Jatuh cinta pada pandangan pertama selalu identik dengan bunga sakura yang bertebaran saat musim semi, itulah yang dapat kupahami di setiap film ataupun beberapa manga. Tapi, aku selalu mengelak, yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama pastilah bukan saat musim semi saja. Dimana saja saat panah cupid menancapkannya maka jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seseorang itu dapat kau lakukan dimana saja.

Tapi, dengan kekeras kepalaanku sewaktu mengatakan hal itu, ternyata kejadian jatuh cinta pada pandangan pertamaku mirip seperti di manga-manga yang para perempuan berisik itu baca. Ya, aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan anak berambut hitam kebiruan pendek di bawah pohon sakura kira-kira 23 tahun yang lalu.

Anak perempuan yang manis selalu menunduk malu dan berponi itu adalah Hyuuga Hinata. Orang yang kucintai saat ini dan mungkin selamanya…

.

.

.

.

BUKAN KISAH KITA

.

.

Kurousa Hime

Naruto Masashi Kishimoto

.

.

H. Sakura, U. Sasuke, U. Itachi, H. Hinata, N. Menma, OC

And Many more

.

Drama. Hurt/Comfort. Friendship. Romance. Family

Rate T-M

Alternative Character. Typo(s). Tema Pasaran. Nama yang di bold menjadi sudut pandang orang tersebut. Mencoba untuk lebih baik.

.

.

Enjoy Reading

.

DLDR

.

Uchiha Sasuke

Terkadang aku selalu berpikir, kenapa hanya dia yang tidak bisa mencintaiku? Bahkan aku ragu apakah dia menyukai selera yang lebih rendah daripada aku. Sudah selama lebih dari dua puluh tahun aku mengaguminya, menyukainya, dan mencintainya. Tapi, apakah perasaanku kini sudah tidak bertepuk meski kita sudah menikah?

Banyak hal yang selalu ingin kutanyakan. Seperti,

Mengapa Ia begitu cantik?

Mengapa Ia begitu lemah lembut?

Mengapa Ia begitu… mencintai Uzumaki Naruto?

Padahal, Naruto sahabatku itu sudah tiada enam tahun yang lalu dan telah lama kenangannya pudar seiring waktu. Hanya ada gundukan tanah dan pusaranya saja serta beberapa foto yang menyatakan bahwa eksistensi sang berisik itu dulu ada.

Aku tak habis pikir, kenapa aku begitu mencintainya? Ah, mengapa aku yang terlalu menginginkan dirinya? Meski status kini telah kuboyong bersama tubuhnya tapi jiwanya tak pernah kumiliki. Aku pun selalu bertanya, mengapa aku begitu mencintai Hinata? Mengapa? Apa aku semasokis itu?

Orang bilang jika kita menyukai seseorang pastilah ada alasannya, tidak mungkin tidak ada. Tapi, aku sendiri tidak tahu, mengapa. Ah, entahlah.

Kini hanya ada jawaban itu yang dapat kupikirkan. Pikiranku serasa hilang dan kosong begitu mengetahui apa yang tertulis dalam lembar-lembar kertas bersamaan dengan foto-foto yang menampilkan isteriku itu bersama dengan pria lain yang baru-baru ini muncul dalam ingatanku.

Pria itu… entahlah. Aku bingung jika dijelaskan bagaimana dia ada dalam eksistensi kami. Dia mirip sekali dengan Naruto, seperti Naruto memang ada dua di dunia ini atau Naruto memang tidak mati dan masih hidup dalam wujud dirinya yang lain itu. Namanya Namikaze Menma, sangat mirip dengan Naruto, usianya pun sama dan tanggal lahir? Ternyata mereka berdua memiliki tanggal lahir yang sama. Ini seperti sebuah kebetulan saja atau memang…?

Menma berasal dari keluarga yang kaya, memiliki orangtua, sikap yang kalem, gentle, seperti ular berderik yang selalu disukai oleh wanita. Berbeda dengan Naruto, tidak memiliki orang tua, pekerja keras demi menghidupi kebutuhannya sendiri, bodoh, tidak tahu malu, dan tidak disukai oleh wanita.

Sifat mereka seperti kebalikan, mungkin jika ditelusuri lagi Naruto dan Menma adalah saudara yang terpisah? Ah, sudahlah percuma membicarakan tentang jati diri mereka. Aku sudah lelah. Lelah untuk berpikir permainan macam apa lagi yang Tuhan coba padaku.

Setelah Tuhan menamparku dengan isteriku yang berselingkuh, ia menamparku kembali dengan darah dagingku.

Ya, darahku. Keturunanku. Anakku.

Aku memiliki anak. Ya, seorang anak. Seusia dengan anak tiriku dan seorang anak laki-laki juga.

Entah.

Kembali kata itu terulang dari pikiranku.

Aku tidak tahu harus menanggapinya dengan apa. Hatiku berdebar-debar. Rasanya tak nyaman saat membaca kertas putih yang berisi potongan surat kabar itu kubaca. Dan tanpa sadar bibirku menarik sudut ke atas.

Aku tertawa sekencang-kencangnya, "Yuki… Yuki adalah anakku?!"

Melafalkan namanya bagai candu bagiku, Yuki nama yang manis untuk semua gender. Yah, ku akui anakku itu memang manis meski dia adalah seorang laki-laki. Saat pertama bertemu dengan anak itu aku selalu terbayang wajahnya yang sangat mirip denganku, dan sejak awal aku sudah tertarik dengannya.

Ternyata dia adalah anakku dengan Sakura.

"Sakura… Kenapa kau menyembunyikan hal ini dariku, HAH?!" aku memukul meja dnegan sekuat tenaga. Tak kurasakan sakit sedikitpun yang ada hanyalah kemarahan yang meluap pada wanita yang… Urgh, aku benci itu.

Haruno Sakura dia adalah mantan isteriku, menikah dengannya adalah kesalahan terbesar dalam hidupku tapi saat itu tidak ada pilihan selain dirinya. Tapi, kenapa tidak ada pilihan selain dirinya? Itu karena Haruno Sakura tergila-gila padaku, membuatnya tunduk padaku bukanlah hal yang sulit. Selain itu bagaimana ia bisa hamil? Mengapa ia tidak memberitahuku?

"Sasuke!" seorang pria berambut silver memandangku dengan jengah, ah, mungkin itu karena tadi aku sedang tidak fokus. "Kurasa urusan kami sudah selesai, atau kau masih ingin menanyakan berita tentang isterimu itu?"

Aku menyandarkan diri pada kursi, membuang nafas berat sembari memijat batang hidung karena pusing. "Sudah tidak perlu. Terima kasih atas kerja keras kalian, aku sangat menyukai hasilnya."

Meski tampaknya aku berbicara pelan namun tiap kata yang kukeluarkan mengandung penekanan terbukti melihat informan-ku itu mereka nampak tak menyukainya. Mereka berdua―Suigetsu dan Jugo adalah kaki tangan kepercayaanku, sumber informasi, dan berbagai hal yang kuperintahkan akan mereka laksanakan dengan baik.

Kemudian keduanya hilang dari hadapanku beserta dengan bunyi kedebum pelan menandakan pintu ruangan kerjaku tertutup pelan. Kualihkan pandanganku pada jam dinding besar antic di sudut ruangan, sepertinya sudah waktunya anak-anak itu pulang.

Aku ingin sekali melihatnya. Melihat Yuki anakku satu-satunya itu. Dengan segera kusambar jas hitam yang berada di atas sofa, melirik sebentar ke arah cermin dalam lemari, pantulan diriku terkesan aneh. Ekspresi wajah yang bahkan tidak bisa kudeskripsikan sendiri.

Kenapa wajahku kelihatannya bahagia?

.

.

.

Saat mendekati sekolah terbesar di Suna, sekitar sepuluh meter kulihat ada sebuah mobil yang beberapa waktu lalu mengantarkan Hinata pulang ke rumah. Mobil itu cukup terparkir tak jauh dari gerbang sekolah, kuyakini pasti dia ada di dalam sana.

Aku pun memparkirkan mobil tak begitu jauh dari mobilnya, kemudian turun dari dalam mobil dan dengan perasaan yang aneh aku mengetuk kaca mobil itu. Seorang pria dalam kemudi menurunkan kaca mobil, wajahnya terlihat bosan saat melihatku.

Dasar kurang ajar.

"Bisakah kita berbicara sebentar?" nada suaraku terdengan sinis, tentu saja begitu! Che, mana mau aku berbicara sok manis dengannya. "Aku mempunyai urusan yang sangat penting denganmu menyangkut anakku dan isteriku."

Ekspresi pria itu masih biasa, seolah ia sudah tahu aku akan datang padanya dan bertanya seperti tadi. Apa ia sudah memprediksikannya?

Namikaze Menma kemudian turun dari dalam mobilnya. Tingginya hanya lebih pendek sedikit dariku, tubuhnnya sangat tegap, mungkin ia sering pergi ke gym bersama kakakku karena dia mungkin saja salah satu teman terbaik kakakku dalam 'permainan' ini. Wajahnya selalu angkuh seperti penuh kemenangan, memang identik dekat dengan keluarga Uchiha orang seperti dia.

"Kupikir berbicara di sini kurang nyaman, bagaimana kalau ke taman di dekat sini?" ia menunjuk sebuah taman yang tak begitu jauh dari lingkup sekolah, aku menimbang sebentar. "Tenang saja, aku akan memberi tahu Akashi untuk menunggu kita, tentu saja anakmu juga akan diberitahu."

Sepertinya ia membaca raut wajahku, sunggingan bibirnya yang melengkung ke atas membuatku muak melihat wajahnya. Tanpa persetujuanku lebih lanjut ia telah berjalan mendahuluiku dan mau tidak mau aku mengikutinya di belakang.

Ia duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia di taman. Cuacanya sangat hangat karena hampir menjelang sore hari. Mau tak mau aku pun ikut menjatuhkan bokongku dekat dengannya. Ia tampak rileks, pandangannya tertuju pada beberapa anak yang bermain di bak pasir.

"Katakan saja apa yang ingin kau bicarakan padaku." Ia bertanya to the point.

Berdecak sekilas, "Sebenarnya apa yang kalian rencanakan?"

ia menyenderkan punggungnya pada kursi, "Kalian? Ku rasa tidak ada yang pernah aku rencanakan, ku pikir mereka juga begitu." Satu tangannya meronggoh kantung kirinya dan mengeluarkan sekotak rokok dari dalam sana.

Kuperhatikan cara ia mengeluarkan batang putih itu dan menyelipkannya di sudut bibirnya tapi tanpa ada api di sana. "Jangan bercanda denganku! Aku sudah menmukan bukti-nya. Kenapa kalian menyembunyikan identitas anakku?!"

"Heh, kau mengakui Yuki sebagai anakmu?" ia tertawa sinis. "Selama ini Yuki tidak memiliki ayah dalam hidupnya, dan kau dengan lancangnya menyebut dirinya sebagai anakmu? Kau yang harusnya jangan bercanda!"

"Kau…!" hampir saja aku menarik kerahnya kalau saja aku tidak melihat anak-anak yang bermain di bak pasir melihat kami dengan tatapan ketakutan dan akhirnya pergi meninggalkan taman. "Dengar… Aku tidak akan mempermasalahkan kau yang berselingkuh dengan isteriku―"

"Hoo, berarti kau tidak peduli isterimu berselingkuh begitu?" potongnya cepat.

"Aku bukannya tidak peduli!" sergahku cepat, kutarik napas dengan gusar, "Tapi, aku lebih tertarik untuk mendengar penjelasan mengenai anakku yang sebenarnya." Kuberikan sedikit penekanan pada kata 'anak'.

Dia terdiam sebentar, mungkin sedang menimang-nimang. "Hei, tuan Sasuke," suaranya terdengar mengejek, "mungkin sebaiknya kau bertemu dengan mantan isterimu itu untuk mendapatkan jawaban yang sudsah pasti memuaskanmu."

"Aku hanya ingin mendengarnya dari mulutmu dahulu!"

"Percuma saja kau meminta informasi dariku, aku sendiri pun tak begitu dekat dengan Yuki. Sakura sendiri seperti member jarak padaku, tentu saja dia melakukan itu demi kebaikanku karena aku sudah ditolak olehnya berulang kali." Ia menendang0nendang udara, ekspresinya tampak gusar.

Che, jadi pria ini amat mencintai mantan isteriku, heh? Tak kusangka wanita seperti itu dapat meluluhkan orang seperti ini.

"Sasuke, aku tahu kau berpikiran buruk tentang Sakura. Selama ini aku juga paham kau hanya memandang Sakura sebelah mata. Tapi, melihat kejadian ini bukankah kau tahu bahwa Sakura adalah wanita yang hebat, ibu yang membesarkan kedua anaknya seorang diri tanpa ada seorang pria di sisinya yang membantunya baik nafkah maupun lahiriah."

Ternyata dia sedang menceramahiku?

"Berisik. Aku malas mendengar dongeng seperti itu, apa bedanya dengan isteriku yang sekarang? Apa kau tidak tahu apa yang dia alami 6 tahun lalu? Apa kau tahu bagaimana menderitanya ia?"

"Tapi, apakah kau juga tahu Sasuke kalau 6 tahun lalu mantan isterimu itu berjuang dengan anak yang dikandungnya meski suaminya secara terang-terangan lebih memperhatikan isteri orang lain dan menikah dengannya tanpa memedulikan mantan isterinya itu? Aku tahu dengan pasti kau hanya memanfaatkan Sakura. Hanya mencari informasi sedikit saja aku sudah bisa menebak jalan picik pikiranmu itu."

Kemudian Menma melenggang pergi meninggalkanku di dalam taman seorang diri. Ku kepalkan buku jari erat-erat hingga memutih. Aku sudah muak, setiap pria di dekat Sakura selalu membelanya. Apa hebatnya wanita itu? Apa yang dilihat dari dia? Dia hanyalah wanita yang sering mengekoriku kemana saja. Memuakan.

Tak lama aku pun ikut kembali menuju mobil yang telah ku parkirkan tak jauh di depan sekolah. Kulihat Menma tengah melemparkan sesuatu dan saat pandanganku bertemu dengannya, benda yang ia mainkan tadi segera dilemparkan kehadapanku dan langsung ku tangkap sebelum mengenai wajahku.

Sebuah botol kecil berwarna biru dengan bunyi gemersik sesuatu. Aku memandang Menma penuh Tanya, untuk apa ia memberiku ini?

"Aku menemukannya di bawah kursi saat mengantarkan isterimu. Kurasa kau perlu tahu apa isi botol itu, kau pasti akan terkejut." Ia menyeringai senang. "Asal kau tahu isterimu itu benar-benar seperti―" sebuah angin kencang datang merusak suara yang tak sampai pada telingaku.

Aku hanya melihat gerakan bibir Menma dan juga senyuman aneh miliknya. Beberapa anak sudah ada yang keluar dari dalam sekolah, berlarian membawa sepeda dan juga sebagian berjalan kaki beramai-ramai.

Kulihat Natsu bersama dengan kedua anak Sakura berjalan menuju kami dengan sedikit obrolan. Wajah Natsu sangat ceria bersama dengan mereka kecuali Yuki yang sedari tadi hanya diam memerhatikan anak yang lebih tinggi darinya yang menjawab seperlunya omongan Natsu.

Saat kedua mataku bertemu dengan manik hijau milik anak sulung keluarga Haruno itu, ia sedikit membungkukan kepalanya. Melambaikan tangan sebentar kepada Natsu dan menuju mobil milik Menma yang menyambutnya dengan cengiran lebar sementara Yuki hanya berlalu saja tanpa memandangku.

Anak itu adalah anakku, kenapa aku ingin sekali membawanya pulang bersamaku?

Dan tanpa kusadari mata berwarna biru cerah itu memandangku dengan tatapan sedih di sudut lain.

.

.

.

.

.

Aku memasuki kamar milikku dan Hinata dengan segera, menutupnya hingga rapat tanpa melihat pandangan pedih berada di balik pintu besar itu. Aku lelah, kenapa rasanya aku seperti dipermainkan seperti ini? Aku muak dengan segala urusan yang menimpaku bila berdekatan dengan Sakura. Ia seperti pembawa sial bagiku.

Tidakkah cukup masa lalu itu hanya menjadi masa lalu saja? Jangan sampai terulang kembali apalagi aku baru mengetahui Sakura mengandung anakku. Darah dagingku, dan aku menginginkannya. Apa aku juga menginginkan Sakura?

Huh, tidak mungkin. Aku hanya jijik dengannya. Orang seperti dia tidak pantas menyandang nama Uchiha kembali, cukup aku yang merasakannya bagaimana keluarga Uchiha ini ternodai oleh namanya. Aku hanya tidak ingin kakakku, anak sulung kebanggaan Uchiha menikah dengan wanita macam dia. Wanita yang hanya akan memperburuk nama Uchiha.

Tapi, dasar murahan! Ia sudah melakukan hubungan itu dengan kakakku, apakah Itachi tidak jijik dengannya? Aku saja jijik jika mengingat kami harus melakukannya. Tapi, kenapa mereka berdua terlihat bahagia? Kenapa aku tidak?

Samar-samar aku mengingatnya dengan jelas, bagaimana saat Itachi dan Sakura berdampingan kemudian mereka tersenyum lepas. Bersama dengan Akashi yang dilansir anak mereka berdua, mereka tampak terlihat seperti keluarga yang sempurna.

Tapi mengapa keluargaku tidak?

Hinata enggan menggenggam tanganku, Hinata juga tidak pernah tersenyum begitu lepas saat bersamaku. Ia seperti terpaksa melakukannya? Apakah aku belum mendapatkan hatinya? Mengapa Tuhan?!

Kuingat sesuatu di kantung celanaku. Tutup berwarna putih itu ku buka dan ada beberapa sisa tablet putih kecil terdapat di dalamnya. Sebuah botol obat?

Obat? Obat apa? Apakah Hinata selama ini sakit? Mengapa ia tidak memberitahuku?

Seseorang masuk ke dalam kamar. Aku melirik sekilas, ternyata Hinata yang masuk ke dalam. Ia tampak biasa melihatku yang setengah terlentang di kasur karena separuh kakiku masih menapak di lantai yang dingin.

"Apa yang kau pegang itu?" tanyanya dengan suara yang agak gemetar.

Aku duduk di pinggiran kasur, sebelah tangan Hinata ia dekatkan pada bibirnya, matanya membola melotot melihat tangaku yang tengah memegangi sebuah botol biru.

"Kau tahu sendiri ini apa, Hinata." Jawabku dingin.

Ia segera menyambar botol ini dari tanganku dan mencoba menyembunyikan di belakang punggungnya yang tampak bergetar.

"Dimana kau menemukan ini?" tanyanya lagi dengan wajah yang tertunduk. Sebenarnya apa yang kau sembunyikan Hianata?

"Menma yang memberikanku itu. Bisa kau jelaskan kepadaku obat apa itu, Hinata?" kali ini kutanya ia dnegan lembut, wajahnya yang semula ia sembunyikan kini menatapku dengan tajam. "Atau aku yang mencari tahu sendiri obat apa itu, isteriku?"

"Ini tidak ada hubungannya denganmu!" baru kali ini Hinata membentakku. Ia telah membangkang rupanya.

"Hinata!" kutarik lengan kirinya hingga ia sempoyongan menuju badanku. "Sekarang kuminta kau jelaskan obat apa itu? Atau kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku, hah?! Seperti kau menyembunyikan hubungan di belakangku bersama dengan Namikaze Menma, iya?!"

Sudah habis urat kesabaranku. Hinata dengan kedua mata yang sedikit berair menatapku dengan tajam.

"Dia bukan Menma! Dia adalah Naruto!" ia mencoba melepaskan genggaman tanganku. "Apa kau tidak bisa melihatnya dengan jelas kalau dia adalah Naruto! Kau berbohong padaku dan bilang padaku kalau Naruto telah mati tapi buktinya dia masih hidup di sini!"

Tak sengaja aku menampar pipi mulus Hinata. "Kau yang tidak sadar! Dia bukan Naruto tetapi orang lain! Wujudnya saja seperti Naruto tapi dia bukanlah Naruto! Apa kau tidak bisa melihat itu Hinata? Kau tidak terima kalau mantan suami tercintamu itu sudah bersatu dengan tanah?!"

"TIDAK!" ia menjerit kencang sekali dan sekali hentakan tanganku terlepas darinya. Ada ruam kemerahan yang tertinggal pada tangan putihnya. "Naruto itu masih hidup! Ya, aku yakin itu dia masih hidup jadi jangan sekali-kali mengatakannya kalau dia sudha mati dan dia MASIH SUAMIKU!"

"HINATA!" kugoncangkan kedua bahunya dan kucengkram dengan keras agar matanya melihat kepadaku. "SADAR HINATA! AKU INI SUAMIMU BUKAN LAGI NARUTO!"

"Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidaaaaaak!" ia menutup erat kedua telinganya. "Kau sudah gila Sasuke! Aku tidak pernah berpikir kalau aku ini isterimu!"

"Hinata justru kaulah yang sudah gila!"

Hinata membelalakan kedua matanya. Kemudian ia tersenyum sinis, senyuman yang baru kali ini kulihat. Senyuman ini tampak lain dari senyuman-senyuman Hinata yang selama ini sering kupandangi.

Ia kemudian tertawa seperti orang lain. "Sasuke… Kau benar aku memang sudah gila! Kau tahu obat apa ini? Ini obat untuk mengurangi kegilaanku itu! Kau tahu Sasuke, aku selalu tersiksa berada di dekatmu. Bahkan melihat Natsu yang semakin hari terlihat seperti Narut membuatku ingin mencekiknya."

Aku mundur beberapa langkah. Tangan yang tadinya bertengger di kedua bahu Hinata terlepas begitu saja. Aku sama sekali tidak menyangka Hinata yang selama ini tutur katanya selalu lemah lembut bisa berubah sedemikian ini.

"Hinata…" desisku.

"Kenapa Natsu yang hidup? Kenapa bukan Naruto saja?! Yang kuinginkan itu Naruto bukan Natsu! Lebih baik ia tidak pernah ada kalau akhirnya ia merenggut Naruto dariku!"

Sekali lagi tangan ini menampar pipi Hinata yang sudah memerah. Ia terlihat seperti orang tidak waras. Kenapa Hinata bisa berubah seperti ini.

"Hinata kau harus jaga ucapanmu itu! Natsu itu adalah anakmu! Dia adalah anak kita berdua yang sudah dibesarkan menjadi anak dengan darah Uchiha!"

Hinata memandangku sinis. "Anak kita?! Natsu adalah anakku dengan Naruto, ia sama sekali bukan terlahir dengan darah Uchiha seperti kalian! Natsu bukanlah anakmu, Sasuke!"

Tak sengaja tamparan ketiga terlalu kencang hingga membuat Hinata jatuh membentur nakas di samping tempat tidurku dan emmbuatnya pingsan.

Aku sempat panic namun kemudian hanya luka memar yang timbul tanpa ada darah segar yang mengenai keningnya. Lalu kubaringkan Hinata di kasur kami. Dengan jejak air mata pada pipinya, aku merasa Hinata bukanlah lagi Hinata yang aku kenal.

Tuhan, kenapa semua ini terasa begitu sulit?

"Yuki… Hinata kau tahu, aku pun memiliki seorang anak. Kau tahu Yuki? Yuki adalah anak kandungku dengan Sakura…"

Kembali lagi, mata sewarna langit itu memandangi kami dengan membulat. Kemudian bayang hitam langsung hilang dari depan pintu kamarku.

.

.

.

.

.

.

"Sakura…" suara berat itu memanggil yang sedari tadi hanya ada suara yang berasal dari dalam tape.

Wanita yang duduk di sebelah kemudi yang melongok pada di luar jendela kini menolehkan wajah keibuannya pada sang supir tampan. Mata sejernih daun di musim semi itu hanya menatap dengan bingung menunggu kelanjutan dari suara berat yang baru saja memanggil namanya.

Masih fokus pada jalanan di depannya yang berhenti tepat saat lampu merah, pria yang lebih tua hanya lima tahun darinya itu masih sangat tampan di usia yang hampir mendekati kepala tiga dan masih bujang melihat Sakura dengan ekspresi yang serius.

Tangan kirinya terulur, membelai lembut pipi sang janda muda yang masih cantik. "Dengarkan baik-baik, aku tidak bermaksud untuk mempersulitmu. Aku hanya ingin kau menjadi milikku, dan aku hanya ingin menjadi tumpuan hidupmu di masa mendatang, juga akan menjadi ayah dari anak-anakmu dan juga mungkin anak kita." Uchiha Itachi yaitu kakak dari mantan suami Sakura itu berkata dengan lembut namun sebuah penegasan terselip dibalik katanya.

Haruno Sakura wanita yang penuh dengan ambisi akan cintanya dahulu itu kini telah menjadi seorang wanita dengan dua orang anak laki-laki yang sangat ia banggakan namun sayangnya percintaan yang dialaminya selalu berakhir buruk, ia merasa trauma dengan hal itu. Tapi, saat mendengar pengakuan dari kakak mantan suaminya ini entah mengapa hatinya terasa berdesir dan hangat.

Mungkin, ia akan jatuh cinta untuk yang ketiga kalinya dalam hidupnya. Ia selalu berdoa kepada Tuhan, bila ia memang ditakdirkan untuk mencintai seseorang lagi tolonglah ia agar ia bisa bersama kali dengan orang yang dicintainya. Tidak lagi ingin kehilangan. Ia ingin merasakan bahagia seutuhnya. Itu doa yang selalu ia panjatkan.

Kemudian beberapa hari yang lalu ia baru saja memutuskan bahwa pelabuhannya untuk yang terakhir kalinya adalah pria yang sedang berhadapan dengannya. Kata-katanya manis, selalu menenangkan hati Sakura, lagipula pria di depannya ini sudah banyak mengorbankan semuanya untuk dirinya.

Maka dari itu Sakura yakin, hanya Itachilah yang akan dicintainya kali ini, karena ini adalah kisa dirinya dengan Itachi, bukan kisah milik Sakura dengan Sasuke yang telah sirna enam tahun lalu.

"Itachi… Kata-katamu selalu manis, aku tidak akan lagi meragukanmu. Aku sudah memilihmu, apa aku belum bilang padamu?"

Itachi tersenyum manis, kemudian menggeleng pelan. "Tidak. Simpanlah kata yang manis itu untuk nanti Sakura. Kita… Belum siap untuk mengatakannya sekarang dan lagi momen ini kurang romantis." Kekehan kecil lolos dari bibir keduanya sebelum itu lampu merah telah kembali menjadi hijau dan Itachi menjalankan mobilnya kembali.

"Tadi… Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Sakura ingin tahu. Ia hampir saja melupakan kenapa Itachi memanggil namanya lalu berkata lembut tanpa ada penyelesaian lebih lanjut.

"Tunggu hingga sampai di rumahmu. Aku akan menginap untuk membicarakan masalah ini." Jawabnya dengan serius.

Sakura menjadi awas mendnegar Itachi berbicara seperti itu. Biasanya Itachi akan menginap jika ada keluarga Nara, atau memang ia bersama Menma sedang bermain dengan kedua anaknya hingga larut jadi akan terpaksa untuk menginapkan mereka berdua. Tapi kini Itachi hanya seorang diri, apalagi keluarga Nara tidak ada niat untuk bermain di rumahnya hari ini dan mereka kini telah pulang larut jadi kemungkinan anak-anaknya sudah terbuai dalam mimpi.

Apa ini pembicaraan yang serius? Sakura bertanya-tanya dalam hati.

Akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai di kediaman Sakura. Keadaan rumah yang sepi terasa mencekam baginya, apalagi Itachi tidak berkata apa-apa dan langsung mengikuti Sakura masuk ke dalam rumah.

"Sakura, jangan ganti baju dulu." Langkah Sakura terhenti dan berbalik menghampiri Itachi yang sudah duduk di sofa yang tersedia di dekat ruang keluarga.

Sakura kemudian duduk tidak jauh dari Itachi, pria itu duduk dengan kedua tangan yang saling bertautan di depannya. Sakura jadi enggan untuk berbicara dan menunggu hingga Itachi duluanlah yang memulainya.

"Aku tahu kau lelah, tapi ini tidak akan lama. Aku hanya ingin kau tenang mendengarkannya saja." Sakura kemudian mengangguk dan mencoba rileks. "Ini tentang Menma dulu, ya?" ia tersenyum kecil, "Sebenarnya Menma tidak sengaja bertemu dengan Hinata, tapi lambat laut frekuensi bertemunya mereka terasa janggal. Menma serasa seperti sedang berselingkuh dengan isteri seorang pejabat hebat."

Nada Itachi sedikit terdengar lucu di telinganya, Sakura sama sekali tidak berpikir buruk tentang Menma karena ia tahu Menma memanglah bukan pria seperti itu.

"Tapi, Menma bercerita kepadaku kalau Hinata tampak aneh. Hinata tidak memanggil Menma dengan namanya."

"Maksud… Itachi-nii?" kali ini panggilan sopan keluar dari bibir Sakura. Sakura jarang menambahkan –nii jika bukan dalam keadaan serius.

"Hinata menganggap kalau Menma adalah Naruto. Menma selalu bilang tatapan Hinata seperti ikan yang mati dan itu sangat menakutkannya, Hinata mungkin sudah lelah dengan hidupnya sebagai Uchiha dan saat Hinata bertemu dengan Menma ia menjadi seperti orang lain. Kemudian Menma menemukan sesuatu, Hinata ia memakai obat untuk mengurangi depresinya."

Sakura tampak terkejut, ia menutup mulutnya yang sedikit terbuka dengan jemarinya yang lentik. "Itu bohong…"

"Aku pun tidak percaya, tapi Menma mencari tahu apalagi obat itu bukanlah dalam dosis kecil namun dosisinya sudah besar apalagi keliahatannya Hinata sudah memakai obat itu dalam jangka waktu yang lama. Aku curiga Hinata sudah mengalami depresi atau lebih parahnya gangguan jiwa. Meskipun aku jarang bertemu dengan keluarga besar, tapi Hinata kali ini tampak berbeda."

Sakura mengingat-ingat dalam memorinya. Saat Hinata berada di rumah sakit enam tahun yang lalu, jiwanya sudah jelas terguncang dengan kecelakaan itu, tentu saja ia memiliki riwayat depresi apa hingga sekarang ia mengalaminya? Atau yang lebih parah memang mengarah pada itu? Gangguan jiwa?

"Aku akan menemui Hinata lain kali untuk ini, tapi kita berdoa saja semoga Hinata tidak seburuk itu." Kemudian suasana menjadi hening kembali hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetik cepat.

"Sakura, ini masalah satu lagi. Kau tahu 'kan selama ini aku, Menma, dan juga Temari berusaha menyembunyikan identitas Akashi dan Yuki jauh sebelum Sasuke datang ke sini?"

Sakura hanya mengangguk paham. Ia tahu karena dulu ia sendirilah yang pernah memintanya pada Temari ditemani oleh Itachi yang ternyata sudah mengenal Temari jauh sebelumnya.

"Aku membuka sedikit identitas Yuki tapi tidak dengan Akashi tenang saja. Aku sengaja membuka sedikit mengenai Yuki." Tubuh pria besar itu disenderkan pada permukaan sofa yang empuk.

"Sengaja? Tapi untuk apa?" tanyanya dengan antusias.

"Aku melakukannya untuk memancing Sasuke."

"Itachi-nii!" satu oktaf nada naik dengan sebuah bulatan bola besar dalam kedua mata Sakura.

"Sakura, sudah kubilang tenang, bukan? Aku jamin Yuki tidak akan jatuh pada tangan Yuki karena kita berdua lah yang akan menjadi orang tua Yuki. Kau ibunya dan aku ayahnya. Aku hanya ingin Sasuke mengakhiri kisah kalian karena ini bukanlah lagi kisah kalian. Aku ingin Yuki selalu berkata jujur untuk perasaannya kali ini di depan ayah kandungnya."

"Tapi…!" wajah Sakura kelihatan hendak menangis. Kedua tangannya saling meremas khawatir, wajahnya tertunduk.

Itachi menghampirinya, berlutut di hadapannya dan memeluk Sakura dengan separuh tubuhnya. "Sakura… Ini sudah saatnya kau mengakhirinya dengan baik. Kau sama sekali belum mengungkapkan semua isi hatimu pada Sasuke begitu juga dengan Yuki. Ia mungkin saja ingin memanggil Sasuke dengan sebuatan 'Ayah', jadi kita akhir saja ini secepatnya, oke?"

Itachi menciumi pucuk kepala Sakura. Rambut Sakura yang sudah memanjang ia sisiri dengan usapan lembut membuat wanitanya menjadi nyaman. Meski Itachi sudah beberapa kali membelai Sakura dengan lembut tapi kali ini akan terasa berbeda, karena…

"Baiklah, karena ini akan menjadi kisah kita untuk selanjutnya."

Sakura menenggelamkan kepalanya pada perpotongan Itachi. Menikmati momen yang akan mereka bangun ke depan nantinya dengan dimulai dari melepaskan dan menyelesaikan kisah ini. Ini akan segera berakhir.

.

.

.

.

.

.

Anak laki-laki dengan rambut cepak hitam itu tampak menarik nafas panjang sebelum membuka pintu geser di hadapannya. Ia eratkan genggamannya pada ransel merahnya. Ia bingung akan memasang wajah seperti apa, tapi mungkin percuma saja ia mau bertingkah seperti apa di kelasnya kali ini, tidak aka nada orang yang memerhatikannya.

Ia jadi pesimis sendiri, kalau memang begitu kenapa ia harus pindah? Kenapa ia harus memiliki teman baru? Kenapa ia merasa kesepian di dunia ini? Ia berpikir mungkin salah jika anak sekcilnya harus memiliki pikiran yang memang seharusnya tidak perlu ia pusingkan.

Akhirnya mau tidak mau ia masuk kelas dengan ekspresi biasa saja. Tidak datar dan juga tidak secerah biasanya. Hanya wajah biasa dan juga berbicara seadanya saja. Ia memasuki kelasnya yang sudah cukup ramai, tempat duduknya tepat berada di tengah-tengah kelas. Kedua mata biru langitnya menatap dua anak laki-laki kembar yang sedang asik berbicara dengan seorang anak laki-laki lain yang duduk dengan wajah bosan.

"Selamat pagi," sapanya dengan senyum biasanya.

Si kembar membalas dengan ekspresi dan intonasi suara yang berbeda. Nara Shiki yang datar dan Nara Shin yang ceria juga Haruno Yuki yang menatapnya dengan tatapan tajam tanpa membalas ucapan selamat paginya.

"Ada apa denganmu?" Shin yang memang selalu ingin tahu bertanya pada Uchiha Natsu yang baru saja meletakan tasnya di atas meja. Meja milik Natsu bersebelahan dengan Yuki.

"Tidak apa-apa, hanya merasa kurang enak badan saja karena memakan paprika yang kubenci." Cengirannya terasa tidak wajar di mata ketiga temannya. Tapi Shin tak memedulikannya.

Natsu menghampiri Yuki, menatapnya dengan pandangan lurus dan entahlah Yuki sendiri bingung arti dari tatapan Natsu yang kadang membuatnya benci tanpa sebab.

"Yuki… Apa kau benci padaku?" tanyanya.

Shin dan Shiki hanya memandang keduanya dengan tatapan bingung. Yuki sedang menerka-nerka apa yang ada dipikiran yang katanya anak Uchiha yang jenius ini.

"Tidak." Jawaban pendek itu terdengar berbarengan denga bunyi bel pertanda kelas akan dimulai.

Sebelum berbalik menuju mejanya, Natsu sempat mendesiskan sebuah kata dan itu terdengar oleh Yuki meski samar mungkin saja ia salah untuk mendnegarnya.

"Pembohong."

.

.

.

.

.

Uchiha Natsu merasa tidak bersemangat hari ini. Ia rasanya ingin bergelung dalam kasurnya, menutup semua sinar-sinar yang menelusup dalam retinanya. Ia hanya ingin bersama kegelapan, rasanya kegelapan akan terasa sangat nyaman untuk kali ini berteman dengannya. Natsu hanya tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, ia takut akan pandangan semua orang yang entah kenapa ilusinya orang-orang memandang kasihan dirinya.

Kini ia sendirian di sebuah taman tidak jauh dari sekolahnya. Ia sedang tidak menunggu siapapun untuk menjemputnya kali ini, karena tidak ada seorang pun yang bilang padanya siapa yang hari ini menjemputnya.

Biasanya setelah sarapan ayah, ibu, dan neneknya akan bilang padanya siapa yang akan menjemputnya. Tapi, pagi tadi tidak ada seorangpun yang berbicara padanya. Ia merasa tidak lagi diperhatikan dalam keluarganya itu. Toh memang kenyataannya ia bukanlah anak yang diharapkan dalam Uchiha itu.

Natsu secara tak sengaja kemarin mendengar percakapan ayah dan ibunya. Mengenai kenapa mereka berteriak di dalam kamar membuat Natsu kecil jelas saja penasaran dan alangkah terkejutnya saat ia mendengar ternyata ia bukanlah anak dari ayahnya. Padahal ia sangat menyayangi ayahnya itu.

Jelas saja hal itu membuat Natsu menjadi bersedih. Ia serasa sendirian di dunia ini bahkan kemarin ibunya berkata andai ia saja yang tidak ada di dunia ini ketimbang ayah kandungnya yang telah meninggal sebelum ia lahir.

Kakinya dipanjangkan, bokongnya bergerak mundur yang duduk di atas papan ayunan kecil. Ia hanya ingin mengayunkan tubuhnya setinggi mungkin hingga perasaan yang menyesakan dadanya itu hilang. Semakin tinggi Natsu mengayuhkan ayunannya semakin kencang pula angin yang menerpa tubuh kecilnya. Ia serasa sesak, ingin menangis namun tak bisa. Kenapa ia harus memikirkannya? Ia hanya anak kecil biasa!

Dan saat kakinya hendak menapak pada tanah, tubuhnya oleng dan ia tersungkur dengan wajahnya mendarat terlebih dahulu. Natsu merasakan sakit tapi rasa sakit di dadanya justru yang lebih menyakitkan. Pakaiannya kotor terkena pasir dan ia hanya menepuk-nepuk bagian baju dan celananya yang terkena pasir dan pergi menjauhi taman.

Ia ingin berjalan kaki menuju rumahnya, ia jelas ingat namun jaraknya yang jauh mungkin bukan masalah lagi pula ia sambil merenung. Merenung apakah ia akan bilang pada ayahnya atau ia hanya akan diam saja menjadi anak yang penurut sampai semua keluarganya membuangnya ke jalan?

Natsu tak begitu mengerti. Ia hanyalah anak kecil yang seharusnya tidak tahu apa-apa, tapi ia berpikir. Mungkin saja Yuki juga sama seperti dirinya, memikirkan bahwa siapa ayahnya gerangan, kenapa hanya ada ibunya saja, kenapa ia memiliki kakak, kenapa ada Itachi-jiisan dan kenapa kenapa lainnya yang mungkin belum diketahui olehnya.

Tapi, ia ingat saat ayahnya sakit. Yuki memerhatikan ayahnya dengan pandangan khawatir. Diam-diam tangan Yuki saat itu menyelinap dan menggenggam tangan ayahnya yang berkeringat, waktu itu Natsu pikir biasa saja karena Yuki hanya sendirian menemani ayahnya sedang ia mengambil obat untuk ayahnya.

Mungkin saja Yuki sudah tahu siapa ayahnya sesungguhnya, mungkin saja sebenarnya Yuki benci padanya. Kalau diingat kembali Yuki jarang sekali menanggapi omongannya, kalau pun ia bersama dengan Akashi, Yuki pasti akan menatapnya dengan pandangan sinis.

Kenapa? Kenapa Yuki? Kenapa harus Yuki yang menajdi anak ayahnya? Yuki sudah memiliki orang yang bersedia mencintainya, 'kan? Tapi, Natsu?

Siapa yang mencintaiku? Tanyanya menjerit dalam hati.

"Kupikir hanya ayahlah yang mencintaiku tapi ternyata tidak ada yang mencintaiku…" lirihnya.

Natsu tahu, neneknya Uchiha Mikoto selalu memandangnya dengan aneh. Natsu sering untuk mengikuti les ini dan itu hanya untuk sempurna. Terlebih rambut yang dulunya berwarna kuning miliknya terpaksa ia cat permanen dengan warna hitam atas kemauan neneknya. Neneknya memang galak tapi Natsu berpikir itu pastilah karena neneknya sayang padanya.

"Ternyata nenek juga sama, ia sangat membenciku. Ternyata tak seorang pun mencintaiku, 'kan?"

Ia bergumam tak jelas hingga tubuh kecilnya menabrak seseorang yang tidak lebih tinggi darinya. Natsu menengadah untuk melihat siapa yang ia tabrak. Ternyata mata sewarna hijau itu melihatnya dengan pandangan aneh, dan Natsu tahu itu.

"Maaf, Akashi-kun…" Natsu hendak segera beranjak dari sana. Ia enggan menemui orang yang ia kagumi tapi tangannya ditarik oleh tangan Akashi.

"Ada apa denganmu?" Tanya Akashi, ia merasa ada yang tidak beres dengan si pengheboh nomor dua setelah si kembar.

"Tidak… ada apa-apa." Jawab Natsu dengan senyuman terpaksanya, ia mencoba melpaskan genggaman Akashi namun terlalu kuat. "Bisa tolong lepaskan tanganku?" pinta Natsu wajahnya seperti ingin menangis.

"Kau sedang tidak baik-baik saja." Entah kenapa Akashi jadi sepenasaran ini dengan Natsu, biasanya ia hanya meladeni Natsu seperlunya saja. "Aku tidak akan melepaskannya sebelum kau ceritakan masalahmu."

"Sungguh tidak ada masalah apapun!" Natsu sedikit berteriak, ia tidak mau berlama-lama di depan Akashi karena ia merasa mungkin saja Akashi bisa membantunya. Mungkin saja Akashi mau mendengar keluh kesahnya tapi Akashi bukan siapa-siapanya, justru ialah kakak dari Yuki ia tidak berhak untuk menumpahkan semuanya pada orang yang mungkin saja Akashi juga ikut membencinya.

"Natsu!" kata-katanya penuh penekanan.

Natsu sedikit terlonjak kaget, tapi melihat betapa seriusnya Akashi menatapnya, Natsu sudah tidak kuat menahannya. Ia memeluk Akashi dengan erat, postur tubuhnya yang setinggi bahu Akashi itu membuatnya nyaman karena wajahnya langsung ia tenggelamkan di dada kecil milik Akashi.

Natsu menangis. Ia sudah tidak kuat. Ia masih kecil tapi kenapa ia begitu memikirkan hal yang rumit? Hal yang mungkin saja seharusnya ia ketahui dewasa nanti sehingga ia tidak menjadi cengeng seperti ini. Tapi, mengapa ia tidak boleh cengeng? Ia masih kecil tentu saja wajar bukan?

Akashi tidak mengerti kenapa Natsu memeluknya dan menangis seperti ia tidak pernah menangis. Sebenarnya kenapa dengannya?

"Hei, Natsu!" Akashi berusaha melepaskan dari cengkraman Natsu. "Kalau tidak kau jelaskan sebaiknya menjauh dariku! Kita berada di trotoar jalan tahu!"

"Akashi-kun…," Natsu memanggilnya dengan suara serak. "Apa kau membenciku?"

Akashi tak menjawabnya. Dia hanya diam menatap Natsu yang masih berlinangan air mata.

"Akashi-kun juga pasti tahu, kalau Yuki adalah anak ayahku, benar?"

Kedua mata Akashi membelalak kaget. "Dari mana kau tahu?"

Natsu hanya terkekeh kecil rasanya miris mendengar anak kecil yang seperti itu. "Ayahku sendiri yang bilang. Apa Yuki juga tahu siapa sebenarnya ayahnya?" tanpa menjawab pertanyaan Natsu, Natsu sudah mendapatkan jawabannya karena gerak Akashi yang tiba-tiba menjadi kaku.

"Aku merasa tidak adil." Natsu melepaskan pelukannya. "Aku masih belum genap berumur enam tahun sama seperti Yuki, kita berdua sama-sama diberi kenyataan pahit dengan orang dewasa tapi Yuki dan aku jelas berbeda."

Akashi hanya diam menatap Natsu. Bagaimana bisa anak berumur enam tahun berbicara seperti itu? Yah, meskipun Akashi sendiri tidak terlalu heran karena dia dan juga Yuki memang sudah terlahir menjadi dewasa terlebih dahulu sebelum waktunya.

"Akashi-kun tahu apa bedanya? Kupikir aku tinggal dalam keluarga yang mencintaiku, yang sayang padaku apa adanya tapi ternyata mereka sama sekali tidak seperti itu. Ibuku sendiri tidak menginginkan aku! Tidak ada seorang pun yang benar-benar sayang padaku, ayahku juga ternyata lebih menyayangi Yuki, gerak-geriknya terlihat jika ia bertemu dengan Yuki. Aku merasa sedih Akashi-kun…"

Anak kecil yang berumur lebih tua setahun dari Natsu itu terpaku. Sebenarnya Natsu tidak lebih baik darinya, Akashi sudah tidak memiliki orang tua, ia diangkat menjadi anak di keluarga Haruno Sakura, kemudian ia disayangi oleh Sakura, Itachi, Menma, paman dan bibinya pun masih ada. Meski Akashi memiliki kekurangan itu tapi ia sama sekali tidak merasakannya.

Akashi merasa kasihan pada Natsu. Nasibnya lebih buruk darinya.

"Sedangkan Yuki, ia hanya tidak tahu ayahnya siapa tapi ia memiliki ibu yang mencintainya, seorang kakak yang melindunginya… Sedangkan aku?"

Keduanya terdiam, hanya terdengar bebarapa mesin mobil yang berlalu lalang, juga beberapa permainan music yang keluar dari gedung di belakang mereka. Ternyata Natsu berada dekat dengan gedung dimana si kembar dan Yuki les, tentu saja Akashi ada di sini karena menemani adiknya.

Sepintas Natsu melihat lampu jalan yang sudah hampir berkedip, ia ingin sekali pergi dari sini meninggalkan Akashi yang sedari tadi hanya terdiam saja.

Dengan sigap Natsu berlari menyebrangi jalan raya, Akashi yang terkejut bukan main dengan aksi Natsu ikut mengejarnya, namun sayang beberapa panggilannya dihiraukan oleh Natsu.

"NATSU!" panggil Akashi dengan teriakan yang ketiga kalinya, Natsu sempat menoleh matanya membeliak melihat lampu sudah berubah warna menjadi hijau dan mobil yang sedari tadi Natsu pikir tak ada yang berhenti melihat ada truk dengan kecepatan penuh menuju Akashi.

Berbalik dengan cepat untuk menyelamatkan Akashi, namun yang terjadi adalah bunyi decitan rem, dan badan truk yang berbelok menukik tajam mengantam pohon di trotoar. Teriakan orang-orang yang berada dekat kejadian semakin membuat kepanikan.

Yuki dan si kembar atau mungkin Shin yang lebih penasaran karena Shiki tampak mengantuk di pojok ruangan―yang berada di lantai dua dan merasa terganggu dengan suara-suara heboh di luar melongokan kepalanya ke jendela untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. Bola mata hitam pekatnya membulat melihat dua sosok yang memakai seragam sekolahnya terbaring kaku dengan genangan darah.

"AKASHI-NII!"

.

.

.

.

.

.

To Be Continue

.

.

.

Arena Bacotan Ceria

Ya ampun udah hampir setahun ga diupdate dan saya banyak diterror haha

Makasih yang masih mau menunggu fanfic ini, setahun ini saya sibuk di dunia nyata, selain itu saya memang sudah tidak berkunjung ke fandom ini dan lebih senang membaca di fandom kurobasu. Maaf ya, semuanya.

Saya akui saya udah ga ada feeling buat lanjut cerita straight lagi, saya udah ga ada moodnya gimana dong? Tapi, tenang saja untuk fanfic BKK ini saya akan tamatin di tahun ini, mungkin sekitar 2-3 chapter lagi akan tamat ko.

Dan yang menunggu sekuel Melepasmu mungkin harus menunggu sampai saya dapetin feeling straight lagi ya, maaf sekali lagi.

Kalau ada yang mau bertanya atau sekedar kenalan saya masih away sampai bulan maret ini dan bisa line pribadi saya ada di bio. Kalau ada yang berminat untuk melanjutkan fanfic saya juga gapapa ko saya senang sekali untuk orang-orang yang mengembangkan ceritanya daripada discontinue sama saya, yak an.

Okie sekian ditunggu aja chapter 14-nya tapi ga tau kapan update lagi haha

Terima kasih banyak sudah membaca dan menanti fanfic multichapter saya yang kedua dan terpanjang ini. Saya juga senang ternyata masih ada yang baca Melepasmu.

Sampai jumpa