Hola Minna…
Semoga gak ada bosennya ya dengan fic saya yang gaje, ancur, berantakan, gak beres dan sebagainya ini. Sekali lagi maaf malah bikin fic baru, saya lagi kena WB dadakan. Gak ada imajinasi sama sekali buat nerusin fic yang ada. Kayaknya butuh Spongebob nih!
.
DISCLAIMER : TITE KUBO
.
RATE : M
.
WARNING : OOCness(parah, banget, kelewatan, gak ketolongan), AU, Misstypo(eksis mulu, gak mau absen!), Gaje, Ide pasaran, Mudah ketebak, Membosankan!
.
Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka, apalagi terdapat kesamaan di dalam fic ini di fic lain atau cerita lain dalam bentuk apapun, itu sama sekali tidak disengaja. Mohon maaf kalau terjadi kekeliruan dalam pembuatan fic ini. Semua yang ada di sini cuma fiksi yang iseng.
Here I am
In this place, here I am
Even if's not enough for me to show how much I really love you
I'll just wait for you in this place
Even you think it's not enough it's fine, I'll show you
How much I really love you
You may never know, but here I am
Yang kucintai hanya dirimu. Hanya dirimu bukan yang lain. Aku tak peduli siapa dirimu dan apa dirimu.
Aku akan memperlihatkan kepadamu… seberapa banyak aku benar-benar mencintaimu.
.
.
*KIN*
.
.
"Apa kau pegawai baru? Bukankah sudah kuberitahu berkali-kali?! Lihat bahannya kalau mau memotong kain! Ini bukan bahan murah kau tahu? Gajimu satu tahun mungkin tidak cukup membeli bahan ini satu meter! Lihat pekerjaanmu?! Karena cara mengguntingmu yang bodoh itu benangnya jadi keluar semua!"
"M-maafkan saya, saya mohon maafkan―"
"Maaf? Aku tidak butuh maafmu! Yang aku inginkan dalam tiga puluh menit selesaikan semua ini! Kalau aku melihat satu helai saja benang yang keluar dari potonganmu jangan salahkan aku kalau aku tidak memberikanmu peringatan!"
Gadis berambut hitam itu hanya meneguk ludah dengan susah payah. Jantungnya terasa akan putus secara tiba-tiba. Setelah perancang terkenal itu meninggalkan meja kerjanya, akhirnya baru dia bisa bernafas sangat lega.
"Hei? Kau tidak apa-apa?" sapa rekannya yang kebetulan melihatnya baru saja dimarahi sang desainer itu.
"Ya, aku tidak apa-apa," jawab gadis itu pasrah.
"Tidak apa-apa kok, dia memang selalu saja begitu pada pegawai. Lihat saja, dia sudah memarahi pegawai lain tuh. Sifatnya memang begitu. Jadi abaikan saja ya?"
"Aku mengerti kok. Memang ini salahku. Sudah untung dia tidak memecatku."
Kalau gadis ini sampai kena pecat, entah apa yang akan terjadi pada kehidupannya nanti.
.
.
*KIN*
.
.
Setelah menghempaskan diri di kursi kerjanya, desainer yang berumur 29 tahun ini akhirnya bisa menghembuskan nafas lega. Sejak pagi pukul delapan hingga kini siang pukul dua, dirinya baru selesai beranjak dari bagian produksi. Banyak sekali pegawainya hari ini yang membuatnya naik pitam bukan main. Gadis berparas cantik ini tak habis pikir, pegawainya itu bukan bekerja satu dua hari dengannya, tapi kenapa juga masih melakukan kesalahan sepele?
Dirinya penganut asas semua harus sempurna. Jadi kalau ada sedikit saja yang tidak sesuai meski hanya secuil, dirinya tak bisa mentolerir itu. mungkin karena sejak kecil sudah dididik sedemikian makanya dia sudah terbiasa untuk jadi yang terbaik dari yang terbaik.
Tangan mungilnya kembali bergerak di atas kertas kerjanya. Fashion week musim ini adalah target utamanya. Sebelum musim dingin tiba, dia harus menyelesaikan semua desainnya bulan ini. Sebenarnya, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang tidak mudah. Dia harus selalu berimajinasi dan berinovasi. Satu pekerjaan yang menurutnya tidak bisa menggunakan logika dan kepintaran. Dia harus berimajinasi.
Bukannya dia tidak menyukai pekerjaan ini, tentu saja jadi desainer adalah cita-cita, passion, dan keinginannya sejak kecil. Desainer adalah hasratnya untuk berkarya. Tapi, selama ini, dia baru menyadari bahwa membuat suatu karya yang memerlukan imajinasi sangatlah sulit. Dia harus menunggu mood-nya supaya bisa menghasilkan karya yang tidak mengecewakan. Karena hal itulah, desain-desainnya selalu jadi juara. Desainnya tidak pasaran dan jarang ada yang memikirkan konsepnya. Orang bilang dia adalah desainer jenius. Tapi semua itu perlu kerja keras. Dirinya bahkan pernah melakukan perjalanan berkeliling dunia dalam waktu tiga bulan demi mencari inspirasi. Itu bukanlah hal berlebihan atau hal paling heboh yang dia lakukan. Dirinya melakukan itu hanya semata-mata ingin mendapatkan inspirasi dalam karyanya.
Padahal… semua orang tahu.
Satu-satunya jalan terbaik yang bisa mendatangkan inspirasi hanya satu hal.
Hal yang mudah, tidak sulit, menyenangkan, tidak melelahkan bahkan membuat hati bahagia. Tapi dia tidak tahu… bagaimana cara melakukan hal―
"Hai!"
Kepalanya terangkat ke arah pintu ruang kerjanya. Wajahnya selalu sama. Datar dan tidak menyenangkan. Ini kan masih jam kerja, dan menurutnya, jam kerja adalah pantangan untuk bersantai.
"Aku sudah bosan memperingatkanmu soal ini. Ketuk dulu pintu baru―"
"Aku juga bosan memberitahumu untuk berhenti bersikap formal begitu. Ayolah, sikap formal itu bikin pegal tahu. Ayo pergi! Ini kan sudah makan siang?"
"Pergilah sendiri. Kau tidak bisa tidak merecokiku meski sehari?"
"Tidak. Ayolah~ aku bosan. Masa sih pekerjaanmu begitu banyak? Kan Cuma menggambar saja!"
"Menggambar juga membutuhkan kerja keras tahu, kau pikir―"
"Astaga! Aku tidak mau mendengarkanmu ceramah ok?! Sekarang ayo kita pergi makan siang, kau tidak lihat badanku sudah sangat kurus belakangan ini, deadline, presentasi, tugas, ocehan atasan… itu sudah cukup membuatku stress hingga beratku turun drastis!"
"Itu namanya resiko pekerjaan, kalau kau tidak mau kena marah makanya―"
"Baiklah, aku mengerti Nona Besar, sekarang bisakah kita pergi? Atau kau baru mau beranjak kalau aku sudah bersujud di atas kakimu hah?"
"Kau benar-benar menyebalkan."
.
.
*KIN*
.
.
Kini, desainer cantik ini sudah duduk di sebuah kafetaria yang berada di pinggir jalan perempatan Ginza. Kebetulan dia memang menyukai tempat duduk di pinggir dekat jendela. Jadi dia bisa melihat orang-orang berlalu lalang di perempatan Ginza itu. Kafetaria ini bukanlah kafe sederhana dan biasa. Kalau sudah masuk wilayah Ginza, semuanya bisa jadi harga rata-rata di atas harga pasaran yang ada. Makanya Ginza adalah surganya orang-orang kaya menghabiskan uang. Dan dirinya, termasuk di salah satu orang-orang kaya itu.
Baginya, sejak kecil uang bukanlah masalah hidupnya.
"Hei, lihat. Matamu sudah ada kantung tuh. Kau begadang lagi?"
"Mataku memang begini."
"Ck, kau ini. Pantas saja kau sampai sekarang tidak punya kekasih. Oh! Atau kita pergi ke spa saja? Ke salon? Ahh! Ke sauna! Bagaimana?"
"Kau bilang hanya makan siang kan? Setelah ini aku akan kembali ke kantor."
"Hissssssssss… kau menyebalkan Kuchiki Rukia!"
Yah, dirinyalah, Kuchiki Rukia. Bangsawan paling terkenal di seantero Jepang. Keluarganya memiliki sebuah pusat perbelanjaan paling terkenal di Jepang. Ditambah lagi di sana harganya yang tidak banyak memiliki barang murah. Letaknya pun ada di Ginza. Jadi, memang sejak kecil uang bukan masalah buakn?
Selain itu, keluarganya konglomeratnya ini memiliki perusahaan brand pakaian paling terkenal. Bahkan menyamai brand dari Amerika dan Eropa. Ditambah lagi, dirinyalah yang merancang semua pakaian itu. selain dirinya memang ada beberapa perancang lain di bawah brand-nya. Perancang itu hanya bertugas ketika dirinya sedang tidak dalam mood untuk memproduksi pakaian.
Dirinya sempurna.
Itulah yang dilihat semua orang. Berpendidikan tinggi, kaya, dari kalangan atas, elit, terhormat, cantik, anggun, jenius dan rasanya kata-kata sempurna pun tidak mencukupi betapa hebatnya seorang Kuchiki Rukia itu. Segala hal yang dia lakukan selalu sempurna. Dia tak pernah gagal sedikitpun jika sudah memulai sesuatu. Karena Kuchiki Rukia, tak pernah ingin merasakan perasaan seorang pecundang.
Tak lama kemudian, seorang pelayan sudah membawakan pesanan mereka.
"Silahkan pesanan Anda," ujarnya ramah.
Hmm… didengar dari suaranya, pelayan ini pria. Rukia tidak begitu mempedulikan pelayan itu. dirinya masih fokus melihat jendela kafe ini. Suasana ini begitu cerah tapi tidak panas. Beberapa orang menggandeng kekasihnya masing-masing sambil bercengkerama begitu dekat.
"Hei, Hei, Kuchiki Rukia… bagaimana menurutmu? Pelayan tadi tampan ya?" ujar Senna.
Shihouin Senna. Sepupu dari Kuchiki Rukia. Dia adalah salah satu manager yang ada di perusahaan milik keluarga Kuchiki. Tentu saja ibunya, adalah salah satu pemegang saham di perusahaan itu bersama kakak dan kakek Rukia. Gadis periang berambut ungu ini dulunya bercita-cita jadi model terkenal. Sayang, ibunya tak menyetujui itu dan menyuruhnya untuk ikut perusahaan. Karena nantinya, mungkin Senna-lah yang akan menggantikan ibunya dalam bisnis keluarga ini. Jadi mau tak mau, sebagai anak semata wayang, Senna harus menuruti semua kemauan ibunya.
Usia Senna dan Rukia terpaut tiga tahun. Senna juga berasal dari keluarga bangsawan yang sama dengan Kuchiki. Kalau diperhatikan, kedua sepupu ini memang memiliki kemiripan dari beberapa sisi.
"Aku tidak lihat. Kau kan memang menganggap semua laki-laki itu tampan."
"Apa? Enak saja. Aku juga punya kelas tahu! Pelayan tadi memang tampan. Tubuhnya bagus, tinggi, wajahnya juga… ahh~ apa aku bisa memesan makanan lagi supaya dia yang mengantarkannya?"
"Terserah kau saja," jawab Rukia singkat. Dia langsung melahap salad pesanannya dan berniat untuk segera kembali kerja. Bersama sepupunya yang menyebalkan―menurutnya ini membuat kepalanya pusing.
"Huh! Baiklah, kau harus lihat kali ini ya! Pelayaaan!" pekik Senna sambil melambaikan telapan tangannya.
Rukia berusaha bersikap biasa. Dia benar-benar malu bersama gadis ini. Rukia akui, dia memang tidak seenerjik Senna apalagi seaktif Senna. Rukia tak pernah ingin bersikap tidak anggun seperti Senna. Seorang bangsawan haruslah anggun dan berwibawa. Dan sialnya, karena kelakuan Senna tadi, Rukia jadi ikut-ikutan seperti gadis remaja ingusan yang gila karena melihat pria yang tidak seberapa itu.
"Lihat! Lihat! Dia kemari! Angkat kepalamu Bibi! Lihat dia, tampan kan?" bujuk Senna sambil menarik-narik taplak meja kafe itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" ujar pelayan itu dengan sikap ramahnya.
"Ada! Ada! Bisa aku pesan sesuatu lagi?" ujar Senna dengan mata berbinar.
"Tentu saja, Nona."
"Aih… kalau begitu aku mau pesan Ice Cappucino lagi ya? Dan temanku juga mau memesan sesuatu," kata Senna sambil menunjuk Rukia.
Pelayan muda itu bersiap untuk menuliskan pesanannya. Tapi Rukia tak kunjung bergerak dan tetap melahap salad-nya. Senna sudah memberikan kode pada Rukia untuk merespon apa yang diinginkannya, tapi wanita keras kepala ini tidak mau bekerja sama. Karena itu, Senna menendang kaki Rukia di bawah meja dengan hak sepatunya.
"Aww!" jerit Rukia kecil.
"Ada apa Nona?" tanya pelayan itu tampak khawatir mendengar suara jeritan Rukia.
Senna langsung mendelik sinis sambil menunjuk-nunjuk pelayan itu dengan dagunya. Rukia balas mendelik sinis juga. Bocah ini akan menyesal!
"Tidak apa-apa, sepertinya ada sesuatu di bawah mejaku," kata Rukia.
"Ada sesuatu? Biar saya―"
"Tidak perlu. Aku akan menginjak sesuatu itu nanti," kata Rukia sambil mengangkat wajahnya dan melihat ke arah pelayan itu agar sepupunya ini puas.
Ternyata dia hanyalah pelayan biasa, menurut Rukia. bahkan warna rambutnya yang menyebalkan itu membuat Rukia pusing. Terlalu terang! Cukup Senna saja yang rambutnya membuat Rukia pusing.
Setelah menyampaikan pesanannya, Senna mendorong tubuhnya ke depan ingin tahu reaksi Rukia.
"Bagaimana? Tampan kan? Tampan kan?" tanya Senna.
"Tidak. Biasa saja. Karena kelakuan bodohmu itu, tulang keringku sangat sakit sekarang!"
"Tch! Kau memang tidak menarik. Pantas saja kau tidak pernah punya kekasih di umur setua ini!"
"Siapa bilang aku tidak punya? Sebentar lagi kakek dan kakak akan menyuruhku menikah dengan pria pilihannya."
"Heh? Jadi kau mau begitu saja dijodohkan tanpa tahu bagaimana rasanya petualangan cinta itu?"
"Aku tidak bilang aku mau dan tidak. Aku lihat dulu. Lagipula, aku tidak peduli apa namanya perasaan melankolis yang menjijikan itu."
"Hisss… kau benar-benar menyebalkan Kuchiki Rukia!"
.
.
*KIN*
.
.
Setelah makan siang yang kurang menyenangkan itu, Rukia kembali ke rutinitasnya. Tinggal beberapa desain lagi yang harus dia kerjakan. Tapi kakinya masih sakit karena ditendang oleh bocah sialan itu. sempat Rukia berpikir kalau bocah itu bukanlah bangsawan sejati. Pasti dia anak orang lain!
Kenapa bibinya bisa membesarkan anak sedemikian rupa seperti Senna itu?!
Baru saja Rukia akan duduk di kursi kerjanya, kali ini ada panggilan masuk.
Rukia ingin sekali mengabaikannya. Dia ingin pulang cepat setelah dua hari kemarin lembur. Tapi sepertinya tidak bisa. Semakin diabaikan ternyata semakin menjadi. Karena kesal, Rukia akhirnya menyerah dan mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Hiks… Rukiaaa!"
.
.
*KIN*
.
.
Mendengar suara tangisan di telepon bukanlah hal baik. Rukia sampai panik mendengar suara sahabatnya sejak SMA itu.
Boleh dibilang Rukia sejak kecil adalah anti sosial. Dia jarang berinteraksi dengan orang-orang yang menurutnya tidak sesuai untuknya. Makanya sejak dulu Rukia tidak pernah punya banyak teman. Hanya orang-orang yang gigih yang bisa mendapatkan kepercayaan Rukia untuk jadi teman. Mungkin hanya orang-orang seperti Senna yang bisa memaksa jadi teman Rukia. Dirinya juga bukan tipe orang yang bisa mengontrol mulutnya jika sudah marah dan kesal. Adat bangsawannya hanya berlaku di depan keluarganya saja. Tumbuh jadi seorang 'Nona' sejak kecil membuatnya tidak begitu peduli dengan banyak orang. Karena apa saja yang dia inginkan, hanya dengan jentikan jari, semua bisa terkabulkan.
"Riruka?" panggil Rukia ketika dia sudah tiba di tempat janjiannya.
Gadis berambut merah panjang itu sudah sembab matanya karena menangis.
"Hiksssssss… Rukiaaaaaaaaa!" rengeknya.
"Ada apa? Kenapa kau menangis?"
"Tsukishimaaa… dia… dia… kenapa dia begitu jahat padaku. Dia… tidak pulang semalam tanpa memberitahukan padaku."
Rukia berdenyut pusing. Memangnya Rukia peduli hal ini? Dia sudah bilang pada Riruka untuk tidak merecokinya untuk urusan seperti ini. Rukia bahkan meninggalkan pekerjaannya demi mendengar alasan konyol kenapa Riruka menangis!
"Ini kan resiko kenapa kau menikah?! Sudah kubilang untuk tidak menikah cepat, tapi apa yang kau lakukan? Sudah dua tahun menikah masih juga begini."
"Tapi aku tidak mau jadi gadis tua Rukia! menikah di usia normal untuk seorang gadis itu perlu!"
"Pikirkan ke depannya. Bukan soal perlu atau tidak. Kau lebih mengutamakan keegoisanmu daripada masa depanmu. Kalau kau menikah hanya untuk menangis, untuk apa menikah? Sudah kubilang padamu pria itu tidak ada yang bisa dipercaya!"
"Ck, kenapa kau sinis sekali Rukia? makanya kau tidak kunjung menikah. Semua laki-laki takut pada sifatmu itu. kau bertindak seolah kau tidak butuh laki-laki saja."
"Kalau kita bergantung pada laki-laki, mereka akan besar kepala. Mereka akan berpikir kita tidak bisa hidup tanpa mereka. Apa kau mau mereka menindasmu seperti ini terus hah?"
"Bukankah kita memang butuh laki-laki supaya hidup kita bahagia? Laki-laki kan melengkapi kehidupan kita?"
"Realistis. Tidak semua laki-laki bisa melengkapi hidup kita. Kau terlalu banyak membaca novel dan menonton drama yang selalu menayangkan kisah cinta klise, tidak masuk akal dan berlebihan. Kau sungguh berpikir akan ada tokoh laki-laki seperti itu?"
"Tentu saja ada. Mereka dibuat karena mereka sesungguhnya ada kan?"
"Riruka?!"
"Kupikir, kau yang harusnya berhenti berpikir seolah semua ini harus masuk akal. Kadang sesuatu itu terjadi karena tidak masuk akal. Kalau kau terlalu idealis begitu, kau pasti tidak akan menikah loh…"
"Itu lebih baik daripada menangis sepertimu setiap saat."
"Sesekali… kau harus berhenti berpikir berat Rukia… cobalah berpikir yang ringan saja. Bukannya pekerjaanmu berimajinasi? Kalau kau berpikir berat terus kapan kau bisa berimajinasi?"
"Jadi, kemana arah pembicaraan ini?"
"Sebaiknya kita belanja saja ya? Aku bosan menunggu di rumah… ayolah, hibur temanmu ini… kau bisa mentraktirku salah satu bajumu yang bagus itu…"
Menikah…
Kenapa akhir-akhir ini sepertinya kata itu terlalu sering Rukia dengar?
.
.
*KIN*
.
.
Baru satu jam Rukia menemani Riruka berbelanja, tapi Rukia sudah tidak sanggup mengikuti wanita itu.
Ketika Rukia akan meninggalkannya di sebuah pusat perbelanjaan, Riruka langsung menelpon suaminya untuk menemaninya pulang. Jadi sebenarnya mereka ini sedang bertengkar atau Rukia yang salah tanggap atau… sebenarnya Riruka-lah yang bertindak berlebihan?
Sudah cukup. Rukia bisa pusing memikirkan wanita aneh itu. sebaiknya Rukia pulang saja.
Begitu akan melewati perempatan, mata Rukia tertumbuk pada seorang pria di klub sekitar Ginza itu. seorang pria baru saja keluar dengan beberapa wanita penghibur.
Rukia segera keluar dari mobilnya dan berniat menyeret pria itu pulang.
.
.
*KIN*
.
.
"Terima kasih banyak."
Pria berambut orange ini baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Dia bersiap akan pulang setelah berganti pakaian.
Begitu meninggalkan restoran ini, pria tampan ini terkejut melihat seorang wanita yang berdandan begitu… astaga… lebih mirip wanita penghibur daripada penyanyi klub malam.
Seharusnya dia mengikat wanita itu agar diam di rumah saja.
Rambutnya yang bergelombang berwarna orange dan bajunya yang belahan dadanya begitu terbuka lebar. Dirinya tak habis pikir kenapa wanita ini bersedia memamerkan dirinya untuk pekerjaan yang tidak seberapa ini. Lekuk tubuh seksinya bahkan tidak bisa ditutupi dengan gaun tipis miliknya.
"Pulang sekarang!" pria berambut orange itu menarik lengan wanita itu untuk segera pergi dari klub malam itu.
"Hei! Apa-apaan kau ini, aku mau bekerja!" balasnya sengit.
"Aku yang bekerja! Kenapa ikut-ikutan bekerja begini?!" katanya marah.
"Kau pikir kau sendirian yang bekerja bisa menghidupi kita? Minggir! Semua orang bisa melihat kita!"
"Tidak apa-apa! Ayo kita pulang!"
"Ichigo!" pekiknya.
Pria berumur 27 tahun itu berhenti bergerak ketika tangannya disentak dengan kasar.
Wanita ini berdandan begitu… astaga! Bahkan bibirnya dipoles sedemikian merah. Ichigo tidak ingat kalau bibir wanita ini bisa semerah itu!
"Kau pulang saja duluan. Jangan tunggu aku malam ini. Dan jangan membuat kegaduhan. Aku tidak ingin melihatmu dihajar oleh sekuriti lagi karena kebodohanmu. Kau mengerti?"
Pria bernama lengkap Kurosaki Ichigo ini hanya bisa terdiam melihat kegigihannya. Dia memang tidak bisa diandalkan melihat wanita ini rela begitu saja masuk ke klub malam di dalam sarang hidung belang.
"Hei Bu," panggil Ichigo.
Wanita berambut orange seperti dirinya itu menoleh dengan enggan.
"Lipstikmu menyebalkan. Cepat hapus!"
"Pulang sana! Dasar anak nakal!"
Yah… sejak kematian ayahnya, dirinya mulai giat mencari uang. Ibunya juga begitu. Tapi Ichigo sebal melihat ibunya rela saja berdandan sedemikian rupa sebagai penyanyi klub malam. Apa saja dilakukan oleh Ichigo untuk membuat ibunya berhenti bertindak begitu. Tapi, ibunya tetap bersikeras dengan mengatakan kalau uang mereka tidak cukup untuk hidup seperti ini.
Hidupnya memang susah dan tidak menyenangkan. Tapi bagaimanapun, Ichigo harus bertahan. Dia harus… karena dia punya ibu dan―
Ichigo kaget melihat seorang gadis mungil di sudut gang dekat klub malam itu menggandeng seorang pria mabuk. Pria itu terus berusaha memeluknya. Tapi gadis mungil itu tidak melarikan diri dan terus menggandeng pria mabuk itu.
Awalnya ingin Ichigo biarkan, tapi kemudian, Ichigo mendengar jeritan kecil dari gadis mungil itu.
Pria mabuk itu bertindak lebih kurang ajar lagi dengan menarik-narik kerah baju gadis mungil itu.
Geram, Ichigo tanpa babibu lagi langsung melayangkan tinju dan menghajar pria itu.
"HEI! APA YANG KAU LAKUKAN! DIA KAKAKKU!" pekik gadis mungil itu.
Apa?
.
.
*KIN*
.
.
TBC
.
.
Hmmm… wb lagi saya. Maaf ya, saya jadi nambah fic ehehehe saya liat fic rate m udah sepi sih. Jadi ya… gitu deh… *plak*
Hmm saya sih mau minta pendapat ya, apa senpai udah pada bosen sama fic saya yang ceritanya itu-itu aja? Atau saya perlu rombak semua fic saya? Atau gimana?
Gimana pendapat senpai tentang gaya tulisan saya? Karena jujur, saya sekarang jadi kurang begitu semangat untuk menulis lagi. Karena itu mungkin saya butuh semangat dari senpai yaa… eheheh… wb bener-bener masalah buat saja. Ini adalah periode dimana saya bener-bener gak ada passion buat nulis. Gimana menurut senpai?
Ahh, ini fic inspirasinya dari Secret Garden, terus lirik di atas sekali adalah lirik ostnya yang saya ubah dikit-dikit eheheh…
So… gimana pendapat senpai dengan fic ini?
Mau dilanjut? Dihapus atau diapain?
Boleh review?
Jaa Nee!