"Okaeri, Sakura…"
Senyum itu,
tatapan lembut itu,
perhatian itu,
—semuanya, adalah yang selalu Sakura harapkan sejak dulu.
Mestinya ia bahagia.
Mestinya…
My Wife, サクラ
©The Pelahap Maut
(—Rei-kun & Kurobara)
.
Standard Disclaimer Applied
.
Chapter 3
.
.
Sakura menenggelamkan seluruh kepala merah mudanya ke dalam air. Ia memainkan gelembung yang ia ciptakan melalui hembusan napasnya, dan mengangkat kepala setelah agak lama. Ah, tidak ada yang lebih baik dari berendam air hangat setelah seharian bekerja—mengusir penat dan meregangkan otot-otot kaku, juga pikiran yang mengganggu.
Gadis berambut merah muda itu menengadah, menatap langit langit kamar mandi. Pikirannya melayang pada diskusinya dengan rookie dua belas sore tadi. Apa benar tidak akan apa-apa? Apa mereka tidak keterlaluan? Resikonya terlalu besar. Ia merasa telah berbuat sangat jahat pada Sasuke.
Tapi bagaimana pun ia menepis rasa bersalah itu, keegoisannya muncul entah dari mana. Desanya akan lebih baik dengan Sasuke yang begini, teman-temannya akan lebih nyaman dengan Sasuke yang begitu, dan juga… ah, memikirkannya saja sudah membuat Sakura merona. Apa itu artinya Sasuke-kun telah membalas cintaku?, jeritnya dalam hati.
Ketukan pintu kamar mandi membuat Sakura tersentak kaget. Mendengar sayup-sayup suara Sasuke memanggilnya dari luar, ia memejamkan matanya—berusaha mengatur kembali debaran jantungnya. "A-ada apa, Sasuke-kun?" sahutnya dengan nada yang dibuat sebiasa mungkin.
Agak lama terdiam, Sasuke akhirnya menyahut, "Makan malam sudah siap." Hening lagi. "A-aku akan menunggu di meja makan."
—tuh, 'kan.
Siapa yang akan menolak Sasuke yang manis begini? Logika dan hati seolah tak lagi penting. Sosok di balik pintu kamar mandi itu benar-benar Uchiha Sasuke idaman semua wanita normal di dunia!
Makan malam berdua? Duh, rasanya seperti benar-benar sudah berumah tangga. "Un," jawab Sakura dengan suara riang. "Aku segera menyusul."
Sasuke mengerjapkan mata obsidiannya dan menghela napas. Ditariknya sudut-sudut bibirnya, melengkung membentuk seulas senyum.
.
.
.
Sakura sudah beberapa kali pergi makan bersama Sasuke memang—terutama dulu, ketika mereka masih genin—tapi itu tidak hanya berdua. Ada Kakashi dan Naruto juga, tentu saja. Tapi makan malam bersama Sasuke kali ini berbeda dari waktu yang lalu-lalu. Oke, mungkin ini karena mereka hanya berdua. Ditambah lagi status palsu yang disandang keduanya dalam apartemen kecil ini. Ah, bikin malu saja.
Makan malam berlangsung hening tanpa ada satu pun yang berceloteh. Hanya satu ucapan yang keluar dari mulut Sakura ketika memakan masakan suaminya, "Enak!"—sahutnya reflek, dan hanya dibalas dengan ucapan terima kasih pelan dari Sasuke, lengkap dengan lengkung senyum manisnya.
Canggung, karena itulah Sakura memilih untuk diam. Dan mungkin Sasuke juga begitu. Ia belum terbiasa dengan lingkungan yang jelas-jelas sangat baru dikenalnya. Amnesia pasti sangat tidak menyenangkan, pikir Sakura.
.
.
Sasuke menatap heran sosok berambut gulali yang tengah membongkar lemari geser di kamar mereka untuk mencari futon tambahan. Dengan wajah merah padam, gadis itu bersikeras akan tidur di futon agar Sasuke bisa menggunakan tempat tidur satu-satunya di kamar itu dengan leluasa.
"Tempat tidur ini cukup untuk dua orang, Sakura," ucap Sasuke setengah bingung.
Lagi-lagi Sakura hanya bisa menahan debaran jantungnya agar tak terdengar Sasuke. "Ti-tidak apa-apa kok. Sasuke-kun 'kan baru sembuh. Butuh istirahat yang nyaman," dalih Sakura.
"Aku sudah sembuh, kok." Sasuke bersikeras.
Sakura menoleh dan menaikkan sebelah alisnya.
"M-maksudku aku sudah sehat." Sasuke buru-buru menambahkan. Onyx-nya menatap ke arah lain, mencari-cari hal menarik lain selain wajah Sakura. "Jadi Sakura dan aku bisa tidur bersama," lanjutnya malu-malu dengan wajah merona. "Ka—kata Kiba—"
"Ja-jangan dengarkan kata Kiba!" potong Sakura gelagapan. Ia semakin bertambah gugup sekarang. "Baiklah, kita... kita tidur bersama."
Sasuke menghembuskan napas lega dan mengangguk pelan.
.
.
Lampu apartemen itu sudah dimatikan beberapa menit yang lalu. Hanya cahaya dari sang bulan yang mengintip dari celah udara tempat dua insan yang tengah berusaha meredam detak jantungnya.
Kasur yang mereka tiduri memang cukup untuk mereka berdua. Namun, tak cukup untuk sekedar merentangkan tangan—menambah jarak di tengah-tengah mereka. Yang ada, Sakura tak mampu lagi membendung debaran jantungnya yang semakin gila dengan lengan Sasuke yang melingkar protektif di pinggangnya. Hanya mengambil tidur membelakangi pemuda itulah jalan Sakura satu-satunya.
Mereka diam. Merengek kepada Kami-sama mengapa hal memalukan seperti ini bisa dialaminya.
Uchiha Sasuke merasakan setiap detak jantung yang menalu-nalu dari 'istri'nya, terasa sama dengan apa yang ia rasakan. Ia tahu, pasti setelah sekian lama mereka tidak tidur bersama seperti ini, rasa gugup itu pasti tak bisa dibendung. Namun, Sasuke berusaha menghapus perasaan gugup tersebut. Setidaknya ia ingin kembali merasakan apa yang dulu ia dan Sakura rasakan ketika tidur bersama.
Mungkinkah begitu? Mungkinkah tidak segugup ini ketika Sasuke belum amnesia? Beribu pertanyaan muncul bagaikan kunang-kunang yang menari dalam otaknya. Ah, pasti Sakura merasa gugup karena ia merasa Sasuke jadi seperti orang lain karena amnesianya. Pasti begitu. Ya, pasti karena itu. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Sasuke melihat kegugupan kunoichi dalam dekapannya.
Nyaman.
Mungkin inilah yang membuat Sasuke semakin terbuai untuk mengeratkan pelukannya pada tubuh 'istri'nya. Mengusik tidur Sakura dengan ciuman rasa sayang pada rambut gulali tersebut. Menenggelamkan wajahnya pada celah di antara leher Sakura.
Oh, Sasuke... Tak tahukah perlakuanmu itu menambah seraut wajah merah yang semakin merah di wajah Sakura.
Namun, Sasuke tak bisa berhenti. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa menikmati oase yang ditawarkan 'istri'nya lagi. Rasanya ia ingin menapak tilas pada ladang yang sempat ia tinggalkan. Kembali untuk menyemai benih yang pastinya akan meramai kehidupan mereka.
Tak mau membendung nalurinya, Sasuke membalikkan tubuh 'istri'nya—membuat Sakura menatap bingung ke arahnya dengan mata terbelalak—sebelum menghadiahkan sebuah ciuman panjang di antara mereka.
Ciuman agar merobohkan segala tembok kecanggungan di antara mereka.
Uchiha Sasuke melumat sepasang bibir yang membuatnya haus. Menjelajah setiap detail bibir yang dulu pasti sering ia cicipi—mungkin.
Detak jantung keduanya saling bersahut. Menjadi latar belakang segala kebodohan Haruno Sakura ketika tak mampu mengembalikan segala rasional yang ia miliki ketika tubuh Sasuke menghimpit tubuhnya. Darahnya semakin mendidih merasakan setiap cumbuan Sasuke yang entah kenapa terasa menyesakkan hatinya.
Ini salah, Haruno Sakura. Sasuke bukanlah milikmu. Ini hanyalah sandiwara yang telah berusaha ia mainkan.
Maka tak salah ketika kesadaran itu telah ia raih, tubuh Sasuke terdorong dari atas tubuhnya.
Napas Sakura memburu. Belum sempat melihat wajah kecewa Sasuke karena penolakannya, ketika tubuh pemuda tersebut sepertinya akan beranjak berdiri. Membuat Sakura gelagapan dengan rasa bersalahnya.
"Sasuke-kun..." Panggilan lirih dari Sakura tersebut menghentikan kegiatan Sasuke. Pemuda itu membelakanginya. Bahkan, Sakura tak mampu menebak raut wajah Sasuke yang terhalang poni raven-nya.
Tak sempat membenahi pakaiannya yang sedikit semerawutan karena ulah Sasuke, Sakura beringsut mendekat.
Pemuda itu mendiamkannya. Tak menanggapi remasan tangan gugup Sakura pada lengannya. Lagi-lagi Sakura meresa semakin bersalah. Pasti Sasuke merasa ditolak karena ulahnya.
"Sasuke-kun," cicitnya lagi. Kedua tangannya menautkan diri pada lengan Sasuke yang tetap diam. Seakan takut pemuda itu meninggalkannya seperti dulu. Haruno Sakura gelisah, "Sasuke-kun... Aku tidak... kumohon jangan tinggalkan aku..." Luapan emosi tersebut begitu saja terlontar dari pita suaranya. Lengkap dengan bibirnya yang mencebik menahan tangis bersalah dengan pemuda yang sedari tadi mendiamkannya.
"Sasuke-kun... hiks..." Tangis itu pun tak mampu Sakura bendung. Namun sukses membuat Sasuke membalikkan badan menghadapnya.
Sakura tak peduli ia terlihat cengeng di depan Sasuke, ketika tubuhnya berhambur ke pelukan pemuda Uchiha tersebut. Menangis hebat sampai Sasuke bingung menghadapi 'istri'nya.
Hei, seharusnya 'kan Sasuke di sini yang merasa sakitnya ditolak, tapi mengapa 'istri'nya yang menangis.
Mengulas senyum tipis, Sasuke membalas pelukan Sakura. Dan kekecewaan yang beberapa menit lalu bersarang pada hatinya menguap terhapus oleh lelahan air mata Sakura yang membasahi baju tidurnya.
Dengkuran halus membuat Sasuke sadar Sakura telah tertidur pulas dalam dekapannya. Ia meregangkan pelukannya untuk menatap wajah damai Sakura yang entah mengapa terlihat begitu lelah. Mungkin gadis itu memang kurang istirahat karena pekerjaannya, teman-temannya juga bilang begitu.
Tipikal perempuan pekerja keras.
Sasuke tersenyum kecut. Entah takdir apa yang mempermainkannya ketika tiba-tiba gelombang rasa bersalah menyelimutinya. Dikecupnya lembut dahi lebar Sakura, kemudian memejamkan mata, tenggelam mengarungi alam mimpi—tanpa tahu kondisi psikis dan sandiwara picisan inilah yang membuat Haruno Sakura lelah secara batin.
.
.
Ketika Sakura membuka mata keesokan harinya, ia tidak mendapati Sasuke di sisinya. Ia bangkit dengan panik. Dan setelah merapikan bajunya yang agak berantakan, ia menghambur ke arah pintu—membukanya dengan kasar.
"Sasuke-kun!"
Ruang tengah, dapur sekaligus ruang makan, balkon, Sakura tidak menemukan Sasuke di mana pun. Gawat. Ia bisa dimarahi habis-habisan kalau Sasuke malah kabur—apalagi dalam keadaan amnesia!
Atau jangan-jangan amnesianya sudah sembuh dan ia ingat semuanya, karena itulah ia pergi? Sakura langsung lemas ketika pikiran itu menari dalam kepalanya. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding koridor dan menghembuskan napas berat.
Ah, jika hal itu benar benar terjadi, Sasuke pasti luar biasa membencinya.
Sakura memijat pelan kepalanya yang sedikit berdenyut nyeri. Mungkin mandi akan membuat tubuh dan pikirannya lebih segar—setelah itu baru ia akan mencari Sasuke. Dilangkahkan kaki-kakinya dengan gontai ke arah kamar mandi yang terletak di depan dapur.
GRAAAA
Sakura menggeser pintu yang agak buram itu.
"Eh?"
"EH? Sakura—?"
"Sasu—HE?" Sakura melotot ketika—
"…"
"KYAAAAAAAAAAA!"
"UWAAAAAAAAAA!"
BHUAAAAKKK
Ah, untung saat itu Sasuke sedang memunggunginya. Tapi tetap saja, Sakura memukulnya dengan sekuat tenaga—sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Reflek.
.
.
.
.
つづく
[bersambung]
Authors' Bacot :
Yo, People! Kami kembali~
Kami mau membalas salah satu review chapter lalu, dari seorang guest non-login bernama 123.
Rei-kun: Halo, 123-san! Kok ga login? Wah, maaf nih ya sebelumnya, tapi ini tuh bukan liputan berita atau artikel kasus di koran. If you know what we meant, rasional dalam suatu karya itu ngga sama dengan rasional dalam hal umum—tapi rasional secara psikologis.
Terus 123-san minta akhir yang seperti 123-san mau? Rekues nih ceritanya? Waduh, tapi kami lagi ngga nerima rekues ending, lho~ If you want it badly, monggo bikin sendiri~ Fanfiksi kan kebebasan menuangkan ekspresi dan imajinasi.
Kurobara : aish, Rei-kun terlalu ekspresif balesnya. Hahaha…
Begini, 123. Bukanya kami tidak mau menuruti permintaan anda, tapi mau gimana lagi, alurnya sudah tersusun rapi. Entah endingnya bagaimana, lihat saja nanti. Dan semoga tidak jera membaca fic kami. :D
Eniwei. Maaf ya teman-teman, kami telat update—pendek pula. Rei-kun sibuk banget nih. Banyak kegiatan di kampus apa lagi ditambah uas. Ah, Kurobara juga ga kalah sibuk. *ditampol rame rame*
Tapi masih pada inget fic jamuran ini kan? Ah~ untuk rifiu chapter kemarin, kami seneeeeeeng banget! Ga nyangka responnya bakal kayak gitu #terharu
Special thanks buat yang udah review chapter kemaren, silent readers juga~
Salam,
The Pelahap Maut