Disclaimer © Masashi Kishimoto

Awakening to life © Permen Caca

Warning : Another slight pairing inside. AR, Different POV every chapter.

.

Summary : Setelah perang ke-4 dunia shinobi, semenjak itu pulalah kehidupan Hinata berubah. Semua itu karena Sasuke. Hubungan dia dan Sasuke sangat buruk. Hingga saat itu…/for SHDL 2012/Theme : Sleep

.

.

Lambat.

Semuanya terasa begitu lambat bagiku. Kelima inderaku tidak berfungsi dengan begitu baik ; yang kurasa, kucecapi, kuhirup, kulihat, kudengar hanyalah kekosongan dan kehampaan.

Aku tersesat.

Tolong aku, bimbing aku, tuntun aku ke arah mana seharusnya aku berpulang.

Aku ingin kembali merasa hidup. Bukan merasa kosong seperti ini.

Kuputar ganggang pintu dan kudorong perlahan—sedikit berderit, tapi tidak mengusik—hingga pintu itu membuka celah yang cukup untukku masuk kedalam ruangan, yang didominasi oleh warna putih. Bau obat menguar, dan samar bisa kucium aromanya.

Ruangan itu masih sama—masih dengan sesosok yang terbaring di ranjang yang bersprei putih patah.

Kutapak langkah mendekati, hingga jelas terlihat bagaimana rupamu tanpa ada penghalang yang biasanya selalu kau bangun.

Pucat, wajahmu menirus, bibirmu mengering dan matamu terpejam … sampai kapan?

Sampai kapan kau akan terus tertidur?

Begitu pahitkah dunia nyata bagimu, sehingga kau menutup mata dan memilih dibuai oleh dunia semu?

Jika ya, pengecut sekali kau!

Kemana dirimu yang selalu menampik, menerjang, menghantam dengan berani siapa pun yang mengusik?

Kau terdiam. Tidak bergeming—bahkan untuk menggerakkan jari. Hanya desah napasmu yang teratur sebagai penanda bahwa kau masih ada. Hidup.

Bangun, Uchiha! Jangan buat aku semakin dikuasai oleh amarah, karena tanganku sudah gatal ingin menghajarmu hingga babak belur. Merutukimu.

Kenapa kau memilih menenggelamkan dirimu dalam kegelapan yang pekat?

Aku. Hanya aku—prinsipmu. Tidak memberi ruang sedikit pun untuk terbuka. Duniamu hanya berputar dan berporos pada satu ambisi ; bunuh, siapa pun yang menyakiti dan menghalangi jalanmu.

Kau melakukannya. Berhasil, sukses.

Tapi pertempuran belum berakhir Uchiha. Masih ada aku disini—sehat, bergerak. Tidak sepertimu yang tergolek lemah di hadapanku sekarang.

Kau, yang keras kepala. Kau yang selalu menampik, menepis setiap afeksi yang dicurahkan dengan tulus oleh mereka.

Kenapa?

Tak sudikah kau berhenti, merenung, meninggalkan segala ambisi, dan menoleh kebelakang untuk sekedar melihat sosok mereka yang selalu mengejarmu?

Mereka yang kau injak, sakiti, dengan pecutmu hingga berdarah—pantang berhenti berharap, mendoa, agar kau bisa kembali ke sisi mereka.

Mereka ; si pecinta ramen yang selalu berisik ataupun si gadis cerewet itu, selama nyawa masih bersemayam dalam raga, mereka takkan berhenti untuk meraihmu.

Kehadiranmu dulu dalam kehidupan mereka, dulu—jauh sebelum dunia memperlihatkan betapa kelam, kejamnya kehidupan padamu—menciptakan sebuah ikatan yang telah mengakar kuat.

Sebuah ikatan yang menyatukan perbedaan, meleburkan tiga napas, asa menjadi satu.

Kau … tahu itu bukan, Uchiha?

Tapi, mengapa kau begitu sadis dan bernafsu untuk memutuskan ikatan itu?

Dengan tangan dan pedangmu, kau ambil, kau renggut nyawa pemuda yang sedari dulu berusaha untuk mendapatkan sebuah pengakuan eksistensi darimu.

Aku. Benci. Padamu. Sangat. Uchiha Sasuke.

Kau rampas, lenyapkan pemuda berambut kuning dari dunia yang fana ini. Kau rampas, lenyapkan pemuda yang sedari dulu kutatap punggungnya, kukagumi, kukejar, dan ingin kuraih agar dapat melangkah beriringan dengannya.

Kau hilangkan sosoknya yang menjadi pusat duniaku, sehingga aku labil, terombang-ambing, dan buta arah.

Tapi waktu takkan pernah kembali. Meski aku memohon, bersujud, menangis selama apapun.

Naruto juga—takkan pernah kembali.

Awalnya aku berpikir aku merasa lebih baik mati. Tak mau percaya bahwa napasnya telah terhenti. Bahkan, mengantarkannya pada tempat peristirahatan terakhirnya, aku tak sudi.

Bukannya hatiku berkelit dari mortalitas yang hakiki, tapi ketidakrelaanku menerima kepergiannya begitu besar.

Tidak seharusnya aku begini. Tidak seharusnya aku putus asa—karena, ada yang lebih bersedih daripada aku.

Haruno Sakura.

Jika ada yang berkeinginan mati, maka gadis itulah orangnya. Tapi dia tidak melakukannya. Dia menegapkan punggung, menengadah. Menyonsong hari esok. Tersenyum. Begitu pun, meredupnya cahaya di mata hijaunya takkan bisa menipuku.

Dalam satu tatapan, aku bisa mengerti langsung apa yang ada dibalik iris mata emerald-nya hingga terasa menyesakan. Menghadirkan sebuah premis sederhana ;

Naruto ada untuk Sakura. Sakura ada untuk Naruto. Setelah waktu dengan brutal mengambil nafas pemuda jabrik kuning itu, duka gadis itu tak terperi. Tapi, dia bertahan.

"Apa yang membuatmu bertahan?"

Hal apa yang membuatmu untuk terus hidup, bahkan setelah kau mengalami kehilangan yang pahit?

Sakura menoleh, menatapku, tersenyum lemah, "Mimpi dan harapan," lalu berpaling lagi untuk menatap Sasuke yang sedang terbaring lemah. Di jemarinya yang kian mengurus itu, dia mengalirkan ninjutsu medisnya, "… Sasuke adalah harapan yang tertinggal."

Sebuah pernyataan dari Sakura yang belum bisa kuserap esensinya. Memenuhi benak dengan tanda tanya.

Percakapan terakhirku dengannya sebelum dia merenggang nyawa akibat selama perang ke empat, dia terlalu memaksakan diri mengeluarkan cakra penyembuhnya—untuk menyelamatkan orang-orang terkasihnya. Sehingga berefek buruk pada tubuhnya.

Mimpi dan harapan?

"Umh…."

Aku tersentak. Kulihat kau mengerang sebentar. Lalu kembali diam walau napasmu sedikit memburu. Cih, masih ingin bermain-main ke alam mimpi eh, Uchiha?

Aku marah. Aku benci. Aku terluka di sini. Semua itu karenamu!

Adakah obat yang mujarab untuk meredam rasa sakit yang mengiris ini?

Lama aku menatapmu yang masih terbujur di kasur. Kemudian aku mengulum senyum.

Ada.

Aku mengarahkan tanganku kepadamu yang masih memejamkan mata. Aku tahu, rasa sakit ini ada obatnya. Juga, senyumku semakin terkembang.

.

"Aku takkan menarik kata-kataku."

.

Aku tersentak, kemudian memegang kepalaku. Kilasan memori itu tiba-tiba terbesit di benakku.

Naruto.

.

"Hinataaa! Ganbatte!"

.

Naruto….

Tidak. Tidak. Hentikan.

Berhentilah muncul dipikiranku.

.

"Waw! Hinata yang tadi itu keren!"

.

Napasku mulai sesak. Badanku gemetar. Kepingan acak itu semakin bermunculan di kepalaku.

Naruto….

.

"Kau itu gadis yang kuat, aku percaya."

"Terimakasih Hinata!"

"Oi Hinata!"

"Hinataa~"

.

Trang!

Aku tanpa sadar menjerit, kuat-kuat. Air mataku langsung tumpah begitu saja tanpa kendali. Kemudian mencakar wajahku agar aku lepas dari siksaan dan tekanan ini.

Kubiarkan pisau yang sedari tadi kubawa untuk membunuhmu tergeletak begitu saja dilantai.

Aku … tidak bisa.

Kepalaku terkulai begitu saja di sisi ranjangmu. Menangis keras—tak peduli bahwa air mataku membasahi tempat tidurmu.

Kenapa takdir sangat kejam dan brutal seperti ini?

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa…

Aku lelah.

Sangat lelah, dan itu membuatku tergelincir pada kegelapan yang tak berujung.


Aku ingat, dulu ketika aku dijahili oleh sekumpulan bocah lelaki, Naruto membelaku dan rela dihajar babak belur.

Aku ingat, Naruto adalah sosok yang penuh semangat. Cara dia tersenyum, cara dia menyapa orang-orang begitu hangat.

Aku ingat, Naruto selalu berusaha keras untuk membawa Sasuke pulang. Dia berlatih mati-matian. Begitu juga dengan Sakura.

Aku ingat, bagaimana petempuran antara dia dan dirimu berlangsung. Jurus-jurus mengerikan kau lancarkan padanya dan dia pun coba terus mengajakmu berbicara. Tapi, karena Naruto lengah, dia terlambat menghindari jurus petirmu.

Aku ingat, bagaimana darah mengintip dari sudut bibirnya. Pula, kau pun langsung ambruk karena kelelahan.

Aku ingat, Sakura berteriak pilu saat menyadari keadaan Naruto yang sekarat dan langsung mengeluarkan jurus penyembuhnya untuk menolongnya.

Tapi terlambat.

Yang terakhir kuingat, bagaimana Naruto tersenyum, lalu merenggang nyawa di pangkuan gadis merah jambu itu.

Tambahan pula, aku ingat kenapa aku tidak menyukai hujan. Karena … Naruto pergi bersama angin dan hujan.

...

Aku mengangkat kepalaku yang terasa berat. Beberapa helai rambutku yang menempel di pipi segera kusingkirkan.

Mimpi itu … terulang lagi.

Aku mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Otakku berusaha mencerna dimana aku berada.

Ternyata aku masih berada di rumah sakit. Semalaman.

Aku mendengar suara erangan di depanku. Mataku yang awalnya setengah terpejam benar-benar terbuka untuk mengawasi.

Jari-jarimu semakin banyak bergerak. Dan mataku menilik pada kelopak matamu yang mulai bergetar sebelum akhirnya berubah jadi gerakan hingga matamu terbuka.

Melihatku.

Dan cairan bening perlahan keluar dari sudut matamu yang sedang menatapku.

Tak ayal, selongsong peluru langsung menghujam hatiku. Membuat mataku perih.

.

.

.

To Be Continue

.

Curcolan Author

PARARAMPAAAHH! Happy SHDL all! :D
Duh, jangan hajar saya ya karena porsi SH disini kurang—coret, sangat kurang. Alasan saya adalah, karena ini cerita canon dan karena memakai POV Hinata, makanya saya eksplor another pair disini. Tapi tenang saja kok, beberapa chap kedepannya porsi SH nya lebih banyak :D

Gimana komentar kalian? Beritau lewat ripiuw ya :D

Kalau banyak repiuwnya, bakalan cepat di update kok :D