Sehari sebelum 'eksekusi', aku baru saja melangkah ke trotoar saat tiba-tiba seseorang menabrakku.

"Maaf, Anda baik-baik saja?" Tanyanya sambil membantuku berdiri.

"Er.. Ja, aku baik-baik saja, Danke." Agak sedikit bohong. Karena aku berdiri dengan susah payah. Penglihatanku berputar dan kakiku sulit menapak. Menyadarkanku akan keadaan tubuhku.

"Anda yakin?"

"Yeah. Sepertinya." Aku hanya melambaikan tangan padanya dan berjalan pulang.

Kepalaku berputar dan pandanganku kabur, saat melewati kaca toko kusadari perubahan fisikku. Guratan hitam dibawah mata semakin jelas, wajah tirus, rambut menipis, dan bahkan kulitku lebih pucat, seolah-olah tak ada darah yang mengalir dibawahnya.

Aku bergegas pulang dengan susah payah. Berusaha untuk menjaga kesadaranku, tubuhku sudah tak menurut lagi, aku bisa pingsan kapan saja. Apa yang kutakutkan terjadi. Aku sudah memasuki halaman saat bertemu West yang menyambutku dengan salam khasnya.

"Bruder! Aku mencarimu tahu! Kau tahu 'kan kalau mestinya jangan banyak bergerak.."

Uh, West wajahmu buram dimataku.

"..tenagamu sedikit demi sedikit akan berkurang. Kau tahu itu 'kan?"

Iya, aku tahu. Tapi kenapa sekelilingku seperti terangkat..

"Bruder!"

.. dan hitam?


Aku terbangun dan mendapati kamarku. Setelah menguap dan mengumpulkan kesadaran, aku bangkit. Terduduk di pinggir tempat tidur, menyadari apa yang terjadi kemarin. Sepertinya aku pingsan dan West menggotongku. Aku beranjak dan tak sengaja melihat kalender yang tergantung di dinding. Kulihat tanggal hari ini, 2 November. Hari penandatangan perjanjian sekutu atas pembagian wilayah dan penghapusan status kerajaan Prusia atau lebih pendeknya, hari 'eksekusi'ku. Aku menyeringai menatap angka-angka yang berbaris itu. Setidaknya dihari terakhirku, aku bisa santai menikmati waktu mandi, kan?

Aku benar-benar menikmati waktu mandiku dan memakai lengkap seragam militerku. Oh, mana mungkin aku rela mati dalam keadaan tidak awesome? Dan mana mungkin aku mempermalukan negaraku dihadapan para sekutu itu dengan penampilanku? Ah, kalau kalian bertanya, tentu saja aku akan datang ke penandatanganan itu. Formalitas, yang menuntut nyawa. Kenapa? Kalian shock karena para pria imut berwajah polos itu bisa menatap kematian seseorang dengan tenang—atau tidak—hanya dengan goresan pena? Ayolah, ini perang, tempat dimana kalau musuhmu tidak tewas, kaulah yang tewas.

Setelah memastikan semuanya sempurna, dan menatap kamarku untuk terakhir kalinya, aku menuju ruang kerja adikku untuk berangkat. Berdasarkan sifatnya yang tepat waktu kupikir aku akan mendapati dia sudah siap di ruangannya. Tapi sampai disana yang kudapati adalah ruangan kosong. Tak bisa kuhindari, seringai jahat muncul di bibirku. Untuk terakhir kalinya aku ingin mengacak-acak tempat ini, tak apa, kan?

Aku berkeliling, memeriksa rak-rak buku, menemukan beberapa 'koleksi' West, dan print out strategi perang. Yang masih baru, kalau boleh kutambahkan. Aku tak terkejut, dia memang keras kepala sekali. Kulemparkan print out itu keatas meja dengan dengusan kasar. Tanpa sadar mendorong jatuh sebuah kertas.

Tinta emas di kertas itu berkilau tertimpa cahaya matahari pagi dari jendela. Didorong rasa penasaran aku mengambil kertas itu. Kertas itu wangi, tinta emasnya membentuk motif bunga dan pita pada bagian pinggirnya. Kubaca tulisan meliuk-liuk diatasnya dengan seksama.

"We request the honor of your presence

to share in the joy

and witness the joining in love of two hearts

Elizaveta Hedervary

to

Roderich Edelstein

On second day of November this year

At eight o'clock in the morning

At St. Maria, Berlin"

Aku sudah sampai pada pengulangan kelima saat West membuka pintu dan memanggilku, "Bruder! Kau disini rupanya, aku—"

Ucapannya terhenti, aku menoleh, menatap wajahnya yang penuh horor.

"West, kapan INI datang?" Tanyaku sedatar mungkin sambil melambaikan 'kertas itu' dihadapannya.

Adikku tak langsung menjawab, dia terlihat salah tingkah.

"West, kapan INI datang." Nada perintah, bukan kalimat tanya.

Setelah puas menggigit bibirnya dan menghindari tatapan mataku dia menjawab, "Dua minggu yang lalu."

Mataku membulat, kaget. Dua minggu? Kejadian-kejadian bodoh itu berkelebatan dibenakku. Aku semakin sadar apa yang terjadi, kuingat Hungaria berusaha memanggilku saat aku berhasil menyatakan perasaanku. Sialan.

"Aku tak sanggup memberitahumu, maafkan aku," ucapnya dengan nada bersalah sambil berusaha menatapku yang sedang meremas kertas itu.

Perasaanku campur aduk, aku hanya bergumam, "Bukan salahmu." saat melewatinya dan berlari pergi. Kemana tujuannya sudah jelas sekali, gereja yang hanya berjarak sepuluh menit dari rumah ini.


Entah darimana aku mendapat kekuatan untuk berlari. Menghiraukan teriakan West dibelakangku. Oh, dia tak akan bisa menyusulku. Selain kalah start, catatan menunjukkan dia tak pernah sekalipun menang dariku dalam hal atletik. Aku mempercepat lariku, sambil berusaha menghubungi tempat pertemuan yang mestinya kudatangi. Begitu communicator itu tersambung aku langsung menjelaskan keadaannya, tak peduli siapa yang menerima pesan itu.

"Ini aku. Laksanakan pertemuannya sesuai rencana, katakan pada para sekutu, akan kukirimkan mayatku tepat ke hidung mereka kalau mereka tak percaya, dan sampaikan pada Old Fritz untuk jangan cemaskan keadaanku. Sekian." Aku tak butuh respon, segera kumatikan alat itu dan terus berlari melewati halaman gereja, menuju pintu kayu besar yang tertutup rapat.

Tanpa ragu kudorong pintu besar itu, menimbulkan bunyi derit dan debam setelahnya. Mengagetkan dan membuat orang-orang didalam gereja menoleh kearahku. Kuperhatikan sekelilingku. Hanya ada sedikit orang disitu, tapi yang kukenal diantaranya hanya Maria Teressa dan satu dua orang petinggi Austria dan Hungaria. Perhatianku teralih pada ruangan dalam gereja yang disulap jadi cantik sekali. Kursi-kursi diberi kain putih dengan hiasan pita emas dan ditiap-tiap ujungnya terpasang rangkaian lili putih. Karpet merah terhampar diantara jajaran kursi, dan diujungnya terdapat sepasang mempelai yang menoleh kearahku dengan wajah paling horor yang pernah kulihat.


"Prusia.. kenapa.." Hungaria menatapku dengan campuran bingung, cemas dan sedikit rasa sedih diwajahnya.

"Hungaria, aku.. argh!" Ada rasa ngilu daging terpotong di lenganku. Kulihat pergelangan tanganku yang penuh darah, nadiku terpotong. Aku personifikasi, tak akan mati hanya dengan nadi terpotong. Tapi aku tahu, pertemuan biadab itu mulai memasuki puncaknya, membagi-bagi wilayah kerajaanku. Nafasku menderu, jantungku berdegup kencang.

"Uargghh!" Kurasakan kepalaku terpukul gada besar. Aku jatuh dilututku, entah darimana darah mengalir di pelipisku.

"Bruder! Bertahanlah" West menghampiriku setelah berhasil menyusul.

"Prusia!" Hungaria sudah melangkah menghampiriku, tapi terhenti oleh tangan Austria.

"Tidak Hungaria, kau tak boleh pergi." Baru kali ini kulihat cowok manja itu mengambil sikap. Dia berjalan beberapa langkah dari altar, mendekatiku. Tidak menghiraukan tatapan semua orang yang hadir di gereja itu.

"Prusia, kuharap kau tak membenciku karena hal ini. Aku bukannya tak tahu perasaanmu pada Hungaria. Aku juga laki-laki. Aku mengerti betul arti tatapanmu padanya. Aku tahu dia selalu datang padamu saat bertengkar denganku. Tapi aku punya perasaanku sendiri, karenanya aku tak mau dia jatuh padamu."

Dia diam sejenak menatapku dan melanjutkan setelah maju satu langkah, "Mungkin kau lebih layak untuknya, lebih bisa membahagiakannya, lebih bisa mengerti dia. Tapi, aku ragu rasa cintamu padanya bisa melebihiku"

"Verdammt! Kau tahu apa.. uhuk, argh.." Ucapanku terpotong oleh mulutku yang kembali mengeluarkan darah dan nadi kiriku yang sekarang ikut terpotong, meninggalkan noda di sarung tanganku.

"Apa yang sudah kau lakukan kalau begitu? Apa usahamu untuknya? Tak ada! Kau hanya diam! Pengecut!" Matanya sama sekali tak menunjukkan belas kasihan, toh aku juga tak meminta. "Karenanya, jangan salahkan aku kalau kuambil dia dari tanganmu. Dengan, atau tanpa cintanya padaku."

Aku menatap matanya yang juga menatap tajam padaku, kuperlihatkan seringaiku padaku padanya. Hening hanya terjadi sesaat, pecah oleh derap langkah Hungaria, yang seakan tak peduli dengan peringatan Austria, menghampiriku.

"Bodoohhh! Apa yang kau lakukan disini!"

"Stop!" Kuangkat tanganku saat dia tinggal berjarak beberapa langkah, "Jangan mendekat!"

"Eh?"

"Nanti gaunmu kotor tuan putri." Aku menunjuk ceceran darahku dilantai sambil tetap memandangnya.

"Siaaalll! Kau meremehkanku? Kau pikir hal kecil begini akan menghalangiku?" Dia tetap menghampiriku, berlutut didepanku, menorehkan noda merah di gaun putihnya.

"Bodoh, kan sudah kubilang jangan dekat-dekat. Gaunmu jadi kotor!"

"DIAMM!"

Aku tersentak, kutatap wajahnya yang serius menatapku. Cantik, cantik sekali.

"Kau selalu seperti ini! Selalu hanya mengkhawatirkanku, mengkhawatirkan sekelilingmu, tapi tak pernah memikirkan dirimu sendiri!"

Aku tercekat, wajahnya memerah, dia meremas gaunnya.

"Aku selalu berharap kau keluarkan perasaanmu didepanku. Karena aku terlalu tahu kau. Kau yang selalu menekan perasaanmu, kau yang selalu membuka tanganmu untuk memelukku saatku menangis, kau yang akan bertingkah bodoh untuk membuatku tertawa kembali. Kau yang seperti itu memaksaku membuka hatiku untukmu!

"Aku bukan perempuan bodoh! Kau tahu betapa aku tersiksa dengan perasaan ini? Kau membingungkanku! Kau membuatku membuka hatiku, tapi kau juga menekan perasaanmu! Seolah menungguku memutuskan! Aku tidak dalam keadaan bisa memilih! Sampai aku sadar disudut hatiku, kalau..."

Seperti tahu ujung kalimat yang diucapkannya, kulepaskan sarung tanganku yang penuh darah dengan sedikit gemetar. Aku tak mau darahku mengotori dia, gaunnya sudah cukup hancur. Dan dugaanku tepat.

"...aku mencintaim—"

"Jangan," Kutempelkan jari telunjukku dibibirnya, dan tersenyum, "Kumohon, jangan katakan itu. Jangan buat aku semakin tersiksa dengan kenyataan betapa bodohnya aku ini."

Wajahnya tercengang, matanya mulai berair. Kuusap air mata yang mulai membasahi pipinya."Hei, sejak kapan kau jadi cengeng begini? Jelek ah! Lagipula ini hari pernikahanmu, mestinya kau wanita paling bahagia. Jadi tersenyumlah." Kukatakan semua itu sambil terus menatap mata hijaunya yang cantik dan tersenyum. Tulus.

"Bodoh! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia? Bagaimana mungkin aku bisa tertawa! Kau tahu betapa hancurnya perasaanku saat kutahu apa yang terjadi padamu akibat perang tidak berguna ini? Uhh.. Hik.."

Hatiku semakin remuk, tenggorokanku tercekat, hidungku panas, dan mataku mulai berair. Kuraih wajahnya, kukecup dahinya dengan lembut. Kutempelkan dahiku dengannya, kutatap langsung matanya, kurasakan air mataku tak terbendung.

"Maafkan aku. Tolong maafkan kebodohanku. Maafkan aku yang tak bisa membahagiakanmu, ak—arghh.. Hah.. hahh.."

Dadaku sakit, dan aku kembali memuntahkan darah, ada satu kota yang jatuh. Hungaria memegang erat pundakku dan West kembali meneriakan kecemasannya.

"Prusia!"

"Bruder!"

Kuambil tangannya dari pundakku, kucium lembut. "Pergi, berbahagialah. Kumohon, untukku, ya?" Aku menatapnya dan berusaha tersenyum. Dia diam, tak mengangguk atau menggeleng. Wajahnya kuyup oleh air mata.

Kami saling memandang dalam diam, saling menembus relung membaca perasaan. Aku dan dia tahu, kami tak bisa bersama. Aku tahu aku takkan bisa membahagiakannya walau sesaat. Dia tahu aku terluka tak bisa membahagiakannya. Aku ingin dia temukan kebahagiaan lain, dan dia ingin aku pergi tanpa terluka. Kalau memang kebahagiaan itu bukan pemberian, tapi ditemukan, maka kuharap kami sudah menemukannya, saat ini.

Aku tersenyum saat kulihat air matanya terhenti, dan berbisik lirih, "Demi kau, aku pasti bahagia."

Kini pandanganku lurus menatap si pengantin pria tepat pada matanya.

"Oi, cowok aristokrat." Aku berusaha mengambil nafas diantara kalimatku, kali ini kurasakan sulit sekali untuk sekedar mengeluarkan kata-kata.

"Semanja apapun kau, kau mengerti janji laki-laki 'kan? Ini pertama dan terakhir kalinya kurendahkan diriku yang awesome ini.. Uurghh.." darah kembali keluar dari ujung bibirku, sial. "Tolong, bahagiakanlah dia."

Ada raut tidak percaya diwajahnya sebelum berubah menjadi serius. Wajah seorang laki-laki. Membalas tatapanku, dan meraih tangan Hungaria.

"Tak perlu kau minta pun, pasti kulakukan." Aku tersenyum lemah, menatapnya menyeret paksa Hungaria kembali ke altar.

"Tidak! Tunggu dulu Mr. Austria! Pru, Prusia.. Aku.."

"Apa lagi yang kau tunggu? Pergilah!"

"Tapi—"

"Tak ada tapi Hungaria. Ini masalah janji."

Aku memberinya senyum tulus sekali lagi. Kulihat dia menggigit bibirnya dan butir kecil air mata muncul di sudut matanya. Cengiran timbul diwajahku. Dia sedikit terkejut, tapi seakan sudah mengambil keputusan, dia memantapkan wajahnya.

"Kau cantik." Kukatakan itu tanpa suara, membuatnya merona merah dan tersenyum lebar sebelum benar-benar beranjak menuju altar.

Aku sudah benar-benar kehilangan tenaga. West yang menyadari itu bersimpuh menopangku. Tangan kirinya menyanggahku dan tangan kanannya berusaha membersihkan darah yang keluar dari hidung, mulut, dan pergelangan tanganku. Mulutnya terus berusaha menguatkanku melalui bisikan-bisikan lembutnya, "Bruder, semuanya akan baik-baik saja. Ada aku disini." Aku tersenyum lemah, berusaha menangkap suaranya yang bercampur ucapan sakral upacara suci sehidup semati.


"Elizaveta Hedervary. Wilt thou have this man to thy wedded husband to live together according to God's law in the holy estate of matrimony…"

"Bruder! Tidak, Bruder, bertahanlah!"

Kudengar ucapannya berubah panik saat darahku kembali membasahi seragam militernya.

"…Wilt thou love him, comfort him, honor and keep him in sickness and in health and forsaking all other keep thee only unto him, so long as ye both shall live?"

"Sial!" Umpatnya lagi. Mataku sudah tak terlalu jelas melihat, tapi aku bisa merasakan gerakannya. Dia seperti mengambil communicatordari sakunya, berusaha mengontak markasnya.

"I will"

Lembut, lembut sekali suaranya, jauh di altar sana. Melebur bercampur duka adikku di pendengaran.

"Ini aku! Siapkan para tentara untuk segera berangkat menuj—"

"I, Roderich Edelstein take thee Elizaveta Hedervary to my wedded wife to have and to hold from this day forward. For better, for worse. For richer, for poorer…"

Kalimatnya terhenti saat tanganku berusaha menggegam tangannya, "West, sudahlah" Terlambat, kerajaan atau hatiku, apapun itu, sudah remuk.

"…In sickness and in health. To love and to cherish. Till death us do part. According to God's holy law. And thereto I give thee my troth."

"Aku ini 'Prusia', lebih tahu apa yang terjadi pada kerajaanku lewat panca indera. Kurasa kau mengerti itu," ujarku menjawab wajahnya yang penuh tanya.

"I, Elizaveta Hedervary take thee Roderich Edelstein to my wedded husband to have and to hold from this day forward. For better, for worse…"

Ya, aku tahu, satu kota lagi jatuh, dan kurasakan darah hangat mengalir dari hidungku, mengambil penciuman. Tak bisa lagi aku membaui harum bunga disekelilingiku atau bahkan wangi tubuh adik yang memelukku.

"…For richer, for poorer. In sickness and in health. To love and to cherish. Till death us do part. According to God's holy law. And thereto I give thee my troth."


Dalam penglihatanku yang semakin kabur, kulihat dia di ujung sana, di altar suci, bersanding bersama seorang pria. Kukhianati kebulatan tekadku dengan terakhir kalinya berharap aku yang berdiri disana bersamanya.

Dia cantik. Bahkan dalam remangnya penglihatanku.

Aku bisa melihat rambut cokelatnya yang tergelung rapi dihiasi beberapa kuntum bunga dan mata emeraldnya mengeluarkan air mata saat si pria menciumnya.

Oh akhir yang awesome sekali, dalam keadaan bersimbah darah di pelukan adik tersayang, kulihat dia berada di altar suci bersama pria yang paling kukutuk. Apalagi yang bisa kulakukan selain tersenyum lemah?

"Bruder?" Ada nada sendu dalam panggilan adikku.

"West..."

Kualihkan pandanganku. Menatap lurus mata adiku. Mata yang seharusnya berwarna cerahnya langit musim panas, kini mendung, dihiasi bulir air mata yang mulai mengalir ke pipinya.

"...Aku mungkin tidak pernah mengatakannya..." Kugapai wajahnya, tangannya menggegam tanganku.

"...Kau adik paling... awesome di dunia... Aku bangga.. padamu.."

"Tunggu! Bruder!"

"..Ich liebe.. mein..en.. bruder"

Kulihat mulutnya bergerak gerak, air matanya semakin deras. Apa? Apa yang kau katakan West? Aku tak bisa mendengarmu. Ah, kurasakan sebuah kota hilang lagi, bersama pendengaranku.

Terakhir kalinya aku ingin menatap dia. Walau hanya dari ujung mata, kulihat dia berlari kearahku. Mengangkat gaunnya, berlari, menanggalkan sepatunya, dan kembali berlari. Wajahnya cemas bercampur air mata. Tidak, kumohon jangan beri aku wajah itu.

Aku suka marahmu, tawamu, teriakanmu.

Aku suka saat kau lemah dan bergantung padaku.

Aku suka saat kau menangis dalam pelukanku karena si aristokrat brengsek itu.

Oh, tahukah kau betapa kuatnya aku menahan perasaanku saat itu?

Ini saat terakhirku, jadi kumohon, jangan beri aku air matamu.

Aku pergi dalam kekalutan rasa sepi.

Tapi kalau nanti aku kembali, satu hal pasti yang ingin kulihat pertama kali.

Beri aku senyum hangatmu yang secerah mentari.

Sambut aku dengan tawamu, aku tak butuh kata cintamu.

Karena saat ragu sudah tak membelenggu, aku tahu matamu sudah mengatakan itu, dan sadarilah burung kecilku,

"Eliza, aku mencintaimu."


A/N:

Akhirnya anda sampai di akhir cerita :) Terimakasih banyak!

Yah, saya berhutang penjelasan pada anda. Oke, jadi begini. Cerita tadi tidak relevan dengan sejarah karena:

1. Cerita ini mengambil waktu akhir PD II

2. AstroHungary Union terjadi sekitar PD I (pokoknya jauh sebelum PD II) yang berarti ga mungkin kejadian di point 1

3. Prusia manggil Jerman 'West' padahal saat itu belum kejadian tembok Berlin, yang berarti semakin ga nyambung dengan point 1 apalagi point 2

Point diatas adalah kesimpulan yang saya-notabenenya punya nilai paspasan di matpel sejarah-ambil setelah baca halaman di tante wiki: id . wikipedia wiki/Prusia dan en. wikipedia wiki/Austria-Hungary (copy-paste dan hapus spasi untuk membuka link) yang berarti penuh dengan salah tanggap. Jadi saya harap jika anda tahu hal yang benar, bisa membantu menjelaskannya :)

Untuk masalah Bahasa Asing (Deutsch dan English) jika ada kesalahan grammar atau typo, saya selalu menerima kritik. Karena saya juga masih dalam tahap belajar.

Dan buat yang penasaran kenapa Prusia bawa bunga anyelir, bisa liat artinya di link ini : en. wikipedia wiki/ Language_of_flowers (copy-paste dan hapus spasi untuk membuka link) dan baca bagian red carnation :) alasan lili putih dan mawar juga saya ambil dari situ :D


Big thanks for everyone who give me the favo and review! Im really flattered :D *big hugs for you all*

Here's the reply :3

kak nana.0.o: Terimakasih atas kerja kerasnya jadi beta reader roman picisan ini m(_ _)m
saya senang ternyata bisa menuliskan gil dengan baik \:D/
tunggu saya dateng bawa selembar tisu ya :3

Yunjou: cup cup, *sodorin tisu juga*
Untuk di APHnya mungkin himapapa punya rencana tersendiri sama si abang gilbo? :3
cup cup.. *nepuk nepuk punggung*

makasih banyak udah baca dan review :)

Sindy Beilschmidt: Aw, *sodorin tisu*.
haha, aku antisipasi ada yang nanyain aja keabsurdan keadaan dicerita ini, makanya aku
tulis gitu di A/N XD
Thanks udah baca dan review saya tersanjung sekali :D

Shouta-warrior: PruHun \:D/
Sa, saya gak tahu, *sodorin tisu*
Yey for awesome Prusia :D
Thanks udah baca dan review im feel flattered XD

Taiyou desu: saya belum bisa dibilang senpai kaka, saya juga masih belajar kok :3 btw, thankyou banyak yaa~

Kagamine yukimura: eee.. jangan nangis.. cup cup *sodorin tisu juga*
Semoga cepat bisa buka akunnya ya /plak
terimaksih atas rasa cintanya yang menggema sampai ke dasar jiwa *halah* saya tersanjung :)


So, that's it.

Thank you for reading, give me some review, please? *puppy eyes*