Haloohaa~ minna :)
Apa kabar? Saya kembali dari hiatus, dan membawa oleh-oleh.
Tapi, jangan dimakan ya, rasanya nggak enak, dibaca aja, tapi pasti tetap nggak enak juga #plak
Oke, maafkan saya yang hiatus cuma sebentar aja, nggak kerasa banget ya hiatusnya #plakplak
Dan maafkan ke gaje-an saya yang buat ffn lagi, padahal yang dulu belum ditamatin, gomenne.
Yeah, HiruMamo lagi XD
Saya nggak akan bosan-bosan bikin ffn tentang mereka, jadi readers jangan bosan-bosan baca ffn tentang mereka juga #maksa
Cukup, tinggalkan ketidak jelasan saya tadi, maklum lah ini efek dari UTS yang menggila kemarin #maaf curcol
Langsung saja, Happy reading minna :)
DON'T LIKE, DON'T READ
Title : Behind The Scene
ES21 Fanfiction
Disclamer : Riichiro Inagaki dan Yuusuke Murata
Warnings : OOC (sangat), AU, GAJE, Typo (s), aneh, dll
Maaf kalau jelek :)
Story : Bii Akari
NORMAL POV
Pemuda jangkung itu menarik dasinya sedikit lebih rapat lagi, lalu kembali menatap bayangannya di cermin.
'Sempurna,' pikirnya.
"Hiruma, kau sudah siap?" kali ini seorang pemuda yang sama jangkungnya datang dan berdiri tepat di samping pemuda bernama Hiruma tadi. Pemuda itu menatap wajahnya di cermin dan merapikan rambut merahnya yang sedikit acak-acakan.
"Ayo pergi, Akaba."
Hiruma pun berlalu, diikuti oleh pemuda bernama Akaba tadi.
"Fuuh, sepertinya aku harus meninggalkan handphone ku di sini, mengganggu saja."
Pemuda berambut merah itu melempar handphone miliknya, yang sejak tadi tak henti-hentinya bergetar di atas sofa, tak jauh darinya.
Dari ruangan lain, seorang pemuda yang jauh lebih pendek dari mereka berjalan keluar. Lalu tersenyum ramah ke arah kedua rekannya itu sambil berujar singkat, "Aku sudah siap, Hiruma."
Hiruma menatapnya dalam diam, lalu akhirnya mengangguk pelan.
"Ah, di mana Agon?" sepasang mata coklat milik pemuda itu mulai menjelajahi sekitarnya, mencari sosok yang bernama Agon tadi.
"Ah, sial. Di mana sampah sialan itu? Hei, apa kalian melihatnya?"
Seorang pemuda berambut dread berjalan dengan brutal. Rambutnya mulai berantakan akibat aksi anarkisnya yang melempar barang-barang sembarangan.
"Apa yang kau cari, Agon?" tanya pemuda berambut coklat.
"Huh, kau tak pernah berubah," keluh si rambut merah.
Sementara pemuda berambut hitam, dia hanya menatap Agon dengan sekilas lalu mulai menerawang sekitarnya, "Di sana."
Kegita pasang mata itu pun melirik secara bersamaan, ke arah yang ditunjuk oleh Hiruma tadi.
"Ah, ternyata di sana," Agon bergegas berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan yang mewah itu, dia lalu tersenyum puas.
"Terima kasih, Hiruma," ujar Agon, senyum tulus terpancar dari wajahnya.
"Lain kali, simpan barangmu baik-baik. Dan, sampai kapan kau akan bertindak seperti itu? Kau sudah dewasa, Agon," ujar Hiruma pelan, membuat tatapan dari ketiga pria itu berubah.
"Maaf, aku, terkadang aku tidak sadar. Apa aku berkata kasar tadi?"
Agon mengacak-acak rambutnya lagi, tanda bahwa dia benar-benar frustasi.
"He-he," pemuda berambut coklat itu tertawa kecil, melihat tingkah Agon yang berantakan.
"Hei, berhenti mengacak-acak rambutmu. Nanti tak ada gadis yang mau berdansa denganmu," tegur Akaba. Pemuda tampan itu lalu memperbaiki letak kacamatanya dan berjalan pelan ke arah Agon.
"Yah, sudahlah. Lain kali, kau harus bisa mengendalikan diri," tegas Hiruma.
"Nah, begini lebih baik," ujar Akaba, setelah selesai memperbaiki rambut dan pakaian Agon yang berantakan.
"Baiklah, ayo kita berangkat," perintah Hiruma.
Para pemuda tampan itu pun tersenyum lembut, saling memandang, dan bergumam singkat.
"Fuuh, kita akan segera bertemu, Nona."
"Nona, bertahanlah. Aku mohon, kuatkan dirimu."
"Aku harap tak terjadi hal buruk padanya."
"Kita akan berhasil, kegagalan bukan pilihan. Kita akan mempertaruhkan nyawa kita, demi menjaganya. Jadi kumohon jangan jatuh, Nona."
Mereka pun berjalan keluar dari apartemen mewah itu, hingga satu persatu dari mereka mulai lenyap dengan mobil pribadi mereka masing-masing.
Pria berambut hitam, Hiruma Youichi tampak berjalan santai ke dalam ball room. Wajahnya yang tampan membuat beberapa pasang mata tak henti-hentinya menatapnya.
Setelah berbincang dengan Sutradara yang akan menyutradarai film perdananya, Hiruma kembali mengedarkan pandangannya, mencari sosok gadis yang harus dia jaga.
Tapi sayang, para artis, kru film, dan wartawan yang memenuhi ruangan itu tampak tak memberikannya kesempatan untuk melihat gadis itu sedikit pun. Pesta besar-besaran yang diadakan setiap beberapa tahun sekali itu benar-benar meriah. Rumah produksi itu memang sedang naik daun, banyak artis-artis terkenal yang terdaftar di dalamnya, jadi wajar saja kalau pestanya dibuat begitu megah dan ramai.
.
.
MAMORI'S POV
"Kyaaa~"
Sial.
"Ah, maaf nona, kau tidak apa-apa?"
Dengan gesit, pemuda itu segera merengkuhku dengan kedua lengannya, melingkari pinggangku, dan membuat mata kami saling bertemu selama beberapa detik.
Hijau emerald.
"I-it's ok," jawabku, setelah pulih dari keterkejutanku tadi.
"Kau tak apa, Mamori?"
Kedua sahabatku itu tengah berlari kecil ke arahku, mereka berdua tampak cemas.
Oh, gawat.
Kami mungkin cukup lama bertahan dalam 'posisi' tadi, hingga aku tak menyadari bahwa kami sudah menjadi pusat perhatian seluruh orang di ball room ini.
Aku segera menarik diriku kembali, dan menyingkirkan tangannya dengan kasar.
"A-aku tidak apa-apa, tenang saja," jelasku singkat. Dengan sedikit senyuman saja, wajah cemas mereka dapat berubah sepenuhnya.
"Sekali lagi, maaf nona," pemuda berambut hitam itu memamerkan senyumnya, terlihat, err, tampan.
Aku hanya mengangguk kecil, wajah oriental-nya itu cukup bisa menyita pikiranku untuk beberapa saat.
"Mamori, kau tahu, aku rasa kalian berdua itu serasi."
Aku segera menoleh pada gadis di sampingku itu, "Ako," tegurku. Dapat kurasakan wajahku yang mulai memanas, ini tidak baik.
Mereka berdua hanya memasang tampang polos dan cekikikan tidak jelas. Kali ini mereka berhasil membuatku merasa, err, ke mana perginya pemuda tadi? Oke, sejak tadi aku memang sedang memperhatikan sekeliling, dan kuakui, aku memang mencari sosoknya saat ini.
Itu dia.
"Ah, bagaimana kalau kita mengambil minuman di sebelah sana, aku agak haus,"
Kedua sahabat kecilku itu segera mengangguk, lalu mengiringiku berjalan menuju meja di sudut ruangan. Dari sini aku dapat memastikan, apa itu benar-benar pemuda tadi.
Sambil meneguk sedikit demi sedikit wine yang disajikan itu, aku tetap mengawasi pemuda berjas hitam tadi. Dia tampaknya sedang mengobrol dengan beberapa gadis. Dan dari ekspresinya yang terkesan 'cuek' sepertinya gadis-gadis itu tidak sedang dicueki olehnya, entah apa yang membuat para gadis itu betah berada di sampingnya.
Sudahlah, untuk apa aku bertindak sekonyol ini.
"Sudah aku duga, pemuda itu pasti akan cepat terkenal. Coba lihat, pesta baru saja dimulai dan dia sudah menjadi pusat perhatian gadis-gadis," ungkap Sara.
Aku memandangnya bingung, menunggu kalimat selanjutnya.
"Pemuda yang tadi, lihatlah," Sara memutar bola matanya kearah pria yang menabrakku tadi, dan ekspresi kagum dari para gadis yang berkerumunan itu cukup membuatku muak memandang mereka berlama-lama.
"Itu wajar, dia tampan," ujar Ako.
Oke, aku tak ingin berbohong, dia memang tampan.
"Tunggu, jadi dia anak baru?" tanyaku spontan. Aku baru bisa mencerna kata-kata Sara barusan.
Mereka berdua mengangguk mantap.
"Namanya Hiruma Youichi," jelas Sara, seolah mengerti arti dari tatapanku tadi.
W-what?
"W-wait, Hiruma Youichi?"
Aku sungguh tak percaya.
Dan hebatnya, mereka mengangguk lagi.
Tidak.
"Kenapa, Mamori?" tanya Ako, mungkin wajahku sudah terlihat aneh saat ini, sampai-sampai gadis itu mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi sambil menatapku heran.
Aku tak menjawab-bukan, belum menjawab.
Kubuka tas tanganku dengan ganas, lalu mengacak-acak isinya. Mencari selembar kertas yang berisi daftar nama pemain dalam film yang akan kumainkan.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk bisa mendapatkan jawabannya, namanya tepat berada di atas namaku, Hiruma Youichi.
"Mamori?" kali ini Sara yang memberiku tatapan aneh itu.
"Dia akan satu film denganku, kedepannya," ungkapku akhirnya, dengan nada setengah senang, setengah pasrah, dan sepenuhnya terkejut.
"Apa?"
Terlambat, suara mereka sudah menggema dengan indah di ball room yang megah ini, sial.
Lagi-lagi menjadi pusat perhatian.
Dengan cekatan aku meneguk minumanku, memasang ekspresi biasa, dan berpura-pura terkejut seperti pengunjung lain. Ini untungnya menjadi pemain film. Bakat acting ku yang sudah terlatih sejak kecil dapat membuat orang-orang iri, bahkan Ako dan Sara pun pernah berkata begitu, bagi mereka, aku terlalu sempurna. Bagaimana tidak? Aku terlahir dari keluarga bangsawan yang kaya raya, memiliki wajah yang menarik, dan bakat yang beragam. Namun tentu saja, aku hanya manusia biasa yang juga mempunyai kelemahan. Hanya saja, kelemahanku terlalu sulit untuk ditemukan.
Cengiran khas kedua gadis itu mulai terdengar, membuat para pengunjung mengangguk maklum, meski ada beberapa juga yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara aku masih tetap memasang ekspresi polos.
Setelah yakin tak ada satu mata pun yang menatap kami, Ako kembali membuka pembicaraan, "Kau serius, Mamori? Film mana? Jangan bilang kalau itu film-"
"Eyeshield 21?" potong Sara, gadis satu itu tampak sangat berharap, dan anggukan kecilku membuat mereka saling menatap dengan ekspresi tak percaya.
"Itu berarti dia akan satu film dengan kita juga," ucap Ako, sambil tersenyum penuh kemenangan, diikuti dengan Sara yang juga memasang ekspresi tak jauh bedanya dengan Ako.
"Kalian tertarik padanya?"
Entah bagaimana, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.
"Bukan, gadis-gadis itu yang tertarik dengannya," Sara kembali melirik gadis-gadis yang jumlahnya-sepertinya-bertambah itu, masih sambil mengerumuni pemuda bernama Hiruma tadi.
Ako mengangguk setuju, "Tapi, yah, kau tahu, mungkin saja ada salah satu di antara kita yang beru-"
"Nona Mamori," seorang pria berbadan tegap telah berdiri tak jauh dari kami. Dia menatapku dengan aneh, kacamata hitamnya itu tak cukup untuk menyembunyikan ekspresi anehnya.
"Ada apa?"
Aku menatap pria itu dengan bingung.
"Berita buruk, mobil yang dikendarai tuan besar kecelakaan da-"
Aku tak sanggup mendengar perkataannya lagi, segera kuseret pria itu dengan kasar, keluar dari ruangan itu.
"Di mana mereka sekarang?"
Pandanganku mulai kabur, tapi tidak. Di saat seperti ini aku harus kuat, aku Anezaki Mamori.
"Di rumah sakit," pria itu membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkanku masuk. Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera masuk ke dalam mobil yang melaju dengan kecepatan penuh itu.
Di perjalanan, handphone ku tiba-tiba berbunyi, dari Ako.
"Mamori, kau di mana? Kami akan segera menyusulmu, tenanglah. Semua akan baik-baik saja, tung-"
"Aku baik-baik saja, kalian tenanglah. Nanti aku hubungi lagi," aku memutuskan telponnya secara sepihak.
Ini terlalu mengejutkan, air mataku bahkan tak bisa menetes sedikit pun. Hanya tubuhku saja yang terasa gemetar. Tolong, jangan sekarang, Kami-sama.
"Paman, bagaimana kabar mereka?"
Aku segera berlari menuju ke arah pria yang mengenakan jas coklat itu, dia tampak merenung sendirian di sana. Wajahnya terlihat kacau, dia lalu memandangku dengan sendu. "Aku juga baru sampai, Mamori. Dokter yang menangani mereka belum keluar," jawabnya, ada sedikit kepasrahan dalam nada suaranya itu.
Aku pun ikut duduk di sampingnya. Rasanya agak lega mendengar bahwa mereka sedang ditangani oleh dokter, setidaknya ada sedikit harapan.
Baru saja aku mengistirahatkan kakiku yang tak henti-hentinya gemetar, pintu kaca itu tiba-tiba terbuka. Seorang pria, yang tampaknya adalah dokter itu keluar dari sana dan menghampiri kami, tak ada yang dapat kubaca dari ekspresinya itu, sungguh.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanyaku segera, sebelum paman sempat membuka mulutnya untuk bertanya hal yang sama.
"Kami sudah berusaha yang terbaik, sekarang tinggal berharap mereka bisa melewati masa kritisnya dan segera sadar," jelas dokter itu singkat.
Mendengar itu, tak ada yang bisa aku katakan lagi, aku sungguh takut.
Paman mengusap pelan bahuku, membawaku untuk ikut duduk lagi di sampingnya.
HENING
Baik aku maupun paman, tak ada yang berniat bicara sedikit pun, pikiranku terkunci oleh beribu doa untuk keselamatan orang tuaku. Sedangkan paman, dia tampak sama pucatnya denganku, paman pasti mengkhawatirkan mereka juga.
"Mamori," aku segera menoleh kearahnya, kali ini kriput di wajahnya tampak begitu jelas, padahal dia belum begitu tua.
"Pulanglah dulu, biar aku yang menjaga mereka," kedua mata pria itu tampak begitu lelah, menyiratkan sebuah ketakutan yang amat mendalam, sama sepertiku.
"Tidak Paman, aku ingin menemani mereka. Aku ingin menjadi orang pertama yang bertemu dengan mereka saat sadar nanti."
Pria itu kembali tertunduk lesu, tampaknya dia sudah menyerah untuk menyuruhku pulang.
"Paman, kau terlihat lelah, istirahatlah dulu."
Entah mengapa, aku tak tega melihatnya tertunduk lesu seperti itu, dengan kantung mata yang semakin lebar.
"Tidak apa Ma-"
"Mamori~"
Dari ujung lorong, Sara dan Ako terlihat berlari-lari kecil kearahku. Mereka berdua tampak cemas, terdengar jelas dari suara mereka yang bergetar tadi. Mereka lalu memelukku dengan erat, seolah memberikan ketegaran kepadaku.
"Aku tak apa, Sara, Ako."
"Mamori," Ako mulai menangis, padahal seharusnya akulah yang menangis saat ini, gadis itu memang sangat sensitif.
"Mereka akan baik-baik saja, Mamori," Sara mengusap pelan punggungku, sementara aku hanya mengangguk lemah.
Benar, terlalu cepat jika aku berhenti berharap saat ini, mereka pasti akan baik-baik saja.
Akhirnya, mereka pun melepaskan pelukannya.
"Kalian ke sini sendirian?" tanyaku spontan, begitu mendapati tak ada siapa pun di belakang mereka.
"Ah, tidak, kami bersama denga-"
"Kalian teman-teman Mamori?" paman bangkit dari duduknya, tampaknya dia baru menyadari kehadiran Sara dan Ako.
"Iya," jawab Sara dan Ako dengan sopan, paman pun mengangguk mengerti.
PIIIIIPP
Handphone milik paman tiba-tiba berdering, pria itu melirik sebentar pada layar handphone-nya dan segera menjawab.
"Iya, ada apa?"
"Ah, aku masih di rumah sakit."
"Tapi, Mamori, ah baiklah, iya, aku segera ke sana."
Kami bertiga hanya menandang paman dengan tatapan bingung. Entah apa yang dibicarakannya tadi, yang jelas, dia akan segera pergi.
"Mamori, aku harus pergi. Paman akan mengurus kasus kecelakaan mereka, tak apa kan?" ucapnya lembut, berusaha keras agar aku tetap tenang.
Aku hanya mengangguk, dan tanpa ragu, paman pun segera berlalu.
"Mamori, aku tak tahu kalau kau punya paman?" ujar Ako, sambil mengusap sisa-sisa air mata di pipinya.
"Umm, yah, dia adalah adik angkat ayahku," jawabku jujur.
"Dia kelihatannya terpukul," ucap Sara, matanya sekarang sudah tampak bengkak, tadi dia pasti menangis juga.
"Aku pikir juga begitu," jawabku.
Benar, paman pasti juga merasa sedih. Bagaimana pun, kecelakaan ini terjadi dengan tiba-tiba, dan baik aku maupun paman pasti merasa sama terkejutnya. Ayah dan ibu, padahal sebelum pergi ke pesta itu, aku sempat berpamitan dengan mereka. Katanya, mereka punya acara penting malam ini, sayangnya aku tak bertanya lebih lanjut lagi.
"Ah, mana dia?" Ako tampak celingukan, entah mencari siapa.
"Siapa?" tanyaku penasaran.
"Hiruma, Hiruma Youichi. Dia yang mengantar kami ke sini," jawab Sara.
Hiruma Youichi, bagaimana bisa? Dari mana dia tahu aku ada di sini?
"Tunggu, kenapa kalian bisa diantar olehnya?" tanyaku spontan.
Mereka saling berpandangan, dan seperti telah memutuskan sesuatu, mereka memandangku dengan tatapan geli disertai kekehan kecil mereka.
"Nona Mamori?" kali ini, seorang suster berbaju putih tengah berjalan menghampiriku, mengintrupsi percakapan singkat kami.
"Iya?" aku hanya merespon seadanya.
"Orang tua anda telah melewati masa kritisnya."
"Benarkah?!" ucapku spontan, aku bahkan nyaris berteriak tadi.
Suster itu mengangguk yakin, membuatku dapat bernapas lega. Setidaknya mereka tidak kritis lagi, terimakasih Kami-sama.
"Syukurlah," ucapku lega, kembali terduduk di kursi tunggu itu dan mulai menangis. Entah mengapa, air mataku kini dapat terjatuh begitu saja.
Sara dan Ako kembali memelukku dengan erat, tanpa berucap satu katapun, mereka pasti mengerti perasaanku saat ini.
"Tapi, mereka masih belum sadarkan diri," lanjut suster itu, membuat jantungku kembali melonjak, persis seperti saat mendengar berita kecelakaan tadi.
"A-ap-"
"Maaf, tapi kami sudah melakukan yang terbaik. Kemungkinannya berhasil adalah 60%, kami benar-benar minta maaf. Tapi, kami harap, mereka bisa segera sadar," suster itu tertunduk, seolah benar-benar merasa bersalah.
"Apa aku bisa mengunjungi mereka?"
Dia kembali mengangkat kepalanya dan tersenyum lembut.
Tolong, jangan ambil mereka Kami-sama.
Yosh.
Gaje? Aneh? Jelek?
Perlu dilanjut nggak?
Bilang aja di kotak REVIEW dibawah ini.
Kalau readers bilang lanjut, saya lanjut, tapi kalo nggak saya hentikan sampai disini ^^
Jadi, REVIEW yaaaa ^^
Arigatou :)