Terima kasih sudah me-review Roxanne dan Aku: narasaku20, Irma Nasution, cla99, Yuina Noe-chan, YaotomeShinju, DarkBlueSong, SeiraAiren, Rise Star, megu takuma, Putri, atacchan, Kira, WatchFang, lumostotalus, ochan malfoy, bluish3107, Fu, widy, existention, Jina Alaya, Guest, driccha, zean's malfoy, TheBifoys, Dandeliona96, YMFS, winey, yanchan:D.
Terima kasih, teman-teman, telah membuatku bersemangat. Tetap review dan kita akan bersama-sama menyelesaikan KNG sampai akhir tahun atau kalau cepat sampai bulan Desember, oke?
Ttg judul yg sederhana: sebenarx ku tdk pandai bikin judul. Judul semua fic-ku sdh diganti beberapa kali sblum akhirx di-posting. Btw, sebenarx q jg tdk pandai bikin summary, semua fic-q summary-nya hy beberapa kata :D
Selamat membaca KNG 7 chapter 1
Disclamer: J. K. Rowling
Spoiler: KNG 1, 2, 3, 4, 5, 6
KISAH NEXT GENERATION 7: SAHABAT YANG HILANG
Chapter 1
PERHATIAN!
Catatan Harian ini adalah milik:
Nama: Louis William Weasley
Tempat Tanggal Lahir: London, 2 Maret 2005
Jenis Kelamin: Laki-laki
Status Darah: Seperdelapan Veela
Warna rambut: Pirang
Warna mata: Biru
Warna kulit: Terang
Tinggi: 175 cm
Berat: 60 kg
Alamat: Shell Cottage (pinggiran Tinworth, Cornwall)
Tongkat sihir: Ash 28 cm, nadi jantung naga.
Anggota Keluarga: Bill dan Fleur Weasley (Orangtua), Victoire (kakak) dan Dominique (kakak)
Catatan: Punya banyak paman, bibi dan sepupu
Aku benci kehidupan yang aman, tenang, nyaman dan damai. Rasanya sangat membosankan. Aku juga tidak suka saat orangtua dan saudara-saudara perempuanku mengatakan hal-hal membosankan, seperti:
"Louis, apakah kau sudah menyisir rambutmu? Kukira kau harus menyisirnya lagi, Sayang!" (Mom)
"Louis, kudengar kau bolos Herbologi lagi... Ke marilah aku ingin bicara denganmu!" (Dad)
"Lou, benarkah yang kudengar ini? James bilang kau sudah berkencan dengan 50 cewek dalam setahun. Seharusnya kau tidak boleh begitu... Pilihlah salah satu gadis cantik dari antara mereka dan cobalah untuk bertahan dengannya paling tidak selama setahun, lalu kau mungkin akan menyadari bahwa kau telah jatuh cinta setengah mati padanya." (Victoire)
"Sialan, Louis, kau yang mengambil Galleonku di meja, kan? Ayo, kembalikan! Kalau kau tidak mengembalikannya, aku akan bilang pada Alice bahwa di umur sepuluh tahun, kau masih mengisap ibujarimu!" (Dom)
Kedengarannya benar-benar membosankan, bukan?
Hal-hal dalam kehidupan sehari-hari yang sangat membosankan dan percakapan-percakapan tak berguna yang sebenarnya tak perlu diucapkan. Memangnya siapa yang peduli kalau aku tidak menyisir rambutku. Gadis-gadis yang berkencan denganku menganggapku sexy dengan rambut berantakan. Lalu, Herbologi, kelas yang paling membosankan, juga menjijikkan yang pernah kuikuti. Hal itu terjadi karena gadis itu, sahabat terbaikku, bukan lagi sahabatku. Aku akan menceritakan kisah lengkapnya nanti. Selanjutnya tentang berkencan dengan 50 cewek dalam setahun. Itu bukan salahku, mereka yang menyukaiku. Sebenarnya wajar saja karena aku sangat tampan—aku tidak memuja diri sendiri, itu kenyataan—dan penampilanku menarik. Bisa dikatakan aku agak pesolek, meskipun kadang suka amburadul juga kalau sedang bosan. Dan terakhir tentang Galleon di atas meja. Tentu saja itu bukan pencurian, karena aku bukan pencuri. Jangan juga membayangkanku sebagai pengutil, karena aku tidak memiliki kelainan psikologis seperti itu. Sebenarnya itu karena bosan saja. Kalau sedang berada di rumah dan merasa bosan, Dom-lah yang menjadi tempat penyalur rasa bosanku. Aku tidak mungkin mengganggu orangtuaku, karena mereka akan langsung menguburkanku sebelum aku bisa mengucapkan 'maaf'. Aku juga tidak mungkin mengganggu Victoire, dan tidak menderita lima jam dikuliahi tentang seribu cara aman untuk menghilangkan kebosanan. Jadi (mata menyipit licik dan bibir menyeringai), Dominique Weasley, kakakku tersayang—juga Lucy Weasley, sahabat terbaiknya, kalau dia sedang berada di Shell Cottage—adalah tempat penyalur rasa bosanku. Tetapi tentu saja, aku tidak pernah menang melawannya. Dia tahu beberapa rahasiaku di masa kecil, juga beberapa hal menjijikkan yang pernah James, Fred dan aku lakukan, seperti makan belalang, juga cacing laut untuk taruhan, dan merusak beberapa koleksi barang-barang Muggle milik Grandpa Weasley dalam kandang ayam di The Burrow (sampai sekarang belum ada yang tahu bahwa kami bertigalah yang melakukannya, kecuali Dom dan Lucy). Jadi, walaupun aku licik, tapi Dom lebih licik.
Namun, kehidupan tidak begitu membosankan kalau kami sekeluarga sedang berkumpul di The Burrow. Di sana kami—James, Fred dan aku—punya banyak pilihan untuk menghilangkan kebosanan. Ada Roxy, Rose, Al, Lily dan Hugo yang bisa mencerahkan dunia kami. Roxanne biasanya gampang sekali ditipu; Rose dan Al mau saja jika disuruh melakukan sesuatu yang lumayan mendebarkan, seperti menghancurkan mantra penunjang-bangunan yang dipasang di The Burrow; Lily dan Hugo cukup mengasyikkan, tapi karena umur mereka jauh di bawah kami, aku merasa bahwa mereka masih terlalu kecil dan sangat polos.
Dan semua kesenangan itu terjadi sudah lama sekali. Rasanya seperti ribuan tahun yang lalu, saat kami masih benar-benar polos dan belum mengerti tentang banyak hal. Sekarang aku tujuh belas tahun, sudah hampir tidak pernah melakukan hal-hal mengasyikan seperti itu lagi. Aku bahkan tidak ikut duel heboh Gryffindor versus Slytherin di menara Astronomi awal musim semi tahun lalu. Tampaknya semua itu tidak begitu mengasyikan lagi untukku. Entah mengapa, keliatannya ada yang salah dengan tahun ketujuh ini.
Fred juga tidak begitu bersemangat seperti dulu. Dia sedang jatuh cinta, dan cintanya itu tidak terbalas, sehingga dia selalu sedih dan menghabiskan waktunya dengan mengkhayalkan gadis itu. Kadang-kadang dia bahkan menyebutkan nama gadis itu tanpa sadar. Dia juga sering menggelengkan kepala dan tersenyum sendiri seperti orang sinting, membuatku merasa lebih baik tidak mengganggunya. Sedangkan James lebih tampak seperti seorang yang sedang marah dan frustrasi akan sesuatu—mungkin sesuatu seperti bintang di langit, yang tidak bisa diraih oleh tangannya, meskipun tangan itu diulurkan. Aku tidak tahu apa itu, tapi ini mungkin—sama seperti Fred—ada hubungannya dengan cinta yang tak terbalas. Kasihan sekali! Aku sungguh-sungguh tidak bisa membantu mereka. Lyra Morris sudah berangkat ke Amerika dan Selina Fluge tidak mau memandang James, meskipun hanya sekilas.
Lalu aku...
Aku tidak jatuh cinta dan tidak akan mau untuk jatuh cinta. Aku lebih suka hidup bebas, melakukan sesuatu sesukaku tanpa ada yang menghalangi. Semua itu bukan karena tidak ada yang mencintaiku. Banyak gadis yang menyatakan perasaan mereka padaku; akan mencintaiku dengan sepenuh hati, akan melakukan apa pun untukku agar aku menerima cinta mereka, merayuku dengan—yeah, aku tidak akan menulis di sini karena ini melibat beberapa hal yang perlu disensor. Singkatnya, aku pernah melakukan beberapa hal yang lebih dari ciuman dengan beberapa gadis itu. Aku tidak malu mengakuinya karena kami sudah dewasa dan hal itu bukan hal yang tabu, banyak orang yang melakukannya. Lagipula, siapa yang bisa menghalangi hormon remaja yang berapi-api?
Namun, tentu saja aku tidak jatuh cinta pada gadis-gadis itu. Menurutku cinta adalah sesuatu yang terlalu menuntut. Kalau kita mencintai, kita diharapkan untuk bertingkah seperti James dan Fred, dengan kesedihan mereka yang tak berujung. Kita juga diharapan untuk hanya memperhatikan satu gadis tertentu dan melupakan kesenangan dengan beberapa cewek berbeda. Lebih parah lagi, kita juga akan memberikan apa pun yang kita miliki, bahkan hidup kita pada orang yang kita cintai itu. No way! Aku bukan tipe orang yang mau berbagi. Aku tidak mau membagikan apa pun yang kumiliki dengan orang lain, apa lagi berbagi nyawaku. Yang benar saja!
Oke, baiklah, aku bohong saat mengatakan aku tidak pernah berbagi. Sebenarnya selama hampir tiga tahun ini aku berbagi dengan seseorang; aku mengatakan semua yang kupikirkan dan kurasakan padanya; bercerita padanya tentang keluargaku, hal-hal yang menyebalkanku dan hal-hal yang membuatku bahagia; dan dia tahu semua rahasia hitam kehidupanku. Kesimpulannya, dia mengenalku seperti aku mengenal diriku sendiri. Dan kami bukan sekedar berbagi dalam hal bercerita tentang diri pribadi, tapi kami berbagi segalanya, kami berbagi kehidupan. Dia boleh menggunakan apa pun yang kumiliki sebagai miliknya; memakai bukuku, pena-buluku, bajuku, jubahku—kalau memang perlu. Dia bahkan menyimpan uang jajanku dan setiap kali aku perlu Galleon aku harus minta padanya. Agak ribet juga, tapi aku senang melakukannya. Dan aku percaya padanya dengan sepenuh hatiku.
Jangan mengira bahwa itu adalah pengetahuan sepihak karena aku juga tahu segala hal tentangnya; kehidupannya, keluarganya, dan sifat-sifatnya. Aku mengenalnya seperti aku mengenal diriku sendiri. Aku tahu apa yang menjengkelkannya, apa yang membuatnya sedih, apa yang dilakukannya dan apa yang akan dilakukan nanti. Dia selalu mendengarkan apa pun yang kukatakan dan melakukan apa pun yang ingin aku ingin dilakukannya. Dia dan aku menjalani persahabatan yang sehati, sejiwa, sepikir dan saling mengerti dengan sempurna.
Tetapi, semua itu sudah berlalu, terjadi beberapa saat yang lalu. Di saat-saat penuh kedamaian, penuh kebahagian, tetapi tentu saja, penuh kebohongan. Ketika tirai kebahagian itu tersibak, maka muncullah panggung sandiwara yang tidak nyata karena ada naskahnya. Dia adalah aktris yang sedang berakting di panggung itu dengan bayaran 195 Galleon, dan sutradaranya—kakak dan sepupu-sepupuku tersayang—mengatur gerak dan lakunya dengan sempurna, sehingga aku mengira ini nyata. Tetapi ini memang seperti nyata, dan hanya seperti, bukan memang sempurna sebagai aktris dan kurasa dia bisa menggantikan Alice Wilkinson, pemain sandiwara yang sering tampil pada pagelaran musikal musim panas di Merlin Dome.
Kuharap kau mengerti apa yang kumaksudkan dengan analogi tadi karena aku tidak ingin mengulang kisah lama. Aku capek dan tidak ingin mengingat-ingatnya lagi. Lagipula, urusanku banyak, ada gadis-gadis cantik yang harus kutemani. Mereka yang sungguh-sungguh mengharapkan kehadiranku. Bukan karena 195 Galleon.
Tanggal: Sabtu, 24 Oktober 2022
Lokasi: Perpustakaan
Waktu: Setelah makan malam.
James, Fred dan aku sedang duduk menulis esai kami di perpustakaan. Dom dan Lucy pasti akan tertawa kalau mendengar tentang ini, karena—sejujurnya—kami tidak pernah mengerjakan esai kami di perpustakaan. Di tahun awal kami, kami menganggap perpustakaan adalah tempat terlarang. Kami tidak pernah menginjakkan kaki di perpustakaan—oke, kurasa kata-kata itu terlalu hiperbola. Maksudku, kami akan ke perpustakaan kalau tidak ada tempat menyenangkan lain yang bisa didatangi. Atau karena kami memang terpaksa harus ke perpustakaan. Tetapi di tahun ketujuh ini, kami selalu ada di sini; mengerjakan esai dan kadang tidak melakukan apa-apa. Duduk bengong dan memandang kosong halaman di luar jendela (Fred), memandang ke suatu sudut tertentu dengan sedih (James) dan bertopang dagu sambil memandang keduanya dengan jengkel (aku).
"Hentikan!" gertakku pelan.
Fred dan James memandangku dengan bingung, seperti baru saja menyadari bahwa aku ada di sana.
"Bukankah kita datang ke mari untuk menulis esai Herbologi tentang tumbuhan semak yang melengking bila disentuh?"
"Itu kau, Louis, bukan kami," jawab James tak peduli, sementara Fred kembali memandang ke luar jendela. "Fred sudah menyelesaikan esainya kemarin, sedangkan aku sudah menyerah dengan menulis bahwa semak itu mungkin dimantrai dengan mantra Caterwauling."
"Mantra Caterwauling?" ulangku kaget. "Kau gila?"
"Mungkin," kata James, menggelengkan kepala, lalu kembali memandang sudut yang jauh, sambil mempermainkan pena-bulu di tangannya.
Oke, aku tahu kalau kedua cowok yang sangat kusayangi ini sedang menderita sakit cinta. Tetapi, apakah menurutmu ini tidak terlalu berlebihan? Mendengus, karena tidak bisa berbuat apa-apa, aku segera membuka buku Pengatar Herbologi Goshawk. Mulai menulis beberapa kata dan berhasil menulis satu halaman perkamen tiga puluh menit kemudian. Itu juga disertai dengan dengusan dan coretan di mana-mana.
"Selesai!" kataku, menghela nafas, menggulung permaken, memasukkannya ke dalam tas dan kembali memandang Fred dan James yang masih serius dengan kegiatan masing-masing, yaitu bengong. "Apakah kalian tidak bisa berhenti melakukan hal bodoh ini?"
Tidak ada yang mempedulikanku. Lama-lama sikap melankolis mereka membuatku sebal.
"Dengar, Fred, kalau kau sangat merindukan Lyra kau bisa menyuratinya," kataku keras. "Kurasa dia juga menyukaimu. Tidak mungkin dia menciummu tanpa punya perasaan apa-apa padamu..." aku memandang James, sementara Fred menggeleng. "Kau, James, berhenti bersikap seperti hanya dialah satu-satunya cewek cantik di dunia ini. Selina Fluge tidak ada apa-apa dibandingkan Gemma Farley, atau siapa pun mantanmu dulu."
"Kau tahu tentang Selina?" tanya James tampak heran.
"Tentu saja aku tahu, James, kita dibesarkan bersama, ingat? Caramu memandangnya berbeda dengan caramu memandang gadis lain."
"Ya," kata James, mencengkram pena-bulu di tangannya dengan erat. "Aku memang mencintainya, sangat mencintainya, tapi—"
"Tetapi dia menganggapmu monster menakut dari dasar neraka, yang membawa mimpi buruk dan membuat hidupnya sangat menderita... Aku tahu tentang itu," kataku mengangguk.
"Kau mengatakannya dengan sangat jelas," kata James, mendesah, lalu memunduk memandang buku Seribu Satu Jamur dan Fungi yang terbuka di hadapannya.
Tak ada yang berbicara dalam beberapa detik. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Fred dan James mungkin memikirkan Lyra dan Selina, sedangkan aku memikirkan sahabat-sahabatku ini.
"Mengapa baru sekarang kau merasa seperti ini, James? Bukankah kau sudah menyukainya sejak dulu, kalau tidak salah, waktu kelas satu, kan?"
"Yah, karena ini adalah tahun ketujuh kita... Kita akan berpisah dengan yang lain, kita akan mengucapkan kata perpisahan dan menjalani kehidupan kita masing-masing. Aku—aku tidak tahu apa yang dilakukannya setelah lulus Hogwarts. Dia mungkin akan pergi jauh dari pandanganku, bertemu seseorang yang mencintainya, menikah dan—"
Dia membuang muka dan aku mengerti maksudnya. Aku tahu bahwa selama beberapa tahun ini, James sudah merasa cukup dengan melihatnya dan menyembunyikan perasaannya dalam-dalam di hatinya. Tetapi tahun ke tujuh adalah tahun perpisahan, semua akan berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing.
"Kau ingin aku melakukan sesuatu, seperti—yeah, menguncinya di kelas kosong lantai enam dan kau bisa berpura-pura menyelamatkannya. Atau hal-hal lain yang seperti itu..."
"Benar," timpal Fred, memandang James dengan prihatin. "Atau Lou dan aku bisa menyamar sebagai Nott dan Perkins, mengganggunya di koridor, lalu kau datang untuk menyelamatkannya."
"Tidak," bantah James. "Aku tidak mau melakukan itu... Dia sudah sangat ketakutan, aku tidak ingin menambah ketakutannya."
"Lalu kau akan membiarkan dia pergi, seperti Lyra yang pergi meninggalkanku?" tanya Fred.
"Mungkin," kata James. "Dia akan lebih bahagia tanpa ada aku di sekitarnya. Dan aku akan memanfaatkan tahun ketujuh ini dengan memandangnya sampai puas dan bisa melupakannya saat kita semua harus berpisah nantinya."
"Yah," kata Fred. "Cinta memang bisa membuat seseorang yang kuat menjadi lemah..."
Seolah tersadar, aku segera memandang Fred.
"Bagaimana denganmu, Fred?" tanyaku segera. "Seperti yang telah kukatakan tadi, kau bisa menyurati Lyra dan—"
"Tidak," kata Fred tegas. "Aku tidak akan melakukannya... aku tidak akan mengganggu kehidupannya yang bahagia di Amerika. Yeah, kurasa, aku juga akan melupakannya seiring berjalannya waktu."
"Bagus," kataku senang. "Aku gembira dengan keputusan kalian ini... aku ingin sahabat-sahabat terbaikku kembali seperti dulu... Bagaimana kalau kau berkencan dengan beberapa cewek lagi, James... dan kau, Fred, kau juga bisa mulai berkencan. Florence Flume masih mengharapkanmu."
"Tidak, aku tidak akan berkencan dengannya, atau dengan siapa pun," kata Fred.
"Aku juga tidak," kata James. "Tahun ini adalah tahun untuk belajar dan menjadi pengamat."
"Benarkah yang kudengar ini?" tanya suara Roxy, dan beberapa detik kemudian dia sudah duduk di antara Fred dan James, lalu memandang James. "Benarkah sepupuku, yang paling tampan dan paling tak pedulian ini, mengatakan kata 'belajar'? Setan mana yang merasukimu, hah?"
"Bagaimana latihan Quidditchnya?" tanya James jengkel.
"Lebih bagus dari latihan hari pertama," jawabnya. "Rose dan Scorpius sudah tidak saling berkejar-kejaran dengan pemukul Beater lagi."
"Kalau begitu kalian siap berangkat ke Irlandia?" kata Fred tampak iri. "Sebenarnya aku juga ingin ikut ke Irlandia. Rasanya ingin sekali meninggalkan Hogwarts untuk sementara."
"Kau tidak bisa pergi ke Irlandia, Fred" kata Roxy. "Kelas tujuh tidak diijinkan ikut... Aku—yeah, kurasa karena keberuntunganlah aku dipilih sebagai manager."
"McGonagall pasti tidak ingin mendengarkan rengekanmu..." kata James.
"Aku tidak merengek..."
"Sudahlah," kata Fred, mencegah terjadi pertengkaran. "Mana Al dan Rose?"
"Mereka langsung kembali ke ruang rekreasi saat latihan selesai," kata Roxy.
"Omong-omong, apakah kalian tidak merasakan ada yang aneh antara Rose dan Malfoy?" tanya James, memandang Roxy.
"Tidak," kata Roxy. "Mereka biasa-biasa saja, padahal aku ingin mereka menjadi sahabat."
"Aku juga merasakannya, James. Tampaknya ada sesuatu antara mereka tanpa keduanya sadari," kata Fred. "Apakah kau ingin kita melakukan sesuatu pada Malfoy?"
"Aku ikut kalau kalian ingin menyiksa Malfoy... aku ingin sekali melemparkan bubuk gatal ke wajahnya," kataku. "Susan Crocket—tahu, kan, mantanku waktu kelas empat?—mengatakan bahwa Malfoy lebih tampan daripada aku."
"Ah, dia hanya melihat Malfoy sebagai ahli waris Malfoys Incorporation. Kalau Malfoy bukan sang ahli waris perusahaan milyaran Galleon itu, dia tentu tidak akan memandangnya sebelah mata," kata Fred.
"Tetapi kita tidak boleh melakukan apa-apa dulu padanya," kata James. "Kita tidak punya bukti bahwa mereka memang sedang menjalin hubungan."
"Lalu bagaimana denganmu, Roxy?" tanyaku. "Kau pernah bercerita tentang calon potensial-mu. Siapa dia?"
"Aku tidak akan mengatakannya pada kalian," kata Roxy sengit. "Aku tahu kalian akan mencari cara untuk menyakitinya."
"Aku sudah melarangku untuk berkencan sebelum kau lulus Hogwarts," kata Fred.
"Aku tujuh belas tahun dan aku bebas melakukan apa pun sesukaku."
"Oh ya," Fred menyeringai. "Walaupun kau menyembunyikannya, cepat atau lambat kami akan menemukan siapa dia."
"Dan aku tidak akan memaafkan kalian kalau kalian menyentuh seujung rambutnya sekalipun," katanya tegas, memberikan Fred, James dan aku tatapan paling tegas dan paling tajam yang pernah kulihat.
"Oke," kata James. "Bagaimana dengan Lily? Apakah kau mendengar informasi tentangnya?"
"Susah sekali mendengar gosip anak-anak Slytherin, tapi bukankah kita sudah menyuruh Hugo untuk mengawasinya?" tanya Fred.
"Hugo lebih memilih Lily daripada kita," kataku. "Kau tentu bisa melihat bagaimana mereka berdua."
"Aku ingin menyuruh Lysander Scamander mengawasinya, tapi aku tidak menyukai tampangnya yang sok itu," kata James.
"Yah, aku juga tidak menyukai cowok itu..." kataku. "Kau tahu apa yang dilakukannya? Menurut apa yang kudengar dari mantan-mantan Ravenclaw-ku, dia mengumpulkan rahasia semua anak-anak Slytherin dan menggunakannya untuk memaksa mereka melakukan apa yang diinginkannya."
"Benar-benar keterlaluan," kata James. "Apakah menurutmu dia melakukan sesuatu terhadap Lily?"
"Tidak mungkin," kata Roxy. "Ibunya sahabat Aunt Ginny, dia tidak mungkin menyakiti Lily."
"Yah," kata James, masih tampak khawatir. "Aku cemas, maksudku sebentar lagi kita lulus dan tidak ada lagi yang akan mengawasi mereka."
"Tenang, Al akan mengawasi mereka untuk kita," kata Fred. "Lagipula ada Hugo, dia tidak mungkin mendiamkannya jika sesuatu yang buruk terjadi pada Lily."
"Lagipula, Lily bisa menjaga dirinya," kata Roxy. "Jangan selalu menganggap dia sebagai adik kecil yang perlu dilindungi, James. Sebentar lagi dia lima belas tahun dan dia sudah cukup dewasa untuk tahu beberapa hal yang harus dan tidak harus dilakukannya."
James mengangkat bahu dan untuk beberapa saat tidak ada yang bicara. Kemudian, Roxy memandangku dengan pandangan jengkel dan aku langsung tahu apa yang hendak dikatakannya.
"Tidak, Roxy, jangan mulai lagi," kataku bosan.
"Ya," katanya. "Aku akan terus mengungkitnya sampai kau mau bicara lagi dengan Alice."
"Aku sudah pernah bilang padamu bahwa masalah Alice dan aku sudah selesai. Kami sudah tidak bisa kembali seperti dulu lagi."
"Apakah kau tidak jatuh cinta padanya setelah tahun-tahun yang telah kalian lewati sebagai sahabat itu?" tanya Roxy cemberut.
"Tidak, dan tidak akan ada cinta di antara dia dan aku..." kataku. "Kau mengenalku, kan, Roxy? Kau tahu aku tidak ingin terlibat secara serius dengan siapa pun. Aku tujuh belas tahun dan masih banyak yang ingin kulakukan."
"Aku tahu, tapi kurasa kau mungkin akan menyesal nanti karena Owen Cauldman sedang berusaha untuk mendekatinya," kata Roxy, mendelik padaku. "Dengar, Lou, Alice sekarang bukan lagi cewek kurus, bau tanah berumur tiga belas tahun. Dia tujuh belas tahun dan lekuk-lekuk tubuhnya tidak kalah dengan Helen Dawlish. Dan dia tentu tidak akan selamanya menungguku menyadari bahwa dia ada di sampingmu."
"Aku tidak memintanya untuk menungguku."
"Memang tapi,—"
"Sudahlah, Roxy. Kita sudah membahas masalah ini beberapa kali dan aku bosan!"
"Sebenarnya apa sih masalahmu?" tanya Roxy jengkel. "Kejadian itu terjadi tiga tahun yang lalu. Kami membayarnya 195 Galleon hanya untuk enam bulan. Dan sisa dari enam bulan itu, dua setengah tahun yang telah berlalu itu, dia terus ada bersamamu, menjadi sahabat, mengenalmu seperti kami mengenalmu. Namun, kau!" dia menunjukku. "Kau malah tidak mau berteman dengannya lagi hanya karena yang enam bulan itu."
"Kurasa perkenalan pertama kali sangat berpengaruh pada persahabatan yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak akan pernah percaya lagi padanya, karena dia telah memulai semuanya dengan kebohongan."
"Terserah..." kata Roxy jengkel. "Aku ingin kau tahu bahwa aku sudah mengajari Alice cara berdandan dan memadukan beberapa pakaian. Dan kalau kau tidak memperhatikannya, dia sudah menjadi sangat cantik sekarang. Owen—"
"Oh, hentikan, bisakah kita berhenti membahas masalah ini?" selaku cepat, merasa sangat bosan. "Dengar, Roxy, aku tidak ingin kau menghubung-hubungakan aku dengan Alice. Aku sedang berkencan dengan Helen Dawlish, dan aku tidak ingin dia salah paham."
"Baik," kata Roxy, mendelik padaku sesaat, berdiri, lalu berjalan pergi dengan marah.
"Dia menyukai Alice," kata Fred, mengangguk pada Roxy yang berjalan cepat menuju pintu keluar.
"Yah, kurasa aku juga lebih menyukai Alice daripada Helen Dawlish,"kata James.
"Kuharap kalian tidak bergabung dengan Roxy dan membuat kepalaku semakin sakit," kataku, menggelengkan kepala, mengusir ketegangan.
"Tentu saja tidak," kata Fred. "Tetapi beberapa hal yang dikatakannya sangat benar. Maksudku tentang—apa katanya tadi?—kau berhenti berteman dengannya hanya karena enam bulan itu."
"Louis sama seperti Dom," kata James. "Mereka adalah Weasley yang suka sekali menyimpan dendam."
"Kalian tidak mengerti perasaanku..." kataku. "Aku telah ditipu dan harga diriku seperti dipermainkan."
"Kurasa kau terlalu berlebihan. Kami tidak bermaksud untuk mempermainkan harga dirimu saat menyuruh Alice membantumu dalam Herbologi," kata Fred.
"Yah, dan tentu saja dia telah berhasil membantumu. Kau mendapat Outstanding dalam OWL Herbologi," kata James.
"Oke, aku memang berterima kasih untuk hal itu, tapi aku tetap tidak ingin memperbaiki hubungan kami sekarang atau pun nanti... Dan aku ingin kalian berhenti membicarakan hal itu."
James dan Fred saling pandang.
"Yah, kurasa masing-masing kita punya masalah," kata James.
"Aku-Tidak-Punya-Masalah," kataku, memberikan penekanan pada setiap kata.
Keduanya tampak tidak percaya. Dengan tak sabar aku segera berdiri, menyambar buku Pengantar Herbologi Goshawk dan berjalan meninggalkan mereka menuju rak Herbologi. Di sana di lorong antara dua deret rak berdiri Alice dan seorang cowok berambut gelap. Jelas sekali, dialah cowok jelek dari Hufflepuff yang bernama Owen Cauldwell. Keduanya sedang berdiri berdekatan sambil menatap halaman sebuah buku bersampul hitam yang tampaknya sudah bocel-bocel.
"Kau yakin kita akan menemukan mereka di sana?" tanya Alice, tanpa mengangkat muka dari buku itu.
"Sebenarnya aku tidak terlalu yakin," katanya, "tapi harus ada dari kita yang mengeceknya, kan?" kata Cauldwell, suaranya terdengar seperti suara terompet yang bunyinya fals.
Jadi, apa yang membuat Alice tertarik pada cowok tak jelas seperti Cauldwell? Aku tidak sedang mencoba untuk menganalisisnya sekarang. Dan Alice, seperti yang telah dikatakan Roxy dengan sangat jelas, tampak telah berubah banyak. Dari anak perempuan tiga belas tahun kurus, pendek, bau tanah, menjadi gadis dengan lekuk tubuh sempurna. Rambutnya tidak lagi dikepang dua seperti biasanya, tapi tergerai indah di punggungnya. Wajahnya yang telah diberi sedikit riasan, tampak sangat mempesona. Juga lesung pipit mungil yang muncul di kedua pipinya saat dia tersenyum, membuatnya kelihatan benar-benar cantik. Sekarang dia memang sedang tersenyum pada Cauldwell yang terpesona.
"Apa yang kalian lakukan?" tanyaku, mendekati mereka.
Keduanya memandangku dengan terkejut. Mungkin mereka tidak menduga ada seseorang yang sedang mendengarkan percakapan mereka.
"Apa pun yang kami lakukan, sama sekali bukan urusanmu, Louis," kata Alice. "Ayo, Owen..."
Dia menyambar tangan Owen, membawanya melangkah menjauhiku dan berbelok ke lorong lain.
Aku berdiri sendirian di lorong itu seperti baru saja terkena tonjok di wajahku yang sangat berharga ini.
Apa-apaan ini?
Dia pergi begitu saja tanpa tersenyum, tanpa membujukku dengan kata-kata manis seperti yang dilakukannya beberapa hari yang lalu. Dia bahkan hanya memandangku sekilas, seolah aku hanyalah salah satu dari anak culun Hogwarts yang tidak pantas dilirik lama-lama.
Hei, menurut poling yang dilakukan cewek-cewek Hufflepuff dan Ravenclaw akulah cowok paling tampan di Hogwarts ini.
Baiklah, kalau memang dia sudah bosan untuk minta maaf padaku dan tidak mau membujukku lagi. Ya, sudah. Aku juga tidak akan mengharapkan kata maaf. Aku akan menganggapnya sebagai teman yang hilang, yang harus dilupakan untuk selamanya.
"Lou, sedang apa?" tanya James, berjalan melewatiku dan meletakkan buku di rak.
"Tidak," kataku, meletakkan Pengantar Herbologi Goshawk di rak terdekat dan berjalan bersama James menuju Fred yang sudah siap untuk keluar perpustakaan.
Tanggal: Minggu, 25 Oktober 2022
Lokasi: Lapangan Quidditch
Waktu: Setelah sarapan.
Pagi itu dingin dan berawan. James, Fred dan aku, setelah merapatkan jaket, berjalan keluar kastil untuk menonton latihan Quidditch yang dilakukan oleh tim Hogwarts yang akan berangkat ke Irlandia awal November nanti. Roxy menemani kami di deretan paling atas dan mengawasi para pemain yang sedang berlatih. Dia tampak tidak puas dan sesekali berkomentar tentang permain yang tidak kompak.
"Rose sepertinya terlalu bersemangat," kata Fred, setelah Roxy selesai mengucapkan kekagumannya pada Lorcan Scamander.
"Benar," kata James. "Lihat cewek berambut merah gelap itu. Dia bermain dengan sangat tenang."
"Cewek itu benar-benar cantik... Bukankah dia Zabini?" tanyaku, mengawasi si rambut merah gelap.
"Ya, dia memang Zabini," kata James. "Kita pernah bertemu dengannya saat peluncuran perdana roket RRHE 1."
"Kurasa bukan kalian berdua saja yang terpesona pada kecantikannya... Lihat Lorcan Scamander!" kata Fred, tersenyum pada Scamander melayang di udara sambil mengawasi Zabini.
"Menurutku dia tidak sedang terpesona," kata Roxy cemberut. "Dia sedang mengawasi jalannya pertandingan."
Fred hanya mengangkat bahu.
"Kurasa Al dan Malfoy bisa menjadi dua Beater yang tak terkalahkan," kata James. "Mereka hanya perlu sedikit saling percaya."
"Akan susah membuat keduanya kompak," kata Fred. "Itu adalah tugasmu sebagai manager, Roxy. Kau harus membuat yang mustahil menjadi mungkin."
"Kurasa setelah tiba di Irlandia dan tidur dalam kamar yang sama keduanya bisa menjadi sahabat sejati," kata Roxy yakin, kemudian memandangku. "Berbicara tentang sahabat, Alice sudah menyerah terhadapmu, Lou."
"Aku tidak ingin membicarakannya," kataku, menolak memandangnya.
"Tetapi aku ingin membicarakannya," kata Roxy tak mau menyerah. "Dia bilang kalau kau bisa melupakan semua tentang persahabatan kalian selama hampir tiga tahun ini, dia juga bisa melakukannya."
"Bagus kalau begitu," kataku keras. "Jadi tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, semua sudah selesai."
"Sebenarnya aku ingin kalian berdua bersama selamanya, menikah dan hidup bahagia," kata Roxy, tampak sedih.
"Hentikan khayalan romantismu itu, Roxy!"
"Tapi, aku mengenalmu, Lou, dan aku tahu kau sangat keras kepala dan menjaga gengsi," katanya lagi. "Dan sesungguhnya, tidak ada yang bisa mengerti dan memahamimu seperti Alice memahamimu. Sekarang hubungan kalian berakhir hanya karena kau terlalu keras kepala untuk menerima bahwa persahabatan kalian memang diawali dengan cara yang aneh."
"Bisakah kau berhenti menjadi penasihatku, Roxy?" kataku jengkel. "Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa aku tidak ingin membicarakan hal ini."
Roxy menggelengkan kepala dan membuang muka.
Aku memandang ke langit berawan dan berpikir tentang diriku sendiri. Seperti yang sangat jelas dikatakan oleh Roxy, aku memang keras kepala, juga paling benci dibohongi. Pembohong ada diurutan pertama dari daftar orang-orang yang paling kubenci. Apa pun kebohongan itu, pembohong tetaplah pembohong. Apa lagi kebohongan itu dilakukan demi 195 Galleon, jumlah yang sangat kecil menurutku. Mungkin tidak kecil bagi anak perempuan berusia 13 tahun yang sangat membutuhkan Galleon.
Berbicara tentang Alice, aku bisa mengatakan bahwa dia tidak hidup dalam kekurangan. Keluarganya punya cukup Galleon untuk bisa menghidupinya dan memenuhi semua kebutuhannya. Meskipun ibunya sudah meninggal sejak dia berumur dua tahun dan ayahnya menghabiskan sebagian waktunya di Hogwarts, tapi dia bahagia tinggal bersama buyutnya yang sudah sangat tua, Augusta Longbottom. Dia tidak pernah mengeluh dan sedih, dia selalu bersemangat, bahkan terlalu bersemangat dengan ide-idenya yang menurutku agak aneh.
"Aku ingin menyimpan Galleonku untuk melakukan sesuatu yang sangat berarti," katanya saat kami masih berteman.
"Apa yang kau maksudkan dengan sesuatu yang sangat berarti?" tanyaku.
"Sebenarnya aku ingin melakukan suatu perjalanan keliling dunia untuk mencari tumbuhan-tumbuhan yang sudah lama hilang. Tumbuh-tumbuhan langka."
"Tumbuhan langka?"
"Mawar abadi dan pohon kehidupan," kata Alice dengan semangat.
"Tumbuhan itu tidak ada..." kataku. "Kau bisa membuat mawar bertahan lama dengan memberikannya mantra beku. Tetapi tidak ada yang namanya mawar abadi. Apa lagi pohon kehidupan..."
"Mereka benar-benar ada, Lou," katanya memaksa.
"Mereka tidak ada, Alice..."
"Ada..." katanya keras kepala.
"Baiklah," kataku mengalah. "Aku akan senang kalau satu saat nanti kau memberikanku mawar abadi."
"Seharusnya kau yang memberikanku mawar, aku kan cewek," katanya, tersenyum menggoda.
"Aku bukan bicara tentang hubungan cewek dan cowok, aku bicara tentang mawar abadi itu," kataku. "Kau harus memberikan mawar itu padaku untuk membuktikan kalau mawar itu memang ada."
"Baiklah, Lou, aku akan memberikan mawar itu padamu suatu hari nanti," dia tersenyum penuh keyakinan.
Dan aku tersenyum tidak yakin. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin tentang mawar abadi ini, tapi karena dia kelihatannya sangat bersemangat aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku kan tidak boleh merusak impiannya.
Tetapi percakapan itu terjadi jauh sebelum akhirnya aku tahu bahwa persahabatan kami adalah kebohongan.
"Louis," suara Helen mengagetkanku dari lamunan tentang masa lalu.
"Hai, Helen," kataku, memandang teman kencanku yang paling baru. Cewek pirang cantik, yang akan tidak memalukan saat aku berjalan bersamanya di Hogsmeade.
"Aku mencarimu, dan mereka mengatakan kau ada di sini," katanya, lalu duduk di sampingku. Tidak menghiraukan Fred, James, maupun Roxy.
"Kau ingin mengatakan sesuatu padaku?" tanyaku tersenyum padanya.
"Ini tentang pesta Halloween, 31 Oktober nanti," katanya.
"Ya," kataku, tak benar-benar paham. Biasanya pada malam Halloween kami hanya makan malam seperti biasa, tanpa acara-acara meriah lainnya. Yah, meskipun ada hiburan dari para hantu Hogwarts.
"McGonagall mengijinkan kelas tujuh untuk mengikuti pesta kostum di aula Shrieking Shack. Ketua murid, Yolanda, baru saja mengatakannya padaku," kata Helen dengan penuh semangat.
"Oh ya," kataku tanpa antusias.
"Ayolah, Lou, kita akan pergi bersama, kan?" tanya Yolanda.
"Yeah, kukira begitulah," kataku tidak yakin.
"Asyik," kata Helen, mencium pipiku, lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kami.
"Aku belum pernah mendengar ada yang seperti itu," kata Fred.
"Kukira pesta kostum dan berpura-pura jadi orang lain lumayan juga untuk menghilangkan stress," kata James tersenyum.
"Kelihatannya menarik," kata Roxy, senang sekaligus menyesal.
"Kalian berangkat ke Irlandia tanggal satu November, kau masih bisa ikut pesta itu," kataku.
"McGonagall tentu tidak akan mengijinkanku, karena kami harus berangkat pagi-pagi sekali besoknya."
"Omong-omong, apa sih yang dilakukan di pesta Halloween?" tanyaku, memandang James.
"Entahlah," kata James. "Kukira seperti yang dilakukan para anak-anak Muggle di Godric's Hollow. Maksudku, kita mengenakan kostum mengerikan dan berkunjung ke rumah-rumah sambil berseru trick or treat, lalu mendapatkan permen dan cokelat. Tetapi karena ini pesta, kurasa pasti akan ada makanan dan minuman. Setelah itu mungkin akan ada permainan menebak pasangan kita di masa depan bagi orang-orang yang belum menikah. Jadi, kita mengambil nomor dan jika kita mengambil nomor yang sama dengan seorang gadis maka dia adalah pasangan kita di masa depan. Lalu pasangan itu akan membuka acara dansa... Dan ada banyak permainan lain, seperti saling menceritakan kisah seram, juga menebak siapa manusia di antara para hantu."
"Kelihatannya tidak terlalu meyakinkan," kataku.
"Memang, tapi setidaknya kita bisa bersenang-senang," kata James.
"Aku lebih suka tinggal di Hogwarts," kata Fred, dan aku mengangguk setuju. Yeah, menonton pertunjukan para hantu Hogwarts lebih mengasyikkan daripada permainan menebak siapa pasangan hidup kita di masa depan.
"Ayolah, Lou, kau sudah berjanji pada Helen Dawlish untuk pergi bersamanya. Dan, Fred, aku tidak mungkin pergi sendiri ke sana," kata James.
"Benar, Fred," kata Roxy. "Ini kesempatanmu untuk keluar dan menemukan hantu cantik untuk menggantikan Lyra."
Fred mendelik.
"Tenang saja, aku akan mendandani kalian sehingga lebih mengerikan dari Baron Berdarah, dan tidak akan ada yang tahu bahwa itu kalian," kata Roxy lagi, tersenyum senang.
"Tetapi kalau tampang kita mengerikan, pasangan masa depan kita tentunya tidak akan mau berdansa dengan kita," kataku.
"Lou, ini kan cuma permainan, belum tentu benar," kata James tak sabar. "Semua orang memakai kostum, jadi kita tidak mungkin tahu jenis kelaminnya. Bisa saja dia adalah laki-laki yang menyamar jadi perempuan, atau sebaliknya."
"Pesta yang konyol," kataku.
"Tetapi tetap saja kau harus pergi, kan? Kau sudah berjanji pada Helen Dawlish," kata Roxy, lalu tiba-tiba tersenyum cemerlang. "Kau akan terkejut melihat Alice malam itu, Louis, aku akan mendandaninya dengan kostum—er," dia berpikir sebentar. "Marie Antoinette, ya, hantu Maria Antoinette, permaisuri raja Louis keenam belas yang menghantui istana Versailles di Prancis. Jadi, karena namamu juga Louis, dia akan menjadi permaisurimu. Dan kalian akan menjadi pasangan yang serasi..." dia memandangku dengan penuh keyakinan, "dan kau akan melihat betapa cantiknya dia."
"Bukankah kita harus bertampang mengerikan?" tanyaku bingung.
"Tidak semua hantu mengerikan... Lihat saja Nona Kelabu, hantu Ravenclaw, dia adalah hantu paling cantik di Hogwarts!"
"Jadi Lou, kau akan memakai kostum raja Louis keenam belas dengan celana ketat dan rambut keriting," kata James, lalu tertawa keras bersama Fred.
"Hentikan!" gertakku jengkel, sementara Roxy memandang mereka dengan kritis.
"Baiklah. James, kurasa kau akan menjadi Phantom of the Opera. Dan kau, Fred, akan menjadi—menjadi Jack the Ripper. Nanti kalian akan memakai topeng dan tidak ada yang akan mengenali kalian."
"Omong-omong, siapa Phantom of the Opera dan Jack the Ripper ini?" tanya Fred. "Mengapa kita tidak menjadi drakula, atau mummi saja?"
"Semua akan mengenalmu kalau kau memakai kostum drakula, dan kau tidak akan bisa bernafas kalau memakai kostum mummi," kata Roxy. "Dan lagi, bukankah kalian tidak ingin dikenali?"
"Kami memang tidak ingin dikenali," kata Fred. "Lalu siapa Phantom of the Opera dan Jack the Ripper ini?"
"Dulu saat malam Halloween, Grandpa pernah bercerita tentang Jack the Ripper juga Phantom of the Opera, Fred. Kau tidak ingat?" tanya Roxy.
Sementara Fred menggeleng dia memandang James.
"Jack the Ripper adalah julukan untuk pelaku pembunuhan berantai tak dikenal yang membunuh di wilayah Whitechapel, London, tahun 1888," kata James.
"Sedangkan Phantom of the Opera adalah hantu yang menghantui dunia opera. Sebenarnya, dia adalah karakter dalam sebuah buku Muggle dengan judul yang sama," kataku, samar-samar mengingat malam Halloween penuh kenangan di The Burror; kami semua berkumpul dalam satu kamar, memadamkan semua lampu dan mulai mendengarkan cerita-cerita menyeramkan yang diceritakan Grandpa dengan begitu meyakinkan.
"Yah, asalkan kita memakai topeng," kata Fred, dan James mengangguk setuju.
"Mengapa mereka boleh memakai topeng, sedangkan aku memakai kostum Louis keenam belas?" tanyaku sebal, merasa diperlakukan dengan tidak adil.
"Karena kau harus berpasangan dengan Marie Antonoitte-nya Alice, Lou," kata Roxy sabar.
"Lebih baik aku memakai kostum Dementor daripada memakai kostum Louis keenam belas."
"Baiklah, pakai kostum Dementor, dan Helen Dawlish pun akan kabur melihatmu," kata Roxy jengkel, lalu mengembalikan perhatiannya pada para Chaser—Rose, Zabini, dan seorang cewek Ravenclaw—yang sedang melakukan formasi aneh untuk memasukkan bola ke gawang cowok Hafflepuff itu. Kalau tidak salah namanya Birch.
"Lalu bagaimana kita memperoleh kostum-kostum itu?" tanya James, memandang Roxy. "Karena aku yakin tidak ada yang menjual barang-barang seperti itu sekarang ini."
"Aku akan menyurati Mom, memintanya untuk mencari baju-baju bekas abad pertengahan di toko loakan Diagon Alley dan Rose akan membuatnya menjadi pakaian yang benar-benar baru lagi."
"Benar-benar meragukan," kata James cemas.
"Ya, aku sudah melihat gaya nyentrik Rose dalam berpakaian," kata Fred.
"Tenang saja, kalian akan menjadi hantu opera dan pembunuh yang penuh misteri," kata Roxy, tersenyum pada Fred dan James. "Dan kau, Louis, akan menjadi Louis keenam belas yang lebih tampan dari aslinya."
Aku mendengus, sementara James dan Fred berpandangan dengan tidak yakin. Dan sambil memandang latihan Quidditch yang berlangsung di depanku, aku mencoba membayangkan diriku dalam kostum raja Louis keenam belas. Yeah, aku pasti akan menjadi tertawaan orang. Bukannya tampil mengerikan, tapi tampil tampan seperti biasa, hanya berbeda kostum.
Tanggal: Senin, 26 Oktober 2022
Lokasi: Jalan Setapak menuju Rumah Kaca Tujuh
Waktu: 9. 01 am
James, Fred dan aku melewati halaman berlumpur akibat hujan deras semalan menuju rumah kaca tujuh. Helen bergabung denganku beberapa saat kemudian dan mulai mengoceh tentang kostum ratu-ratu Prancis abad pertengahan yang akan dipakainya untuk memadukannya dengan kostum Louis keenam belas yang akan kukenakan. Aku berusaha untuk tidak merasa bosan, dengan membayangkan beberapa pakaian yang tentunya akan sangat indah di tubuhnya, tapi tetap saja aku merasa bosan. Aku bosan memandang wajahnya yang cantik, aku bosan mendengar suaranya. Dan saat melihat bibirnya, aku memutuskan bahwa aku juga sudah bosan menciumnya.
Yeah, aku sudah pernah mengatakan hal ini sebelumnya. Aku orang yang cepat sekali merasa bosan. Menggelengkan kepala, aku memandang jalan berlumpur yang harus kami lewati. James dan Fred telah berjalan pergi saat Helen bergabung denganku. Dan di depanku sekarang berjalan dua anak perempuan Hufflepuff dan di depan mereka tampak Alice dan Cauldwell sedang berjalan sambil berbisik-bisik.
"Ayo!" kataku, menyeret Helen yang masih mengoceh melewati dua anak perempuan Hufflepuff itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Helen, tapi aku menyuruhnya diam.
Kami berjalan diam-diam di belakang Alice dan Cauldwell. Dan aku segera memasang kuping untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
"Aku tetap merasa bahwa kau tidak boleh melakukannya," kata Cauldwell terdengar cemas.
"Aku harus melakukan," kata Alice tegas.
"Ternyata semalam memang bukan malam yang sempurna, kan?"
"Ya, aku tahu... Tetapi aku tidak akan menyerah begitu saja."
"Bagaimana dengan luka-lukamu? Kurasa kau harus segera ke rumah sakit untuk menyembuhkannya?"
Luka-luka?
Aku merasakan kecemasan yang sangat melandaku. Apa yang dilakukannya sehingga dia mengalami luka-luka?
"Aku tidak ingin ke rumah sakit karena Madam Pomfrey pasti akan bertanya apa yang menyebabkan tubuhku penuh luka dan dia pasti akan memberitahu Dad... Aku tidak ingin Dad tahu apa yang sedang kulakukan."
"Tetapi luka-luka itu bisa saja beracun, kan?" Cauldwell tampak cemas.
"Aku tahu beberapa tanaman obat herbal," kata Alice. "Dan aku baik-baik saja, terima kasih sudah mencemaskanku, Owen."
"Yeah, sebenarnya itu karena aku—yeah, er, maukah kau pergi ke pesta kostum Halloween bersamaku tanggal 31 Oktober nanti?" tanya Cauldwell, terdengar gugup.
Alice berhenti untuk memandangnya, dan aku segera menyeret Helen untuk berbelok ke semak-semak rhododendrom yang tumbuh di depan rumah kaca dua.
"Apa yang kita lakukan di sini?" tanya Helen tak sabar, saat kami bersembunyi di balik semak-semak itu.
"Shutt," kataku, lalu mengintip Alice yang masih memandang Cauldwell.
"Yeah, itu juga kalau kau mau pergi bersamaku," kata Cauldwell. "Tetapi kalau kau tidak mau juga tida apa-apa."
"Tentu saja aku mau pergi bersamamu, Owen," kata Alice, tersenyum memperlihatkan dua lesung pipit mungil di pipinya.
"Oh, bagus sekali," kata Cauldwell agak terengah.
"Ya," kata Alice.
Mereka saling berpandangan sesaat.
"Ayo," kata Owen, segera meraih tangan Alice, menggenggamnya, lalu mereka berjalan bersama menuju rumah kaca tujuh sambil bergandengan tangan.
"Well, kurasa mereka cukup cocok, sama-sama idiot," kata Helen jengkel, lalu berjalan ke luar dari semak-semak sambil merapikan tatanan rambutnya yang indah dan jubah Hogwartsnya.
Aku segera mengikutinya dan untuk pertama kali merasakan perasaan hampa yang menyerang hatiku. Setelah menggelengkan kepala, aku segera berjalan mengikuti Helen menuju rumah kaca tujuh.
"Mengapa kita harus mendengarkan percakapan tak bermutu seperti itu?" tanya Helen, saat kami sudah ada di dalam rumah kaca tujuh dan sedang menghadapi pot berisi Flesheating-plant africanus,tanaman menjalar mengerikan, berdaun kecil-kecil runcing yang di ujung batangnya terdapat mulut dengan deretan gigi tajam yang berfungsi untuk mengigit makanan.
"Aku hanya ingin mencaritahu apa yang dilakukan Alice," kataku, meletakkan potongan daging ayam ke mulut itu.
"Mengapa kau masih saja mengingatnya? Bukankah dia yang menyebabkanmu memutuskan pacar-pacarmu sebelumnya?"
"Mereka cemburu pada Alice, padahal Alice dan aku bersahabat."
"Yeah, dan kau lebih menyayangi sahabatmu itu daripada cewekmu."
"Sebenarnya aku—"
"Aku senang kau sudah tidak berteman dengannya lagi," kata Helen tersenyum manis, "dengan begitu tidak ada yang akan menjadi penghalang kita untuk meraih kebahagiaan."
Aku tidak mengatakan apa-apa, melainkan kembali menatap tumbuhan pemakan daging ini sambil menjaga agar tanganku tidak digigit.
Review Please!
RR :D