Thank you, thank you so much semua yang telah me-review dan memberiku inspirasi. Sekarang kepalaku penuh ide-ide aneh, hahaha, lupakan! Dan terima kasih juga sudah mengingatkanku untuk segera update, berarti setiap chapter dari KNG ini memang ditunggu... Thank you so much: Rin, claire nunnaly, tina weasley, Rise Star, Dandeliona96, guest, Tsubasa Xasllita Dios, ochan malfoy, Cecilia, megu takuma, DarkBlueSong, driccha, qeqey, rosejean, Kira, YMFS, zean's malfoy, Devia Purwanti, sakura hana, Watchfang, SeiraAiren, SilentReader, lilysander, yanchan, Alia Yunara, Molly Efrisari, Lily Purple Lily, mizu aleynn, lumostatalus, shine, bigfan :D

Selamat membaca KNG 7 chapter 5!

Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: KNG 1, 2, 3, 4, 5, 6

KISAH NEXT GENERATION 7: SAHABAT YANG HILANG

Chapter 5

Tanggal: ?

Lokasi: Hutan Terlarang

Waktu: ?

Aku tahu aku sedang berbaring bertelungkup di sebuah permukaan yang sama sekali tidak lembut. Suatu permukaan yang penuh rumput. Aku bisa mengatakannya seperti itu karena pipiku terasa gatal dan hidungku mencium harum rumput yang segar. Hal ini sungguh mengherankan karena sekarang musim dingin dan tidak ada rumput yang memiliki harum seperti musim panas. Yang pasti rumput sama sekali tidak boleh ada. Tetapi di sini ada rumput, ada semilir angin lembut yang membawa kehangatan dan kenyamanan, juga ada harum rerumputan dan bunga-bunga liar. Suasana ini seperti saat musim panas di The Burrow.

Tentu saja ini bukan dasar bumi, seperti yang telah kubayangkan beberapa detik yang lalu. Aku seharusnya terjatuh ke dalam dasar bumi yang paling dalam, pada suatu tempat yang gelap, lembab dan membekukan. Namun, kehangatan bukanlah salah satu dari ciri-ciri dasar bumi.

"Lou!"

Suara James terdengar. Sedetik kemudian, aku merasakan tubuhku telah di balik dengan kasar oleh seseorang. Dan pipiku ditepuk dengan keras.

Erangan halus keluar dari bibirku sebelum membuka mata.

"Kau tidak perlu memukulku sekeras itu, kan?" kataku, memandang wajah James, yang menutup langit di atasku.

"Kau baik-baik saja?" tanya Fred, yang juga sudah ada di dekatku.

"Sebaik saat kau bangun dan menyadari bahwa kautergeletak di tanah berumput," jawabku, lalu membawa tubuhku dalam posisi duduk. "Kalian baik-baik saja?"

"Ya..." jawab mereka bersama-sama.

Selain rumput hijau di rambut dan jaket, mereka tampak baik-baik saja.

"Apakah sudah pagi?" tanyaku lemah, lalu menggerak-gerakkan leherku yang kaku karena berbaring di tanah.

"Mungkin," jawab James, bergeser menjauhiku, lalu memandang ke atas.

Mengabaikan seluruh tubuhku yang kaku, aku ikut memandang ke atas, pada langit biru yang indah tak berawan, dan pada matahari yang bersinar hangat dan cerah membuatku kepanasan. Sambil melepaskan jaket, dan menyisakan kaos merah gelap, aku memperhatikan sekelilingku. Tempatku berada saat ini adalah sebuah wilayah berumput hijau, seperti permadani hijau yang luas dan lebar, dengan gunung-gunung tinggi membayang di kejauhan. Bunga-bunga rumput berwarna kuning cerah dan merah muda lembut, melambai diitup angin seolah senang ada yang menemani mereka di tempat terisolasi ini.

"Di mana kita?" tanyaku segera.

"Yang pasti bukan di Hogwarts," jawab Fred.

Dia juga sudah melepaskan jaketnya, menyisakan kaos abu-abu bergambar lukisan abstrak berbentuk aneh. Sementara James, yang baru saja membuang jaketnya di rerumputan dan berdiri, mengenakan kaos hitam bergambar personil The Shadow Men.

"Tampaknya ini padang gembalaan, tapi aku sama sekali tidak melihat domba dan gembalanya," katanya, memandang berkeliling. "Tak tampak adanya manusia..."

"Apakah mungkin kita sedang terjebak di suatu tempat yang penuh sihir?" tanyaku. "Maksudku kita terjauh ke dalam tanah, tapi kita tidak seperti berada di dalam tanah."

Sambil berbicara, aku meraba-raba kantong jaketku dan menyadari bahwa tongkat sihirku tidak ada lagi di sana.

"Tongkat sihirku... Tongkat sihirku hilang!" seruku cemas. Aku tahu aku tidak mungkin bisa bertahan hidup tanpa tongkat sihir. Apalagi saat ini, saat aku berada di suatu tempat yang tidak kukenal.

James kembali duduk di dekatku, meraba-raba kantong jaketnya dan mengeluarkan tongkat sihirku. Dia menyerahkannya padaku.

"Tergeletak di dekatmu, jadi aku menyimpannya. Tetapi, sia-sia saja, karena sihir tidak berfungsi di tempat ini," katanya.

"Tidak mungkin!" kataku, mengayunkan tongkat sihir di udara, tapi tidak terjadi apa-apa.

"James dan aku sudah mencobanya sebelum kau," Fred memandang usaha sia-siaku sambil menggeleng. "Di sini kita tidak bisa menyihir. Sama seperti saat kita terjatuh di lubang itu."

Menyerah, aku segera memasukkan tongkat sihirku ke saku belakang jeansku. Sementara Fred dan James memandang jauh ke depan, tanpa berbicara lagi. Mereka mungkin, sama sepertiku, sedang memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dari tempat ini, tanpa sihir.

"Menurut kalian bagaimana kita bisa terdampar di sini?" tanyaku memecah keheningan.

"Kurasa lubang, tempat kita terjatuh itu, hanyalah kamuflase..." kata James.

Aku memandangnya, sedikit heran, tetapi Fred mengangguk.

"Aku juga merasa seperti itu," katanya. "Menjatuhkan kita dalam lubang adalah tipuan. Tujuan sebenarnya, membawa kita ke tempat ini. Meskipun aku tidak tahu mengapa..."

"Ya," timpal James. "Lubang itu bisa ada dan bisa juga tidak ada. Maksudku, lubang itu ada. Kau—" dia memandangku. "—mengatakannya dengan jelas bahwa Alice terjatuh di dalamnya. Tetapi lubang itu tidak ada, karena para Auror dan kita sendiri juga melihat bahwa tidak ada lubang di sana. Lalu, lubang itu ada karena kita terjatuh di dalamnya. Dan sebenarnya, lubang itu tidak ada karena itu bukanlah lubang, tapi bisa jadi, sesuatu yang dipakai untuk membawa kita ke sini."

"Aku mengerti maksudmu. Sesuatu atau seseorang telah membawa kita ke tempat ini. Tetapi tempat apa ini?"

"Menurutku kita masih ada di Hutan Terlarang," kata Fred. "Kita tidak mungkin dikirim ke negara lain, atau tempat lain di luar kompleks Hogwarts. Kecuali kalau ada yang menyihir lubang itu menjadi Portkey. Tetapi itu tidak mungkin. Kita tahu bagaimana rasanya bepergian dengan menggunakan Portkey..."

"Fred benar," kata James. "Hanya saja, kita tidak tahu apakah tempat ini adalah sisi Hutan Terlarang yang telah disihir, atau ada kekuatan gaib lain yang membuatnya tidak terjangkau oleh para Auror."

"Lalu mengapa kita? Maksudku mengapa kita bisa dibawa ke tempat ini?"

"Bukan 'kita', Lou, tapi kau... Kau-lah yang dibawa ke tempat ini. Fred dan aku hanyalah tambahan."

"Hah?"

"Coba ingat-ingat lagi!" kata James. "Fred dan aku sedang tepat berada di atas lubang itu, lalu kau menginjakkan kakimu di atasnya dan kita semua terjatuh."

"Ah, mungkin kita bertiga terlalu berat, jadi tanah itu tidak mampu menahan tubuh kita."

"Louis, para Auror juga telah menyelidiki tempat itu. Mereka mungkin telah berdiri di atas lubang itu berempat atau berlima, tetapi tidak ada informasi tentang Auror yang hilang di Hutan Terlarang. Mereka tidak dibawa ke sini. Kau-lah yang diinginkan oleh tempat ini."

"Yah, tampaknya tempat ini menyukaimu," kata Fred nyengir, aku cemberut.

"Ingat tentang pita ungu di semak-semak saat kau mencari Alice!" lanjut James. "Pita itu ada di sana untuk menunjukkan padamu di mana Alice. Atau bisa juga untuk menunjukkan padamu lubang itu. Jadi, kurasa memang ada seseorang yang ingin membawamu ke sini."

"Tetapi mengapa aku?" aku memandang mereka berdua, mengerutkan kening. Tidak ada yang menarik pada diriku ataupun kehidupanku, sehingga bisa membuat, misalnya roh Hutan Terlarang menyukaiku.

"Yah, mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang dikatakan para Centaurus..."

"Apa?" tanyaku heran, karena para Centaurus kemungkinan tidak ada hubungannya dengan kejadian ini.

"Kapan kau bertemu Centaurus?" tanya Fred ingin tahu.

"Bukan aku, tapi Hagrid... Kalian juga ada di sana saat dia bercerita tentang Centaurus yang ditemuinya di hutan saat malam pertama menghilangnya Alice. Ingat?"

"Tidak..."

"Aku juga tidak ingat... Apa yang dikatakan Centaurus?" tanya Fred.

"Sekarang Venus berada sangat dekat dengan bumi," jawab James pelan dan misterius, seperti sedang meramalkan sesuatu.

"Jadi?"

"Jadi, Lou, Dewi Cinta-lah yang sedang sangat dekat dengan bumi. Artinya, semua yang terjadi ini ada hubungannya dengan cinta. Kau datang ke sini karena cinta memanggilmu."

Keheningan menyusul, setelah pernyataan yang tidak masuk akal ini. Fred dan aku memandang James dengan melongo, saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Hei!" James tampak kaget, lalu cemberut.

"Yah, Lou, roh pelindung hutan ini sedang jatuh cinta padamu," kata Fred, di sela tawanya.

"Hentikan!"

"Oh ayolah, James, apakah kau tidak merasa itu lucu?" tanyaku, masih terus tertawa.

James memandang kami sepersekian detik, lalu mendengus tertawa. Dan kami bertiga, tertawa dan terus tertawa sampai tenggorokan kami kering, meskipun situasi yang kami alami ini sama sekali tidak lucu.

"Oke, aku tahu, aku tahu..." kata James agak terengah, saat kami berhenti tertawa. "Tadi memang tidak masuk akal..."

"Aku senang kau menyadarinya..." kataku, setengah tersedak.

"Sebaiknya kita pergi dari sini," kata Fred serius beberapa saat kemudian. "Kita harus mencari cara untuk bisa kembali ke Hogwarts."

"Ya," kata James, menyambar jaketnya yang tergeletak di rerumputan, lalu berdiri. Fred dan aku melakukan hal yang sama. "Aku sudah memikirkan arah yang harus kita ambil. Kita ke Timur..."

"Mengapa?" tanyaku.

"Karena angin ini bertiup dari arah Timur. Apakah kalian tidak bisa membau harum bunga-bunga yang terbawa angin?"

"Benar," kata Fred, setelah menghidu udara. "Jadi, di suatu tempat di sebelah Timur ada taman bunga. Dan kalau ada taman, berarti ada seseorang yang merawat dan memelihara taman itu."

"Itu hanya dugaan... Bisa saja, itu hanya bunga-bunga yang tumbuh liar. Tetapi kita harus bergerak, kan? Kita tidak bisa diam di sini selamanya."

"Ayo, saatnya berangkat!" kataku, segera berjalan lebih dulu ke arah Timur, berusaha untuk terlihat penuh semangat. Padahal, aku tidak sedang bersemangat. Aku merasa takut. Pikiranku penuh dengan berbagai kemungkinan yang semuanya berakhir dengan kami terjebak di tempat ini selamanya.

Saat angin Timur bertiup, aku membaui wangi bunga di udara, seperti yang telah dikatakan James. Dan wajah Alice muncul di kepalaku dengan sangat tiba-tiba membuatku tersentak. Yeah, tujuan kami memasuki Hutan Terlarang ini adalah untuk mencari Alice, tapi betapa mudahnya aku melupakannya. Seperti pada hari menghilangnya Alice, aku juga telah melupakannya sekarang. Sebenarnya apa yang terjadi denganku, padahal aku tidak pernah melupakannya di saat-saat yang lalu.

"Bagaimana dengan Alice?" tanyaku.

"Ya, Alice," kata James, tampak bingung. "Mungkin dia juga ada di sini... Kalau beruntung kita akan bertemu dengannya."

"Semoga dia ada di sini..."

"Dia pasti ada di sini," kata Fred. "Dia tidak ada di mana-mana di dalam Hutan Terlarang. Artinya, dia ada di suatu tempat yang tidak bisa ditemukan oleh para Auror itu, yaitu di sini."

"Itu kalau dia belum dilukai oleh Manticore," kataku, teringat apa yang ditulis oleh Daily Prophet.

"Di Hutan Terlarang tidak ada yang lebih berbahaya daripada para Acromantula," kata James. "Kau tahu itu... Tidak ada Manticore di sini."

Setelah itu tidak ada yang berbicara lagi. Kami terus berjalan menyusuri padang rumput menuju sebelah Timur. Setelah kira-kira satu jam yang melelahkan, kami melihat bentuk pepohonan kira-kira satu kilometer di depan kami.

"Apakah telingaku menipuku, atau aku memang mendengar suara aliran air?"

"Memang ada suara aliran air..." kata James. "Ada sungai di depan kita..."

"Dan suara nyanyian..." kata Fred.

Kami berpandangan selama beberapa detik, lalu tanpa banyak bicara lagi segera berjalan cepat memasuki hutan kecil yang pohon-pohonnya tumbuh jarang. Suara nyanyian semakin keras, saat kami tiba di tepi aliran air yang benar-benar bersih dan jernih.

"Wah," kata Fred, mengagumi keindahan alam di sekitarnya; pada pepohonan hijau yang melindungi sungai kecil itu dari sinar matahari. "Di sini beda sekali dengan di London..."

"Alam di sini kan belum terjamah. Lagipula tidak ada yang tahu tempat ini selain kita..." kataku, segera menyusul Fred yang berdiri di bawah sebuah pohon besar tempat aliran air keluar dari tanah, dan bergabung dengan aliran yang lebih besar yang mungkin berasal dari dalam hutan kecil ini.

James, yang sudah turun ke sungai di antara batu-batu, memandang ke seberang sungai. Di kejauhan tampak warna-warni ceria, yang berasal dari sebuah taman yang dipenuhi oleh bunga-bunga berbagai jenis. Dari tempat kuberdiri tampaklah ada bunga daisy, hollyhock, larkspur, canterbury bell dan berbagai jenis lain yang tidak bisa kusebutkan namanya. Karena, jujur saja, aku bukan penggemar bunga.

"Kita harus menyeberang ke sana, dari sanalah suara nyanyian itu berasal," kata James, menghentikan pikiranku dari bunga-bunga, sementara Fred asyik membasuh wajahnya di mata air.

"Baiklah," kataku, lalu menyusul James yang sudah lebih dulu meniti batu-batu menuju ke seberang.

Fred, dengan wajah penuh air dan sebagian kaos basah segera menyusul kami.

Kami memasuki wilayah penuh bunga itu dan langsung berhadapan dengan belasan peri seukuran telapak tangan, bersayap warna-warna yang sedang sibuk bekerja. Mereka berkerja dengan riang sambil menyanyikan nyanyian bersemangat menggunakan bahasa yang tidak pernah kudengar. Mungkin bahasa peri. Mereka begitu tenggelam dalam kesibukan mereka, sehingga tidak menyadari kehadiran kami.

Lima peri sedang menyirami bunga-bunga itu dengan awan-awan gelap yang melayang rendah di atas taman. Mereka duduk di atas awan-awan itu duduk sambil mengendalikan awan. Sementara beberapa peri lain melayang-layang, mengumpulkan sari bunga dalam tabung-tabung kaca yang panjang. Bunga-bunga yang telah diambil sarinya dimasukkan dalam keranjang-keranjang besar yang melayang-layang di samping mereka. Fred, James dan aku yang belum pernah melihat pemandangan seperti ini, hanya memandang dengan terpesona. Kami bukannya belum pernah melihat peri. Kami tahu ada peri dalam Hutan Terlarang, tapi tidak pernah tahu kalau mereka juga bekerja dan bernyanyi seperti ini. Hagrid hanya mengatakan bahwa para peri tinggal di sisi lain Hutan Terlarang, dan dia tidak tahu pasti di mana tempatnya. Dan akhirnya kami tahu di mana para peri tinggal.

"Hei, ada anak manusia," kata seorang peri bersayap hijau yang duduk di atas awan gelap.

Fred, James dan aku yang sedang asyik memandang keindahan ini terkejut. Tidak tahu harus berkata apa. Tetapi aku bersykur karena para peri ini berbicara dalam bahasa Inggris, bukan dalam bahasa peri.

Peri-peri yang lain sudah berhenti menyanyi dan memandang kami dengan ingin tahu.

"Mereka pasti tamu-tamu Ratu Titania," kata peri lain, yang sedang memetik bunga.

"Er, hai," kata James canggung. "Maaf mengganggu! Kami tersesat dan—"

James berhenti bicara karena peri-peri itu cekikikan, entah apa yang lucu. Mereka saling berbicara antarmereka dengan bahasa peri, lalu tertawa sambil memandang kami.

"Dengar, kami memerlukan bantuan kalian—"

James tidak melanjutkan kata-katanya, karena peri-peri sudah bernyanyi lagi dan mulai bekerja.

"Hai, Hello! Bisakah kalian membantu kami?" teriak James, berusaha untuk mengalahkan suara nyanyian, namun para peri itu tidak peduli, seolah kami adalah bagian dari pepohonan di hutan itu.

"Mereka tidak akan bicara denganmu, kalau mereka sedang sibuk bekerja," kata sebuah suara yang sangat kukenal di belakang kami.

Aku tersentak, berbalik dan langsung berhadapan dengan Alice, yang mengenakan gaun jingga tipis dari sutra. Dia tampak lain. Tampak bercahaya dan cantik dengan tiara berkilau di puncak kepalanya.

"Alice!" seruku terkejut, sekaligus senang karena kelihatannya dia baik-baik saja.

Matanya terbelalak, memandang kami satu persatu.

"Louis... itu benar-benar kau... Aku sudah merasa seperti mengenal kalian, tapi—tapi mengapa?" Alice tergagap dan memandang kami dengan bingung dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Seharusnya kami yang bertanya mengapa. Mengapa kau bisa berada di sini?" tanyaku.

Alice tidak menjawab. Dia masih terus menggeleng dengan tidak percaya.

"Aku senang akhirnya bisa menemukanmu, Alice... Semua orang cemas," kata James.

"Ada yang salah dengan semua ini... Kalian seharusnya tidak mengenalku..."

"Mengapa aku harus tidak mengenalmu?" tanyaku bingung.

"Karena ingatan kalian tentang aku seharusnya sudah terhapus. Dan aku adalah orang asing bagi kalian..."

"Apa?" aku memandangnya dengan tidak percaya.

"Tampaknya jampi memori-mu tidak cukup untuk menghapus ingatan kami. Kami tahu dengan pasti kau adalah Alice Longbottom," kata James.

"Yeah, dan semua orang di dunia sihir sedang mencarimu. Kau sebaiknya harus kembali bersama kami," tambah Fred.

Alice tidak berkata-kata selama beberapa saat. Dia hanya memandang kami, tampaknya tidak tahu harus berbuat apa, atau belum yakin sepenuhnya bahwa yang ada di depannya adalah kami.

"Kau datang ke sini untuk menjemput tamu Ratu Titania?" tanya sebuah suara lembut. Dan beberapa saat kemudian belasan peri telah melayang-layang di sekitar Alice.

"Tamu Ratu, ya... Tentu saja mereka adalah tamu-tamu, Ratu," kata Alice, mengalihkan pandangan, memandang para peri.

"Kau terkejut..." kata peri lain.

"Ya, sangat... Mereka teman-temanku," kata Alice, lalu memperkenalkan Fred, James dan aku pada para peri itu.

Peri-peri itu cekikikan sesaat, lalu melayang pergi, kembali pada pekerjaan mereka.

"Dia mana kita?" tanyaku.

"Hutan Terlarang, tempat para peri pelindung Hutan Terlarang tinggal," jawab Alice datar. "Tampaknya kalian harus segera menghadap Ratu dan setelah itu kalian harus segera pergi dari tempat ini. Ayo!"

Alice berjalan menyusuri jalan kecil di sebelah taman, kami segera mengikuti.

"Jadi, ini memang Hutan Terlarang," kata James. "Sisi lain yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa."

"Benar," kata Alice. "Sebenarnya, Hutan Terlarang ini memiliki dua sisi. Satu yang kasat mata, yang bisa dilihat oleh manusia, dan satunya adalah yang tak kasat mata. Kita tidak bisa melihatnya, kecuali kalau Ratu Peri memang menginginkan kita melihatnya. Dan di tempat inilah para Peri Pelindung Hutan Terlarang tinggal."

"Peri Pelindung?" tanya Fred.

"Peri Pelindung, yang memastikan bahwa hutan ini tetap mendapatkan cukup air, meskipun kekeringan terjadi. Menjaga agar hutan ini tetap menumbuhkan tunas-tunas muda. Memastikan bahwa hewan-hewan gaib di dalamnya terlindungi, dan masih banyak lagi..."

"Tetapi para peri ini tidak semuanya tersembunyi, kan? Kami sering melihat beberapa dari mereka di Hutan Terlarang," kata James.

"Bemar," kata Alice. "Mereka kan harus bekerja, memastikan bahwa hutan itu terlindungi."

"Jadi, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanyaku jengkel. Alice terus saja berbicara dengan James dan Fred, tanpa menghiraukanku.

"Sama seperti cara kalian datang ke sini," jawab Alice, mengabaikan kejengkelanku. "Aku tidak menduga bahwa kalian bertiga adalah tamu-tamu Ratu."

"Kami juga tidak menduganya," ujar James. "Tetapi rasanya, dia tidak mengharapkan kehadiran kami—maksudku Fred dan aku. Dia hanya ingin bertemu Louis."

"Benarkah?" tanya Alice bingung.

Lalu James dan Fred bercerita tentang apa yang terjadi.

"Mengapa Ratu ingin bertemu denganmu?" tanya Alice, memandangku.

"Seharusnya kau yang bisa menjelaskannya padaku, kan? Kau kan wakil si Ratu," kataku sinis.

Alice mengabaikanku lagi.

"Bagaimana Hogwarts?" dia bertanya.

"Semua orang mencarimu, mereka cemas apalagi Neville," jawab Fred. "Jadi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, jampi memori-mu sama sekali tidak berfungsi."

"Itu bukan jampi memori-ku, tapi kekuatan sihir Ratu Titania."

"Mengapa kau ingin semua orang melupakanmu?" tanya James.

"Ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan," elak Alice. "Sebentar lagi kita tiba..."

Setelah melewati jalan setapak dengan bunga-bunga hutan di kiri-kanan jalan, kami tiba di lahan terbuka, di mana pohon-pohon berjajar rapi di kiri dan kanan. Di atas pepohonan itu, pada dahannya yang kuat, ada rumah-rumah pohon mungil yang kelihatannya hanya cukup untuk anak kecil. Tampaknya para peri tinggal di rumah-rumah pohon itu. James, Fred dan aku terpesona memandang rumah mungil dengan warna-warni semarak itu, sementara Alice terus melangkah membawa kami ke depan sebuah pohon besar, dengan rumah mungil megah berwarna emas bertengger di dahannya.

"Ratu, saya membawa tamu anda," kata Alice nyaring.

Pintu depan terbuka dan dari atas melayang peri lain berukuran sama dengan peri-peri sebelumnya. Meskipun berukuran sama, tapi peri ini tampak lain. Ada aura keanggunan dan kewibawaan dalam caranya mengepakkan sayapnya yang berwarna emas, juga dalam caranya memandang kami dengan penuh perhatian. Mungkin ini ada hubungannya dengan mahkota emas yang bertengger di atas kepalanya yang juga berwarna emas. Gaun berpotongan sederhana seperti gaun Alice, namun begitu, tentu aku tidak akan menganggapnya sebagai orang yang sederhana karena dia adalah ratu para peri.

Dia melayang di depan kami, memandang Fred, James dan aku dengan senang.

"Aku tidak menduga bahwa kalian akan bertiga," katanya. "Tetapi semakin banyak tamu, makin baik."

Kami terdiam tidak tahu harus berkomentar apa, sementara Alice memandang sang Ratu dengan agak tajam, yang menurutku tak pantas karena dia adalah seorang Ratu.

"Bagaimana mereka masih mengingat saya, padahal anda mengatakan bahwa anda akan membuat semua orang di dunia manusia melupakan saya?"

"Sabar anakku," kata Ratu Peri tersenyum. "Aku memang tidak ingin tergesa-gesa, aku ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Tetapi aku tahu masih ada yang mengganjal di hatimu. Aku sudah mencoba sihirku pada Louis Weasley," dia memandangku dan tersenyum, "tetapi dia selalu kembali mengingatmu di saat-saat terakhir... Aku yakin Ini ada hubungannya denganmu yang masih meninggalkan masalah di dunia manusia."

Dia masih tersenyum padaku, tapi aku tidak tersenyum. Aku tahu inilah yang terjadi, aku memang telah beberapa kali hampir saja melupakan Alice.

"Jadi karena itulah anda memanggilnya ke sini agar saya bisa menyelesaikan masalah saya?"

"Begitulah Anakku... Dan aku berharap kau bisa segera menyelesaikan masalah yang kauhadapi segera. Karena tugas yang akan kauterima ini sangat berat. Yang kumaksudkan dengan berat adalah karena kau harus melupakan hal-hal yang berhubungan dengan manusia. Kau mengerti maksudku?"

Alice mendesah, sementara aku bertanya-tanya dalam hati apa tugas berat yang harus dilakukan Alice.

"Jadi mereka sebenarnya bukan tamu-tamuku, tapi tamu-tamumu. Kau harus memperlakukan mereka dengan ramah dan coba selesai masalahmu. Setelah masalah selesai, kau bisa mengirim mereka kembali ke dunia manusia. Kau bisa melakukannya, kan?"

"Baiklah, Ratu," kata Alice mengangguk.

Ratu Peri tersenyum kecil, lalu memandangku.

"Seharusnya kau lebih cepat tiba di sini. Aku sudah menunjukkan jalan ke tempat ini padamu sebelumnya," katanya, tapi aku tetap mengerti apa yang dikatakannya. Dia tersenyum lagi. "Ingat pita ungu yang terikat di semak-semak?"

"Oh, itu dari anda?"

"Ya, aku ingin kau menemukan Alice, dan aku juga ingin kau melihat jalan gaib untuk ke tempat ini agar bisa ke mari kalau Alice sudah ada di sini."

Aku menggangguk, meskipun tidak benar-benar mengerti.

"Mengapa anda membawa Alice ke sini?" tanyaku.

Dia tertawa lembut.

"Alice akan menjelaskannya pada kalian," katanya. "Aku harus pergi mengawasi pekerjaan di Hutan Terlarang."

Dia melayang menjauhi kami dan beberapa peri lain yang muncul dari rumah-rumah pohon di sekitarnya segera terbang mengikutinya.

"Apa maksudnya mengawasi pekerjaan di Hutan Terlarang?" tanya James.

"Aku sudah menjelaskannya pada kalian," kata Alice. "Mengawasi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan gaib di Hutan Terlarang, mendoakan agar pohon-pohon itu bisa tumbuh dengan subur, dan pekerjaan yang seperti itu... Kalian lapar?"

Saat Alice bertanya seperti itu, aku langsung merasa lapar, meskipun aku tidak ingin mengakuinya.

"Ya," kata Fred segera. "Kami belum makan sejak semalam..."

"Ayo..." kata Alice, dan kami kembali berjalan menjauhi rumah-rumah pohon, berbelok ke kiri pada jalan setapak yang berakhir di sebuah pendopo kecil yang tingginya sekitar satu meter, terbuat dari kayu beratap dedaunan. Di atas sana para peri melayang-layang, bergotong royong membawa piring besar berisi roti, nampan dengan cangkir dan poci. Mereka meletakkan bawaan mereka di atas pendopo, lalu terbang pergi. Beberapa saat kemudian, kami sudah duduk bersila di atas sana sambil menikmati roti aneh yang rasanya sangat manis dan secangkir sari bunga.

"Apakah kau sudah tahu tentang tempat ini sebelumnya?" tanya James, saat kami sudah menghabiskan roti kami dan duduk sambil memandang lingkungan sekitar kami yang tampak tenang dan damai.

"Tidak, aku tidak tahu bahwa tempat ini ada, sampai para peri datang ke kamarku dan menerbangkanku ke sini."

"Mengapa mereka membawamu ke sini?" tanyaku. "Maksudku kau kan tidak ada hubungannya dengan mereka."

"Memang tidak ada, tapi aku sudah dipilih untuk menggantikan Ratu Titania menjadi Ratu dan melindungi hutan ini."

"Apa? Siapa yang memilihmu?" tanyaku.

"Mawar abadi."

Aku terkejut sesaat, lalu tertawa sinis.

"Oh baiklah, kau ingin agar aku percaya mawar itu bisa memilih seseorang dan—"

"Fred, kurasa kita harus berjalan-jalan. Maksudku melihat-lihat. Tidak semua orang diijinkan berkunjung ke dunia peri," kata James, lalu melompat turun dari pendopo dan berjalan menyusuri jalan setapak, disusul Fred yang berlari-lari kecil.

Untuk sesaat aku lupa apa yang harus kukatakan, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin membawa Alice kembali ke Hogwarts.

"Nah, kita harus segera kembali ke Hogwarts," kataku.

"Aku tidak bisa kembali, Louis," katanya sedih.

"Mengapa?" tanyaku keras.

"Karena aku sudah dipilih," katanya. "Aku adalah calon Ratu di tempat ini dan aku tidak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja. Tetapi Ratu Titania tahu, aku masih dalam masa-masa labil, karena aku belum bisa melupakan semua yang terjadi saat aku menjadi manusia. Jadi, dengan kehadiranmu di tempat ini, kita akan menyelesaikan masalah kita. Setelah itu aku bisa hidup tenang dan melupakan semuanya. Kau mengerti maksudku, kan?"

"Tidak... aku tidak mengerti dan aku tidak mau mengerti. Aku hanya ingin kau kembali ke Hogwarts bersamaku."

Dia tersenyum sedih lagi. Senyuman itu tidak membuatku merasa terhibur malah membuatku jadi sebal.

"Dengar, kau tidak bisa tinggal di sini... Tempatmu adalah si sana, di dunia kita, dunia manusia. Dan—dan kalau kau tetap memilih tinggal di sini, bagaimana denganku—maksudku bagaimana dengan ayahmu? Dia pasti akan sangat sedih dan—"

"Dia tidak akan sedih, dia dan kalian semua juga akan segera melupakan aku... Memori tentang aku akan segera dihapus dari ingatan kalian. Karena itulah kau ada di sini sekarang. Kita harus membereskan masalah kita..."

"Kita tidak punya masalah... kita baik-baik saja."

"Kita punya masalah," bantahnya. "Katakan padaku, Louis, apakah kau sudah memaafkanku?"

"Memaafkanmu?"

"Bukankah beberapa bulan ini kau tidak mengakuiku sebagai sahabatmu?"

"Oh itu, aku sudah memaafkanmu... Kalau tidak begitu, aku tidak akan berjalan-jalan di Hutan Terlarang pada malam hari untuk mencarimu."

Dia tersenyum.

"Oh syukurlah, kalau begitu aku bisa tenang sekarang. Segalanya akan berakhir dengan baik."

"Begitu saja?" tanyaku heran.

"Ya, begitu saja..." jawabnya. "Kurasa hal itulah yang mengganjal hatiku, sehingga kekuatan Ratu Titania tidak berhasil membuatmu melupakanku."

"Tapi, bagaimana—bagaimana dengan Owen Cauldwell? Kau berkencan dengannya. Kau tidak bisa melupakannya begitu saja, kan?"

"Aku bisa melupakannya," katanya. "Meskipun dia begitu baik dan menyayangiku, tapi dia tidak meninggalkan kesan di hatiku," dia berhenti bicara dan memandangku selama beberapa saat. "Kaulah yang selalu ada di hati dan pikirku... Ingatanku tentangmu-lah yang membuat kekuatan Ratu Titania tidak berfungsi padamu. Jadi, aku harus melupakanmu, dengan begitu dia bisa menghapus memori tentangku dari ingatan semua orang."

"Bagaimana kalau aku tidak ingin kau melupakanku?"

"Tetapi kau harus melupakanku," katanya dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Kurasa setelah masalah di antara kita beres, aku juga bisa melupakanmu."

Dia tersenyum. Sekali lagi senyumannya membuatku jengkel.

"Kau tidak akan tinggal di sini," kataku keras. "Aku akan membawamu pulang, meskipun aku harus menyeretmu sepanjang jalan."

"Aku ingin melihatmu melakukan hal itu, Mr Weasley," katanya tajam. "Dan kau akan melihat bagaimana para peri dalam kemarahan."

Aku tertawa, meskipun tidak ada yang lucu.

"Aku tidak keberatan diserang asalkan aku bisa membawamu kembali ke Hogwarts."

Kami bertatapan selama beberapa detik.

"Kau berbicara seperti itu karena kau tidak mengerti," katanya, setelah membuang pandangan.

"Aku sudah bilang, aku tidak ingin mengerti—"

"Ikut aku, dan kau akan mengerti..."

Dia melompat turun dari pendopo dan berjalan menyusuri jalan setapak lain yang menuju ke belakang pepohonan rapat di belakang pendopo. Aku segera mengikutinya.

"Kita mau ke mana?" tanyaku.

Dia tidak menjawab, tapi terus melangkah menjauhi pendopo, menyusuri pepohonan, dan beberapa menit kemudian, berhenti di mulut sebuah goa. Mulut goa itu lebar dan tinggi, yang kira-kira bisa dimasuki empat orang dewasa.

"Untuk apa kaumembawaku ke sini?" tanyaku.

Tanpa menghiraukanku, dia segera masuk ke dalam goa. Aku, yang mengikuti masuk dengan agak cemas, semula membayangkan goa gelap yang lembab dan pengap. Namun, aku terkejut saat melihat bahwa goa ini jauh dari gelap. Di sini terang benderang oleh cahaya ribuan binatang kecil yang beterbangan di langit-langit gua.

"Kunang-kunang..." bisikku.

"Ya, mereka tinggal di dalam sini," kata Alice.

Kami berhenti sebentar untuk memandang kunang-kunang itu, lalu meneruskan perjalanan melewati mereka sampai tiba di ruangan dalam goa. Ada kolam kecil di tengah goa, dan di seberang kolam itu ada rumpun mawar yang tumbuh subur memenuhi tepian kolam. Rumpun mawar itu berbunga besar-besar, berwarna merah keunguan. Bunga-bunga mawar itu terlihat agak aneh, seperti ada kesan gaib yang tidak bisa dikatakan dari penampilannya, juga dari pancaran cahaya keunguan yang keluar dari bunga itu.

"Mawar abadi," aku mendesah, memandang mawar-mawar itu dengan terpesona. Akhirnya aku bisa melihat wujud mawar abadi.

"Ya," kata Alice. "Sekarang aku bisa membuatmu percaya bahwa mawar itu benar-benar ada."

Aku tidak berkomentar.

"Para peri itu lahir dari mawar-mawar abadi ini," katanya, mendudukkan diri di tepi kolam, lalu memandang rumpun mawar di seberang kolam.

"Lahir? Maksudmu keluar dari mawar-mawar ini?" tanyaku, duduk di sampingnya.

"Ya... Setiap bulan tujuh pada hari ketujuh saat bulan purnama bersinar dan cahayanya kena pada mawar-mawar itu, peri-peri akan lahir."

"Benarkan?"

"Louis, kau memang sangat susah untuk diyakinkan... Aku ingin sekali menunjukkannya padamu kelahiran peri, tapi aku tahu aku tidak akan bisa melakukannya... Saat bulan tujuh pada hari ketujuh nanti, memori tentang aku sudah hilang dari ingatanmu."

"Tidak..." kataku tegas. "Aku sudah bilang, aku tidak akan pulang sendiri. Kau akan ikut bersamaku."

Dia memandangku selama beberapa saat. Pandangannya begitu tajam serius, sehingga aku berpikir bahwa dia mungkin sedang mencoba untuk menghapal bentuk wajahku.

"Mengapa kaumemandangku seperti itu—"

"Louis, aku tidak bisa kembali karena kalau aku kembali aku akan mati."

"Apa?"

"Duri mawar itu memang beracun. Siapa pun yang terkena duri mawar itu akan mati. Dan aku seharusnya sudah mati, tapi aku tidak mati karena aku ada di sini, di dunia peri. Kalau aku kembali ke dunia manusia aku akan mati. Tidak ada harapan bagiku untuk bisa hidup, karena tidak ada penangkal untuk racun mawar abadi."

Informasi itu membuatku tidak mampu berbicara selama beberapa saat. Begitu mendadak, begitu tiba-tiba sehingga aku tidak bisa berpikir. Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi padanya. Selama ini aku selalu percaya dan yakin bahwa dia akan selalu ada di sekitarku.

"Tidak mungkin..."

"Aku memang sudah dipilih," lanjutnya. "Mawar abadi itu hanya muncul di depanku... Hanya aku yang bisa melihatnya saat masih di dunia manusia..."

"Jadi mawar itu sengaja membuatku terkena racun, karena dia sudah memilihmu untuk tinggal di sini?"

"Mungkin."

"Meskipun kau tidak menghendakinya?" tanyaku.

"Pilihanku antara hidup dan mati," katanya.

Sambil memandang rumpun mawar abadi di depanku, aku mengumpat pelan. Ingin rasanya berjalan mengitari kolam ini menuju ke arah rumpun mawar itu, mencabuti sampai habis dan mencampakkannya dalam kolam.

"Aku akan sangat merindukanmu," desahku pelan.

Dia tersenyum kecil.

"Tidak, kau tidak akan merindukanku... Kau akan melupakan aku. Kalian semua akan melupakanku."

"Aku tidak akan pernah melupakanmu... Aku tidak mau Ratu Peri itu menghapus ingatanku tentangmu."

"Kau tidak akan bisa melawan kekuatan sihir Ratu Peri..." katanya.

Aku tahu, tidak ada yang bisa kulakukan untuk membuat Alice kembali ke dunia manusia. Pilihannya adalah hidup dan mati. Dan aku lebih suka dia hidup, senang dan bahagia di sini, daripada menghilang selamanya dari dunia dan aku tidak akan pernah melihatnya lagi.

"Aku bisa kembali ke sini untuk menjengukmu, kan?" tanyaku penuh harap.

"Louis, setelah pertemuan ini kau tidak akan mengingat aku lagi... Semua tentang aku akan hilang dari ingatanmu."

"Mengapa?" tuntutku agak jengkel. "Aku tidak ingin melupakanmu... aku—"

"Karena memang harus seperti itu... Ada beberapa pertanyaan di dunia ini yang memang tidak harus dijawab, tapi diterima apa adanya."

Aku ingin membantah, tapi Alice segera berdiri.

"Saatnya bagimu untuk kembali ke dunia manusia!"

Setelah menggeleng dengan sedih, aku segera berdiri, dan berjalan mengikutinya ke luar goa. Sambil memandang pepohonan hijau saat kami berjalan untuk mencari Fred dan James, aku memutuskan bahwa menghapus semua tentangnya dari ingatanku adalah cara termudah untuk melupakannya.

James dan Fred sedang menonton peri-peri yang sedang bekerja di taman bunga, saat Alice dan aku menemukan mereka.

"Bagaimana?" tanya James pelan agar Alice dan para peri yang menemani kami menuju padang rumput untuk kembali ke dunia manusia tidak mendengar.

"Alice akan tinggal di sini," jawabku juga pelan.

"Kau tidak membujuknya... memaksanya kembali?" tanya Fred.

"Aku tidak bisa melakukannya," kataku.

"Mengapa?" tanya James.

"Sama seperti alasanmu untuk tidak memaksa Selina Fluge untuk jadi pacarmu," jawabku.

"Apa?" James tampak terkejut, sementara Fred mendengus.

Aku segera memandang Fred.

"Juga sama seperti alasanmu untuk tidak menahan Lyra Morris saat dia akan berangkat ke Amerika," kataku jengkel, lalu segera berjalan lebih dulu menjajari langkah Alice.

Alice memberikan senyuman manisnya padaku.

"Walaupun kau melupakan, aku tidak akan melupakanmu," katanya.

"Mengapa kau tidak melupakanku?" tanyaku.

"Entahlah," dia menggeleng, tampak bingung.

Aku segera meraih tangannya dan menggandengnya.

"Itu karena kau menyayangiku... kau tidak akan melupakan orang-orang yang kausayangi. Kurasa kau juga tidak akan melupakan ayahmu."

"Kau benar... aku memang sangat menyayangi kalian."

Setelah kami melewati sungai kecil, para peri mulai menyanyikan nyanyian lembut yang terdengar begitu menyedihkan.

"Kau mengerti apa yang mereka katakan?" tanyaku.

"Tidak, tapi aku sedang belajar dan aku akan segera bisa berbahasa peri," katanya.

Kami berhenti di tepi hutan yang berbatasan dengan padang rumput.

"Kalian akan langsung kembali ke dunia manusia setelah berjalan tujuh langkah ke arah padang rumput."

Sementara Fred dan James mengangguk, aku segera mendekati Alice dan memeluknya. Tidak berkata apa-apa, hanya berharap; pelukan ini bisa membuatnya mengerti bahwa aku sangat mengharapkan kebahagiaannya.

"Aku akan bahagia," bisiknya, seolah mengerti apa yang kupikirkan. "Kau juga harus bahagia, Louis," lanjutnya setelah melepaskanku.

"Kami pergi dulu," kata James.

"Bye!" kata Fred.

"Sampai jumpa," kataku.

"Tidak ada 'sampai jumpa', Louis. Selamat berpisah!" ralatnya sedih. "Ingat, kau harus bahagia..."

Aku menggeleng, lalu berjalan bersama Fred dan James menuju padang rumput.

"Mengapa kau tidak bilang padanya bahwa kau mencintainya?" tanya James, sesaat sebelum kami berpindah ke dalam ruang dan waktu menuju kehidupan manusia fana.


Tanggal: Minggu, 1 November 2022

Lokasi: Hogwarts

Waktu: 8.30 am

Aku membuka mata dan menatap cahaya matahari yang masuk melalui jendela yang terbuka. Seseorang telah membuka jendela.

"Louis, kau sudah bangun?" terdengar suara James dari tempat tidur sebelah.

"Ya," kataku.

"Kita harus turun sekarang," kata James. "Kelihatannya kita sudah terlambat sarapan..."

"Tenang," kata Jatin dari tempat tidur di sebelah James. "Setelah pesta Halloween semalam, semua orang bangun terlambat..."

"Pesta Halloween?" tanya James agak bingung.

"Tanggal berapa sekarang?" tanya Fred, dari tempat tidur di sebelahku.

"Tanggal satu November. Ada apa?" tanya Jatin. "Kalian tampak bingung..."

"Ya, tampaknya memang begitu," kata James.

Beberapa menit kemudian, kami turun ke Aula Besar. Di meja Gryffindor Roxy tampak asyik berbicara tentang tim Hogwarts yang sebentar lagi akan berangkat ke Irlandia.

"Louis," kata Roxy, setelah aku duduk di depannya. "Ada yang ingin kukatakan padamu, tapi aku lupa—" dia memandangku dengan bingung selama beberapa saat, lalu kembali berbicara dengan bersemangat tentang tim Hogwarts.

"Louis," kata suara Helen, lalu orangnya sendiri muncul dan duduk di sampingku. "Aku senang kita bisa berdansa semalam... Semalam adalah malam terindah dalam hidupku." Dia tersenyum, mencium pipiku sekilas dan berjalan kembali ke meja Ravenclaw.

"Kau masih bersama cewek itu, Lou?" tanya Roxy sebal. "Padahal aku suka kau bersama—"

"Siapa?" tanyaku cepat.

"Entahlah," kata Roxy bingung. "Kurasa mungkin bersama cewek lain yang lebih baik dari dia."

Aku mengabaikannya dan memandang meja Hufflepuff, di mana Owen Cauldwell duduk di antara dua orang temannya, dan tertawa-tawa dengan riang di atas mangkok bubur masing-masing.

Mendesah, aku segera memandang meja guru, pada Neville yang tampak santai dan asyik berbicara dengan profesor Patil. Semua terasa begitu wajar, dan seperti biasa, Namun aku tahu ada yang salah... Ada yang salah dengan tanggal hari ini, ada yang salah dengan keadaan ini. Semua itu salah karena Alice tidak ada di sini. Karena semua orang sudah melupakan Alice Longbottom.

Aku yakin mantra Ratu Peri berhasil menghapus Alice dari ingatan semua orang. Waktu telah berulang ke tanggal satu November dan Alice seolah tak pernah dilahirkan di dunia ini. Sementara itu, aku duduk di sini dan merasa heran. Mengapa ingatan tentang Alice tidak hilang dari kepalaku? Mengapa aku bisa mengingatnya dengan sangat jelas, bahkan telah menulis tentangnya di dalam catatan harian ini. Padahal aku ingin melupakannya, aku ingin memori tentangnya dihapus dari ingatanku selamanya, karena aku tahu bahwa aku tidak mungkin melupakannya begitu saja.

Aku tahu bayangan tentangnya akan selalu ada dalam hidupku selamanya

Kurasa kalimat di atas bisa menutup catatan harian ini...

Sincerely,

Louis Weasley

PS: Baiklah, aku mengakuinya. Selama ini aku memang mencintainya.


Review please! See you in KNG 8!

RR :D