List karakter Commedia dell'Arte:
Il Dottore = Lovino Vargas/South Italy/Romano (topeng HITAM)
Il Capitano = Arthur Kirkland/UK/England (topeng MERAH-ORANYE)
Brighella = Rangga Wicaksono/OC/Indonesia (topeng HIJAU TOSKA)
Scapino = Razak Wicaksono/OC/Malaysia (topeng ORANYE)
Scaramuccia = Mathias Kohler/Denmark (topeng ABU-ABU MUDA)
Arlecchino = Alfred Jones/USA (topeng HITAM GARIS MERAH)
Tartaglia = Matthew Williams/Canada (topeng COKELAT TUA)
Sandrone = Natalia Arlovskaya/Belarus (topeng MERAH)
Pulcinella = Ivan Braginski/Russia (topeng UNGU TUA)
Burrattino = Ludwig Beilschimdt/Germany (topeng BIRU TUA)
Pantalone = Feliciano Vargas/Northern Italy/Veneziano (topeng PUTIH)
.
.
.
"Kau yakin, Antonio?" tanya Gilbert sambil berbisik pelan ke arah rekannya yang tiarap tepat di sampingnya. Teropong saku baru saja ia kembali ke sang pemuda Spanyol sebelum kembali melirik ragu gudang tua tepi pantai. Empat orang polisi ini sedang mengintai dari balik semak-semak, terbatasi oleh pagar kawat yang tinggi menjulang.
"Bukankah kau sendiri yang menanyakan lokasi ini pada Procopiou, Gilbert?" Kali ini giliran Francis yang mendesah kesal sambil menggeleng kepala tak percaya. Sang pemuda berambut pirang sebahu itu duduk bersandar di pohon besar. Willem sendiri berdiri agak jauh, memeriksa amunisi pistolnya. "Kau yakin kalau ini tempatnya? Aku tidak melihat siapa-siapa. Jangankan orang, mobil barang satu saja tak ada."
Gilbert menelan ludah. Ia mulai meragukan informasi yang ia terima dari Procopiou. Tidak, ia tidak salah ingat. Ia bahkan merekam dan mencatat omongan Procopiou saat itu, ketika Willem yang seharusnya ikut bersamanya malah bengong entah karena apa. Dia yakin kalau tempat ini adalah tempat yang diceritakan Procopiou, tapi kenapa sepi begini?
"Hm... apa kita salah tempat, ya? Tadi Antonio iseng mencari jalan pintas yang tidak awesome sama sekali, sih. Tapi itu tidak mungkin. Aku sudah mencatat dengan seksama kalau ini alamatnya yang tepat."
"Apa jangan-jangan ini jebakan...?" tebak Francis. Mata birunya memicing penuh curiga ke bangunan tua yang tampaknya tak terpakai lagi. Bahkan beberapa pagar kawatnya mulai berlubang dan tiang pagarnya bengkok di beberapa tempat. "Mungkin, Procopiou bekerja sama dengan Adnan dan—"
Bunyi deru kendaraan membuat Francis menghentikan pembicaraan. Tiga orang lainnya yang juga mendengar bunyi tersebut langsung merunduk lebih dalam lagi, mencari persembunyian ideal dari balik rimbunnya semak belukar. Mata keempatnya mengawasi dengan seksama ketika sederet mobil berwarna gelap menepi di pintu pagar. Beberapa orang dengan senjata laras panjang keluar dari dalam mobil dan membuka pagar, mempesilakan mobil-mobil tersebut untuk masuk ke area gudang. Ketika mobil-mobil itu berhenti dan semakin banyak orang bersenjata yang turun, barulah para polisi itu melihatnya.
Sadiq Adnan keluar dari satu-satunya Hummer hitam di rombongan tersebut. Kulitnya yang cokelat tampak kontras dengan rupa para anak buahnya yang kebanyakan berkulit putih cerah. Sang pria Turki itu melirik ke kiri dan kanan, seolah-olah mencari sesuatu. Ia mengerutkan hidungnya dan memicingkan matanya penuh tanya ketika tak berhasil menemukan apa yang ia cari. Adnan lalu memberi isyarat kepada salah satu anak buahnya untuk mendekat.
"Apa mereka sudah datang?" tanyanya.
"Belum, Tuan Adnan," Balasan ini membuat Adnan berdecak tak senang. "Commedia dell'Arte belum sampai ke sini. Kalaupun mereka sudah sampai, tentu kami akan tahu. Sudah begitu banyak jebakan dipasang di sekitar sini dan mereka pasti akan jatuh dengan mudahnya."
Antonio dan yang lainnya saling berpandangan ketika nama Commedia dell'Arte disebut-sebut. Rupanya kelompok mafia elit itu juga mengejar kelompok yang sama dengan polisi. Sialnya, mereka akan segera masuk ke dalam jebakan yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Adnan. Dari senyum dan cengiran Adnan beserta kelompoknya, jebakan tersebut pasti langsung menghabisi nyawa para anggota Commedia dell'Arte dalam waktu singkat.
"Lalu, bagaimana dengan para polisi itu?"
Keempat polisi yang sedang mengintai itu tersentak kaget. Apakah mereka salah dengar tadi? Bagaimana mungkin Adnan bisa tahu tentang rencana penyergapan mereka?
"Mereka belum ada, Tuan Adnan..." gumam sang pengikut. Matanya melirik ke balik punggung, tepat ke arah teman-temannya, meminta dukungan dan bantuan. "Um... kami sudah menyiapkan blokade di jalan menuju gudang ini, tapi tak satu pun mobil yang melewati blokade tersebut."
Antonio Carriedo tak bisa meyembunyikan cengirannya ketika mendengar omongan itu. Kalau saja ia tidak mengarahkan mobil mereka melalui jalan lain, pasti keempat polisi ini sudah menjadi mayat.
"Hilangkan senyum bodohmu, Carriedo! Kau tadi tersesat, bukan sengaja mengambil rute berbeda! Tak perlu mengambil kredit dari apa yang tidak kau kerjakan secara sengaja!" Geram kekesalan Willem sukses membuat Antonio tertunduk malu dan Gilbert mati-matian menahan tawa.
Perhatian para polisi ini kembali teralihkan ketika suara kendaraan lainnya tedengar semakin mendekat. Kali ini sebuah truk kontainer berukuran besar dengan logo perusahaan pembuat mesin kasino. Truk itu berhenti tepat di samping pintu gudang dan orang-orang berseragam langsung melompat turun dari dalam truk. Para polisi tidak bisa mengidentifikasi wajah mereka karena terhalangi oleh topi. Mereka sibuk membuka pintu gudang dan mengangkut puluhan slot machines ke dalam truk, beberapa kotak dadu, mesin pengocok kartu, dan masih banyak alat-alat lainnya yang biasa ditemukan di kasino.
Antonio mengarahkan teropongnya ke arah gudang. "Apa yang mereka lakukan dengan mesin-mesin ini?" bisik Antonio seraya menyerahkan teropongnya kepada Gilbert.
"Sepertinya mesin-mesin itu sudah diutak-atik oleh Adnan supaya siapa pun yang bermain mengenakan mesin itu tak pernah menang." tebak Willem. Mata hijaunya masih tak lepas dari sosok para pengangkut yang bolak-balik dari gudang ke truk. "Cara yang licik untuk membuat kaya kasino."
"Bukankah kita harus menghubungi dinas yang khusus mengatur kasino di sini untuk masalah mesin-mesin ini?"
Tak satu pun dari kelompok Antonio sempat mengambil telepon ketika truk tersebut sudah berjalan meninggalkan gudang dan pintu gudang pun ditutup. Adnan dan para anak buahnya masuk ke dalam gudang dengan tujuan ingin menyergap para anggota Commedia dell'Arte yang akan menyerang.
"Ayo!" desis Antonio. Sang detektif segera beranjak dari tempatnya mengintai tepat ketika anak buah Adnan yang terakhir sudah memasuki gudang. "Kita lihat lebih dekat lagi!"
Francis, Gilbert, atau Willem tak sempat mencegah ketika si detektif berdarah Spanyol itu langsung berlari lincah menuju gudang. Beruntung di sekitar gudang itu ditumbuhi ilalang, semak belukar, serta tebing pantai yang curam, cukup untuk menghalangi gerakan mereka berempat yang semakin lama semakin mendekat. Keberuntungan juga berpihak pada mereka karena tak ada satu pun penjaga yang ditempatkan di sekitar gudang. Entah sembrono, kelewat percaya diri, atau memang jebakan?
"Antonio, kau sendiri dengar kalau mereka memasang jebakan!" desis Gilbert sambil menarik Antonio mundur, tepat sebelum si detektif masuk ke area gudang. "Bagaimana kalau malah kita sendiri yang mengaktifkan jebakannya, hah?!"
"Rasanya tak mungkin mereka memasang jebakan sedekat ini dengan gudang." ucap Antonio penuh percaya diri. "Bisa-bisa jebakannya malah ikut membunuh mereka, kan? Atau jangan-jangan malah mereka sendiri yang mengaktifkan jebakan."
"Tapi kita masih belum tahu jebakan macam apa yang disiapkan oleh Adnan dan anak buahnya..." gumam Francis. Tubuh tingginya tersembunyi di balik pohon, masih ragu untuk mengekspos diri di bawah sinar mentari, khawatir musuh akan menemukannya.
"Mudah saja kalau kita mau menghindari jebakan itu," kata Willem dengan nada suara yang anehnya cukup santai. "Tinggal ikuti saja jejak-jejak mobil yang mereka tinggalkan. Kalau benar mereka memasang jebakan di sekitar gudang, tentu mereka sudah tahu betul letak dan posisi jebakannya. Tak mungkin mereka melintas memasuki jebakan. Jadi, rute yang mereka lewati pasti tidak dipasang jebakan."
Ide cemerlang dari Willem membuat Antonio dan yang lainnya tersenyum cerah, penuh optimisme. Dengan hati-hati, keempatnya kembali melanjutkan penyusupan mereka. Satu demi satu, mereka menyelinap melalui pintu gerbang yang tak dikunci dan segera mendekati gudang. Sasaran pertama mereka adalah gudang dimana mesin-mesin kasino barusan diangkut. Masih tersisa beberapa mesin di dalamnya, tapi mayoritas sudah diangkut dan didistribusikan ke kasino-kasino besar Monte Carlo.
Beruntung kunci yang dipakai pada gudang tersebut bukanlah kunci elektronik yang kelewat rumit. Hanya gembok sederhana dan beberapa slot pengunci yang dengan mudah bisa dibongkar oleh Willem. Keempatnya langsung menyelinap masuk ke dalam gudang dengan tujuan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai tujuan si truk yang barusan mereka lihat.
Gilbert menyorotkan senternya ke sebuah slot machine yang ada di depannya. Bagian dalamnya terbuka dan beberapa perkakas serta buku panduan tergeletak di sampingnya. Dilihat dari coretan-coretan yang tertulis di buku panduan jelas sekali tertulis bahwa Adnan sudah mengganti beberapa bagian dalam mesin tersebut. "Dugaanmu benar, Willem. Adnan mengutak-atik mesin ini supaya tidak pernah memenangkan siapa pun."
"Semakin sedikit orang yang menang, semakin banyak uang yang masuk ke kasino." gumam Antonio yang sedang memeriksa satu mesin pengocok kartu di meja blackjack. Sudah tiga kali percobaan dan bandar yang selalu menang, meninggalkan lawan dengan angka yang luar biasa kecil. "Bisnis kotor yang sanggup membuat orang kaya dalam semalam."
"Hei, teman-teman," panggil Francis. "Aku menemukan dokumen pengantaran mesin-mesin tersebut!"
Francis Bonnefoy menunjukkan beberapa lembar dokumen berisi transaksi jual-beli mesin-mesin tersebut kepada teman-temannya. Dibawah sinar senter, mereka membaca dengan jelas nama Mona Bonquier, Adnan, dan Neoklis Procopiou di tiap dokumen.
"Si brengsek itu rupanya terlibat dengan urusan ini." geram Willem, kesal. "Pura-pura menjadi korban, ternyata itu semua untuk menjebak kita!"
Antonio mengambil dokumen-dokumen itu dari tangan Francis dan memasukkannya ke amplop cokelat. Diselipkannya di dalam saku jaket untuk lebih aman sebelum kembali menatap berkeliling gudang. "Semua yang ada di dalam ini bisa kita jadikan bukti yang kuat menyeret Adnan dan Bonquier ke penjara. Sebaiknya kita panggil polisi Monte Carlo sebelum Adnan kabur."
"Lalu, bagaimana dengan Commedia dell'Arte?" tanya Gilbert. "Apa kita juga akan menangkap mereka di sini, sekarang?"
"Sayangnya tidak, Gilbert. Bukti-bukti ini semua menunjuk pada Adnan dan Bonquier, bukan Commedia dell'Arte. Sekalipun kelompok mereka pernah terlibat bisnis dengan Bonquier berdasarkan informasi Kiku, kita tidak punya cukup bukti untuk mem—"
Bunyi kaleng yang jatuh membuat empat polisi ini langsung mengangkat senjata. Mata keempatnya menatap waspada ke arah asalnya suara, namun tak satu pun dari mereka berhasil menangkap sosok tersebut. Lagi, terdengar bunyi kelebatan dari arah belakang, menyeberang dengan begitu cepat di antara mesin-mesin kasino yang besar, namun lagi-lagi gagal mereka identifikasi.
Geram dengan ini semua, Willem memutuskan untuk berlari ke arah datangnya bayangan, menghiraukan panggilan tertahan dari rekan-rekannya. Dengan pistol teracung, sang pria berdarah Belanda itu menelusuri deretan slot machines yang masih dalam tahap perubahan. Meja kerja dengna beberapa alat mekanik tergeletak di lantai, membuat Willem harus ekstra hati-hati ketika melangkah. Lagi, kelebatan itu lewat tepat di samping kiri Willem. Namun saat ia berbalik dan mengarahkan moncong senjata ke sudut tersebut, ia tak menemukan siapa-siapa.
Malah sebuah bom mungil yang direkatkan di mesin.
Panik, Willem berlari ke arah teman-temannya dan berteriak, "Bom! Kita harus segera keluar dari sini!"
Tak perlu diperintahkan dua kali, keempat polisi ini langsung berlari keluar dari gudang. Bunyi 'pip-pip-pip' dari hitung mundur waktu meledak membuat jantung mereka semakin berdebar tak karuan. Panik dan ketakutan bercampur menjadi satu. Tepat ketika mereka akhirnya jatuh terjerembab di tanah berpasir halaman gudang, bom meledak. Gudang berisi barang bukti dengan cepat terbungkus dalam balutan lidah api yang menjilat angkasa.
Belum habis rasa panik yang melanda para polisi ini, suara ledakan yang kedua terdengar. Lalu yang ketiga, dan keempat. Kali ini, semuanya berasal dari bangunan di samping gudang, tempat dimana Adnan dan anak buahnya berada. Jerit kesakitan terdengar dari dalam bangunan dan beberapa orang yang terbalut dalam api berlarian keluar gedung. Mereka berlari tak menentu arah, menggapai-gapai apa pun untuk mengenyahkan api yang melahap tubuhnya dengan begitu cepat. Lalu ledakan lain terdengar di pelataran parkir, menghancurkan dan menghanguskan mobil-mobil yang ada.
Antonio jatuh terduduk, lemas. Mata hijaunya menatap tak percaya. Gudang yang beberapa menit lalu masih berdiri kokoh sekarang mulai ambruk dimakan api. Orang-orang yang semula tampak begitu percaya diri akan kemenangan mutlak, sekarang berhamburan dan berlarian dengan tubuh dibalut api. Sadiq Adnan termasuk di antara mereka yang tubuhnya perlahan hangus oleh api.
Belum selesai kejutan yang diterima Antonio dan kawan-kawannya, tiba-tiba saja bunyi desing peluru langsung memenuhi halaman gudang. Peluru menghujani anak buah Adnan yang berlarian keluar, merobohkan mereka satu demi satu bagaikan lalat. Adnan menjadi orang pertama yang ambruk ke tanah, tak bernyawa, disusul yang lainnya. Dalam waktu singkat, tinggal Antonio bersama tiga orang temannya yang masih bernapas di sana.
"Lihat," gumam Francis sambil menunjuk ke puncak bukit karang yang tak jauh dari gudang.
Di sana, berdiri empat orang menenteng senjata laras panjang. Wajah mereka tak tampak jelas karena terhalangi oleh topeng keramik yang berkilau di bawah sinar matahari. Topeng keramik yang identik dengan topeng para anggota Commedia dell'Arte.
"Antonio, aku menemukan ini tak jauh dari gudang..."
Antonio mengambil carikan kertas dari tangan Francis—sedikit gosong di keempat sisinya—dan membacanya pesan kelewat singkat yang tertulis di sana:
Feel our vengeance in red flames.
Commedia dell'Arte
.
.
.
Karakter Hetalia Axis Powers yang muncul pada fanfiksi ini adalah kepunyaan Hidekazu Himaruya, saya tidak ambil untuk sepeser pun untuk pencomotan dan penistaan karakter di fanfiksi ini :P
Commedia dell'Arte adalah sebuah drama keliling di Italiayang diciptakan oleh seseorang yang tidak diketahui namanya
Sementara lisensi film Ocean's Eleven dan kedua sequel-nya dimiliki oleh Warner Bros
.
.
.
Dari sekian banyak kejadian yang telah Rangga Wicaksono alami sepanjang karirnya, ini adalah pengalaman paling menyebalkan dan bikin frustrasi. Sekalipun berkali-kali sang pemuda berambut hitam ikal ini berhasil lolos dari kematian dan tangan musuh, ia agak meragukan keberuntungannya untuk kali ini. Dia terpojok oleh dua orang menyebalkan. Meskipun ia berhasil menerobos keluar, di luar masih ada selusin lebih penjaga pribadi yang siap menyarangkan timah panas di sekujur tubuhnya.
Dead end.
"Sepertinya ajalmu akan segera datang, Brighella-sayang."
Rangga rela membayar berapa pun asal Bonquier tidak memanggilnya 'sayang' lagi. Kalau perempuan brengsek dengan senyum menyebalkan ini benar-benar 'menyayanginya', tak mungkin dia tega untuk membunuhnya, kan?
Rangga melangkah mundur ketika Bonquier beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekat. Jemarinya secara refleks bergerak ke arah pistolnya berada, tapi niatnya langsung sirna ketika Karpusi mengokang senjata dan mengarahkannya tepat ke kepala sang pembunuh. Yang bisa Rangga lakukan hanyalah mundur dan terus mundur sampai punggungnya beradu dengan pintu boks yang terkunci rapat serta dijaga ketat. Di depannya, Bonquier berdiri dengan angkuh dan senyum penuh kepuasan.
Tangan sang perempuan berkacamata bergerak naik dan mengelus lembut pipi Rangga, membuat sang pemuda berjengit sebal. Ia menarik mundur kepalanya dan malah terantuk sedikit ke pintu, membuat Bonquier mendengus tertawa.
"Sayang sekali kalau laki-laki setampan dirimu harus mati." bisik Bonquier sambil terus bergerak maju. Senyuman tipis menghiasi bibirnya yang merah merona dan mata cokelatnya berkilat penuh arti. "Bagaimana kalau kau beralih padaku, Brighella? Adnan maupun aku membutuhkan orang dengan talenta sepertimu di jajaran kami."
Bisikan lembut Mona Bonquier terasa bagaikan racun ular paling berbahaya ketika berucap, "Tinggalkan Commedia dell'Arte dan kau akan mendapatkan kekayaan yang jauh lebih besar. Bergabunglah bersamaku dan kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan di dunia. Bersamaku, kau akan mendapatkan apa pun yang kau inginkan."
Tak diduga-duga, Rangga menyambar pinggang Bonquier dan kedua bibir mereka bertautan. Sejenak, Bonquier berdiri kaku dan tak percaya. Namun perlahan tubuhnya mulai rileks dan tangannya mulai merengkuh pundak Rangga, meraih helai ikal kehitaman milik sang pemuda dan meremasnya lembut, memperdalam ciuman keduanya. Karpusi yang sedaritadi memperhatikan hanya bisa menggelengkan kepala.
"Kau tahu, Nona Bonquier," bisik Rangga sambil tersenyum kecil. "Terlalu percaya diri akan membuatmu lengah pada semuanya, termasuk aku."
Mona Bonquier mengedip tak mengerti. Ia baru membuka mulutnya untuk membalas omongan Rangga, tapi hanya suara berdeguk bercampur darah yang keluar dari mulutnya. Rasanya nyeri di perut sebelah kanan membuat si perempuan berkacamata menunduk perlahan dan matanya membelalak lebar ketika menyaksikan darah menetes.
Rangga tersenyum lebar melihat ekpresi ketakutan Bonquier. Ia memperdalam pisau lipat yang selalu ia selipkan di balik lengan jasnya, membuat sang pemilik kasino memuntahkan darah lebih banyak lagi. "Jangan kau kira hanya Sandrone seorang yang mempunyai pisau, Bonquier. Aku dan semua anggota Commedia dell'Arte sudah terlatih dalam seni menembak, bermain pisau, sekaligus bela diri."
"Ah, seharusnya kau tahu kalau pria licik sepertimu akan memakai tak-tik ini." gumam Karpusi dengan santai. "Kalau begini caranya, aku terpaksa membunuhmu, Brighella."
Berondongan peluru dari Karpusi berhasil dihindari oleh Rangga dengan menggunakan tubuh Bonquier sebagai tamengnya. Dengan gerakan yang hati-hati, Rangga berhasil mendekati Karpusi. Ia mendorong Bonquier yang sudah tak bernyawa ke arah Karpusi hingga menubruk sang pemuda Yunani dan menjatuhkan keduanya ke lantai, membuat Karpusi lengah. Di tengah kesempatan yang hanya beberapa detik, Rangga langsung mencabut pistolnya sendiri dan menembak Karpusi tepat di tengah matanya. Ia lalu berjalan santai mendekati Bonquier dan menembaknya di tengah kedua mata juga untuk memastikan perempuan ini benar-benar tewas.
Rangga menatap lega ke dua sosok mayat yang tergeletak bersimbah darah di bawah kakinya. Ia lalu berlutut di samping mayat Bonquier dan mengambil handphone-nya. Dengan mudah, ia membobol masuk ke telepon canggih tersebut dan menemukan kode pembuka brankas milik Bonquier. Dalam hitungan detik, ia sudah mengirimkan informasi tersebut kepada rekannya dan mengembalikan handphone tersebut ke saku Bonquier. Mata abu-abunya sekarang beralih ke pintu boks. "Sekarang, bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini? Di luar sana masih ada beberapa penjaga."
Dengan langkah lebar-lebar, Rangga berjalan mendekati jendela besar. Di luar sana, rally rupanya sudah dimulai. Gegap gempita penonton dan bunyi deru mesin memenuhi sirkuit. Tepat di bawah boks yang ia diami, rupanya adalah salah satu rest pit peserta rally. Cukup banyak orang di sana, tapi setidaknya mereka tak tahu siapa Rangga dan apa yang terjadi. Mereka tak akan sempat menahannya, apalagi menelepon polisi.
Rangga telah memutuskan jalur pelariannya. Ia melangkah mundur dan membidik kaca sambil dalam hati berjanji untuk tidak membuang-buang peluru demi menghancurkan selembar kaca tipis seperti ini. Baru saja sang pembunuh akan menarik pelatuk, terdengar keributan dari luar boks. Dari suara jeritan penuh kesakitan, apa pun yang terjadi di luar sana semakin mendekat dengan begitu cepat. Memang jarak antara boks dengan aspal di bawah sana terlalu jauh, tapi...
Panik, Rangga langsung menembakkan dua buah peluru dan berhasil memecahkan kaca boks. Ia baru memanjat tepian jendela yang penuh dengan pecahan kaca ketika pintu boks terbuka dan seorang pemuda berambut cokelat dengan Beretta di tangan. Topeng keramik berwarna hitam dengan hidung yang mancung dan tajam menutupi setengah wajah sang pemuda. Kriwil khas yang melengkung dan mencuat ke atas membantu Rangga untuk mengidentifikasi sosok tersebut.
"... Il Dottore...?"
Sang pemimpin Commedia dell'Arte itu melangkah masuk sambil menepuk-nepuk jasnya, membersihkan debu yang melekat dan mengembalikan senjatanya ke balik jas. Mata cokelatnya lalu menatap berkeliling dan tersenyum puas ketika mendapati mayat dua orang musuhnya. Matanya lalu bergerak naik ke atas dua mayat tersebut dan mengernyit kebingungan ketika melihat Rangga sudah setengah jalan hendak terjun.
"Kau sedang apa, Brighella?" tanya Il Dottore sambil mengulurkan tangannya. "Turun dari situ. Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri kalau benar-benar terjun."
Sambil tertunduk malu, Rangga meraih uluran tangan Il Dottore dan perlahan berjalan menjauh dari jendela. Keduanya sekarang berdiri di tengah ruangan, memperhatikan dua sosok mayat yang mulai membujur kaku di bawah kaki mereka. Pintu di belakang keduanya dibiarkan terbuka, namun sepertinya tak satu pun orang yang akan masuk ke dalam. Belasan sosok pengawal pribadi Bonquier tampak bergelimpangan di tangga. Beberapa masih hidup dan merintih kesakitan, tak bisa beranjak ke mana-mana.
"Apa yang membuat Anda memutuskan untuk datang kemari, Il Dottore?" tanya Rangga ragu-ragu. Biasanya, sang atasan baru turun gunung ketika anak buahnya melakukan tindakan kelewat bodoh dan harus dibereskan langsung olehnya. Apa jangan-jangan sekarang mereka juga melakukan kesalah fatal?
"Entah Il Capitano menyampaikan pesan ini atau tidak, tapi aku sudah mengatakan cukup jelas padanya kalau aku akan datang kemari untuk mengawasi misi kalian. Aku penasaran dengan muka menyedihkan macam apa yang terpasang di wajah Bonquier saat mendekati ajal." sahut Il Dottore sambil tersenyum puas. "Jelas wajah-wajah penuh kengerian dan ketakutan seperti ini yang kuharapkan. Kau berhasil, Brighella."
Rangga tersenyum dan membungkuk penuh hormat. "Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Il Dottore?"
"Mudah," balas Il Dottore. "Kita jemput yang lain, lalu pulang."
.
.
Arthur Kirkland menyesap tehnya dengan tenang, membuat Procopiou yang duduk di depannya mengernyitkan kening, kebingungan. Ditatapnya berkeliling para pembunuh sewaannya yang siap melubangi tubuh sang tangan kanan Il Dottore, tapi kenapa sikapnya masih setenang ini?
"Mungkin kau tidak tahu situasinya, Il Capitano," gumam Procopiou. "Commedia dell'Arte sudah tamat sekarang. Di berbagai sudut hotel, kami sudah memburu dan menghabisi kalian satu demi satu. Uang yang akan kalian incar juga tak akan kalian dapatkan. Kalian tamat, selesai. Tak ada lagi harapan atau jalan keluar bagi kalian, terutama kau."
Arthur meletakkan tehnya dan mengerling santai sambil tersenyum tipis. Senyum yang entah kenapa membuat Procopiou sedikit gentar dan merasakan ada yang tak beres. Orang ini tahu sesuatu.
Sang briton berambut pirang tak mengucapkan apa-apa ketika dari pintu masuk muncul beberapa kurir berseragam datang membawa deretan slot machine dan mengganti yang rusak dengan yang baru. Mereka juga memberikan beberapa kardus dadu yang baru dan mesin pengocok kartu sebelum keluar. "Mesin baru, Procopiou?" tanya Arthur santai.
"Ya, yang lama sudah ketinggalan zaman dan rusak." sahut Procopiou sambil menggertakkan giginya. "Kau mengalihkan pembicaraan, Kirkland. Seharusnya kau tahu dalam posisi seperti apa kau sekarang."
"Oh, aku tahu betul aku berada dalam posisi seperti apa, Tuan Procopiou." kata Arthur sambil tertawa renyah. Mata hijau mengerling sebentar ke lantai kasino sebelum kembali menatap Procopiou dengan penuh percaya diri. "Aku berada pada pihak yang menang."
Neoklis Procopiou mendengus dan tertawa mengejek. "Pihak yang menang?" ulangnya. "Kau mengigau, Tuan Kirkland. Tidakkah kau lihat sekelilingmu, hm? Mereka akan membunuhmu. Kau kalah jumlah. Dan bukankah aku sudah mengatakan padamu tadi kalau anak buahku sedang membunuh semua anggota Commedia dell'Arte di gedung ini? Kau yang kalah, Kirkland."
Kedua alis tebal lapis delapan milik sang pemuda Inggris terangkat naik, penuh kepuasan dan kembali menatap ke lantai kasino. "Sekalipun kau berhasil membunuh mereka, Commedia dell'Arte masih akan pergi dengan uangmu, Procopiou. Kasino kalian akan bangkrut malam ini."
"Apa maksud—"
Jerit gembiraan memenuhi lantai kasino area slot machines. Seorang perempuan muda melompat-lompat gembira ketika ia mendapatkan jackpot besar sejumlah puluhan ribu dollar. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya menjerit gembira ketika mesinnya berbunyi nyaring, mengumumkan kemenangan si pria atas dua puluh lima ribu dollar. Lagi, di sudut lain slot machine juga terdengar seruan gembira. Lagi, lagi, dan lagi. Total sudah ada sepuluh kemenangan dalam kurun waktu lima menit.
Keributan tidak berhenti sampai situ. Kegembiraan dengan cepat merambat ke meja poker, blackjack, roullette, dan semua meja judi di kasino. Setiap orang mendapatkan kemenangan yang tidak sedikit dan tidak hanya sekali.
Procopiou menatap tak percaya. Kemenangan bertubi-tubi dari para pengunjung sebanyak ini tak pernah ia lihat sebelumnya. Dalam waktu singkat, sudah begitu banyak orang yang menguangkan chips mereka dan keluar dari kasino membawa uang dalam jumlah besar. Kalau begini terus caranya, bisa-bisa kasino mengalami kerugian.
Sepertinya Procopiou tahu siapa dalang di balik ini semua.
"Kau..." desis Procopiou sambil menunjuk Arthur. "Kau berada di balik ini semua!"
"Aku? Ah, mana mungkin. Dari tadi aku menemanimu minum teh di sini, kan?" ucap Arthur dengan santai dan mengangkat cangkir tehnya.
Sepertinya sikap tenang dan omongan santai seorang Arthur Kirkland malah membuat Procopiou semakin kesal. Ia berbalik dan memberi perintah, "Habisi dia, sekarang! Aku tak peduli dengan para pengunjung kasino. Aku mau dia mati!"
Para pria berpakaian serba hitam itu yang semakin mendekat tidak membuat Arthur gentar. Mata hijaunya hanya melirik singkat ke kiri dan kanan sebelum kembali meraih cangkir tehnya. Dengan begitu tenang, ia minum habis cairan kecokelatan di dalamnya, menghiraukan suara kokangan senjata dan jerit kengerian para tamu kasino. Tamu-tamu mulai berlarian meninggalkan lantai tersebut, ketakutan, tapi tidak Arthur Kirkland. Sang tangan kanan Il Dottore malah tersenyum lebar dan berbisik pelan, "Kalian salah besar kalau mengira bisa membunuhku dengan mudahnya."
Baru saja Arthur menutup mulutnya dan bunyi tembakan keras terdengar. Bukan, bukan berasal dari orang-orang berpakaian serba hitam, melainkan dari seorang pemuda berambut pirang bersisiran rapi dengan topeng keramik berwarna biru tua. Dengan senapan laras panjang semi otomatis memudahkan ia menyerang dan menghabisi musuh-musuhya. Serangannya begitu mendadak dan membuat musuh-musuhnya tak sempat membalas tembakannya. Satu demi satu mereka jatuh berlumuran darah, tak bernyawa.
Arthur Kirkland masih duduk tenang sambil menyilangkan kaki, memperhatikan mayat-mayat jatuh di sekitar kakinya dan mendesah panjang. Mata hijaunya melirik sebal ke sosok pria berambut pirang yang berdiri di sampingnya. "Pekerjaanmu sangat berantakan hari ini, Burrattino." Il Capitano mendengus kesal.
"Seharusnya kau berterima kasih sudah kubantu, Il Capitano." gumam Burrattino sambil memutar kedua bola matanya, jengah. Ia memanggul senapan mesinnya dan berjalan santai mendekati Arthur. "Mungkin sebaiknya kita pergi dari sini. Polisi dan pihak keamanan hotel akan segera memenuhi tempat ini."
"Kau benar," Arthur meletakkan cangkir tehnya yang sudah kosong dan beranjak berdiri dari sofanya. Ia berjongkok di samping mayat Procopiou, menggeledah tubuh sang manager hotel, dan mengambil handphone-nya. Arthur mendengus pelan ketika dengan mudahnya ia masuk ke dalam telepon genggam sang manager. Tidak dikunci. "Ayo, kita harus tunggu yang lainnya di tempat pertemuan. Omong-omong, apa ada kabar dari Arlecchino dan yang lainnya?" ajaknya sambil mencari-cari kode yang ia butuhkan untuk pencurian.
"Ya, mereka sudah berhasil memusnahkan Adnan dan kelompoknya. Dilihat dari kegembiraan di sini—tadi, sebelum aku muncul dan mulai membantai mereka—sepertinya mereka juga berhasil mengubah semua mesin-mesin kasino yang dibuat Adnan."
Arthur tersenyum kecil. Jemarinya dengan cepat mengetik kode pembuka brankas yang disimpan Procopiou dan mengirimkannya. Ia dan Burrattino lalu berjalan santai menuju pintu keluar. Sudah cukup banyak orang-orang yang berlarian keluar kasino, ketakutan ketika mendengar bunyi tembakan, mayat, dan Burrattino yang memanggul senapan semi-otomatis yang masih mengeluarkan asap dari moncongnya. Keduanya berjalan dalam diam dan masuk ke dalam sebuah sedan putih yang menunggu tak jauh dari pintu keluar kasino. Tepat di belakang mereka adalah suara sirene polisi yang semakin mendekat, terlambat beberapa detik dari tangkapan mereka.
"Hm... Keributan yang cukup heboh kau buat di dalam sana, Burrattino."
"Saya tak punya pilihan lain, Il Dottore. Bermain bersih hanya akan membuat Il Capitano menjadi sarang peluru dalam hitungan detik."
"... menertawaiku, Brighella? Kenapa kau tidak konsentrasi pada jalanan di depanmu dan jadilah supir yang baik tanpa menguping pembicaraan kami di belakang sini."
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini," bisik Burrattino, khawatir. Mata biru di balik topeng keramik itu menoleh khawatir ke belakang. Beberapa mobil polisi mulai dinyalakan kembali dan siap mengejar beberapa mobil yang tampak meninggalkan pelataran parkir kasino. "Polisi-polisi mulai memutuskan untuk bergerak mengejar siapa saja."
" Bagaimana dengan Tartaglia, Pantalone, dan Scapino?" tanya Brighella, menatap dua orang yang duduk di kursi belakang. "Bukankah mereka juga harus dijemput?"
"Mereka sudah punya rute pelarian sendiri." ucap Il Dottore dengan santai. "Toh, aku sudah cukup melihat uang Bonquier berlarian panik keluar kasino. Aku penasaran berapa banyak uang yang keluar dari pintu itu barusan. Belasan juta? Puluhan?
"Berapapun jumlahnya, ini adalah perampokan terbaik."
.
.
Feliciano Vargas berjalan santai sambil mendorong kereta makan. Kakinya yang beralaskan sepatu kulit mahal—dibuat di Italia, dijahit dengan tangan—melangkah tenang tanpa suara di atas karpet lembut. Siulan kecil ia senandungkan dengan begitu riangnya sambil tersenyum penuh kegembiraan.
"Oh," keluh Feliciano ketika ia melihat noda merah menetes mengenai taplak putihnya. "Aku kurang teliti cuci tangan tadi, ve..."
Masih bersenandung kecil, Feliciano mengambil sapu tangan putihnya dan mengelap bersih darah yang masih menetes dari telapak tangannya. Bukan, itu bukan darahnya, melainkan darah orang-orang bodoh yang mencoba untuk membunuhnya beberapa menit lalu di dapur. Orang kelewat bodoh yang meremehkan Feliciano.
Sekalipun pemuda berambut cokelat ini mempunyai wajah polos dan selalu bersikap seperti anak-anak, ia diberkati dengan kemampuan beladiri yang luar biasa. Bila anggota Commedia dell'Arte yang lainnya mempunyai kelebihan dalam membunuh dengan senjata, maka pemuda Italia ini diberi bakat untuk membunuh hanya dengan tangan kosong.
"Bunuh dia! Bunuh dia!"
"Sial, dia cepat sekali! Argh!"
"Brengsek! Bagaimana mungkin orang seperti dia bisa secepat ini?! Orang selemah dia tidak mungkin—"
Feliciano terkikik geli ketika jeritan ketakutan para musuhnya itu kembali terputar di ingatannya. "Salah mereka sampai meremehkanku, ve~ Aku ini, kan, Pantalone. Salah satu anggota inti Commedia dell'Arte, ve. Mana mungkin fratello memberiku jabatan setinggi ini kalau tidak bisa apa-apa, vee~"
Feliciano kembali melajutkan perjalanannya. Kamar yang ia tuju sudah dekat, tinggal satu belokan dan dia akan sampai ke kamar tersebut. Mata cokelatnya memastikan bahwa nomornya sama (Feliciano kadang sering salah alamat karena salah membaca nomornya) dan tersenyum sumringah setelah yakin inilah kamar yang ia tuju. Dengan riang, ia mengetuk dua kali.
"Room service, vee~"
Bunyi 'grasak-grusuk' dari dalam kamar terdengar sebelum pintu kamar akhirnya dibuka. Di ambang pintu, berdirilah sesosok pemuda Asia berambut hitam lurus dengan poni nyaris menutupi alisnya. Mata cokelatnya menyorot dengan penuh kebosanan. "Kau terlambat," katanya.
"Masa', ve? Habis tadi aku diajak main dulu dengan orang-orang aneh berpakaian hitam~" ucap Feliciano dengan riang. Ia mendorong troli makanannya ke dalam kamar. Tak jauh dari pintu masuk, ia melihat seorang pria berpakaian serba hitam—serupa dengan yang ia temui di dapur—dan menoleh ke pemuda di sampingnya. "Ho... rupanya tadi ada tamu, ya?"
Razak Wicaksono mendengus sebal dan menendang mayat di bawah kakinya. Sudah setengah jam orang ini tewas, tak bernyawa. "Dia sendiri yang bodoh, berani datang sendirian ke sini dan mengira kalau aku bisa dihabisi semudah itu."
"Kamu beruntung sekali, ve. Aku harus bersusah-payah melawan selusinan orang, ve..."
Raza tidak menggubris ocehan Feliciano. Ia terlalu sibuk mendorong troli sampai ke ruang tengah. Dengan gerakan yang cekatan, Razak menyingkapkan taplak putih dari troli tersebut dan mengeluarkan dua koper besar berwarna hitam. Ia mengeluarkan kedua koper tersebut dan meletakkannya dengan hati-hati di lantai. "Hei, Pantalone. Bantu aku memasang bom ini."
Pantalone—Feliciano—berjalan dengan riang mendekati Razak. Ia mengambil satu koper yang ditunjuk Razak dan membukanya. Sepuluh bom kecil tersimpan di dalam koper tersebut, siap untuk diledakkan. "Mau dipasang di mana, ve?"
"Terserah," sahut Razak. Jemarinya sibuk bergerak lincah di atas keyboard, mengatur waktu ledakan dari semua bom-bom yang ada di dalam koper. "Oh, tolong panggilkan Tartaglia juga. Seharusnya dia sudah sampai di kamar tidur utama sekarang. Tolong jemput dia dan bawakan uangnya kemari."
Melangkah riang, Feliciano Vargas berjalan ke arah kamar tidur. Kepalanya menyembul dari bordes pintu dan menyapa gembira sosok yang baru saja melompat dengan mulus di atas kasur. Delapan buah tas besar berisi uang tunai berserakan di lantai kamar.
"Tartaglia, veee~ Terima kasih untuk kerja kerasnya hari ini~ Kau capek?"
Kepala berambut pirang ikal mendongak. Matthew Jones menatap Feliciano sambil tertunduk malu dan mengangguk pelan, lalu berbisik, "... sama-sama..." Sebelum kembali tertunduk dan sibuk mengangkut delapan tas yang berat itu.
"Ve, ve. Scapino memintaku untuk mengajakmu keluar! Bantu aku memasang kembang apinya, yuk!" ajak Feliciano. Pemuda Italia itu langsung berlari ke tempat tidur, mengambil tiga tas sekaligus, dan berlari riang kembali ke ruang tengah.
Di ruang tengah, Scapino sudah selesai memasang bom dan sedang mengemasi barang-barang penting yang tak bisa ditinggalkan. Mayoritas adalah dokumen-dokumen serta beberapa hard disk berisi data kursial milik Commedia dell'Arte. Sisanya ia bersihkan dari komputer dan laptop. Bunyi 'pip-pip-pip' sayup-sayup terdengar memenuhi kamar suite tersebut.
"Kalian kelamaan!" bentak Razak. "Semua bomnya sudah kupasang. Sekarang, letakkan tas-tas itu di sini dan kita bersiap-siap saja untuk pergi dari sini. Ini."
Razak melemparkan dua buah benda bulat mungil berwarna metalik. Benda tersebut bisa dibuka dan membelah menjadi setengah lingkaran. Satu sisinya begitu lengket, cukup kuat untuk menempel erat pada tembok, sementara di dalamnya terdapat gulungan kawat tipis yang sanggup mengangkut beban seorang manusia dewasa.
"Ke mana aku harus pasang ini, ve?" tanya Feliciano, kebingungan.
"Keluar," balas Razak dengan entengnya. Ia menutup restletingtas punggungnya dan berjalan ke beranda. "Kita punya waktu liima menit untuk bergerak ke bawah."
"Ke bawah? Tapi, kita ada di lantai paling atas, ve..."
"Kalau begitu, sebaiknya kita pergi sekarang, Pantalone."
Scapino berlari keluar dan dengan cepat memasang gadget mungil tersebut di railing beranda. Ujung satunya ia lilitkan di sekitar pinggangnya dan tanpa pemberitahuan lagi, ia langsung terjun dari beranda. Kawat kecil yang menopang berat badannya terus mengulur semakin panjang. Pelataran parkir di depan kasino tampak semakin mendekat di bawah sana. Sialnya, ketika Scapino dan yang lainnya tinggal sedikit lagi sampai, tali mereka habis.
Bunyi ledakan keras menyentakkan Scapino dan rekan-rekannya ketika mereka melihat kamar suite yang seminggu lebih telah mereka tempati meledak. Kawat yang menopang berat badan mereka mulai terasa mengendur dan lambat laun tubuh mereka jatuh bebas dari ketinggian tiga lantai. Dalam situasi seperti ini, orang biasa pasti sudah panik.
Tapi tidak para anggota Commedia dell'Arte.
Melihat deretan kanopi berwarna kehijauan di bawahnya, Scapino memberi isyarat kepada dua orang rekannya mengarah ke deretan kanopi tersebut. Mudah sekali bagi mereka bertiga untuk bermanuver di udara dan mendarat mulus di atas kanopi. Empat kali tembakan dari Scapino berhasil merusak tiang penyangga kanopi dan menghantarkan ketiganya ke bawah, tepat di tengah-tengah pengunjung yang berlarian ngeri. Kehebohan semakin menjadi ketika ledakan dari kamar suite terjadi.
Razak Wicaksono berjalan santai meninggalkan hotel bersama Feliciano dan Matthew—masih memeluk boneka beruang putih—dan melihat sebuah truk pengangkut berhenti tepat di depan mereka. Truk yang sama dengan yang keluar dari gudang persembunyian milik Sadiq Adnan. Truk tersebut berhenti tepat di depan Razak dan pintu belakangnya terbuka, menampilkan sosok Arlecchino dan Scaramuccia berdiri di pintu masuk. Keduanya tersenyum lebar ketika mengulurkan tangan, menarik tiga orang rekan mereka ke dalam truk.
"Katakan pada Il Dottore, misi berhasil."
.
.
Antonio Fernandez Carriedo termenung di meja kerjanya, menatap hampa amplop cokelat berisi barang-barang bukti dari misinya di Monte Carlo. Barang bukti yang kelewat sedikit...
Tak ada barang bukti, tak ada saksi, bahkan tak ada penjahat untuk mereka ringkus dan seret ke penjara. Tak ada apa-apa. Semuanya sudah dihabisi oleh Commedia dell'Arte tanpa bersisa. Commedia dell'Arte menghabisi semuanya: Sadiq Adnan, Mona Bonquier, Herakles Karpusi, Neoklis Procopiou, bahkan para pembunuh dan anak buah Adnan. Bukan hanya mayat yang ditinggalkan Commedia dell'Arte¸ mereka juga meninggalkan dua tempat hancur berantakan. Hotel sekaligus kasino terbesar di Monte Carlo dan sebuah gudang tepi pantai yang hancur rata dengan tanah. Lalu uang... Kelompok ini tidak meningalkan uang sepeser pun di brankas, maupun di kasino.
Ketukan pelan di pintu kantor Antonio membuat detektif Spanyol itu mendongak. Rupanya Tiga orang temannya yang datang. Rapat bersama dengan Inspektur Berwald sepertinya sudah selesai. Antonio tidak ikut pada rapat kali ini. Ia terlalu kecewa dengan misi kali ini, membuatnya tak sanggup menghadiri rapat. Malu, katanya.
"Kau kenapa, Antonio?" tanya Gilbert. "Jangan murung terus, ah. Sungguh tidak awesome. Apa yang kau pikirkan?"
"Kenyataan bahwa kita tidak berhasil menangkap siapa-siapa, bahkan dari pihak Adnan ataupun Bonquier." gumam Antonio pelan. "Dan kenyataan bahwa Commedia dell'Arte tidak mengambil satu peser pun uang dari Bonquier. Ia membiarkan setengahnya 'dibawa kabur' oleh pengunjung kasino yang menang mendadak dan sisanya ia ledakan. Aku tak mengerti..."
"Mereka hanya mau menyampaikan pesan kepada yang lainnya untuk tidak main-main dengan mereka." ucap Willem. "Siapa pun yang mengkhianati mereka akan dihabisi. Nyawa mereka akan diambil dan harta mereka dikuras habis."
"Lalu uangnya?"
"Menegaskan kalau Commedia dell'Arte sudah cukup berkuasa tanpa perlu uang. Mereka hanya ingin memberi pelajaran kepada Bonquier. Sepertinya, membunuh perempuan itu masih belum cukup bagi Commedia dell'Arte, makanya mereka—"
"Merampas habis hartanya."
Willem dan yang lainnya terdiam beberapa menit, tak tahu harus berkata apa. Memang selama ini mereka yang menangani kasus Commedia dell'Arte, tapi tak pernah mereka menemukan kasus seperti ini. Dulu, semuanya tampak mudah. Mereka membunuh karena dendam. Mereka merampas harta karena bisnis. Namun tak pernah Commedia dell'Arte menunjukkan ketidakpedulian mereka atas harta dan nyawa orang lain. Kasus kali ini berarti satu:
Siapa pun yang macam-macam dengan Commedia dell'Arte akan mengalami akhir yang mengerikan.
"Omong-omong, tadi Roderich mengatakan kalau ia menemukan sesuatu yang menarik tentang Commedia dell'Arte." kata Gilbert. "Mata-mata kita menemukan jejak gudang baru milik Commedia dell'Arte, tak jauh dari sini. Sepertinya itu gudang kokain mereka."
"Bagaimana dia bisa yakin kalau itu milik Commedia dell'Arte?"
"Karena mereka tak sengaja menemukan ini di gudangnya." Gilbert melemparkan sebuah kertas lusuh berisi daftar barang-barang—mayoritas adalah narkoba. Nama yang tertera sebagai pengawas langsung gudang yang membuat Antonio kembali bersemangat.
Arlecchino.
.
.
Bunyi gelas anggur saling beradu memecah keheningan makan malam di markas besar Commedia dell'Arte. Mereka merayakan kemenangan dan kesuksesan besar atas misi mereka di Monte Carlo. Semuanya berjalan begitu lancar, terlalu lancar.
"Dan yang paling penting," ucap Il Dottore dengan suara lantang. "Kita berhasil menyampaikan pesan yang jelas kepada para rekan dan musuh kita. Kalau mereka berani macam-macam dengan Commedia dell'Arte, mereka akan merasakan pembalasan yang begitu pahit."
Gumaman dan anggukan setuju memenuhi meja panjang tersebut.
Pesta beesar terus berlanjut sampai larut malam dan minuman keras beredar dengan cepat. Brighella tengah tertawa melihat tingkah Arlecchino dan Scaramuccia yang berlomba meminum beer sebanyak mungkin (mereka protes dan melarang ketika Burrattino hendak ikut serta) ketika Il Dottore menepuk pundaknya. Sang pemimpin memberi isyarat kepada Brighella untuk menemaninya ke balkon.
"Laporan Scaramuccia yang mengatakan bahwa polisi terlibat membuatku tak tenang." kata Il Dottore, langsung menuju pusat permasalahan. "Aku tak suka dengan gerakan polisi yang semakin lama semakin cepat, terutama si Carriedo itu."
Brighella hanya terdiam dan menanti. Ia masih tak tahu ke mana arah pembicaraan ini karena Il Dottore adalah pria yang tak bisa ditebak.
"Aku ingin kau menyusup ke dalam kepolisian dan habisi mereka."
Kedua alis Brighella terangkat naik. Hm, ini jelas di luar dugaan.
"Aku membutuhkanmu sebagai mata-mata di kepolisian. Habisi mereka dari dalam, terutama Carriedo. Tugasmu juga untuk menjaga supaya logistik kita yang tertahan di kepolisian bisa kita ambil dengan mudah."
"Tapi bukankah sudah ada Mez—"
"Mezzettino mempunyai tugas lain, Brighella." potong Il Dottore ketus. "Tugasmu adalah meyakinkan bahwa logistik kita akan sampai kembali dengan aman dan mencegah polisi untuk mencapai kita. Kau mengerti?"
Brighella hanya mengangguk pelan dan bertanya, "Kapan Anda ingin saya menyusup?"
"Besok," sahut sang pemimpin. "Aku sudah menghubungi Mezzettino. Besok, kau mulai bekerja di kepolisian. Apa kau sanggup, Brighella?"
Brighella terdiam. Kalau mau jujur, ia bukanlah penyusup dan ahli menyamar paling handal di antara Commedia dell'Arte. Masih ada yang lebih ahli daripada dia. Lihat saja Tartaglia yang sanggup menerobos pertahanan brankas dan kamera pengawas Bonquier, entah bagaimana caranya. Ya, Brighella memang handal ketika harus menyusup ke tempat korban, tapi itu tidak dalam jangka panjang seperti ini. Dia bukan mata-mata, dia pembunuh.
Sepertinya kemelut yang berkecamuk di hati Brighella terlukis jelas di wajahnya. Il Dottore tersenyum kecil dan menepuk-nepuk pundaknya sambil berbisik lembut, "Aku yakin kau pasti bisa, Brighella. Misi yang kemarin sudah cukup untuk meyakinkanku kalau kau bisa menyusup ke markas musuh tanpa dikenali."
"Anda salah, Il Dottore..." gumam Rangga pelan. "Musuh tetap mengenali saya."
"Karena kau memang sengaja meninggalkan jejak kepada mereka. Itu bagian dari rencana brilianmu, bukan? Dan si bodoh itu dengan mudahnya termakan jebakan yang kau buat. Dia merasa paling pintar karena berhasil mengetahui sosok asli kalian. Bodoh sekali." kata Il Dottore sambil tertawa mengejek. "Bagaimana? Kalau kau menolak pun aku tak akan mengizinkan. Kau harus menjalankan misi ini."
Ah, Il Dottore dengan sikap keras kepalanya. Sudah seharusnya Brighella tahu kalau tak ada ruang baginya untuk menolak tugas sakral dari sang atasan.
Sebagai bawahan yang baik dan penurut, Brighella tahu kalau ia seharusnya langsung mengiyakan perintah sang atasan. Namun entah mengapa, hatinya menjerit, memaksa lidahnya untuk berkata 'tidak' dan menolak misi ini.
Tapi sejak kapan seorang Brighella, pembunuh andalan Commedia dell'Arte, pernah mendengar kata hatinya?
"Apa pun untukmu, Il Dottore."
.
.
THE END
.
.
.
Notes: Akhirnya ini kelaaarrr! Maaf, ya, kalau cerita ini lama gak saya update. Semingguan lebih saya harus berkutat dengan proyek dan bulan Desember ngurusin UAS (tenang, saya bagian pemberi UAS, bukan penerima UAS. Kerja saya tinggal bilang, "Jelek.", "Revisi.", "Lumayan, tapi masih kurang." ke mahasiswa~ #plak) Semoga kalian puas dengan chapter ini~ Banyak yang off screen, tapi gak apa-apa, ya~ XDD
Ferra Rii: Beneran gak boring? Makasih~ Ini udah tamat, kok, hohoho~ Mana gambarnya? Mau, mau, mau! OuO Nih, di chapter ini ada MonaIndo beneran OuO Makasih reviewnya~
F. Freyja: Ohohohoho~ #plak Tapi di sini mereka menjebak balik :| #wuopo emang, tuh, Will adegannya film India banget #eh #siapayangbuathei Makasih reviewnya~
Nyasar-tan: #pukpukdirimu saya emang hobi ngasih cliffie imut gratisan. Kasian kalo disimpen sendiri, ntar saya nyesek sendirian kan gak asik :| Sejujurnya saya gak tau ini Monaco di versi Himaruya kayak gimana karakterisasinya... Makasih reviewnya~
Kagamiyo Neko: Cie, DERPSENcoretWillem~ tapi tetep ada pairing dikit di sini QuQ #nguk Makasih reviewnya~ saya lagi keabisan bumbu WillRang, jadi gak dipake di sini, ohohoho~
Yukina Langley: Pokoknya bisa aja QuQ #argumentinvalid #biarin WillRang udah cuma seiprit aja, yaa~ Biarkan mereka lovey-dovey di GF aja OuO #ituloveydovey? Rate M karena alur ceritanya. Makasih reviewnya~
MoonZheng: booooy~ Kangen dirimu nongol di kotak review QuQ Biarin aja Rangga ketahuan, toh di sini dia balik meng-scumbag-i musuhnya #eh Boy, kangen nonton Silet lo? #ngoook Makasih reviewnya, boy~
Rhiani: Rencana kebaca, tapi mereka berhasil mengalahkan musuh~ Makasih reviewnya~
Higitsune84tails: WillRang emang Bollywood banget, hahahaha! Emang udah finish di chapter ini QuQ #pukpukdirimu Semua pertanyaan dirimu terjawab di chapter ini, ya~ XDD Eh, tapi ada pair nyempil dikit... Makasih reviewnya~
UchihaMaya: Makasih banget dibilang keren QuQ hm... gimana, ya? Mendadak muncul? #ngok Saya sendiri juga gak tau QuQ Gak semudah itu kena tipu, koook~ Makasih reviewnya, ya~
Shinku Tsuu-ki: Dan ini udah chapter 4, terus tamat OuO #eh Makasih reviewnya~
Hetalia Lover: Gak apa-apa~ #peyuk Cliffie saya emang imut, makasih #plak #plak #DOR Di sini emang beneran ada MonaIndo #yes #inthatorder Matthew gitu-gitu jago, lhoo~ Ciee Matthew~ #eh Makasih reviewnya~
Terima kasih banyak untuk review-review kalian semua~ :D