Aku tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini.
Bahkan dalam mimpi sekalipun.
Mengapa aku yang merasakan seperti ini?
Mengapa orang yang kusayang yang mendapat imbasnya?
Bila cinta memang benar menyakitkan seperti ini…
Maka aku akan melepaskannya…
.
.
.
BUKAN KISAH KITA
.
.
.
Kurousa Hime
.
.
.
Naruto Masashi Kishimoto
.
.
.
SakuSasuHina (in this chapter)
Drama. Hurt/Comfort. Friendship. Romance
Rate T-M
Alternative Character. Typo(s). Tema Pasaran. Nama yang di bold menjadi sudut pandang orang tersebut
.
.
Enjoy Reading
.
DLDR
.
Haruno Sakura
Usiaku kini sudah menginjak tahun ke 23. Memiliki seorang suami yang sangat rupawan yang sudah menemani bersama selama empat di rumah tidak cukup sederhana milik dari berdua dan aku merasa―kesepian yang mendalam.
Pernikahan kami tidak seperti orang kebanyakan lainnya. Aku―Haruno Sakura―belum genap empat bulan menjalin kasih dengan suamiku langsung saja melangsungkan sebuah pernikahan yang sakral. Begitu tiba-tiba memang, namun dalam hati aku merasa sangat , entahlah dengan suamiku sendiri.
Bila menyelam ingatan masa lalu, aku si gadis biasa yang sudah mencintai suamiku selama tiga cinta dan bertepuk sebelah tangan. Kenyataan yang aneh suamiku yang tidak pernah melihatku, memilihku untuk tinggal bersama selamanya untuk memulai masa depan.
Kurang meyakinkan memang, namun orang-orang berkata, bila sudah saatnya cinta itu datang tidak perlu dipertanyakan , keraguan selalu menyelimuti hampa.
Suamiku adalah Uchiha Sasuke. Si bungsu dari Klan Uchiha yang terhormat dan memiliki saham dibeberapa wilayah sebagian perlu kubilang bahwa keluarga suamiku sangatlah kaya raya. Sedang aku hanyalah seorang gadis yatim memiliki apapun untuk diberikan sebagai warisan kelak.
Aku hanya segelincir gadis yang beruntung. Mendapat beasiswa untuk kuliah di Fakultas Kedokteran ternama dan menikah dengan pengusaha muda tak memiliki bibit, bobot dan bebet yang mesti kubanggakan, lain dengan suamiku.
Pernikahan kami yang mendadak dan latar belakang keluargaku pasti bisa kau perkirakan bahwa pernikahan ini tidak selancar yang kau bayangkan.
Ditentang. Tentu saja ditentang. Mana ada keluarga terhormat mendapat seorang menantu dari latar belakang keluarga yang tidak jelas. Tapi, suamiku tidak memedulikan hal tersebut―entah aku harus senang atau tidak, karena pembelaannya mengenai diriku tak terpancar dari kedua oniksnya yang selalu kelam.
Tak memancarkan cahaya meski aku adalah istrinya.
.
.
.
Empat bulan setelah kami menikah, sebuah berita buruk datang kepada kami.
Seorang sahabat dari suamiku meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Mobil yang dikendarainya masuk ke jurang, beruntung orang kedua yang berada dalam mobil itu terselamatkan meski kondisinya sangat buruk.
Sahabat kami yang meninggal itu adalah Uzumaki Naruto. Pria yang ceria sejak aku mengenalnya di bangku sekolah pertama. Seorang yang berisik dan selalu menebar semangat dimanapun ia berada. Seorang yang tak kenal pantang menyerah dan menjunjung tingginya tali persahabatan diantara Sasuke dan Naruto.
Naruto baru saja menikah dengan seorang gadis dari klan Hyuuga. Selisih pernikahan kami hanya berbeda dua adalah seorang anak dari keluarga Uzumaki yang mendalami usaha bisnis dalam bidang pangan dia sangat bahagia saat menikahi Hyuuga Hinata.
Tapi, kenapa Tuhan begitu cepat mengambilnya kembali?
Hyuuga Hinata. Seorang istri masa depan yang pasti diidam-idamkan oleh laki-laki dari keluarga manapun. Keluarganya yang mewarisi usaha dalam bidang olahraga, juga termasuk dalam keluarga terhormat. Sasuke, Naruto dan Hinata, mereka semua berteman baik ketika sekolah menengah dan juga keluarga ketingganya saling berteman baik dalam bisnis.
Hanya aku yang berbeda. Hanya akulah orang asing yang memang sejak awal tidak usah masuk dalam segitiga itu. Seharusnya aku tidak boleh masuk.
.
.
.
Pemakaman Naruto dilaksanakan tanpa diketahui oleh Hinata karena dia masih tidak sadarkan diri, tepatnya koma. Terakhir melihat wajah seseorang yang berarti bagiku juga membuatku sedih bukan main. Wajah teduh Naruto saat berada dalam petinya begitu tenang dalam tidurnya.
Tak pelak kesedihan juga menggrogoti Sasuke. Sahabat yang sudah bersamanya sejak masih dalam kandungan jelas membuat Sasuke tidak akan pernah membayangkan akan ditinggal secepat ini oleh Naruto. Namun, raut aneh ku temukan juga pada Sasuke. Raut yang tidak bisa ku artikan saat itu namun dapat ku artikan suatu saat nanti.
Satu hari sejak pemakaman Naruto, Hinata masih belum kunjung sadar. Dan anehnya aku membiarkan suamiku untuk terus mendampingi Hinata tanpa tahu apa yang telah kulakukan adalah kesalahan paling fatal.
Sasuke sudah sejak dulu mencintai Hinata…
.
.
.
"Hari ini kau pergi ke sana lagi?" tanyaku ketika Sasuke pulang sekitar pertengahan malam.
"Kau belum tidur?" tanyanya balik. Aku menggeleng sebagai respon dan menatapnya lama hingga dia kembali membuka mulutnya, "Ya."
Sudah tiga hari Hinata tidak sadarkan diri berarti sudah tiga hari pula Sasuke menemaninya. Wajah yang biasanya datar itu kali ini terlihat kelelahan. Ada dua hal yang membuat pikiranku selalu buruk jika melihat Sasuke seperti ini. Entah karena pekerjaannya yang sedang menumpuk atau karena…
"Tidurlah." Titah Sasuke kemudian ia mematikan lampu tidur dan mulai memiringkan tubuhnya. Semenjak menikah dengannya Sasuke tidak pernah tidur menghadapku. Bahkan walau dalam satu tempat tidur begini tetap ada sebuah jarak. Sama seperti aku yang dulu mengejarnya.
Tiap malam sebelum kutidur selalu kupanjatkan doa. Agar Sasuke benar mencintaiku dan mau melihatku sebagai lagi memandang masa lalu―melihat Hinata terus-menerus dan meninggalkanku dalam kehampaan perasaan ini.
.
.
.
Keesokan harinya aku bangun cukup terlambat. Lalu mendapati kasur di sebelahku sudah mendingin lama. Ternyata Sasuke sudah pergi lama padahal sekarang baru saja pukul 07.12 pagi. Timbul suatu kecurigaan dalam hati tapi segera saja kutepis perasaan buruk itu.
Segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan mulai bekerja.
Setibanya di Rumah Sakit tempatku bekerja dan juga dimana Hinata dirawat intensif, aku menyempatkan diri untuk melihat keadaan Hinata. Tapi, hal yang membuatku sungguh berdenyut nyeri adalah suamiku berada di dalam kamar itu.
Duduk membelakangi pintu―dimana kini aku mengintipnya―di sisi ranjang Hinata dan juga tengah memegang telapak tangan Hinata. Sesekali ibu jarinya mengelus lembut punggung tangan Hinata. Pandangan sayu ditujukan pada Hinata yang masih saja tertidur pulas dengan bantuan oksigennya.
Pintu yang sudah kubuka sedikit mengeluarkan udara dingin yang berasal dari kamar tersebut. Sayup-sayup kudengar Sasuke berkata, "Cepatlah sadar Hinata. Aku merindukanmu…" kemudian ia mengecup punggung tangan Hinata.
Sungguh beribu-ribu jarum menusuk sekujur tubuhku tanpa ampun. Rasa sakit yang selalu kututupi kembali muncul. Air mata akan siap meluncur jikalau aku tak berusaha kuat dan mencoba untuk tidak mengedip berlebihan agar air mata ini segera meluncur.
Berlari meninggalkan ruangan tersebut dengan setitik air asin membasahi pipi. Menghapus dengan kasar rasa ini yang kian membuat terpuruk. Mencoba melupakan namun kenyataannya itu akan selalu menjadi bayang menakutkan ditiap malamku.
Alasan Sasuke menikahiku empat bulan lalu adalah sebagai upaya untu menutupi kesedihan dan kesepiannya dikarenakan Hinata dan Naruto yang sudah menikah dan mereka bahagia. Sasuke memilihku karena dia tahu aku amat mencintainya tak peduli meski aku akan tersakiti nantinya asalkan dia bisa melupakan Hinata.
Itulah sebab mengapa Sasuke menikahiku. Kejam memang kedengarannya tapi, cintaku pada Sasuke sungguh membuatku lupa.
Sore harinya Hinata dikabarkan sadar dari komanya. Senang dan juga gundah mengisi hatiku dan kenyataan pahit kembali lagi kuterima saat Sasuke datang dengan wajah tegang, senang dan juga berantakan. Ini kedua kalinya aku melihat Sasuke seperti itu hanya karena Hinata, padahal saat aku kecelakaan Sasuke tidak datang melihatku bahkan dia hanya mengucapkan kata yang begitu singkat.
Aku tersenyum miris. Mengapa aku bodoh sekali Tuhan?
.
.
.
Saat menjelang malam hari tiba di rumah, aku dikejutkan oleh kedatangan dari sosok paling cantik dalam keluarga Sasuke. Ibunya. Uchiha Mikoto. Dia adalah orang yang paling tidak menyukai keberadaanku dalam keluarga Uchihanya yang terhormat. Tatapannya memanglah tidak sinis namun kata-kata yang selalu keluar dari bibirnya membuatku sakit hati.
"Ibu…," saat kupanggil seperti itu wajahnya menjadi semakin kaku. Sorot tidak suka segera mengarah padaku. Begitu tajam dan menyakitkan. Namun bibirnya yang dipoles oleh lipstick itu tersungging senyum miring―senyum mengejek pastinya.
"Dimana Sasuke?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Dia tidak ada di kantornya,"
Aku menelan ludah, pahit. "Dia… Berada di Rumah Sakit," jawabku ragu.
"Bukankah kau juga dari sana?" tanyanya lagi kali ini dengan kerutan di dahinya. Meski sudah menginjak usia awal 40-an wajahnya tetap saja cantik. "Apa dia menjemputmu?"
Aku menggeleng lemah."Tidak, dia menjenguk Hinata," cicitku pelan.
Kedua matanya yang serupa dengan Sasuke itu membelalak terkejut."Ada apa dengan Hinata?"
"Dia mengalami kecelakan dan Naruto meninggal…,"
"Ya Tuhan!" pekiknya pelan."Hinata pasti sedih sekali, untung saja Sasuke menemaninya. Oh, kuharap dia segera pulih kembali." harap Mikoto dengan nada seperti sebuah drama.
Aku hanya membatin dalam hati, mengiginkan Ibu Sasuke segera pergi dari rumah ini. Rasanya sungguh penat berada dalam satu ruangan yang sama. Pasti setelah ini dia akan menyinggung―
"Apa kau sudah 'isi'?"
Tubuhku menegang seketika. 'Isi' yang dimaksud pastilah itu bukan? Aku tersenyum miris, "Belum I―"
"Dasar tidak berguna," sinisnya. Walau Mikoto berbicara dengan suara pelan namun aku jelas mendegarnya. Dia sengaja. "Sudah empat bulan kalian menikah masih belum hamil juga?Apa saja sih kerjaanmu itu?"
Aku merunduk dalam. Kami berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan kami. Bahkan dalam empat bulan ini dapat kuhitung dengan jari berapa kali Sasuke menyentuhku. Tiga. Hanya tiga kali itupun dua kalinya karena sebuah keterpaksaan dan yang satunya lagi karena―
"Sudahlah. Kalau Sasuke sudah pulang nanti, sampaikan pesanku untuknya agar dia pulang ke rumah utama." Mikoto mengambil barangnya segera. Berjalan melewatiku seperti aku tidak ada. Pintu rumah yang berdebum pelan membuatku bernafas lega.
Kubaringkan tubuh lelah ini di sofa panjang. Sudah cukup larut malam dan Sasuke belum juga pulang. Mungkin dia ingin menemani Hinata hingga esok dan meninggalkan istrinya terlelap sendiri tanpa suaminya begitu?
Aku mendengus dalam hati. Bodohnya…
Sebuah suara pintu terbuka terdengar dalam inderaku. Bayangan tinggi berjalan menuju tempatku dimana berbaring sembari memejamkan mata. Aku tahu wangi ini. Wangi rumah sakit selain wangi yang menguar dari tubuhku. Itu pastilah Sasuke yang baru saja pulang. Ternyata ingat pulang juga, heh?
"Sedang apa kau di sini?" tanyanya dengan suara datar.
Aku masih memejamkan mata dengan menggunakan lengan kiriku. "Tadi Ibu kemari," aku bangkit duduk di sofa. Menengadah untuk melihat betapa tampannya suamiku. Dan tentu saja begitu dingin tatapan matanya padaku berbeda dengan yang tadi pagi saat dia melihat Hinata. "Dia bilang agar kau pulang ke rumah utama." kutolehkan pandanganku pada benda lain.
"Ada apa?" Tanya Sasuke sembari membuka jasnya dan menaruhnya di sofa.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin dia merindukanmu," jawabku seadanya. Kuperhatikan Sasuke memasuki kamar kami dan tak lama mengganti bajunya yang formal dengan baju polos dan jins panjang. Tak lupa di tangan kirinya dia menjinjing sweaternya. "Kau mau pergi?"
"Hn," Sasuke bersiap membuka pintu namun kutahan dengan menarik ujung bajunya. Sepertinya dia mengerti dengan tatapanku yang kutujakan padanya. "Aku akan menemani Hinata malam ini." dan pintu yang berdebam kembali terdengar.
Apakah mementingkan orang lain lebih berharga ketimbang istrinya sendiri? Apakah cintamu masih begitu besar untuk Hinata, Sasuke? Kalau begitu untuk apa aku menjadi istrimu? Hanya untuk status sajakah?
.
.
.
Sudah seminggu lebih berlalu. Rasanya hubunganku dengan Sasuke semakin memburuk saja. Tidak pernah bertemu bahkan berkomunikasipun jarang sekali. Menemuinya di Rumah Sakit―yang bukan untuk menjemput atau menengok istrimu melainkan orang lain saja cukup menyakitkan.
Aku seperti merasa tinggal seorang diri di rumah yang besar―aku akan bersyukur sekali dahulu rumahku tidak seluas itu meskipun seorang diri tak akan membuatku kesepian betul. Belum lagi kondisi Hinata masih dalam depresi. Jikalau Hinata terus seperti itu maka dia akan gila, beruntunglah Sasuke selalu ada di sisinya. Menemaninya agar dia tidak menjadi gila, bahkan dokter Inabi memuji―sekaligus menyindir sepertinya―Sasuke karena kegigihannya. Dia lebih gigih dibandingkan dengan dokter muda seperti kami yang mengharapkan kesembuhan pasiennya.
Entah di rumah dan entah di Rumah Sakit. Dua keadaan dalam tempat itu membuatku tersindir, tersakiti dan kesedihan selalu mengikutiku. Aku bukan wanita kuat yang bisa memendam rasa ini. Tapi, karena Sasukelah aku mengizinkannya untuk selalu dekat di sisi Hinata. Karena rasa cinta Sasuke yang begitu besar pada Hinatalah yang membuatku mengizinkannya. Sakit. Sungguh sangat menyakitkan.
Wanita bodoh di sini hanyalah aku seorang.
Saat jam makan siang, nafsu makan tidak timbul barang sedikitpun. Maka kuberanikan diri untuk menengok Hinata dan beruntunglah Sasuke tidak ada di sana. Kuketuk pintu bercat putih tersebut kemudian masuk setelah diizinkan. Kulihat air muka Hinata telah sedikitnya kembali. Mata lavendernya sudah kembali meneduh namun masih jelas siratan kesedihan ada.
"Mau ku kupaskan apel?" tawarku. Hinata mengangguk pelan dan memintaku untuk duduk di sisi ranjangnya sembari mengupas apel. "Bagaimana kabarmu hari ini?"
"Sudah… Cukup sehat," ucapnya pelan disertai senyuman hangat. Oh, Hinata memang sangatlah cantik. Kulit putihnya yang mulus dan bersinar. Rambut hitam panjang yang tergerai indah. Hinata mengingatkanku akan Ibu Sasuke. "Terima kasih." Hinata mengambil apel yang sudah kupotong kecil-kecil dengan garpu kecilnya.
"Syukurlah," aku tersenyum tulus padanya. Meski Hinata memonopoli Sasuke secara keseluruhan tapi dia tidak tahu-menahu sama sekali mengenai perasaan Sasuke. Lagipula Hinata sudah kuanggap sebagai sosok pengganti Ibu yang sudah meninggal. Dia lembut dan penuh perhatian. Lelaki mana yang tidak menyukainya?
"Maafkan aku," lirih Hinata. Aku memandanginya heran. "karena aku Sasuke selalu datang kemari, aku takut dia tidak memperhatikanmu."
Aku tersenyum miris, "Tidak apa, Hinata." Aku mengelus lengan kiri Hinata dengan hangat. Tidak ada yang perlu tahu bagaimana tersakitinya aku di sini. Yang terpenting adalah membuat Sasuke bahagia walau akhirnya tidak bersamaku. Hanya menunggu waktu saja.
"Kau beruntung menjadi istri Sasuke, Sakura. Sasuke sangat perhatian dan baik sekali."
Ya itu hanya padamu Hinata. Tidak berlaku untukku yang tidak dicintainya ini. Kulihat Hinata mengelus perutnya yang rata. "Kau lapar?"
Hinata langsung gelagapan kembali. " tidak lapar." cengengesnya. Saat itu aku tidak tahu tanda dari Hinata yang tengah mengelus perutnya dengan tatapan kosong.
.
.
.
Dua hari terakhir ini kondisi tubuhku kurang fit. Setiap hari terbangun hanya karena dirasa ingin muntah. Padahal aku yakin semalam tidak makan yang berat-berat bahkan berlebihan. Tidak sama sekali. Lalu kenapa pagi ini aku kembali muntah? Morning sickness.
Aku terlonjak kaget ketika menyadari hal itu. Segera saja kuperhatikan tanggalan. Aku sudah telat sebulan lebih dari terakhir kali menstruasi. Jangan-jangan memang…
Segera saja aku menghubungi dokter Shizune, spesialis kandungan dan membuat janji untuk pemeriksaan pagi ini secepat dia datang ke Rumah Sakit. Perasaan aneh menggelitik hatiku. Bibir ini rasanya tertarik ke sudut-sudut dengan sendirinya. Apakah ini rasanya Tuhan?
Sesampainya di ruangan dokter Shizune―sepertinya ia baru saja tiba di ruangannya dan baru saja duduk saat aku membuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dokter Shizune menatapku dengan pandangan hera. "Santai Sakura," kekehnya pelan. Lalu mempersilahkanku untuk duduk di depannya.
"Ma-maaf aku tidak mengetuk pintu terlebih dahulu, dokter Shizune." ucapku malu menyadari ketidaksopananku. "A-aku hanya gugup saja!"
Dokter Shizune masih terkekeh pelan."Baiklah, sepertinya kau sudah tidak sabar untuk melihat hasilnya, ne?"
Dan aku pun mengangguk gugup. Tuhan…
.
.
.
Dengan langkah riang aku berjalan di sepanjang koridor Rumah Sakit. Begitu riangnya bahkan raut kebahagianku terpancar begitu kuat hingga menulari beberapa pasien di koridor bagian Paru dan Jantung―karena aku baru saja ditugaskan di bagian ini. Aku sudah tidak sabar ingin memberi tahu berita yang begittu membahagiakan ini secepatnya. Terutama kepada dia. Kuharap dia senang mendengarnya.
Di akhir gedung aku berjumpa dengan salah seorang perawat inti. "Sepertinya anda senang sekali dokter?" tanyanya dengan wajah aneh.
"Iya, ini kabar yang bahagia untukku." aku menggaruk pipiku yang kini sudah memanas.
"Wah, bagi-bagi kabar kebahagiaan anda untuk saya juga," kekehnya, "oh, ya dokter Tsunade meminta saya untuk memberitahukan kepada anda."
"Ada apa?" Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya kembali.
"Entah, dia hanya memintaku untuk memberitahu padamu, agar anda segera ke ruangan dokter Tsunade setelah menerimanya dariku. Ah, saya pamit dulu dokter." kemudian perawat inti yang sering kutemui itu menghilang di tikungan.
Ada apa dokter Tsunade―selaku kepala Rumah Sakit―memanggilku ke kantornya? Apa aku melakukan sebuah kesalahan kodeki? Tak ambil pusing aku segera berjalan menuju ruangan dokter Tsunade yang berada di lantai empat dari gedung utama.
Dengan gugup saat melihat pintu bercat cokelat dengan papan nama dokter Tsunade, aku mengetuknya perlahan hingga suara lain mengizinkanku masuk. Di dalam ruangan itu sangat dingin dan ada seorang wanita paruh baya yang masih cantik jelita tengah berkutat dengan beberapa dokumennya.
"Ah, Sakura!" serunya riang saat mendapati wajahku di sana. "Silahkan duduk."
Gugup, aku duduk di depannya dengan tegang. Walau sering bertemu dokter Tsunade di ruang UGD―degan suasana tegang penuh tindakan―namun kali ini tampak berbeda. Raut wajah dokter Tsunade yang biasanya tegas kini tampak lunak. Apa ini kabar baik atau kabar buruk?
"A-ada apa dokter memanggil saya?" tanyaku gugup sembari memainkan ujung jas dokterku.
"Tidak usah tegang seperti itu, kok. Ini adalah berita baik untukmu." kekeh dokter Tsunade. "Aku menawarimu untuk melanjutkan spesialis di Suna."
Hening. Tidak ada yang berbicara setelahnya. Aku berusaha untuk meloading dengan cepat apa yang baru saja dokter Tsunade katakana padaku. Melanjutkan spesialis?Maksudnya?
"A-apa maksudnya dok?"
"Aku menawarimu untuk mengikuti program study spesialis di Suna. Semua biayanya akan kutanggung kau tenang saja." dokter Tsunade menatapku dengan penuh keyakinan. Irisnya yang bagaikan madu itu menatap penuh harap kepadaku.
"Tapi… Mengapa saya?" ada timbul keraguan dalam hati. Aku 'kan dokter muda yang belum genap setahun bergabung di Rumah Sakit ini. Terlebih prestasiku hanya biasa saja.
"Jangan menilai dirimu tidak berprestasi Sakura," dokter Tsunade menyenderkan tubuhnya pada kursinya yang terlihat empuk itu. Senyum masih terpatri di wajahnya yang rupawan. "Aku bersama beberapa dokter lainnya sudah menilaimu dan mengenalmu cukup baik. Kau memiliki potensi untuk menjadi seorang spesialis yang hebat melebihi kami. Dan aku sudah meminta temanku yang berada di Suna untuk membimbingmu. Apa kau keberatan menerimanya?"
Aku menutup mulutku dengan kedua tangan ini. Kedua mataku berbinar dan berkaca-kaca penuh haru. Tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Menjadi seorang spesialis adalah impianku selanjutnya. Maka dari itu aku terus menabung untuk belajar kembali tapi Tuhan memberikanku jalan denganmendapatkan beasiswa pada study spesialis ini. Sungguh aku benar-benar bersyukur.
"Tidak… Aku―Aku sangat senang mendengarnya dokter. Ini kabar yang sangat membahagiakan untukku. Terima kasih. Terima kasih banyak." dan air mata mengalir di sudut mataku.
.
.
.
Setelah mengirimkan sebuah pesan pada Sasuke bahwa aku akan memberikannya dua kabar bahagia ini aku segera pulang ke rumah. Mempersiapkan sebuah makan malam istimewa atas berita membahagiakan hari ini. Aku patut merayakannya. Terutama mengabari kehamilanku pada Sasuke yang akan menjadi kebahagian kami tak terhingga.
Aku masak cukup banyak malam ini. Membuat beberapa jenis makanan kesukaan Sasuke adalah hal yang mudah bagiku. Sup tomat. Sasuke sangat menyukainya dan kuharap dia akan memuji masakanku. Kututup tudung saji di meja makan. Menyembunyikan makanan istimewa yang kubuat untuk Sasuke.
Suara derap kaki tajam menghampiriku. Sasuke dengan wajah tegang kembali menatapku tanpa arti yang masih berada di dapur. Wajahnya terlihat kelelahan. Bola mata oniksnya yang tajam sedikit melunak. Ada apa?
"Ada… Apa Sasuke?" tanyaku hati-hati. Posisi kami masih berdiam diri di dapur. Tak berniat untuk ke meja makan ataupun ke ruang tamu karena suasananya sangat tidak enak.
Sasuke menghela nafas pelan dan panjang. "Ada yang ingin kusampaikan dulu," nada suaranya dalam dan bimbang. Ingin kuhampiri Sasuke tapi dia seperti membentengi dirinya agar aku tidak mendekat padanya.
"… Apa?" dadaku bergeuruh hebat. Ini sepertinya bukan tanda yang baik. Perasaan tak enak milikku tidak akan pernah meleset. Ada apa Sasuke?
"Hinata, dia sedang mengandung anak Naruto."
Andai aku sedang memegang apapun untuk jatuh pastilah itu akan terjadi. Kakiku terasa lemas tak berdaya. Satu hal yang terlintas terlebih dahulu dalam pikiranku adalah, kasihan pada Hinata. Dia sudah ditinggal oleh Naruto dan kini dia tengah mengandung. Ayah dari anak tersebut sudah tiada bukan?
Yang kedua adalah, lalu apa? Memangnya kenapa Hinata hamil? Apa hubungannya dengan kita?
"Aku akan menikahinya," ucapan Sasuk langsung membuat jantungku lepas ke bawah. Rasanya seperti ditarik paksa ke bawah. Sakit. Sakit. Sakit. Mengapa ia sampai mempunyai pemikiran seperti itu? Ingin menikahi Hinata? Kau pikir itu apa Sasuke? Kau 'kan masih memiliki seorang istri, yaitu aku!
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak bisa membiarkannya terus dalam keterpurukan. Dia membutuhkan seseorang untuk bersandar kepadanya," terang Sasuke dengan wajah minimnya.
Kuberanikan diri menatap kedua matanya. "Tapi bisakah seseorang itu bukan kau, Sasuke?" ada sedikit keterjutan dalam matanya yang membulat cepat.
"Aku tidak mungkin membiarkan seseorang itu menjadi sandaran bagi Hinata, Sakura! Tak sadarkah kau bahwa aku masih terus mencintainya sampai sekarang? Aku tidak bisa mencintaimu!"
Tubuhku menegang mendengarnya. Mengepal tangan kuat-kuat agar tubuhku tak bergetar kalut. Mendengarnya sakit sekali. Jujur sekali kau Sasuke. Kau menyakiti hatiku karena ucapanmu yang gamblang itu. Jadi pernikahan kita ini percuma? PERCUMA?!
"A-aku tahu!Aku sangat tahu kau masih mencintainya. Tapi bisakah kau―"
"Demi Tuhan sakura! Dia sedang mengandung dan depresi! Kau tahu benar itu semua akan membahayakan dua nyawa dalam satu tubuh itu bukan? Hinata itu lemah berbeda denganmu yang kuat! Bisakah kau mengerti ini?"
Aku terdiam melihat Sasuke yang kalut seperti ini. Wajahnya memerah menahan emosi. Jadi di sini yang salah tempat adalah aku? Jadi aku yang tak dibutuhkan di sini? Jadi Sasuke berpikir aku ini kuat? Tsk, kuat dari mana? Apa dia salah menilaiku seperti itu?
"Aku mengerti. Sangat mengerti Sasuke," kutahan agar nada suaraku tak bergetar saat berbicara. Dia bilang aku kuat bukan? Kuat dalam arti apa?
"Maaf aku membentakmu, aku tak bermaksud seperti itu." ucapnya menurunkan intensitas suaranya. "Kuharap kau menghargai keputusan sepihakku. Atau kau ingin―"
"Siapkan saja surat perceraiannya," aku berbalik menuju lemari pendingin. Mencoba membelakanginya karena tak mampu membendung air mata yang kini telah mengalir. Ku harap Sasuke tidak menyadari isakan kecilku. "Biar aku yang mengurusnya."
Aku sudah tak tahu bagaimana raut wajah Sasuke kini. Senangkah akhirnya kau bercerai denganku dan menikahi wanita yang sangat kau cintai? Atau kau sedih? Ah, hal yang terakhir itu sangat mustahil Sakura. Sasuke tidak akan bersedih bahkan saat kehilanganku. Dia tidak akan pernah mencintaiku.
"Hn. Tadi kau ingin memberitahuku apa?" dari sudut mataku Sasuke hendak berjalan menuju kamar yang akan segera kutinggalkan setelah ini.
"Bukan berita penting. Aku hanya mendapat beasiswa untuk melanjutkan spesialisku di Suna." kupalingkan wajah, membuka kulkas dan berpura-pura mengambil susu.
"Selamat." hanya itu yang kau ucapkan padaku. Dingin memang dan aku sudah kebal. "Ada lagi?"
Aku ragu ingin mengatakannya. Kalau aku bilang tengah mengandung anaknya, nanti Sasuke tidak akan bercerai dariku. Dan aku akan menjadi istri pertama dengan Hinata sebagai istri kedua tapi suami selalu mengasihi istri keduanya. Dan merasakan perasaan tersakiti lagi tiap harinya. Siapa yang mau?
Lebih baik aku membesarkan anak ini seorang diri. Tanpa Sasuke. Tanpa siapapun tahu bahwa aku sedang hamil. Dan ambil sisi positivnya Sakura. Mikoto tidak akan memandangmu rendah lagi, dia sudah mendapatkan menantu yang cantik rupawan dan bibit, bobot, bebetnya jelas dari Hinata. Dia tidak perlu memintaku lagi melakukan ini itu.
Aku tersenyum miris. Sisi baiknya. Dan ku harap aku pun mulai melepaskannya. Ku harap aku sudah tidak mencintai Sasuke lagi ataupun pria manapun lagi. Aku tidak ingin tersakiti.
"Tidak, hanya itu saja, Sasuke."
.
.
.
Esoknya aku menemui Hinata. Wajahnya kusut sekali sama halnya denganku tapi sumpah demi apapun aku harus menutupi semuanya dalam topeng ini. Memakai make up tebal, berpura-pura ceria dan merelakan suamimu untuk temanmu yang lemah. Benar kata Sasuke, aku adalah gadis kuat.
"Ohayou, Hinata," sapaku seriang mungkin pada teman yang telah merebut cinta suamiku.
Hinata sedikit terlonjak mendapatiku sudah berada di sisinya, dia tengah berdiri di tepian bingkai jendela dan melihat pemandangan pagi hari di taman Rumah Sakit yang ramai oleh pasien-pasien rehabilitasi.
"O-ohayou, Sakura," balasnya dengan gugup. Dia menghampiriku yang berada di tepian ranjangnya.
"Kudengar kau akan segera keluar dari sini, ne?" Aku menaruh bunga-bunga mawar merah muda segar dalam vas bening yang sudah diisi bunga yang layu. "Selamat!'
Hinata hanya mengangguk malu dan canggung. "Sakura… kau sudah dengar dari… Sasuke?" tanyanya hati-hati.
Kucoba untuk tersenyum meski sakit. "Ya, apa kandunganmu sehat?" ku coba untuk mengelus permukaan perutnya yang masih rata. Sama sepertiku, masih rata namun ada jiwa di dalamnya.
"Sangat sehat. Dokter Shizune bilang ini sebuah keajaiban karena kandunganku masih bertahan di saat aku kecelakaan hebat bahkan koma." Hinata memandang perutnya dengan lembut.
"Pasti si kecil ini mirip sekali dengan ayahnya yang kuat, ya. Baiklah Hinata, aku kerja dulu―"
Ku lihat kedua tangan putih itu terulur menarik jas dokterku. Gemetar. Dapat ku lihat tangannya begitu gemetaran, wajah Hinata ditundukan sedemikian dalam. "Sakura…," kudengar namaku dipanggilnya dengan lirihnya. "Gomenasai… Gomenasai… Gomenasai…,"
Dan ucapan itu terus berulang beberapa kali hingga kami berdua menangis sembari berpelukan. Aku tidak bisa menyalahkan Hinata. Tidak bisa. Karena dia tidak tahu seberapa tersiksanya perasaan Sasuke untuknya dan begitu pula perasaannku. Tidak ada yang salah. Yang salah hanyalah aku yang masuk dalam segitiga mereka.
Dengan tanpa adanya diriku, ku harap Sasuke dan Hinata dapat berbahagia dengan hidup yang baru. Terus melangkah tak melihat ke belakang. Begitu pun denganku. Mencoba terus maju untuk anak yang ku kandung ini. Tidak akan lagi ada Sasuke dikemudian hari. Kami harus bahagia.
.
.
.
"APA KAU BILANG?!" bunyi meja yang dipukul begitu kencang terdengar merusuhkan di sebuah café. Untung saja pemilik café tersebut tak lain dan tak bukan si pemukul meja sendiri. "KAU GILA!"
Aku hanya menyesap milk tea milikku dengan peduli dengan tatapan membunuh dari orang yang berada dihadapanku ini. Seorang wanita cantik yang satu profesi denganku. Wanita cantik yang sering dielukan mirip dengan boneka Barbie saat zaman kami sekolah menengah.
"Aku tidak gila." ucapku membela diri. "Jujur saja ini keputusan yang sangat sulit dan harus kau jawab kurang dari satu menit." aku menaruh cangkir teh pada cawannya.
Yamanaka Ino adalah sahabat terbaikku sejak kami masih berbicara asal sewaktu bayi. Saling berbagi mimpi dan cerita yang sama dan juga suka dan duka tak pelak ketinggalan dalam hidup kami. Bahkan saat ini pun aku sedang berbagi cerita yang katanya adalah mimpi buruk baginya―atau bagiku? Semuanya sama saja.
"Kau tahu janda," Ino memberikan penekanan pada kata janda, yeah aku memang janda sekarang, "Kau itu sedang mengandung! Demi Tuhan anak dalam perutmu itu anak Sasuke dan kenapa kau tidak bilang padanya tapi kau malah mengiyakan permintaannya untuk bercerai?!"
"Ino…," aku memandangnya dengan sayu.
"Permisi," seorang pelayan laki-laki―dengan rambut cokelat cepak dan ditutupi dengan bandana―menghampiri beberapa macam cake yang kami pesan sebelumnya di atas meja kami. "Silahkan dinikmati."
"Tunggu," pelayan itu segera menghentikan langkahnya dan menunjuk dirinya sendiri dengan raut kebingungan. "Namamu… Konoha…maru?" kulirik name tag-nya menganggukan kepalanya.
"Apa ada tambahan?" tanyanya.
Aku menggeleng pelan. Ino melihatku dengan pandangan bertanya-tanya, "Bisakah kau jawab jujur pertanyaan yang akan kuajukan padamu?" Sekilas Konohamaru tampak ragu namun mengangguk juga. "Andai, andai kau sudah menikah dengan seorang gadis tapi kau tidak mencintainya. Di satu sisi gadis yang kau cintai baru saja kehilanan orang yang dicintainya, dia depresi dan tengah hamil. Bagaimana sikapmu jika diposisi itu menghadapinya?"
"Aku akan menikahi gadis yang kucintai." spontan Konohamaru menjawabnya dengan cepat dan tegas. "A-ah, tapi," sepertinya dia malu dipandangi oleh dua wanita terutama yang satu adalah bosnya, "aku memilih gadis yang kucintai karena dia membutuhkan sandaran pastinya, apalagi dia sedang hamil pasti rasanya berat."
Ino mengerutkan keningnya semakin dalam, "Lalu bagaimana dengan istrimu?" kali ini Ino sepertinya tahu ke arah mana aku bertanya.
Pemuda itu memutarkan matanya ke kanan dan ke kiri, mencari jawaban sepertinya."Aku akan menceraikannya. Aku yakin dia akan mendapatkan pengganti yang lebih layak daripada aku yang tidak mencintainya."
Aku tersenyum penuh arti, "Terima kasih Konohamaru. Selamat bekerja!" kemudia Ia menghilang dibalik pintu kayu. "Kau dengar Ino? Itu adalah jawaban spontan dari orang yang andai saja berada dalam posisi Sasuke. Aku tahu diri Ino, sangat tahu diri."
Ino menatapku datar, dihela nafasnya pendek, "Aku sungguh tidak mengerti jalan pikirmu Sakura. Tapi, apapun keputusanmu itu pastilah hal yang terbaik bagimu," kutatap Ino dengan haru. Apapun yang Ino katakan akan selalu menjadi hal yang paling menenangkan bagiku.
Tak terasa titik air mata jatuh di pelupuk mata. "Terima kasih… Ino…," dan Ino memelukku dengan kencang. Bersama kami menangis. Aku bersyukur masih memiliki sahabat seperti Ino yang mau mengertiku. Sungguh bersyukur Tuhan…
.
.
.
Satu bulan selanjutnya datang begitu cepat. Saking cepatnya Sakura merasa masih belum siap menghadiri pesta pernikahan Sasuke dan Hinata yang digelar untuk kerabat dekat saja. Meski ragu untuk memakai kurotomesode dengan klan Haruno, Ia harus datang menyaksikan keduanya bahagia. Ini adalah terakhir kalinya Sakura akan menginjakkan kakiknya di sini.
Bersama dengan Ino yang memakai kurotomesode klan Yamanaka yang tersimbol rapi mereka berjalan berdampingan. Sebuah aula besar yang disewa keluarga Uchiha sebenarnya terlalu berlebihan Sakura pikir karena yang diundang adalah kerabat dekat Sasuke dan Hinata juga relasi kedua orangtua mereka.
Awal masuk aula Sakura sudah memantapkan hati dengan berbagai pandangan tertuju ada yang salah dengan pakaiannya yang memang dipakai pada acara pernikahan seperti ini. Dari jauh Sakura sudah melihat dua orang yang bersama tengah berbincang kepada sosok pria paruh baya dengan rambut hitam lurus panjang.
Hinata yang memakai shiromuku sangat cantik rupawan begitu pula dengan Sasuke yang memakai montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori. Sakura sempat terpana, begini bahagaianya wajah Sasuke saat mengenakan montsuki, berbeda saat ia mengenakannya bersama Sakura.
Memang sebuah kebahagiaan dapat terpancar jelas lewat ekspresi wajah. Sebelum menghampiri Hinata, Sakura mendapat bisikan-bisikan ganjil di sekelilingnya. Mencoba untuk tetap fokus berjalan dengan anggunnya tanpa menggubris semuanya itu.
Setelah sampai di depan Hinata, Sakura tersenyum canggung. Sasuke tidak mau repot-repot melihat mantan istrinya berjabat tangan dengan istrinya yang sekarang―Hinata. Diteruskannya kembali berbincang dengan sang mertua sedang Hinata menghampiri Sakura.
"Kau cantik sekali, Hinata." pujian tulus keluar dari bibir Sakura. Sungguh dia selalu berkata jujur di depan wanita yang memesona ini.
"Kau juga, Sakura," Hinata melihat kurotomesode Sakura yang indah. Warna hitam dan motif suso depan dan belakang yang indah berwarna merah burung jenjang. Tak lupa kamon Haruno berada di atas dada kanan dan kiri juga di belakang punggungnya."Terima kasih sudah datang, Sakura dan Ino."
Ino mengibaskan tangannya pelan, kurotomesode miliknya bergoyang pelan dengan suso warna biru tua motif gunung fuji dan kamon Yamanaka. "Tidak masalah." senyumnya canggung.
"Semoga kau berbahagia Hinata," Sakura menggenggam tangan Hinata mengeratkannya untuk mengalirkan sebagian energi."Tolong bahagiakan Sasuke."
Hinata hampir saja menangis kalau tidak cepat-cepat Sakura menghapusnya. "Gomenasai… Aku berjanji Sakura,"
Tiba-tiba saja momen itu dirusak oleh karena―lagi-lagi gunjingan tidak mengenakan untuk Sakura. Ino dan Hinata merasa sebal namun tidak dapat berbuat apa-apa.
"Mantan istri macam apa itu, datang ke pesta pernikahan mantan suaminya dan berakrab ria dengan istri yang sekarang?"
"Kudengar dia mandul, makanya diceraikan oleh anaknya Mikoto. Kasihan sekali."
"Memang latar belakang keluarganya jelek, tak pantas bersanding dengan Uchiha."
"Syukurlah keluarga Uchiha mempunyai menantu dari keluarga Hyuuga, keluarga Haruno keluarga apa itu? Hihi…"
"Tidak tahu malu sekali, ya."
"Lihat kurotomesodenya kampungan sekali, pasti dia meminjamnya. Dia mana mampu membeli sutra semahal seperti milik kita. Hihi…"
Sakura mencoba untuk , dia sudah muak dengan gunjingan yang diterimanya. Tapi dia berusaha untuk menegakan pundaknya. Membusung bahwa dia bukanlah klan yang rendah. Dia harus bangga dilahirkan di klan Haruno meski tidak sehebat klan Uchiha dan Hyuuga.
Sakura berbalik menuju kumpulan yang berusaha menggunjingnya. Dengan senyuman manis dan dingin dia berdiri di sana, "Seharusnya wanita terhormat tidak berusaha untuk menggunjing orang rendahan sepertiku. Kurasa tata karma kalian perlu dididik kembali. Permisi." setelah berbicara seperti itu Sakura berpamitan pada Hinata.
Mikoto bersama dengan Sasuke melihat aksi Sakura berdecih. Mikoto meremas gelasnya, "Anak tak tahu malu."
Namun bagi Sasuke tindakan Sakura barusan membuatnya berpikir bahwa dia wanita yang berbeda. Entah berbeda dalam pandangan apa. Artian matanya sulit untuk diartikan. Mengikuti kemana Sakura dan Ino pergi, Sasuke mendapati Ino tengah masuk ke dalam mobil dan pria berambut hitam mirip nanas yang sedang mengobrol dengan Sakura. Sasuke kenal siapa pria tersebut, dia adalah Nara Shikamaru yang mengelola taman binatang terbesar di Negara Hi.
Setelah mobil yang dikendarai Ino dan Shikamaru berlalu kini tinggal seorang Sakura sendirian. Memunggungi Sasuke. Sasuke menatap punggung kecil itu dengan tatapan aneh. Sakura yang selama ini dilihatnya tidak seperti itu, bahkan selama pernikahan mereka Sasuke tidak pernah memperhatikannya tapi kali ini lain.
Pelan, Sasuke menghampiri Sakura. "Terima kasih sudah datang." ucapnya pelan namun cukup membuat Sakura terlonjak dari tempatnya.
Sakura berbalik menghadap Sasuke dan tersenyum miring."Sama-sama," kecanggungan melanda keduanya. Tidak ada yag mau melanjutkan kembali dan akhirnya Sakuralah yang kembali membuka, "Semoga kau bahagia. Jaga Hinata dan anaknya dengan baik, ya. Kau adalah calon Ayah."
Tak lama sebuah mobil sedan hitam mengkilap datang, membunyikan belnya satu kali dengan pelan dan Sakura segera tersadar bahwa itu adalah jemputannya. Baru menuruni satu anak tangga Sasuke menggenggam tangannya. Sakura melihat tangannya yang dipegang oleh Sasuke dengan bingung.
"Sasuke?" Tanya Sakura heran, sepertinya seorang yang berada dalam kursi pengemudi melihat keduanya degan tatapan bingung namun jelas menusuk pada Sasuke.
Sasuke tersadar dan melepaskan pergelangan tangan Sakura, "Maaf."
Sakura menggeleng lemah, "Ne, sayounara, Sasuke-kun!" dan Sakura memasuki mobil itu dan mobil tersebut melaju dengan cepat meninggalkan gedung.
Sasuke tertegun, sudah lama Sakura tidak memanggilnya dengan embel –kun dan entah mengapa dia berfirasat bahwa dia tidak akan melihat Sakura dalam jangka waktu yang lama.
.
.
.
T B C
.
.
.
Arena Bacotan Ceria
Yahooooooooooooooooo! Maaf nih aku malah bikin fanfic baru habisnya gatel pingin ngetik ini tapi ternyata apa yang aku pikirin selama ini dan setelah dituang ke dalam fanfic ga sesuai banget! KECEWA BERAT! Tapi ya udah lah yaaa maafin daku deh kalau ceritanya memang pasaran, ga ada feel, but next chap aku akan buat dramanya sekali ya! Ini hal perdana yang aku buat!
Oh yaaa jangan lupa isi form nominasi ya! Kalau ingin karyamu atau karya favoritmu masuk dalam nominasi segera isi formnya! Cek aja di twitter-ku nnapyon atau _IFA2012 langsung sajaaaaa yaaa!
Dan arigatchu pada kalian semua yang udah kritik dan baca fanficku!