Notes: Ini utang saya yang masih belom kebayar. Saya janji sama seseorang mau bikinin prequel Godfather, terus ini idenya udah nimbun entah dari kapan, baru sempet saya ketik sekarang... TT^TT
Disclaimer: Karakter masih kepunyaan Hidekazu Himaruya. Saya gak ambil keuntungan sepeser pun dari pencomotan dan penistaan karakter macem ini~ #narihula Anyway, ada beberapa OC yang saya pake. Tenang~ Cuma si anak madesu coretyanglebihmadesudariGarc oret sama adeknya yang gak kalah madesu corettapitetepsescumbagSetia budicoret, kok~
Warning: Rated M for crime, yaoi, adegan ranjang, tembak-tembakan, pembunuhan, dan intrik mafia. Idenya, sih, pengen macem Ocean's Eleven tapi ala Commedia dell'Arte. Maaf, kalo ini malah jadi epic fail... TT^TT Oiya, OC ada dua biji, tapi main chara tetep si ehem madesu yang pas dia saya bunuh di Godfather, kolom review banjir capslock dan derai air mata di kala tahun baru #pentinggila
.
.
Mata abu-abu menatap tajam dari balik topeng keramik berwarna hijau toska. Tali tipis yang biasanya terikat rapi membentuk simpul kupu-kupu di tengah helaian rambut hitam ikal kali ini terikat asal, membuat topeng yang cukup berat itu nyaris jatuh. Beruntung pemakainya tidak sedang berdiri, melainkan terbaring di atas tempat tidur dengan kedua tangan dan kaki terikat erat pada masing-masing kaki tempat tidur.
Brighella hanya bisa menghela napas panjang, sebal dengan peruntungannya yang belakangan ini jelek. Coret. Sangat jelek.
Bagaimana tidak? Belakangan ini ia selalu nyaris gagal menjalankan misi dari Il Dottore. Contohnya misi beberapa hari yang lalu untuk membunuh seorang kingpin di daerah harlem Los Angeles. Ia nyaris menjadi daging cincang saat menyusup ke dalam rumah sang target. Entah darimana musuhnya bisa tahu mengenai dirinya yang menyusup dalam diam dibalut gelapnya malam. Beruntung dia sempat minta bantuan Burrattino, sang ahli ledakan, untuk membantunya. Kalau tidak, ya itu tadi: dia sukses menjadi daging cincang, mati ditebas ratusan pisau dan peluru yang mengarah ke tubuhnya.
Sebenarnya Brighella punya satu nama yang terlintas di kepalanya: Il Capitano. Si alis tebal dengan senyum penuh percaya diri yang sok gentleman itu sudah dari dulu menunjukkan ketidaksukaan padanya. Ketimbang ketidaksukaan, lebih tepat kalau disebut iri. Ya. Sang tangan kanan pemimpin Commedia dell'Arte cemburu pada pencapaian Brighella yang lebih gemilang ketimbang dirinya dulu. Otomatis, nama Brighella menjadi nama favorit bagi atasannya untuk dipanggil misi.
Bicara tentang misi, seharusnya pikiran Brighella tidak mengawang-awang ke misi lampau yang sudah ia tuntaskan. Ia harus menemukan cara bagaimana bisa lepas dari ikatan ini. Satu hal yang masih ia syukuri adalah pakaiannya yang masih tersemat di badan.
"Ah, rupanya kau sudah bangun."
Suara berat dan serak terdengar dari sudut remang ruangan tersebut—setelah diperhatikan, sepertinya ini kamar tidur sang target. Sesosok pria besar berjalan mendekati tempat tidur dengan senyum lebar penuh kepuasan terpampang di wajahnya. "Sungguh bodoh dan naif kalau kau berpikir bisa membunuhku, Brighella. Atasanmu itu juga sama bodohnya. Dia kira, dia bisa menghabisiku hanya dengan seorang pembunuh sepertimu? Butuh ratusan—bahkan puluhan ribu—orang untuk bisa menembus pertahananku!"
Brighella hanya terdiam sambil mendengarkan ocehan sarat kesombongan laki-laki kelebihan lemak ini. Tangannya sibuk memutar, mencoba mencari celah untuk melepaskan ikatan. Ah, beruntung tali-talinya melilit pergelangan tangan, dekat dengan manset kecil yang tersemat di setelan jasnya.
"Nah, sekarang," Laki-laki itu bergerak mendekat dan menaiki tempat tidur. Tubuh besarnya menindih kedua kaki Brighella, membuat sang pembunuh mengerenyit kesakitan. "Mari kita lihat bagaimana rupa di balik topeng ini. Sudah lama sekali aku penasaran dengan sosok sebenarnya pembunuh nomor satu Commedia dell'Arte."
Sedikit panik, Brighella mencoba untuk menghindari tangan yang terulur hendak mengambil topengnya. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, berusaha menghindari tangan tersebut untuk meraih topeng hijau toskanya, tak ingin wajahnya diketahui oleh musuh. Bisa bahaya kalau—
Brighella tersenyum tipis sambil berbisik, "Akhirnya." Bisikannya membuat tangan si penangkap terhenti di udara. "Kau tahu? Seharusnya kau membunuhku saat kau sempat." ucap Brighella dengan santai, seolah-olah identitas maupun nyawanya tidak dalam bahaya.
Melihat senyum tipis yang terukir di wajah pembunuh nomor satu ini membuat laki-laki bertubuh besar itu gentar. Sesuatu yang tak beres pasti terjadi dan sialnya, ia tak tahu apa itu. Sungguh, ia tidak suka saat orang lain tahu lebih banyak ketimbang dirinya sendiri.
Beruntung, ia tak harus menunggu lama, karena detik berikutnya, Brighella sudah melepaskan ikatan di pergelangan tangannya dan mengacungkan sepucuk pistol mungil sebesar telapak tangan.
Sekarang, keringat dingin membanjiri tubuh pria itu. Ini betul-betul di luar dugaannya.
"Menungguku sampai sadar untuk membuka topeng dan membunuhku itu sungguh perbuatan yang tolol, kalau kau mau tahu." desah Brighella dengan santainya, seolah-olah ia sedang berkeluh kesah dengan sesama rekan Commedia dell'Arte-nya mengenai cuaca mendung tanpa secercah sinar mentari. Tangan kirinya masih mengacungkan pistol yang mengarah tepat ke kening target, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengikat erat simpul topengnya. Cukup sulit karena ia hanya bisa menggunakan satu tangan.
Mata biru keruh milik laki-laki tak bernama—Brighella tak pernah mau repot mengingat nama targetnya—membelalak lebar, penuh rasa ketakutan. Ekspresi itu bukannya membuat Brighella menaruh iba pada laki-laki di depannya, melainkan kegembiraan aneh yang membuat detak jantungnya bergejolak dipenuhi lonjakan adrenalin.
"Seharusnya kau sendiri tahu kalau kau dan kelompok mafia kacanganmu itu bukan tandingan kami. Kau malah berani menyalip kami dengan terang-terangan. Aku tak tahu kau ini pemberani atau bodoh." ucap Brighella sambil tersenyum kecil—senyum yang bisa terlihat manis kalau tidak ditunjukkan di saat ia sedang mengacung pistol ke tempurung orang lain. "Kau sudah tamat di saat kau menghina Commedia dell'Arte."
Laki-laki itu menelan ludah. Kerongkongannya kering dalam seketika dan tubuhnya gemetar hebat. Segala keberanian dan percaya diri yang beberapa menit lalu masih bersamanya menghilang.
Suara tembakan keras terdengar menggaung di ruangan besar dan tubuh besar itu jatuh menghantam kasur empuk berlapis linen putih bersih. Sekarang, kain itu sudah ternoda oleh warna merah pekat yang kental dengan aroma metalik menguar di udara. Brighella sudah berhasil menyelesaikan tugasnya: target berhasil dibunuh.
Tepat saat Brighella berdiri dari tempat tidur—agak susah, mengingat setengah tubuhnya tertiban tubuh korbannya—pintu kamar terbuka lebar. Masuk dua orang bertopeng abu-abu muda dan biru tua dengan mausser tergenggam. Muka keduanya tampak tegang, namun mulai rileks ketika melihat Brighella berdiri dengan santai di samping tempat tidur dengan sesosok mayat tergeletak di atas tempat tidur.
"Kukira kau sudah mati atau apa." gumam si pria bertopeng abu-abu muda. Rambut pirangnya berantakan, lebih berantakan dari biasanya. Mausser yang semula teracung tinggi, siap untuk menembak, telah diturunkan. Dengan langkah panjang, ia bersama rekannya menghampiri Brighella yang masih berdiri di samping tempat tidur. "Kau tidak apa-apa, kan?"
"Hanya sedikit lecet di lengan." gumam Brighella sambil memperhatikan pergelangan tangannya. "Sepertinya pisau kecil yang dipasang di manset ini yang menyelamatkanku. Rupanya ide gila Pantalone untuk memasang pisau di manset ini jenius. Aku jadi bisa memutuskan talinya dengan ini."
Pria dengan topeng abu-abu muda—Scaramuccia—mendesah lega. Matanya lalu menangkap sebuah pistol kecil sebesar telapak tangan yang masih dipegang Brighella. "Pistol siapa itu? Kukira pistolmu disimpan target."
"Oh, memang. Aku hanya pinjam ini." kata Brighella santai. "Rupanya si bodoh itu menyimpan pistol ini di bawah bantal untuk jaga-jaga bila serangan dadakan."
"Hmh. Serangan dadakan, ya. Sayang sekali, dia pasti tak menyangka kalau pistol kecilnya ini malah menjadi serangan dadakannya?" timpal Scaramuccia sambil tersenyum sinis. Matanya melirik menghina ke arah mayat berlumuran darah dan berjengit. "Menjijikkan sekali orang ini. Beruntung kau bisa membunuhnya."
Brighella tersenyum penuh bangga. Ya, beruntung dia bisa membunuh orang ini dengan segera.
"Hei kalian berdua, kita harus segera pergi dari sini." ucap si pria pirang bertopeng biru tua, Burrattino. Ia melirik arloji yang terpasang di pergelangan tangannya dan melirik was-was ke arah pintu yang terbuka lebar. "Bom yang kupasang akan segera meledak."
"Bagaimana dengan Sandrone dan Pulcinella? Bukannya mereka masih di bawah?" tanya Scaramuccia sambil mengikuti Burrattino yang sedang berjalan menuju french window besar tak jauh dari tempat tidur. "Lalu, untuk apa kita ke balkon? Memangnya kita mau melompat?"
Brighella melirik ke arah rekannya yang berambut pirang berantakan sambil tersenyum kecil. Dia sendiri sibuk membuka jas hitam pekatnya dan menggulung lengan kemejanya. Dua buah mesin kecil diserahkan Burrattino kepadanya. Satu ia serahkan kepada Scaramuccia yang masih kebingungan.
"Ini apa? Hei, kalian membuat rencana tanpa melibatkanku lagi, ya?" protes Scaramuccia. "Lagipula, alat apa ini?"
"Waktu hingga ledakan tinggal semenit." gumam Burrattino, menghiraukan pertanyaan Scaramuccia. Mata birunya kembali melihat arloji dengan tak sabar. "Semoga Pulcinella dan Sandrone sudah selesai main-main dengan para mafia kelas teri di bawah sana. Kalau tidak, mereka terpaksa—"
Suara jeritan dan kaca pecah terdengar tepat di bawah balkon. Tak lama kemudian, dua sosok dengan senapan dan pisau tampak melesat keluar dari dalam mansion. Sekujur tubuh mereka berlumuran darah yang sepertinya masih segar.
"Ah, Pulcinella dan Sandrone sudah keluar. Berarti kita harus segera turun." kata Burrattino santai sambil menancapkan benda metalik dengan tiga buah roda itu ke pembatas balkon. Ditariknya kabel tipis yang kuat dari benda tersebut dan dipasangkan melingkari pinggangnya sebelum ia sendiri memanjat pembatas balkon.
Brighella segera mengikuti gerakan Burrattino dengan memasang dan melingkarkan kabel tipis di sekeliling pinggangnya. Dengan tangkas, ia juga memanjat pembatas balkon dan berdiri di samping Burrattino, meninggalkan Scaramuccia yang masih kebingungan. "Ayolah, Kohler. Segera kau pakai dan kita bisa kabur dari tempat ini." desak sang pembunuh bertopeng hijau.
"Memangnya kabel setipis itu kuat untuk menahan berat badanku? Kau kurus, jadi tidak masalah. Nah, bagaimana denganku yang besar dan gemuk ini? Kalau dia putus di tengah jalan bagaimana?"
"Kau menyindirku, ya?" celetuk Burrattino, agak kesal ketika masalah berat badan disinggung. "Sudahlah, pasang saja. Meskipun aku meragukan gadget aneh yang suka dibawa-bawa Arlecchino, aku percaya dengan yang satu ini."
"Ini ide sinting Arlecchino?" pekik Scaramuccia, semakin ragu untuk memakai alat itu.
"Ah, kelamaan!" seru Brighella. Ia menyambar gadget mungil tersebut dari tangan Scaramuccia dan memasangkannya. Dia lalu menarik tangan Scaramuccia, memaksa pemuda itu untuk naik ke pembatas balkon lalu melingkarkan kabel di sekeliling pinggang komradnya.
Scaramuccia menatap ngeri ke bawah. Mungkin, jarak antara bidang ia berpijak dengan tanah di bawah—dimana Pulcinella dan Sandrone sedang menunggu dengan tak sabar—\ada sekitar sepuluh meter, bahkan lebih. "Um... Kalian yakin ini tidak apa? Jaraknya cukup jauh dan aku—"
"Say 'geronimo', Scaramuccia!"
Dorongan keras di punggung membuat Scaramuccia hilang keseimbangan dan terjatuh, diikuti oleh Brighella dan Burrattino. Samar-samar, Scaramuccia mendengar suara seseorang berteriak kencang—dan ternyata itu adalah dia sendiri—sebelum suara ledakan keras dan panas api terasa dari dalam rumah.
Kadang Scaramuccia heran, kenapa dia mau saja ditarik masuk ke organisasi macam Commedia dell'Arte seperti ini. Aksi yang berlebihan, anggota yang sinting, dan misi yang tak kalah sintingnya. Hidup sebagai anggota Commedia dell'Arte membuatnya serasa terlibat dalam film aksi.
Bedanya, tidak ada stuntman untuk menggantikan segala tindak bunuh dirinya.
.
.
.
Karakter Hetalia Axis Powers yang muncul pada fanfiksi ini adalah kepunyaan Hidekazu Himaruya, saya tidak ambil untuk sepeser pun untuk pencomotan dan penistaan karakter di fanfiksi ini :P
Commedia dell'Arte adalah sebuah drama keliling di Italiayang diciptakan oleh seseorang yang tidak diketahui namanya
Sementara lisensi film Ocean's Eleven dan kedua sequel-nya dimiliki oleh Warner Bros
.
.
.
Ruang makan markas besar Commedia dell'Arte malam ini terasa hidup. Kursi-kursi bersandaran tinggi berlapis kulit yang beberapa hari lalu kosong sekarang terisi. Lima orang petinggi Commedia yang beberapa hari lalu terlibat misi bersama-sama kali ini tampak gembira bisa kembali menikmati makanan Italia—spesial buatan tangan Pantalone—bersama dengan anggota yang lainnya.
Tiga kali dentingan terdengar di tengah obrolan santai membuat semua mata tertuju ke arah seorang pria bertopeng hitam. Senyum penuh kebanggaan tersungging di bibir tipis itu.
"Aku mau mengucapkan selamat datang dan senang bisa berjumpa dengan kalian semua." kata sang pemimpin Commedia dell'Arte sambil tersenyum. Ia mengangkat gelas anggurnya, diikuti oleh semua orang yang berada di meja makan. "Ucapan selamat juga kusampaikan pada kalian semua yang telah berhasil menyelesaikan misi dengan baik. Cheers."
Suara denting gelas saling beradu memenuhi ruang makan, diiringi oleh derai tawa.
"Tapi," Suara lantang Il Dottore membuat semua mata terarah kepadanya, menanti was-was apa yang akan diutarakan berikutnya oleh sang pemimpin. Kemarahan? Kesedihan? Kekecewaan? Atau justru malah kegembiraan atas keberhasilan misi ini? "Kita tak bisa bersantai-santai di sini."
"Misi baru, da?" tanya Pulcinella, semangat. "Senapanku sudah dua hari ini tidak dipakai untuk membunuh orang."
Il Dottore tersenyum kecil mendengar perkataan Pulcinella, sang sniper andalan organisasi. "Ya, ini misi baru. Sebenarnya, aku ingin memberikan misi ini khusus hanya untukmu, Brighella, tapi kurasa kau akan tetap butuh bantuan yang lainnya." lanjut sang pemimpin. Mata cokelatnya menatap berkeliling, memperhatikan wajah-wajah antusias anak buahnya.
"Tak bisakah dia pakai bantuan anggota yang lainnya?" keluh Il Capitano sambil memutar-mutar gelas anggurnya, menghirup aroma manis yang menguar dari gelas tersebut.
Il Dottore menggeleng pelan menanggapi omongan Il Capitano. "Tidak. Aku tidak mau membuat organisasi kita terlihat kacangan di mata orang lain. Kemampuan kalian semua yang ada di meja ini akan dibutuhkan."
Seluruh anggota inti Commedia dell'Arte saling pandang dengan penuh semangat. Baru kali ini atasan mereka memberikan misi secara bersama-sama. Biasanya, satu misi hanya dikerjakan oleh satu atau lima orang bersamaan, tidak ramai-ramai begini.
"Ini pasti misi yang sangat menyenangkan." bisik Arlecchino sambil mengusap-usap kedua tangannya, gembira sekaligus tak sabar. Mata biru langitnya mendongak dan menatap ke arah Il Dottore penuh semangat seraya bertanya, "Jadi, apa misinya? Sesulit apa pun pasti bisa diselesaikan oleh hero sepertiku!"
Il Dottore hanya tersenyum mendengar omongan Arlecchino. "Aku senang melihat antusias kalian." katanya. "Sekarang, mari kita masuk ke bisnis.
"Mona Bonquier, salah satu associate kita yang cukup terpandang. Dia mempunyai masalah dengan rekan bisnisnya. Dia mencurigai kalau salah satu dari mereka berusaha membunuhnya dan merebut usahanya. Hal ini bisa menjadi hal yang berbahaya bagi kita, karena kematian Bonquier akan mempengaruhi saluran dana kita. Semuanya bisa berantakan kalau sampai Bonquier tewas."
"Memangnya bisnis apa yang dijalankan Bonquier?" tanya Burrattino.
"Bisnis kasino." sahut Il Dottore singkat. "Dia keturunan ketiga yang menjalankan hotel sekaligus kasino besar di Monako, 'Casino du Monte Carlo'. Investasi besar darinya yang membuat misi kita berjalan dengan baik. Segala perlengkapan dan senjata kalian itu sebagian besar dibiayai olehnya. Kapan-kapan, sebagai gentlemen sejati, kalian harus mengucap terima kasih langsung kepadanya."
"Aku bukan laki-laki." gumam Sandrone sambil melemparkan tatapan dingin ke arah Il Dottore.
"Dan itu berarti kau adalah lady terhormat di antara gentlemen." Il Dottore mengangkat gelas wine-nya seraya tersenyum ke arah sang wanita berambut platinum, meminta maaf dengan penuh hormat sudah membuat hati perempuan satu-satunya di jajaran tinggi Commedia dell'Arte itu tersinggung. "Intinya, aku mau kalian membunuh Bonquier."
Semua orang yang duduk di meja makan mengerenyit bingung dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Il Dottore. Berpasang-pasang mata di balik topeng keramik saling lempar pandang, sedikit ragu dengan pendengaran mereka dan meminta orang di sampingnya untuk memastikan informasi yang baru saja ditangkap indera pendengaran mereka.
"Um... Maaf kalau pertanyaan ini tidak penting, tapi... saya merasa telinga saya salah mendengar." gumam Burrattino sedikit kaku. "Anda... meminta kami untuk membunuh klien?"
"Ya. Kalian semua tidak salah dengar. Aku mau Mona Bonquier mati secepatnya." ucap Il Dottore dengan tenangnya. Ia bahkan memotong tiramisu buatan adiknya—dessert untuk malam itu—dan memakannya dengan tenang. "Sebenarnya, sudah lama aku ingin menyingkirkan Bonquier. Dia memang associate penting dan menyumbang dana cukup besar pada kegiatan organisasi, tapi itu dulu. Belakangan ini, dia terlalu cerewet dan sering menuntut perlakuan ekstra dari kita tanpa memberikan dana yang cukup. Permintaannya untuk perlindungan baru-baru ini juga mencurigakan. Aku curiga Bonquier bersekongkol dengan orang-orang yang dia adukan ini untuk menjatuhkan kita."
"Sebentar," Kali ini giliran Scapino—sang hacker—yang angkat bicara. "Apa yang membuat Anda yakin Bonquier berencana untuk menghabisi kita semua?"
"Karena board member pemegang saham kasino Bonquer—orang-orang yang ingin perempuan ini singkirkan—sebagian besar berkaitan dengan Sadiq Adnan."
Ketika nama Sadiq Adnan disebut, muncul omongan-omongan dan desis tak suka dari mulut para Commedia dell'Arte yang lainnya. Sebagian besar omongan miring dan penuh kemarahan atas berbagai tindakan sabotase sekaligus tantangan secara langsung dari saingan abadi mereka.
"Jadi, Anda mencurigai Bonquier menjalin bekerja sama dengan Adnan untuk menjatuhkan Commedia dell'Arte?" kata Il Capitano diiringi cibiran. "Hah! Perempuan itu bodoh kalau berpikir kita akan terjebak hal seperti itu!"
Il Dottore hanya mengangguk kecil ketika mendengar omongan consigliere-nya itu. "Sayangnya, Il Capitano, aku tidak punya cukup bukti yang menunjukkan kerja sama terselubung Bonquier dengan Adnan. Untuk itulah aku menerima permohonan Bonquier untuk menghabisi board member-nya. Dia sendiri mengakui kalau tak tahu pasti pemegang saham yang mana yang membelot."
"Sebentar. Berarti kita akan melakukan penyelidikan terlebih dulu? Bukankah penyelidikan seperti itu tugas polisi, bukan mafia? Kenapa tidak suruh Bonquier untuk mendatangi polisi dan minta perlindungan dari mereka? Menyebalkan..." gerutu Scaramuccia. Mengikuti langkah Il Dottore, sang pemuda asal Denmark itu sekarang sibuk memakan tiramisunya sambil sesekali berdecak kagum atas kekayaan rasa yang lumer menjadi satu di mulutnya. "Tiramisu ini enak sekali, Pantalone! Kau memang spesialis masakan Italia!"
"Terima kasih, ve~" sahut Pantalone ceria. Pemuda berambut cokelat dengan sehelai rambut mencuat itu memberi salut pada Scaramuccia sebelum menyantap tiramisu-nya sendiri.
"Jadi, biar kupertegas misi kalian kali ini," ucap Il Dottore agak lantang.. "Cari bukti mengenai keterlibatan Adnan dengan Bonquier. Jika benar perempuan itu mengkhianati kita, bunuh dia. Jangan beri dia ampun. Sekalian bunuh para board member kasinonya dan semua orang yang berhubungan dengan Adnan. Habisi semuanya. Kalian mengerti?"
Anggukan kepala dan senyum cerah anggota Commedia dell'Arte yang lainnya sanggup memberikan jawaban jelas kepada Il Dottore. Sang pemimpin hanya tersenyum dan mengangkat gelas wine-nya, mengajak mereka untuk bersulang.
"Dan sekarang, untuk pemimpin misi kali ini, aku menunjuk Brighella." kata Il Dottore. Ia melirik Brighella yang duduk dua kursi darinya di sebelah kanan sambil tersenyum simpul. "Semoga misi kalian diberkati. Cheers."
Bunyi denting gelas wine menjadi penanda akhir rapat sekaligus makan malam hari itu. Esok, misi baru telah menanti di belahan dunia yang lain.
.
.
~Monte Carlo, Monako, 12 September 20xx~
Rangga Wicaksono, seorang pemuda berumur dua puluhan dengan rambut hitam ikal sibuk mengawasi bell boy yang dengan patuhnya membawa troli penuh koper kulit berwarna hitam. Dengan instruksi sederhana darinya, sang bell boy menyimpan koper-koper tersebut ke lemari dan pergi dari kamar tanpa bertanya apa-apa dengan tips berjumlah besar di kantung.
"Tidak kusangka kita bisa mendapatkan kamar suite untuk misi seperti ini." kata Alfred F. Jones, seorang pemuda berkacamata dengan rambut pirang, sambil menyusuri seluruh ruangan di kamar suite yang mereka sewa untuk beberapa minggu ke depan. "Tumben Il Dottore mau mengeluarkan uang lebih banyak dari biasanya. Oh, ngomong-ngomong, aku bebas pesan makanan, kan? Jetlag malah membuat hero sepertiku kelaparan! Aku mau hamburger!"
"Aku mau pasta, veeee~" sahut Feliciano Vargas dari kamar tidur.
"Jangan pesan makanan dulu sekarang, Arlechino!" seru seorang pemuda Asia berambut hitam. Ia tampak sibuk mengangkut sebuah kotak hitam berat dan meletakkannya di atas meja makan. "Bantu aku mempersiapkan alat-alat ini!"
"Tapi, aku lapaar! Iggy, katakan pada Scapino aku boleh makan sekarang!"
"Berapa kali kubilang jangan panggil aku dengan sebutan itu di depan yang lain, git!" bentak seorang pria berambut pirang dengan alis tebal berlapis delapan. "Selain itu, Scapino benar, Arlecchino. Kau harus membantu yang lainnya beres-beres."
"Kau bicara begitu tapi kau sendiri malah asyik menyeduh teh..." gerutu seorang pemuda lainnya dengan rambut jabrik tak beraturan.
"Aku ditugaskan kemari untuk mengawasi kerja kalian, Scaramuccia. Bukan untuk menjadi kuli angkut."
"Seingatku, pemimpin misi kali ini adalah Brighella, da."
"Biarpun Il Dottore menunjuk Brighella sebagai pemimpin misi kali ini, aku tetap atasan kalian semua, tahu! Jaga omonganmu, Pulcinella!"
Rangga memijit keningnya, lelah. Baru saja mereka mendarat di hotel Monte Carlo dan rekan-rekannya sudah mulai bertengkar karena masalah sepele. Ia tak tahu lagi apa yang akan terjadi pada waktu-waktu selanjutnya kalau pertengkaran kecil ini terus menerus terjadi. Semoga saja misi kali ini akan berjalan lancar, sama seperti misi-misi sebelumnya.
Sebetulnya, Rangga agak ragu kalau misi ini akan berjalan mulus tanpa penghalang. Beberapa misi yang ia jalani sebelumnya nyaris berakhir bencana karena musuh yang entah dari mana tahu tentang rencananya. Bisa jadi jejak-jejak yang ia tinggalkan kurang rapi dan ketahuan oleh musuh, atau seseorang di dalam Commedia dell'Arte yang membocorkan rencana kerjanya. Satu-satunya orang yang tahu gerak-gerik Brighella pada tiap-tiap misi selain Il Dottore adalah Il Capitano.
Sekarang, Il Capitano malah secara langsung terlibat dalam misi. Bisa-bisa...
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menghilangkan pikiran negatif tentang rekan kerjanya. Bagaimanapun juga, Il Capitano dan dirinya ada dalam satu famiglia. Tak mungkin sesama keluarga akan menjatuhkan, kan? Lagipula, ini demi Il Dottore dan kelangsungan Commedia dell'Arte. Arthur Kirkland sebagai Il Capitano juga tidak berbuat banyak kalau organisasi hancur gara-gara misi ini.
Atau jangan-jangan dia sudah menyiapkan organisasi bayangan bersama Bonquier?
Tepukan ringan di pundak dan cengiran riang seorang Mathias Kohler berhasil mengembalikan Rangga pada realita. Sang pemuda Denmark berambut pirang acak-acakan itu mengisyaratkan rekan-rekan mereka yang sudah berkumpul di depan televisi dan duduk santai. "Kamu, kan, pemimpin misinya." katanya. "Pimpin juga rapatnya, dong! Beritahu rekan-rekanmu apa yang harus dilakukan selama misi, sekalian dengan pembagian tugas masing-masing anggota."
"Oh, iya... Maaf sekali, aku melamun." ucap Rangga buru-buru dan mengambil beberapa map berwarna cokelat susu dari dalam tasnya. Dengan langkah lebar dan tergesa-gesa, pemuda berambut ikal itu berjalan beriringan dengan Mathias menuju tempat rekan-rekannya menanti.
Suasana yang sedikit riyuh—mayoritas keluhan tentang jetlag dan makanan pesawat yang tak enak—membuat Rangga harus meninggikan sedikit nada suaranya demi menarik perhatian teman-temannya. Ketika perhatian yang lainnya—minus Arthur, tentu saja; pemuda Inggris itu dengan cueknya malah menyesap teh dan membaca koran—tertuju padanya, baru si pemuda bermata abu-abu ini memulai briefing.
"Target kita kali ini adalah Mona Bonquier," ucap Rangga sambil menyerahkan amplop-amplop cokelat kepada rekan-rekannya. "Putri tunggal pewaris kasino dan hotel terbesar di Monako, Casino du Monte Carlo. Ayahnya wafat sekitar tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung. Itu berdasarkan catatan medis. Menurut gosip yang beredar, Mona yang terlalu ambisius membunuh sendiri ayahnya untuk mendapatkan hotel serta kasino ini."
"Kejam sekali, ve..." komentar Feliciano Vargas yang bergidik ngeri, lalu meraih lengan Ludwig Beilschmidt yang duduk di sebelahnya. Wajah manis si pemuda Italia sekaligus adik kandung pemimpin Commedia dell'Arte itu bersembunyi di balik pundak bidang sang Jerman.
Rangga hanya terdiam sambil memasang senyum kecut. Dipikir-pikir, dia juga membunuh ayahnya sendiri walau untuk tujuan yang sama sekali berbeda. Dia terpaksa menembakkan pistol itu ke arah perut ayahnya demi adik-adiknya dan dirinya sendiri.
Sekalipun untuk perlindungan diri, Rangga masih merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada hari itu.
"Perintah dari Il Dottore cukup jelas," lanjut Rangga. "Dia ingin Mona Bonquier mati, karena perempuan ini diduga—"
"Ya, ya. Kita semua sudah tahu latar belakang misi ini, Brighella." potong Arthur sambil mengibas-ngibaskan tangannya, kebosanan. "Kenapa tidak kau jelaskan pada kami semua tentang tugas masing-masing, hm? Bukankah itu lebih menghemat waktu? Sekarang, kau hanya membuang waktu dengan menjelaskan kembali apa yang Il Dottore sudah bicarakan."
Rangga mendesah panjang seraya membalik kertas dalam mapnya. Benar juga kata Il Capitano. Untuk apa ia lama-lama membahas apa yang sudah dibicarakan oleh Il Dottore dulu. Rupanya memimpin misi besar dengan seluruh anggota tertinggi Commedia dell'Arte terlibat masih membuat Rangga kikuk dan tak percaya diri. Siapa sangka pemuda yang setiap kali menggengam Baretta kesayangannya dan memasang topeng hijau toska berubah garang malah gugup seperti ini di tengah teman-temannya.
"Rencananya seperti ini," Rangga berdeham sebelum kembali melanjutkan, "Aku dan Scaramuccia akan memperkenalkan diri sebagai pengawal pribadi, sesuai dengan apa yang diminta Bonquier pada Il Dottore. Kami berdua yang akan memberikan laporan tentang gerak-gerik Bonquier yang mencurigakan. Pulcinella, kau akan bertindak sebagai high roler kita. Bersama dengan Sandrone yang akan bertindak sebagai istrimu—"
"Akhirnya!" seru Sandrone gembira dan merangkul Ivan Braginski—Pulcinella—yang berwajah pucat. "Aku sudah menanti kesempatan ini dari dulu, Kak. Menikah. Menikah. Menikah."
Entah untuk keberapa kalinya Rangga kembali memijit keningnya, kelelahan. Dia sudah mengutarakan keberatannya menyatukan Pulcinella dan Sandrone dalam satu kegiatan yang sama. Bisa gawat. Tapi, kata sang pemimpin:
"Sandrone pasti akan melindungi Pulcinella dengan segala kemampuan yang ia miliki. Kau sendiri tahu kalau dia adalah satu-satunya anggota Commedia dell'Arte yang ahli dalam pertarungan jarak dekat dan lihai dengan pisau. Dia bisa menghabisi siapa saja yang mencoba mendekati Pulcinella yang bertindak sebagai high roler kita."
"Kau tidak bisa mengubah keputusan ini, Pulcinella." kata Rangga. "Semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Il Dottore sesuai dengan kemampuan kalian masing-masing. Sebagai high roler, kau akan menjadi mafia Rusia kaya raya yang sedang bulan madu—" Omongan Rangga sempat tertutupi oleh tawa penuh kegembiraan berbalut horor milik Natalia dan jerit pilu Ivan. "—sekaligus untuk membahas bisnis dengan Bonquier.
"Arlecchino, Pantalone, dan Burrattino, karena kemampuan bersosialisasi kalian yang tinggi—"
"Burrattino? Kemampuan sosialisasi yang tinggi, katamu?" seru Mathias Kohler tak percaya sambil menunjuk rekan yang duduk di sebelah kirinya. "Dibanding dia, aku masih lebih mudah bergaul! Burrattino itu butuh waktu berjam-jam untuk bicara dengan manusia ketimbang aku!"
"Tidak bisa, Scaramuccia. Tugasmu sudah ditentukan bersamaku. Kecuali dalam keadaan genting, penugasan ini boleh diubah." balas Rangga. Mata abu-abunya kembali terarah pada jalinan kata pada laporan misinya, menghiraukan protes tak jelas dari Mathias. "Kalian bertiga akan ditempatkan pada tiga tempat berbeda. Pantalone, kau bertugas di dapur. Himpun informasi sebanyak mungkin dari staf dapur yang kau temui."
"Roger, ve!"
"Kau, Arlecchino, tugasmu adalah di lantai kasino. Curi dengar percakapan pegawainya—mulai dari manager sampai ke janitornya—dan tamu-tamu kasino. Burrattino, tugasmu sebetulnya agak berat. Kau harus menyusup ke jajaran staf keamanan dan pengawas dalam kasino serta hotel. Jadilah mata dan telinga kami untuk kasus ini.
"Scapino, tugasmu tergolong mudah, sebetulnya. Lakukan saja seperti biasanya—membobol sistem keamanan dan kamera pengawas hotel maupun kasino—dan jangan pergi ke mana-mana, kecuali itu sangat darurat. Interaksimu adalah dengan Burrattino. Pastikan kalian berdua selalu terhubung dalam komunikasi intensif setiap hari.
"Lalu Il Capitano—"
"Kau memberiku tugas?" dengus Il Capitano dengan angkuhnya.
"Ya. Misi kali ini memang membutuhkan kemampuan semua anggota, Il Capitano." balas Rangga sengit. "Dengan kemampuanmu bicara manis dan manipulasi, Il Dottore memintamu untuk mencari informasi dari dalam jaringan mafia yang selama ini sudah kita kenal dekat. Carilah informasi sebanyak mungkin tentang Mona Bonquier serta rumor keterlibatan Sadiq Adnan dengannya."
"Dan aku harus melapor padamu, Brighella?" dengus Arthur sambil memutar bola matanya.
"Ya," jawab Rangga, singkat dan padat, disertai tatapan intensif penuh kekesalan. "Karena aku pemimpin misi kali ini, kau harus melaporkan tiap gerak-gerikmu padaku, Il Capitano. Kau mengerti?"
Rangga bisa melihat kilat kemarahan dan rasa terhina di bola mata hijau milik Il Capitano. Namun, kilat tersebut hanya lewat sekilas dan digantikan oleh raut kebosanan. Sang briton hanya mengangkat kedua bahunya, cuek, dan kembali melanjutkan sesi minum tehnya yang terhenti.
"Apa ada pertanyaan? Tak ada? Baiklah, kalau begitu rapat—"
"... Bagaimana denganku...?"
Rangga menoleh dengan cepat ke arah sofa, begitu pula dengan beberapa orang lainnya yang sudah terlanjur berdiri. Semuanya saling berpandangan dengan tatapan heran, serta sebagian mencari-cari asal suara.
"Tadi itu... bukan aku saja yang dengar, kan?" tanya Razak ragu-ragu. Mukanya sedikit memucat, khawatir kalau yang barusan itu hanya dia seorang yang mendengar. Masa' kamar suite semahal dan sementereng ini berhantu?
"Aku juga dengar, kok." balas Ludwig yang mengernyitkan kening, kebingungan.
Orang pertama yang menemukan asal suara adalah Feliciano. Sang pemuda italia tampak menunduk kebingungan sambil menatap ragu seorang pemuda berambut pirang berkacamata yang memeluk sebuah boneka beruang berwarna putih. "Ve... Kamu siapa, ve?" tanyanya.
"Aku Tartaglia..." sahut si pemuda berambut pirang dengan suara yang kelewat pelan. "Kalian lagi-lagi melupakanku..."
Rangga buru-buru membuka kembali map dan membolak-balik halaman demi halaman untuk menemukan deskripsi tugas untuk Tartaglia. Jangan deskripsi tugas, nama Tartaglia bahkan tak tertulis dimanapun. Rangga sendiri juga lupa kalau punya rekan bernama Tartaglia dan dilihat dari ekspresi teman-temannya, mereka juga tak tahu.
"Tartaglia? Makanan Meksiko yang digulung itu?"
"Itu tortilla, git. Kalau mau main plesetan kata, bedanya jauh, lho..."
"Um... Untuk sementara tidak ada. Nanti akan kukabari lebih lanjut... eh... Tartaglia...?" gumam Rangga pelan dan ragu-ragu sambil menggaruk kepalanya.
Rupanya balasan Rangga sudah cukup bagi Tartaglia. Pemuda bermata biru cemerlang itu mengangguk pelan dan kembali sibuk memainkan telinga boneka beruangnya. Melihat anggota terakhir—dan yang paling terlupakan—sudah mendapatkan tugas, barulah sang pembunuh bisa bernapas lega. Sorot mata abu-abunya melayang ke arah pemandangan indah pesisir pantai Monte Carlo dengan deretan kapal pesiar mewah menepi di dermaganya. Satu hal yang terbayang di pikirannya saat ini:
Besok akan menjadi hari yang melelahkan.
.
.
Willem van der Plast menggerutu pelan sambil menyeret dua koper besar seraya memanggul satu koper lainnya di pundak. Mata hijaunya menatap kesal ke tiga sosok pria yang malah seru berbincang-bincang, meninggalkannya menderita sendirian semenjak mereka turun dari pesawat.
"Jangan heran kalau koper kalian sudah raib sebelum sampai hotel, ya." gerutu Willem yang masih kewalahan mengangkut koper sebanyak ini. "Mentang-mentang aku yang paling besar di antara kalian bertiga, tugas ini jatuh padaku! Aku bukan kuli angkut, tahu!"
Orang pertama yang menghampiri Willem sambil tertawa riang serta mengernyit penuh rasa bersalah adalah Antonio Fernandez Carriedo. Sang pemuda Spanyol berambut cokelat berantakan itu segera mengambil satu koper berwarna merah dengan garis-garis kuning menyala di sudut-sudutnya—koper miliknya, tentu saja—dan tertawa lepas melihat kewalahan temannya.
"Maaf, Will," ucapnya. "Aku keenakan ngobrol dengan Gilbert dan Francis. Hei, kalian. Ayo, ambil koper kalian. Kasihan Willem kalau harus bawa semuanya."
Dua sobat sekaligus rekan itu akhirnya menghampiri Willem dan mengambil koper masing-masing. Cengiran lebar terpasang di wajah sang albino dan tawa nista terdengar keluar dari mulut sang pemuda berambut pirang. Bukannya berterima kasih, Willem, yang mendapatkan respon menyebalkan macam itu, malah semakin kesal. Pria Belanda bertubuh besar itu lalu berjalan menjauhi ketiganya, malas untuk tertangkap mata bersama tiga orang sinting ini.
"Berwald sudah mewanti-wanti kita untuk membawa barang sesedikit mungkin, kan? Kenapa kalian malah bawa koper sebesar itu?" geram Willem lalu melemparkan pandangan mencela ke bawaan tiga rekannya yang luar biasa banyak.
"Oh? Berwald bilang begitu, ya?" ucap sang albino bermata merah, Gilbert Beilschmidt. "Maaf, sepertinya aku tidak menyimak rapat, hahaha! Habis, omongan membosankan Berwald yang tidak awesome itu membuatku mengantuk. Padahal baru kemarin malam aku begadang menghabiskan waktu untuk meneliti sedikit tentang misi kita."
Sang pria Belanda berambut pirang—yang pagi ini dibiarkan jatuh sebatas kelopak matanya—memutar kedua matanya, jengah. Dia seharusnya tahu kalau tiga orang ini mana pernah mendengarkan omongan atasan saat rapat, kecuali saat nama Commedia dell'Arte disebut secara gamblang sebagai poin utama rapat. Sisanya? Jangan harap.
"Lagipula, ini liburan, mon ami!" Giliran Francis yang buka suara. Mata birunya mulai melirik ke sana kemari, berpesta menyantap pandangan indah gadis-gadis bertubuh molek yang lalu lalang. "Kapan lagi kita bisa ke Monte Carlo, kota judi, dibayari kantor?"
"Kita ke sini bukan untuk liburan, Francis." balas Willem ketus. "Berwald sengaja mengirim kita berempat untuk menyelidiki keterkaitan Sadiq Adnan dalam sindikat mafia dan bisnis kasino di Monte Carlo. Kita tidak boleh santai-santai dan pulang dengan tangan hampa! Harga diriku sebagai polisi terbaik bisa tercoreng gara-gara kalian yang kelewat santai!"
"Harga diri dikasih kecap juga nggak bisa dimakan, Will." celetuk Gilbert dengan santai. Sang pria Jerman ini lalu merangkul Willem dan tersenyum lebar. "Santai sedikit, Willem. Sepertinya jetlag sedikit membuat otakmu eror."
"Otakku eror dari dulu gara-gara tingkah kalian..."
"Sebenarnya dari dulu aku sudah tahu kalau kau tidak se-awesome aku, Antonio, dan Francis—"
"Kucekik kau kalau berani bicara sekali lagi."
Boy, that escalated quickly...
"Ayolah, kita santai sebentar~ Baru saja kita sampai Monte Carlo dan kalian sudah bertengkar?" ucap Antonio yang langsung menyeruak di antara Willem dan Gilbert, memisahkan keduanya. "Lebih baik, kita langsung ke hotel saja, yuk! Istirahat sejenak sebelum memulai penyelidikan."
"Memangnya kasino mana yang mau kita selidiki lebih dulu?" tanya Gilbert acuh tak acuh.
"Tentu saja kita mulai dari kasino terbesar: Casino du Monte Carlo."
.
.
Rangga Wicaksono memperhatikan dengan seksama layar-layar kecil yang terpasang di depannya. Layar kecil berukuran 10 inci dengan warna yang tidak tajam terpaksa membuat Rangga memicingkan matanya untuk melihat jelas.
Apa yang sedang ia amati sekarang adalah Ivan dan Natalia Braginski yang sedang memasuki area kasino dengan Alfred dan Mathias—yang saat itu menyamar sebagai bodyguard—mengekor di belakangnya membawa troli berisi koper-koper menggunung. Penampilan Ivan, Natalia, serta Alfred dan Ludwig yang terlalu mencolok rupanya menarik perhatian para pengunjung kasino sekaligus beberapa staf kasino. Ketika mereka sampai di depan resepsionis hotel, seorang petugas hotel menghampiri Ivan.
/Tuan Braginski?/
/Itu aku, da. Kenapa? Aku dilarang menginap di hotel ini?/
/Ah, bukan begitu, Tuan. Kami sudah mendapat kabar tentang kehadiran Anda dan istri Anda. Mari, biar saya antarkan langsung ke kamar Anda, tak perlu mengantri lagi./
Rangga tersenyum gembira ketika mendengarkan percakapan melalui mikrofon tersembunyi di balik jas Ivan. Lobi yang dilakukan Arthur rupanya berhasil. Dengan cepat, Il Capitano sudah melakukan panggilan khusus pada pihak hotel dengan mengatakan bahwa dirinya adalah tangan kanan Ivan Braginski, bos mafia besar yang menguasai Rusia. Dengan omongan manis dan manipulatif, sang briton berhasil mendapatkan kepercayaan staf hotel.
Sang pemuda berambut ikal itu menoleh ke belakang, mendapati Arthur Kirkland sedang duduk santai di dekat balkon, menyesap teh dan membaca novel seperti biasa. Ketika pandangan mata mereka beradu, Rangga mengangguk penuh hormat diiringi senyuman, sebuah tanda terima kasih singkat yang bisa ia berikan pada Arthur, yang dibalas dengan anggukan kecil.
"Harusnya kita bawa televisi lebih besar lagi..." gerutu Razak Wicaksono. Kedua tangannya sibuk mengetik dengan begitu cepat di atas keyboard laptop. Matanya dengan lihai membaca tiap kode dan sandi pembobolan jaringan yang sedang ia lakukan. "Layar sekecil ini mau dapat data dari mana?"
"Jangan banyak mengeluh, Scapino." bisik Rangga lembut, tepat di samping telinga sang adik. Ia lalu melepaskan earphone kecil dan meletakannya ke atas meja, tepat di samping Scapino. "Kerjakan saja tugasmu dan rekam kejadian yang aneh. Aku sudah harus pergi ke tempat Bonquier."
Tepat sebelum Rangga menjauh, Razak langsung menyambar pergelangan tangannya, menahan sang pemuda untuk pergi lebih jauh. Kekhawatiran jelas terpancar dari kedua bola mata cokelat milik sang adik dan bisikan, "... Hati-hati..." terucap begitu pelan.
Mendengar omongan sang adik, Brighella tersenyum lebar dan merunduk, mengecup lembut kening Razak sebelum berbalik mengambil jas hitamnya. "Kau juga hati-hati. Tolong awasi Il Capitano untukku."
Satu anggukan pelan dari Scapino sudah cukup sebagai jawaban.
.
.
Ludwig Beilschmidt baru saja kembali dari tugasnya memasang penyadap pada sistem keamanan dan pengawas hotel sekaligus kasino. Dari tanggapan Scapino, sepertinya dia berhasil mendapatkan semua scene yang mereka butuhkan untuk melancarkan misi. Sekarang, ia sedang berjalan menyusuri lorong luas berlantai melamin dengan dinding berwarna hijau pastel. Kiri dan kanannya hanya lorong, terkadang pintu logam yang berat, tanpa ada petunjuk arah. Kalau begini caranya, Ludwig bisa terlambat sampai ke ruang pengawas. Keterlambatannya nanti bisa jadi pemicu kecurigaan orang lain.
Dia mempercepat langkahnya tanpa terlihat terburu-buru sambil terus mengingat-ingat apa saja yang sudah ia lakukan. Ludwig tidak mau tugasnya ini gagal dan seingatnya, semua sudah ia kerjakan dengan benar. Tapi, ada satu hal yang dirasa kurang...
"Hei, kau!"
Tubuh tegap sang pria Jerman menegang seketika saat seorang aparat keamanan datang menghampirinya. Wajahnya yang garang bukanlah pertanda bagus, apalagi langkah yang begitu lebar dan cepat malah membuat Ludwig semakin panik. Pilihannya hanya dua: bunuh atau tertangkap. Daripada menggagalkan misi, Ludwig lebih memilih untuk mengotori tangannya dengan darah dan—
"Ini punyamu?" tanya si aparat keamanan sambil menyerahkan sepasang sarung tangan kepadanya. "Tadi ketinggalan di ruang komputer."
Ah, ini dia rupanya yang membuat Ludwig kepikiran sedaritadi.
Diiringi senyum tertahan, Ludwig mengambil sarung tangan tersebut dan membisikkan, "Terima kasih." sebelum berbalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.
Namun, mata birunya menangkap seseorang bergerak menyeberangi lorong sambil menguap lebar. Ia hanya sempat menangkap pakaian serba cokelat dengan kemeja terbuka dan kaus oblong warna putih di baliknya serta rambut dengan kriwil khas.
"... Karpusi...?"
.
.
"Jadi, kalian berdua orang yang dikirim Il Dottore mengawalku mulai dari sekarang?"
Rangga dan Mathias berdiri tegap ketika seorang wanita muda dengan rambut dikepang dan kacamata frameless berjalan mengitari mereka. Sorot matanya menyelidik, menatap dari ujung kepala sampai ke ujung kaki pengawalnya yang baru dengan sedikit ekspresi kesal.
"Aku adalah penyumbang dana terbesarnya dan dia hanya mengirimku dua orang?" katanya ketus sambil berkacak pinggang. Mata karamelnya sekali lagi menatap Rangga dan Mathias dari atas ke bawah, penuh selidik. "Dua orang yang tak ada pengalaman, I presume?"
Scaramuccia baru saja akan membantah omongan Bonquier, tapi Brighella dengan sigap menahannya. Sang pemuda berambut hitam ikal itu tersenyum ramah sebelum berjalan maju dan berkata, "Nama kami mungkin tidak sehebat Brighella, Sandrone, Pulcinella, atau Scaramuccia, tapi kami adalah yang terbaik dalam organisasi."
"Kenapa Il Dottore tidak mengirimkan Brighella seperti yang kuminta?"
"Sayang sekali, Signor Brighella sedang sibuk. Misi mendesak membuatnya terpaksa pergi ke negara yang begitu jauh dari Monako." Bohong, tentu. Tapi, Rangga tak mungkin mengatakan kalau dirinya adalah Brighella, begitu kata Il Dottore. "Perkenalkan, nama saya adalah Rangga Wicaksono dan ini rekan saya, Mathias Kohler. Kami akan melindungi Anda dengan segenap kemampuan kami."
Mona Bonquier, businesswoman pengelola hotel dan kasino terbesar Monako, masih menatap keduanya dengan tatapan ragu. Setelah beberapa detik dibalut keheningan, akhirnya perempuan dengan rambut kepang dua itu menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya ke kursi kantornya yang empuk.
"Baiklah, aku harus mempercayai apa yang diberikan Il Dottore padaku. Toh, selama ini dia tidak pernah mengecewakanku." katanya sambil tersenyum kecil ke arah Rangga dan Mathias yang menghela napas lega. "Omong-omong, kalian harus melapor pada head of security di sini."
Tepat ketika Bonquier menutup mulutnya, terdengar suara pintu terbuka dan seseorang masuk ke ruang kerja luar biasa luas dengan pemandangan kota lepas pantai Monte Carlo yang spektakuler. Namun, ketika Rangga dan Mathias melihat siapa gerangan yang baru saja masuk sekaligus diperkenalkan Bonquier sebagai head of security-nya, keduanya tahu kalau wajah penuh kebosanan dan selalu mengantuk itu milik siapa.
Herakles Karpusi, tangan kanan Sadiq Adnan.
.
.
Bersambung
.
.
Notes: ... saya poffertjes sepanjang ngetik ini. Apa ini... Rangga, sejak kapan kamu begini, nak? Kembalilah polos dan lovey-dovey-an sama Joni #suruhpulangnaiknaga #kandanginanak Terus Razak... Image Razak udah terlalu nge-blur sama RKS. Sejak kapan kamu jadi hot-headed? Kamu harusnya nge-troll dan super scumbag... #balikinkeRy0 #tolongkandangin #barengJoni #eh Super kebanting banget ngetik prequel Godfather ketika Undies udah jalan berchapter-chapter. Sekali-sekali, lah, ngeliat Rangga badass dikiiittt aja X'D #diblaster Dan tangan saya selalu kepeleset mau ngetik Willem VAN DERPSEN... #bedaaaabedaaaa #setelSexyAndIKnowIt #eehh
Terus saya baru nyadar kalo CDA itu emang 11 orang isinya (termasuk Lovino), sama kayak Ocean's Eleven... #whatkindofsorceryisthis
Um... masih ada yang mau review? OuO