak tidak terlalu peduli. Jiyool tahu dan sadar—ia tidak buta, tidak pula tuli. Kedua orang tuanya memang tidak memiliki hubungan yang harmonis. Ia sadar karena ia tidak pernah melihat kedua orang tuanya bermesraan, atau mendengar percakapan keduanya yang bukan hanya sekedar formalitas dan basa basi. Namun Jiyool tidak pernah tahu apa sebabnya.

Yunho dan Ara tidak pernah tampil berdua jika menghadiri suatu event dimana Jiyool ikut serta. Saat pertama kali Jiyool ikut dalam pementasan balet, hanya Ara yang datang. Saat Jiyool menjadi lulusan baik di sekolah dasarnya, hanya Yunho yang datang. Saat Jiyool mengadakan recital piano pertamanya 3 tahun lalu, hanya Ara yang datang.

Keduanya tidak pernah datang bersama.

Pernah waktu itu Jiyool bertanya pada Junsu mengapa kedua orang tuanya bersikap aneh. Namun Junsu hanya diam. Jiyool menunggu dan menunggu jawaban dari pamannya itu. Namun hingga keduanya sampai dirumah Jiyool, Junsu tetap diam.

Dan Jiyool sadar bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Tapi ia tidak tahu itu apa.

Tidak mungkin pernikahan kedua orang tuanya itu palsu—foto pernikahan mereka terpampang besar di ruang tamu. Cincin pernikahan mereka pun, Jiyool tidak pernah melihat cincin manis itu absen dari tangan Ara, atau Yunho. Mereka berdua selalu mengenakannya.

Lalu mengapa...?

"Jung Jiyool-ssi!"

Jiyool tersentak kaget. Ia terlalu banyak berpikir sehingga tidak memperhatikan guru didepannya. Beberapa orang mendengus kecil—mengejek, tentu saja. Namun Jiyool berusaha bersikap tenang. "Ya, saem?"

"Bisakah kau kedepan dan mengerjakan soal berikutnya? Aku rasa kau sangat tertarik dengan penjelasanku sampai-sampai melamun seperti itu."

Jiyool terdiam. Ia bahkan tidak tahu bahwa gurunya sedang menerangkan soal. Ia lirik beberapa orang yang ada disekitarnya, namun tidak ada yang mau memberitahu. Mereka hanya memandang rendah Jiyool—bahkan ada yang mencibir.

Sebuah kertas kecil tiba-tiba jatuh ke meja Jiyool. Gadis itu membukanya, dan membaca sebuah tulisan rapi yang ada di sana.

Halaman 74, soal nomor 3.

Mengambil buku cetak fisika yang ada di meja, Jiyool membuka halaman 74 dan membaca soal yang akan ia kerjakan. Gadis ini kemudian maju kedepan, dan mulai mengerjakan soal yang terpampang di buku itu. Terdengar dengusan sebal murid-murid yang lain—bahkan Jiyool bersumpah dia mendengar bahwa ada yang mengharapkan ia ditendang keluar oleh guru fisika mereka ini. Sedikit menggeram dan menekankan spidol pada papan tulis—yang menimbulkan bunyi ngilu juga teriakan protes dari teman sekelasnya, Jiyool mengakhiri soal yang ia kerjakan dan menyerahkan kembali spidol itu pada gurunya.

Bless my genius brain, pikirnya.

Saat kembali ke kursinya, Jiyool mengerling kecil pada seorang pemuda yang duduk sekitar dua baris dari mejanya. Sang ketua kelas, Kim Joonmyeon, yang sedang berbicara dengan teman-teman segengnya.

Namun Jiyool melihat kilatan mata Joonmyeon yang mengatakan sesuatu. Mendengus kecil, Jiyool menggumamkan 'thanks' pada Joonmyeon, yang hanya dibalas dengan senyuman dari pemuda itu.

Setidaknya masih ada yang peduli dengannya dikelas ini.

.

.

.

"Sudah berapa kali kubilang Jiyoolie, kau sebaiknya minta pindah kelas saja! Katakan pada wali kelasmu. Aku yakin Daeyoung-sonsaengnim akan setuju dengan permintaanmu jika kau menceritakan pembullian yang kau alami!" kata Joohyun berapi-api.

Mereka berempat—ia, Joohyun, Sora dan Minhyo—kini berada di rumah Sora, mengerjakan bahan klub drama mereka yang akan melakukan pementasan pada akhir semester.

Minhyo mengangguk setuju. "Kalau aku jadi kau, aku tidak akan segan-segan membalas perbuatan mereka semua—"

"—dan untuk kemudian harinya mendapat berita: 'Anak dari model Ara Jung dan pengusaha Yunho Jung terlibat aksi kekerasan di sekolah'? No, thank, Minhyo-ah," ucap Jiyool mengerling bosan.

"Sudahlah teman-teman," ucap Sora. "Jika Jiyool tetap tidak ingin pindah, ia pasti punya alasan, bukan? Ia juga akan tetap bertahan di kelas itu karena ia mampu melawan anak-anak kelas brengsek itu. Dan kalau Jiyool pindah, bukannya itu sama saja dengan mendeklarasikan kekalahannya? Sedangkan kalian tahu sendiri bahwa Jiyool sangat keras kepala dan benci kekalahan."

"Thanks, Sora, aku tak tahu apakah kau mendukung atau menghinaku," ucap Jiyool sembari mengerling, "but, apa yang dikatakan Sora sangat benar."

Joohyun yang memang sedari tadi tidak melakukan apa-apa, berjalan menuju lemari CD milik Sora. Ia mengambil sebuah album usang yang covernya sudah hampir rusak. "Youngwoong? Sora-ya, siapa ini?" tanya Joohyun.

"Ah, itu. Entahlah, belum pernah kudengar sih, album itu. Aku dapat album itu dari tumpukan barang bekas milik Umma," ucap Sora. "Hey, Joohyun. Coba putar album itu!"

Joohyun kemudian memasukkan CD itu kedalam CD player. Tak lama, alunan suara merdu yang diiringi oleh dentingan piano memenuhi kamar bernuansa ungu itu.

"Benar-benar lagu lama," gumam Sora. "Aku tidak tahu bahwa Umma memiliki selera ballad seperti ini."

"Tapi aku belum pernah sekali pun mendengar nama Youngwoong," ucap Joohyun. "Apa mungkin dia ini penyanyi yang tidak terkenal, ya? Ya, Minhyo-ah, kau pernah mendengar 'Youngwoong'? Kau kan pencinta musik ballad."

"Secintanya aku pada musik ballad, aku tidak pernah mencari tahu penyanyi pada saat orang tua kita muda," ujar Minhyo. "Kau sendiri, Yoolie? Dua orang pamanmu kan bekerja di bidang entertaiment. Apa mereka pernah mengungkit tentang Youngwoong?"

Jiyool hanya mengedikkan bahu. Ia terlalu malas menjawab pertanyaan temannya karena ia sangat terhanyut dengan suara seseorang yang bernama 'Youngwoong' ini. Ia mendengarkan dengan seksama lagu yang diputar, sedikit menghayati sehingga tak menyadari bahwa ketiga temannya menatapnya dengan dalam.

"Apa?" tanya Jiyool saat menyadari tatapan ketiga temannya.

Minhyo memberinya pandangan aneh, "Kau mengikuti lagu itu, kau tahu? Apa kau mengetahui lagu ini?"

Jiyool terdiam. "Benarkah? Aku sendiri tidak sadar," ujarnya pelan. Minhyo tetap memandanginya, sedangkah Sora dan Joohyun tidak terlalu ambil pusing.

"Kau bawa saja pulang CD ini, Jiyoolie. Sepertinya kau sangat suka dengan lagu ini," ujar Sora ceria. Ia menyodorkan CD itu kepada Jiyool yang langsung menerimanya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Nah! Mari kita lanjutkan tugas ini diiringi lagu dari Infinite!"

.

.

.

Jiyool menghempaskan tubuhnya diatas kasur. Lelah sekali rasanya hari ini. Ia baru sampai dirumah pukul 8 malam—itupun karena Changmin yang sudah senewen menyuruhnya pulang. Pamannya yang tinggi itu mampir kerumah untuk makan malam, namun yang menyambutnya hanyalah para maid. Jiyool—yang juga lupa memberitahu kepada Changmin bahwa ia memiliki tugas kelompok untuk dikerjakan—mau tak mau harus menerima omelan dari dokter ternama di Seoul itu.

"Kau tahu bagaimana cemasnya aku? Aku pikir kau diculik, Jiyoolie! Kau seharusnya memberi kabar kepadaku—atau kepada maid, atau pada hyungdeul! Kau itu anak dari orang ternama! Selalu ada kemungkinan kau tidak akan aman! Oh, Tuhan! Aku serasa disambar petir ketika Anna-ssi memberi tahu bahwa kau belum dirumah—"blablabla sampai Jiyool pun letih mendengarnya.

Cerewet sekali, batin Jiyool. Pantas saja belum punya kekasih.

Gadis ini kemudian bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia membongkar tasnya, dan mengeluarkan CD usang yang diberikan Sora. Ia memasukkan CD itu kedalam CD player yang ada dikamarnya, kemudian mengambil novel bersampul hijau—yang sudah menjadi bacaan wajib bagi gadis ini—dan kembali membaca.

Tanpa menyadari Ara yang terpaku di depan kamarnya saat mendengar lagu yang ia putar.

.

.

.

Nama gadis itu adalah Yoon Ah Gi. Dia seorang gadis cantik yang juga sama-sama trainee dengan kami. Hubungan U know dan Ah Gi berjalan selama lima bulan, dan dalam lima bulan itu, mereka merupakan pasangat termanis yang pernah aku lihat. Namun entah mengapa mereka tiba-tiba saja putus. Aku sendiri tidak mendengar kabar itu langsung dari U know—berbanding terbalik dengan kabar ketika bocah itu berhasil mengencani Ah Gi, namun malah dari si tukang gosip Sooyeon dan Sooyoung. Mereka berdua mengatakan bahwa waktu itu, Ah Gi tiba-tiba saja datang keruang latihan sambil menangis. Dan dari apa yang dua gadis remaja ini dengar, Ah Gi dan U know mengakhiri hubungan mereka.

"Pasti U know-oppa yang memutuskannya. Kalau tidak mana mungkin Ah Gi menangis begitu," ucap Sooyeon. Aku membenarkan kata Sooyeon. Namun yang membuatku heran adalah, mengapa U-know malah memutuskan Ah Gi padahal bocah itu sangat senang ketika berhasil mendapatkan Ah Gi. Dan yang lebih mengherankan adalah, reaksi U-know yang biasa saja ketika aku menanyakan mengapa ia memutuskan Ah Gi. U-know hanya tersenyum salah tingkah—memperlihatkan gigi gingsulnya yang membuatnya menggemaskan itu—dan berkata dengan santai, "Habisnya, aku sudah bosan dengan Ah Gi, Hyung. Ah Gi terlalu penurut. Jadinya hubungan kami datar-datar saja."

Namun aku tahu U-know berbohong padaku. Cara U-know menyampaikannya sudah sangat jelas. Aku sudah tinggal bersama pemuda ini selama berbulan-bulan, sangat mudah bagiku untuk mengetahui apakah ia bohong atau jujur.

Hal berakhirnya hubungan antara U-know dan Ah Gi tidak terlalu membuat para trainee lain penasaran—karena sebagian dari mereka memang mengharapkan U-know dan Ah Gi untuk berpisah. Mereka berdua sangat terkenal diantara trainee lain, tentu saja banyak yang mengincar mereka.

U-know adalah satu-satunya orang yang bisa kuketahui apakah ia berbohong atau tidak. Jika ia berbohong ia akan menolak untuk menatapku, dan jika ia tersenyum maka senyumnya menjadi canggung. Aku memperhatikan kebiasaannya itu berkali-kali ketika ia—terpaksa—berbohong padaku atau orang lain. U-know tentu saja tahu tentang hal ini, semenjak berbulan yang lalu ia bahkan tidak pernah berbohong kepadaku. Jika ia memang tidak ingin aku mengetahui suatu hal, maka ia hanya akan diam dan mengatakan bahwa mungkin ia akan mengatakannya nanti.

Ngomong-ngomong saat ini aku ada kamar kami di apartemen baru ini. Kamar yang cukup besar, hanya berisi kasur saja. Lima buah kasur single disusun dikamar ini. 3 kasur menghadap dinding, dan dua kasur menghadap jendela yang memperlihatkan pemandangan Seoul. Xiah dan Max sudah tertidur semenjak setengah jam yang lalu. Sedangkan Micky berada di ruang tengah—mungkin menghubungi keluarganya. U-know sendiri tidak berada di apartemen semenjak sore tadi. Ia dan manager-hyung pergi ke kantor agency untuk mengurus beberapa hal. Tugasnya sebagai leader cukup berat, aku merasa bersalah kepadanya.

Pada mulanya, akulah yang ditunjuk menjadi leader. Namun aku menolak dengan keras. Aku bukanlah orang yang munafik, aku tahu dan sadar bahwa aku adalah orang yang sangat egois. Sifatku juga masih kekanak-kanakkan. Walaupun aku yang paling tua diantara kami berlima, namun aku tidak bisa mengontrol empat member lain yang lebih muda daripadaku. Berbanding terbalik dengan U-know, aku tidak memiliki aura sebagai pemimpin. Aku masih sering bermain dan tak jarang mengemukakan emosiku secara brutal. Maka aku bermohon pada presiden agensi kami, agar U-know saja yang menjadi leader. Selain karena ia merupakan salah satu penegak kedisiplinan diantara para trainee lain, ia juga menjalani masa training lebih lama daripadaku—jangan masukkan Xiah dalam hal ini.

Suara dengkuran Max—yang tidur ditengah-tengah di 3 kasur berderet ini—terdengar sangat jelas. Bahkan mengalahkan suara pendingin ruangan. Xiah sudah bergelung dalam selimutnya. Yang kelihatan hanyalah rambutnya. Kedua member termuda ini adalah harta karun yang harus kami jaga. Terkadang, jika melihat Micky, Xiah dan Max bercanda gurau, aku merasa seperti seorang ibu beranak tiga. Ibu—ya, tentu saja. Karena posisi 'ayah' hanya bisa dipegang oleh U-know; selain karean titelnya sebagai leader, juga karena ia benar-benar bertindak sebagai hyung dan ayah yang baik bagi tiga member muda itu.

Sepuluh menit yang lalu, Micky masuk ke kamar dengan mata yang sedikit memerah. Tidak heran, memang. Dia memang pemuda yang sedikit cengeng. Ditambah lagi, keluarganya tidak tinggal di negara ini. Untuk berkomunikasi dengan keluarga saja pemuda yang logat korea nya itu masih canggung tersebut membutuhkan biaya pulsa yang besar. Micky merebahkan dirinya di kasurnya—disebelah kasur Max. Walaupun badannya masih gemetar dan isakannya terkadang terdengar, Micky tampaknya tidak ingin tetap terjaga dan memutuskan untuk langsung tidur—bahkan pemuda itu tidak menyapaku. Biasanya ia akan menyapa atau bercanda dulu, namun melihat kondisinya yang seperti itu, aku paham mengapa ia memilih untuk langsung tidur.

Dan kini, hanya kasur U-know yang masih rapi.

Padahal 20 menit lagi memasuki tengah malam, namun tanda-tanda bahwa U-know sudah pulang pun tidak kelihatan. Ia juga tidak memberi kabar sama sekali. Aku sudah mengiriminya pesan, menanyakan dimana ia sekarang, namun satupun pesanku tidak dibalasnya.

Karena belum juga mengantuk, aku beranjak keluar kamar—membuat Max yang tiba-tiba tersentak karena kasurnya ikut bergerak. Suasana ruang tengah sangat sepi dan sedikit berantakan. Hah, Micky selalu seperti ini jika sudah menangis. Ia pasti lupa membuang sampah tisu yang ia gunakan.

Aku memungut sampah-sampah itu dan membuangnya di dapur. Setelah itu aku mengambil dua buah cup dan membuat teh hangat—satu untukku dan satu untuk U-know. Aku masih menunggu air yang mendidih ketika tiba-tiba saja pintu apartemen terbanting keras dan suara U-know yang memanggilku.

"Hyung! Jaejoong-hyung!"

Saat aku baru saja menginjakkan kakiku di ruang tengah, tubuh U-know langsung menubrukku. Ia memelukku.

"Hyung! Kita akan debut! Desember ini kita akan debut dengan nama Dong Bang Shin Ki!"

Dua tahun kami lalui bersama. Dalam masa susah, dan kesenangan dan kebahagian yang kami jalani bersama.

Dan dalam dua tahun itu, inilah pertama kali kami menangis bersama.

.

.

.

Kepulangan Ara dari Paris tentu saja diluar rencana wanita karir ini. Seharusnya ia pulang dua minggu lagi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia merindukan anaknya. Selama dua bulan ini Ara hampir tidak pernah menghubungi Jiyool. Sebenarnya hal ini sudah biasa—namun entah mengapa kali ini Ara sedikit merasa cemas. Ia merasa bahwa hidupnya akan berubah. Berjam-jam di udara tadi, Ara berusaha mengubah apapun hal terburuk yang akan terjadi. Ia adalah seorang wanita, dan ia mempunyai feeling yang kuat. Ia merasa bahwa putrinya akan pergi menjauh, namun wanita ini membuat banyak spekulasi—jauh dari terburuk yang ia bayangkan. Mungkin saja ia merasa Jiyool akan menjauh karena gadis itu memiliki kekasih. Atau jika Jiyool mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar negeri—yang membuat jarak keduanya makin jauh. Ara tidak ingin berpikir bahwa apa yang ia takutkan sebelas tahun ini akan terjadi dalam waktu yang dekat. Tidak. Sebelas tahun ini adalah sebelas tahun terindah dalam hidupnya. Walaupun Yunho dengan terang-terangan menunjukkan bahwa ia tidak mencintai Ara, namun memiliki pria itu dalam ikatan pernikahan, ditambah seorang putri yang ia urus semenjak gadis itu balita merupakan hal yang sangat indah di hidup Ara. Dan ia tidak ingin hal itu berakhir.

Katakan ia sangat munafik—sebelas tahun yang lalu ia malah merasa bahwa apa yang ia dapatkan adalah pantas, dan apa yang diberikan kepadanya merupakan hadiah dan kesengsaraan untuk orang itu. Namun sebelas tahun membuat pikirannya menjadi lebih dewasa—dan terkadang semakin picik. Ara merasa janjinya sudah pudar, dan berubah menjadi apa yang harus ia pertahankan. Ia tidak ingin menepati janjinya jika nanti hari itu tiba.

"Jaga ia sampai aku bisa mengambilnya."

Ara tidak siap dengan hal yang berbau kehilangan. Kehilangan Jiyool adalah hal yang ia takutkan, namun kehilangan Yunho adalah hal yang bisa membuatnya kehilangan hidupnya. Demi Tuhan, ia mencintai pria yang berusia empat tahun lebih tua itu lebih dari segalanya.

Dan saat Ara mendengar suara itu dari balik pintu kamar Jiyool, Ara merasa sekujur tubuhnya mendingin. Sebelas tahun ia hidup dalam kebahagiaan pribadi, sebelas tahun pula ia tidak pernah mendengar suara pahlawan itu. Jika Ara mendengar suara itu ditempat lain—asalkan tidak di dalam rumah ini—Ara mungkin akan merasakan nostalgia masa muda. Namun mendengar suara itu di dalam rumahnya, terlebih dari dalam kamar Jiyool merupakan hal yang sangat tidak ingin terjadi dalam hidup Ara.

Ia belum sanggup kehilangan.

Maka wanita itu mengurungkan niatnya untuk menemui Jiyool. Dengan wajah pucat dan badan sedikit gemetar, ia berjalan menjauh dari kamar putrinya. Ia masuk ke kamarnya sendiri, mendudukkan diri di atas kasur dan merenung.

Tuhan, kali ini saja, aku hanya ingin apa yang kumiliki saat ini, akan terus kumiliki sampai nanti.

.

.

.

Yunho baru sampai di rumah saat jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Di dalam garase tadi, sudah ada mobil mewah milik Ara—menandakan bahwa istrinya sudah pulang. Kepulangan Yunho kali ini juga karena Ara sebenarnya—ia mengetahui dari para maid bahwa sang nyonya sudah di rumah. Segera saja Yunho mengambil penerbangan secepatnya dari Jepang ke Korea. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan kepada Ara. Entah wanita itu akan menerima atau tidak—Yunho hanya ingin apa yang ia pikirkan beberapa waktu belakangan ini tersampaikan pada istri yang sudah bersamanya selama sebelas tahun ini.

'Mungkin sebaiknya aku berbicara dengannya besok pagi saja,' batin Yunho. Pria ini juga masih lelah. Setelah mendarat di Incheon International Airport pukul sebelas tadi, Yunho menyempatkan diri ke kantornya. Namun ia terlalu fokus dengan hal yang ia kerjakan sehingga lupa waktu.

Saat ingin memasuki kamarnya, Yunho baru teringat bahwa ia sudah lama tidak melihat Jiyool. Maka ia menyempatkan diri melihat putri semata wayangnya itu. Ia masuk ke kamar Jiyool, sedikit kaget dengan lampu yang masih menyala dan putrinya yang tidur dengan posisi menelungkup—sekilas lihat saja ia bisa tahu bahwa Jiyool ketiduran.

Yunho melonggarkan dasinya, dan mendudukkan diri di atas kasur Jiyool. Dipandanginya wajah Jiyool yang menghadap padanya. Rambut gadis itu hitam dan lurus. Bulu matanya lentik, dan dibalik kelopak mata yang tertutup itu, ada bola mata yang sangat cantik—yang akan menatapmu dengan dingin namun akan berubah menjadi jenaka jika kau sudah mengenalnya sekian lama. Dan bibir itu—bibir tipis yang merupakan replika dari milik Yunho.

Setidaknya hanyal itulah kesamaan yang mereka miliki.

Fitur tubuh serta sifat, semuanya menyalin miliknya. Membuat Yunho tidak bisa lagi berdekatan dengan Jiyool karena makin lama putrinya itu makin mirip dengannya.

Diusapnya rambut Jiyool, sedikit merasa bersalah karena sudah menjadi sosok ayah yang tidak baik. Ia tertawa miris jika mengingat masa dulu—ketika ia masih bisa berkata bahwa ia akan menyayangi putrinya apapun yang akan terjadi. Namun ia tidak menyangka bahwa waktu dan takdir sangat kejam—mau tidak mau memaksa Yunho untuk menelan kata-katanya karena tidak ingin tersakiti untuk kedua kalinya.

Menghela napas berat, Yunho memutuskan untuk membenahi kasur Jiyool. Diambilnya tas Jiyool yang berada di pinggiran kasur dan diletakkannya di meja belajar. Ia selimuti Jiyool, dan mengambil sebuah novel yang digenggam oleh tangan kanan Jiyool.

Yunho memperhatikan novel itu, sebuah novel bersampul hijau. Ia penasaran tentang apa lagi novel yang Jiyool baca kali ini—apakah dengan genre yang biasa Jiyool baca atau mungkin sudah beranjak ke genre yang memang biasa dibaca oleh gadis remaja seusianya.

Bermaksud untuk mengetahui lebih lanjut isi novel itu, Yunho membuka halaman pertamanya—karena novel ini sangat aneh. Tidak ada tulisan berupa judul ataupun nama pengarang pada sampul depan, dan tidak ada sinopsis pada bagian belakang.

Dan ketika Yunho membuka halaman pertama buku itu, ia terpaku. Ia berpikir mungkin ia buta, atau salah mempersepsikan apa yang ia lihat hanya karena kenangan dan perasaan. Namun seberapa lama pun ia menatap, sebanyak apapun ia berkedip, tulisan itu tidak berubah. Nama pengarang novel itu tidak berubah.

Pria itu terhuyung. Ia merasa perutnya bergejolak, dan ia sangat mual. Kepalanya langsung berdenyut dan jantungnya berdebar keras. Ia menatap Jiyool yang masih tertidur pulas—mengira-ngira apakah putrinya mengetahui sesuatu atau tidak.

Dengan tangan gemetar, Yunho membuka halaman terakhir buku itu. Ia baca, dan ia merasa bahwa detakan jantungnya bahkan sanggup membangunkan Jiyool. Detakan jantungnya sangat cepat—adrenalinnya meningkat drastis. Tidak, Jiyool tidak boleh terus membaca novel ini. Ia tidak ingin putrinya membaca apa yang ada di halaman terakhir novel ini. Sebelas tahun ia mencoba menjaga rahasia ini, sebelas tahun ia mengubur perasaannya, dan ia tidak akan membiarkan sebuah novel menghancurnya apa yang ia telah korbankan.

Yunho mematikan lampu kamar Jiyool, dan berjalan keluar dari kamar putrinya secara perlahan. Ia berjalan pelan menuju ruang kerjanya—lelah yang ia rasakan tadi menguap dan berganti menjadi rasa sakit di jatungnya. Ia merasa organ pentingnya itu diremas kuat—rasanya sangat menyakitkan.

Dalam langkahnya menuju ruang kerjanya, Yunho seakan bisa mendengar betapa waktu menertawakannya dalam keheningan ini. Betapa takdir mengejeknya dengan perputaran yang ia lakukan.

Dan Yunho sangat membenci itu.

.

.

To Be Continue


Butuh waktu lama buat nyelesain satu chapter ini. Ribet amat soalnya. Bingung juga—dan saya sempat kehilangat feel. OTL.

Maaf banget buat update yang kelamaan, semoga chapter ini bisa membantu *bows*. Titik konfliknya udah keliatan belum? Hehehe. Dan sepertinya udah ga butuh ya saya rahasia rahasiaan Jiyool itu siapa. Muehehehe.

Chapter ini mungkin banyak gak nyambung atau typo juga. Maaf banget kalo mengecewakan. Tiap part ditulis dalam rentang waktu yang jauh sehingga mungkin lari juga dari perencanaan saya *bows*.

Thanks for the review ya. Saya baca semua. Pake mewek juga. Gak nyangka ada juga yang bakalan muji fanfiksi gadis gila seperti saya ini :") . Thank you!

Review again? :3

.

.

.

260114. Happy birthday my Hero, my Angel. I can not describe how much I love you. Well—maybe words can not explain it. Be stronger and stronger. Cassiopeia will always keep the faith, and standing beside you. Whatever you do, we give you all of our support. Thank you for being strong for us, for being the Kim Jaejoong that always make us proud. Happy 29th birthday. All the best wishes, i wished that for you.

26/01/14

23:19

imaginachun