Naruto © Masashi Kishimoto
Characters: Hatake Kakashi (15), Jiraiya (38), Nohara Rin (15), Namikaze Minato (28), Uchiha Obito (15)
Pairing: KakaRin
Rate: T
Five Senses
Taste.
"Kau gagal sebagai seorang laki-laki, Kakashi."
Itulah kesimpulan cerdas yang akhirnya keluar dari mulut Jiraiya setelah berdebat kurang lebih selama satu setengah jam dengan seorang Jounin muda yang tampak kurang antusias di Ichiraku Ramen. Kalimat yang serta merta mengundang tawa keras dari Teuchi, si pemilik kedai, serta tatapan simpatik dan senyum miring dari beberapa pegawai magang yang turut membantu Teuchi siang hari itu.
Kakashi menghela nafas.
Ya, Diskusi tanpa arah mengenai romansa dengan Jiraiya berakhir pada salah satu objek pembicaraan yang paling dihindari Kakashi setelah perang. Ia sungguh tidak bisa menerima pernyataan tidak bertanggung jawab Jiraiya bahwa ciuman adalah salah satu esensi dari setiap hubungan percintaan yang sehat.
"Kenapa aku tidak setuju? Karena... err... yah... yang benar saja."
Tawa Jiraiya berkembang dari membahana menjadi histeris mendengar argumen putus asa Kakashi.
Kakashi menyadari bahwa kemampuannya dalam membangun suasana sangat payah dan skill-nya dalam eksekusi masih terbilang di bawah rata-rata. Sebuah kesimpulan yang diambilnya sendiri bukan dari pengalaman, tetapi lebih dari perkiraan. Hal ini bukan berarti Kakashi pernah melakukannya atau punya kesempatan untuk berlatih. Kakashi mungkin melebih-lebihkan sedikit bahwa ia pernah melakukannya dengan beberapa gadis lain, tapi tidak melibatkan perasaan khusus. Sebuah kebohongan besar tentu saja. Mana mungkin ia rela menurunkan maskernya, terlebih lagi membuka batasan dalam ruang pribadinya demi seorang anak perempuan jika ia tidak memiliki niat untuk serius dengannya.
Kakashi meletakkan sumpitnya dengan rapi di atas mangkuk. Ia sudah selesai makan.
"Usiaku baru lima belas tahun, Jiraiya-sama."
"Lima belas tahun!" Jiraiya menepuk kening dengan gerakan dramatis yang dilebih-lebihkan, "Dan belum pernah mencium seorang gadis dengan tulus seumur hidupmu? Oh, Kakashi-kun…" Sekarang ia menggelengkan kepala, "Dengar ya, waktu aku seusiamu, aku sudah pernah—"
Penjelasan Jiraiya yang terlalu detail dan sebenarnya mengandung unsur yang tidak boleh di dengar anak di bawah umur itu lagi-lagi mengundang tawa dari Teuchi dan Kakashi berusaha mengacuhkan kata-kata Sennin mesum itu dengan menggumamkan lagu favoritnya. Bertopang dagu, ia memalingkan wajah dari kicauan tanpa henti Jiraiya.
(Hm... hmm... hmmm...)
"Hei, kau mendengarkan tidak?!" Tangan Jiraiya mendarat di pundak Kakashi, memaksa si remaja untuk kembali menatap wajahnya.
Kakashi menghentikan gumamannya, mengusap-usap kedua telinga, "Ya, Jiraiya-sama... aku mendengarkan. Ah, biarpun tidak mau dengar juga aku terpaksa—aduh!" Kakashi mengelus kepalanya yang baru saja menerima tamparan mesra dari buku notes tebal yang selalu dibawa Jiraiya kemana pun. Ia lantas melemparkan tatapan oh-ya-tunggu-saja-sampai-sensei-mendengar-hal-ini ke arah lawan bicaranya.
Beberapa jam yang lalu, dengan ragu Namikaze Minato meminjamkan Kakashi kepada Jiraiya. Si Novelis datang tanpa diundang ke tengah-tengah latihan Tim Minato dan berkata ia perlu Kakashi untuk membantunya dengan sebuah "penelitian". Kakashi sempat memohon dengan matanya agar Minato mengirim Obito sebagai ganti dirinya (namun sepertinya di tengah-tengah keraguan Minato, Kakashi melihat sudut mata gurunya sedikit berkilat mencurigakan saat itu) sebelum akhirnya Minato mengiyakan, memerintahkan Kakashi untuk ikut dengan Jiraiya.
Kakashi hanya bisa pasrah menerima peruntungan ini.
"Aaah, Kakashi. Kau benar-benar payah. Apa kau benar-benar murid Minato? Hei, kau sudah membaca novel milikku? Icha-Icha Series? Ya, kau bisa belajar banyak dari sana. Memang baru Paradise yang diterbitkan saat ini, dua sekuelnya akan menyusul. Apa sebutannya? Trilogi? Ah, tunggu dulu, aku tahu… jangan-jangan kau—"
Kakashi mengangkat kedua alisnya.
"—tidak tertarik pada wanita."
Sejak insiden itu, Jiraiya perlu waktu enam bulan dan sekitar delapan belas hari untuk menumbuhkan kembali rambutnya ke panjang yang ia inginkan. Belajar dari pengalaman, ia juga tidak lagi menggoda sang White Fang Junior dengan persenjataan lengkap di balik pakaiannya. Sedangkan Kakashi? Ia masih tidak mengerti urgensi atau keinginan untuk mencium seorang gadis di usianya. Ia beranggapan hal itu adalah sesuatu yang dilakukan ketika ia jauh lebih dewasa nanti.
Mungkin sepuluh tahun mendatang, atau lima belas.
Kakashi tidak menunggu saat itu tiba.
.
.
.
Jadi, ketika beberapa hari kemudian Kakashi dan Rin sedang duduk berdua saja di bawah pohon ditemani dua ice cream cone dan sejuknya aliran angin musim semi, Kakashi tentu saja sama sekali tidak memikirkan hal yang bahkan mendekati kategori roman. Namun, apa yang datang kemudian benar-benar di luar dugaannya.
Dimulai dari Rin, yang tiba-tiba berseru dengan penuh semangat, memanggil namanya. Ia berkata bahwa jika di perhatikan baik-baik, di atas es krimnya ada taburan kristal permen yang cantik, berkilauan di bawah sinar matahari.
"Mana?"
Masker Kakashi kembali menutupi wajahnya, tepat di saat kedua mata Rin yang tampak berbinar-binar menatapnya dengan penuh semangat, "Lihat... warnanya oranye kemerahan? Kau bisa melihatnya?"
"Yang ini?"
"Itu percikan sirup strawberry, Kakashi."
"Ehm, aku tidak—"
"Tepat tersebar di bagian tengah."
"Hmm…"
"Tidak banyak jumlahnya, tetapi jika kau perhatikan baik-baik—"
"Oh, ya... aku bisa melihatnya." Kakashi bergumam, menganggukkan kepala.
Rin tersenyum lebar.
Kakashi mengacak-acak bagian belakang rambutnya sendiri.
OK, ia belum melihatnya.
Hanya saja, wajah bahagia Rin yang terlihat begitu polos membuat sensasi aneh dalam perutnya dan menyebabkan kecepatan detak jantungnya bergerak melampaui batas normal. Rin begitu terpesona dengan topping es krim cone di tangannya sehingga ia tidak menyadari bahwa sejak tadi, bukanlah Strawberry Mint Special yang ditatap Kakashi, melainkan wajah si medic-nin.
Detik itu, Kakashi merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mencium Rin.
Dan Kakashi melakukannya tanpa pertimbangan lebih jauh.
Dengan masker yang masih terpasang.
Dengan sentuhan cepat yang terkesan ceroboh.
Dengan gerak-gerik yang kikuk dan rona merah yang mulai menjalar di wajahnya.
Dia memang payah, dan Rin tertawa.
Gadis itu tertawa.
Kakashi sama sekali tidak keberatan. Tawa Rin membuat Kakashi kembali terpukau oleh wajah manis di yang begitu dekat dengannya. Kali ini, Kakashi menurunkan masker dan kembali mendaratkan bibirnya di atas bibir milik Rin. Kali ini, lebih lembut, dengan gestur halus namun pasti dan Kakashi dengan bangga bisa mengatakan bahwa ia memegang kontrol sepenuhnya.
Hei, siapa sangka Hazelnut Praline dan Strawberry Mint bisa menjadi kombinasi yang begitu manis?
Belakangan, mereka menyadari bahwa es krim milik Rin terjatuh dari genggamannya dan Kakashi berkata kepada Rin dalam perjalanan pulang bahwa ia akan membelikannya lagi, kapanpun dan sebanyak apapun yang Rin mau.
End of Taste.
A/N: Yep, this is fluff. Saya jamin bebas angst dan no chara death. Abis baca Naruto chapter 605 (angst overload) jadi miris, terus berniat bikin yang happy ending. Ini adalah sense pertama: Taste. Masih ada Touch, Smell, Vision and Sound. Hope you guys enjoy this little fic. Tadinya mau saya bikin drabble, tapi malah berkembang jadi ficlet :D
Cheers,
Sei