ProtectiveLilBro!Hibari. ProtectiveLilSis!I-Pin. AdultForm!Arcobaleno

Normal. "Dialog." Emfasis/istilah asing/pikiran/e-mail. Sound effect (hard). Sound effect (soft)

.

Balasan guest/non-login review:

~sinister landsteiner: pa, pajangan? Hibari akan menggigitmu sampai mati... larilah nak, mumpung nyawa masih dikandung badan. Fran ngga OOC? Yeah! Mammon OOC? temukan jawabannya beberapa paragraf di bawah sini. Semua orang dalam kondisi itu pasti jadi OOC. Berhubung awalnya saya nggak niat menulis humor... kalau ngakak ya selamat, kalau nggak ngakak ya sudah~

~beatrice: a, ahaha... aduh, malu saya dipuji begitu XD mengenai fic di kampung sebelah... sebenarnya plotnya udah terhampar, cuma waktu mau eksekusi jalan ceritanya, ombak besar menghantam perahu kehidupan saya. Tampaknya naskah itu lenyap di tengah laut, jadi... yah, doakan saja naskah itu kembali ke permukaan otak saya :)

.

A/N: adakah di antara readers yang setelah membaca fic ini (berhasil saya hasut) jadi shipper Fon/Viper? XDD

.

Maestra – guru (perempuan)

Guardiani – guardians

Guardiano – guardian (cowok)

.

Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira

.


.

"Kita lihat saja nanti," Hibari langsung berlari ke arahnya. Maestra bergeming—namun ketika jarak di antara mereka begitu tipis, aku melihat jubah Maestra bergerak sedikit.

BRAKK!

Dalam satu kejapan mata, dinding putih berkilauan berdiri di antara mereka berdua, membuat Hibari menghantam dinding itu dengan kecepatan tinggi—kepala lebih dulu. Pemuda itu mundur, dahinya mengucurkan darah.

Maestra mengeluarkan tawa nyaring, seperti tawa nenek sihir di film serial silat yang sering tayang di saluran televisi luar negeri tahun 90-an kesukaan nenekku. Eh? Kalian tidak tahu? Payah, makanya jangan nonton televisi lokal teru—ow, kalian tidak kasihan pada topiku, ya? Menjahit semua lubang ini akan merepotkan sekali.

Ahem.

Fantasma segera melingkar di kepala guruku. "Bagaimana rasanya mencium dinding berlian, Hibari Kyouya?" Maestra mengejeknya dengan suara melengking sembari melayang. Hibari tak membalas, hanya mengertakkan gigi menahan sakit sambil menyeka luka di dahinya.

"Dari mana dinding itu…!"

"Itu ilusi sungguhan, I-Pin. Sarung tangan yang dipakai Maestra bisa mengubah ilusi menjadi benda asli," aku berbaik hati menjelaskan.

"Huh, tapi Kyouya-nii tetap lebih unggul. Ia ahli dalam mengatasi ilusi!"

"Eh, peduli amat." Aku meleletkan lidah, "kalau guruku mendatangkan sekawanan velociraptor dengan sarung tangan itu, Hibari Kyouya tak akan punya kesempatan."

I-Pin menelengkan kepalanya, bingung. "Velosi…?" Aku nyengir, senang membingungkannya.

Di tengah padang, Hibari melompat ke atas ilusi dinding berlian dan menggunakannya sebagai batu pijakan untuk mencapai Maestra yang melayang. Tentu saja Maestra bisa menghindarinya dengan mudah. Tetapi sebelum Hibari—yang gagal mencapai guruku—kembali menjejak tanah, sebuah bola berduri muncul di bawahnya dan menduplikasi dirinya hingga Hibari mencapai ketinggian yang sama dengan Maestra.

"Mu~ properti reduplikasi Awan, ya?" ia menyabetkan tangannya di udara dan pisau besar putih berkilauan—berlian—membelah menara bola duri Hibari.

Tetapi sebelum menara itu jatuh, bola-bola duri kembali bermunculan membentuk penopang baru. Bola-bola yang sama juga terbentuk di belakang Maestra dan segera setelah muncul, duri-duri mereka memanjang dan meruncing.

"Percuma, percuma!" Maestra tertawa nyaring lagi sambil menghindari duri-duri itu. Sosok mungilnya lenyap di antara bola-bola duri Hibari.

Hibari akhirnya kembali ke tanah, tampaknya tak bisa menemukan lawannya. Alisnya berkerut lebih dalam dari biasanya; kentara sekali ia kesal dipermainkan. Memang itulah sulitnya melawan ilusionis; kami lebih licin daripada oli dan kulit pisang. Mereka yang tak awas akan segera terpeleset jatuh dalam perangkap kami.

Sang Guardiano menggenggam Gelang Awannya. Aku melihat api tipis keunguan menguar dari benda itu ke seluruh area duel. "Apa itu?" tanyaku pada I-Pin.

"Detektor api dan gerakan."

"Ha?" aku tak mengerti. Giliran I-Pin yang menyeringai sekarang.

Hibari menyiapkan tonfanya. Dengan cepat bola-bola duri itu lenyap satu persatu. Ketika bola terakhir lenyap, yang tersisa di area duel hanya pemuda itu dan dinding berlian yang dibuat Maestra tadi. Arcobaleno itu sendiri tak terlihat di mana pun—namun aku yakin sekali ia belum meninggalkan arena. Menggunakan bola duri—Roll—sebagai pijakan, Hibari menghantamkan tonfanya ke berbagai titik di atas area duel, menjatuhkan seekor lamprey Uroboros dari udara kosong. Segera saja lamprey-lamprey itu menumpuk di tanah.

"Jangan bilang kalau gurumu kabur," kata I-Pin tiba-tiba, "seperti saat melawan Rokudo Mukuro." Aku diam saja karena aku memang tak tahu banyak tentang pertarungan yang dimaksud anak perempuan itu. I-Pin meneruskan dengan santai, "kau tahu, salah satu alasan kuat mengapa Kyouya-nii tidak mengizinkan Mammon mendekati Fon-sensei adalah karena ia kalah dari Rokudo Mukuro."

Sebenarnya aku tertarik mencari tahu siapakah yang terkuat di antara kedua guruku, tapi saat ini prioritasku adalah menjaga citra Maestra Mammon di hadapan cewek bakpau ini! "Tahu tidak, I-Pin, Maestra bilang duel ini jauh lebih penting daripada uang, lho. Biasanya ia tidak akan mau melakukan sesuatu tanpa dibayar, tapi toh Maestra tetap melayani tantangan duel Hibari seminggu ini—gratis."

"Kyouya-nii jauh lebih kuat," ujar I-Pin dengan nada final, lengannya terlipat di dada.

"Yang benar?" balasku, "katanya mau menggigit Maestra sampai mati—tapi sampai hari ini belum berhasil juga. Tampaknya reputasi tak terkalahkan Hibari Kyouya akan dihancurkan oleh ilusionis lagi."

Pipi I-Pin menggembung, warnanya berubah merah karena menahan marah. Aku mengatupkan rahangku kuat-kuat untuk menahan tawa—wajahnya terlihat lucu sekali sekarang!

Di area, Hibari masih terus memanen lamprey Uroboros dari udara kosong; kali ini ia dibantu oleh bola-bola durinya. Serangannya makin brutal, kesabarannya mulai habis—begitu juga dengan staminanya. Seolah membuktikan pikiranku barusan, Hibari melepas ujung kedua tonfanya. Rantai yang keluar dari senjatanya memanjang, meliuk-liuk liar di udara dan memanen beberapa lamprey lagi dari atas.

Aku memerhatikan langit sudah berubah dari merah ke ungu. Malam akan segera tiba.

Sunyi menyusul ketika rantai itu kembali ke dalam tonfa dan Hibari kembali menggunakan detektor api-dan-gerakannya. Maestra tetap tak terlihat di mana pu—

"Kyouya-nii, AWAS!"

Tumpukan lamprey Uroboros di tanah melebur jadi genangan hitam. Seekor Uroboros raksasa dengan rahang selebar area duel muncul dari tanah—dan menelan Hibari Kyouya bulat-bulat. Si Uroboros mengeluarkan suara deguk puas. Tawa nyaring melengking kembali merobek kesunyian.

"Muu~" Maestra muncul kembali, melayang-layang di atas Uroborosnya. Mulutnya membentuk seringai lebar. "Tentunya kau belum lupa tentang hukum rimba kan, karnivora kecil? Bahwa predator terkuat pun suatu hari akan ditelan oleh makhluk yang lebih kuat."

Sebuah duri tumbuh menembus kepala si Uroboros raksasa, dan segera disusul oleh duri-duri lainnya yang tumbuh di setiap senti tubuh lamprey itu. Sepasang rantai panjang keluar dari atas dan berputar mengoyak-ngoyak si Uroboros menjadi serpihan. Dalam lima detik lamprey itu sudah lenyap, digantikan oleh Hibari Kyouya dengan mata berkilau seperti predator pemburu.

"Aku masih ingat, ular kecil," katanya, "pertanyaannya hanyalah siapa yang akan memakan siapa."

Maestra tidak terlihat kaget, jelas sudah memperkirakan hal ini. "Coba saja kalau bisa," ia mendarat dan segera memproduksi tameng besi untuk memblok serangan salah satu rantai. Dari situ duel mereka masuk dalam kecepatan super tinggi, membuat mataku pusing melihatnya.

"Ha!" I-Pin berseru penuh kemenangan ketika duri Roll berhasil merobek jubah Maestra.

"Makan tuh!" aku ganti berseru ketika kaki Hibari terjebak dalam bongkahan es yang perlahan-lahan merambat naik ke seluruh tubuhnya.

I-Pin mendelik. "Gurumu kalah dari Rokudo Mukuro!"

"Lho, apa urusannya denganku? Mereka berdua guruku, kok."

"Uh…" anak itu seperti kehabisan kata-kata. Aku menyambar kesempatan ini.

"Gyoza-ken teknik yang aneh! Cuma ampuh sama vampir!"

I-Pin memekik nyaring. Aku tadinya menduga ia akan menyerangku, namun ia hanya ganti mengejekku.

"Kepala apel!"

"Jangan hina topiku! Dasar rambut kawat!" dari situ, percakapan kami pun akhirnya berevolusi menjadi adu mulut.

Dari tempatku mengamati, tampaknya kedua petarung benar-benar berniat membunuh satu sama lain. Semakin lama mereka berduel, kerusakan yang mereka buat semakin parah. Di tempat Uroboros raksasa tadi muncul sekarang berubah menjadi kawah besar. Sungai buatan kecil terpotong menjadi air terjun; serangan Hibari telah menurunkan level tanah di muaranya dan menaikkan level tanah di bagian hulu. Napas mereka berdua sudah putus-putus; biasanya tak lama lagi mereka akan berhenti bertarung, namun hal yang menandakan akhir duel tak kunjung tiba.

Saat itu aku belum sadar Hibird tidak ada meski malam telah lama menggelapkan langit.

.

.

"Ilusi itu payah!"

"Justru ilusi itu yang terhebat! Dunia kami adalah dunia tanpa batas, apapun bisa terjadi!"

BRUAK!

Kami berdua melompat menghindari batu-batu yang terlontar dari area duel. Dalam lima belas menit terakhir ini aku mengungguli I-Pin dalam ejek-mengejek. Ia bermental baja juga, anak perempuan biasa pasti sudah menangis sekarang.

I-Pin menggigit bibirnya. "Kenapa kalian datang terus setiap hari?" teriaknya, air matanya mulai menggenang. "Padahal aku dan Kyouya-nii… sudah melakukan segala cara untuk menjauhkan kalian dari Fon-sensei!"

Aku agak kaget karena mendadak I-Pin mengubah topik. Otakku serasa berdesing memikirkan jawabannya karena teka-teki itu sendiri sudah berhari-hari mengendap di lobus frontalku. Kemudian, seolah disambar petir jawaban itu datang sendiri kepadaku.

"Te, tentu saja ini rahasia, anak bodoh! Cukup sudah latihannya." Sekarang warna pipinya berubah merah pekat….

Kutarik napas dalam-dalam dan menyerukan jawaban yang kudapat dari analisis si lobus frontal. "Ma, Maestra Mammon menyukai Fon-san! Karena itulah ia selalu datang meski harus menghadapi terkaman Hibari Kyouya!"

I-Pin menarik napas panjang tertahan, matanya melebar sampai pembuluh darahnya terlihat jelas di tepian bola matanya. Keringat deras mengucur dari bawah rambutnya, mengalir di wajahnya yang semerah apel segar. "Aaa… aaa…" ia merintih, tangannya memegangi kepala—

Ping!

—kemudian di dahinya muncul sembilan lingkaran mirip koin.

"Wahaha! Apaan tuh?" aku menertawainya. Ekspresi I-Pin berubah total begitu sembilan… delapan… er, tujuh koin itu muncul. Ia jadi kaku seperti robot.

Baik Hibari maupun Maestra menghentikan duel mereka begitu mendengar bunyi ping itu. Sebelum keduanya sempat bereaksi, suara pintu digeser mengalihkan perhatian kami lagi. Fon muncul dari dalam rumah membawa spatula masak. "Hibari-kun, I-Pin! Waktunya makan malam!" ia berseru.

I-Pin, begitu menyadari kemunculan pria itu, langsung berlari ke arah sang guru dengan kecepatan tinggi. Koin di dahinya tinggal enam.

Samar-samar dari area duel kudengar seruan Hibari, "Pinzu-timed Super Explosion!" dan seruan Maestra, "tidak!"

Lima koin.

Aku menatap ngeri ke arah I-Pin. Koin di dahinya itu… ternyata timer bom! Dan sekarang manusia bom itu berlari ke arah Fon—yang sepertinya sama sekali tidak sadar akan apa yang sedang terjadi di halaman belakang rumahnya!

Empat koin.

Ini gawat! Kalau I-Pin ada di dekat Fon saat meledak—

Tiga koin.

Aku masih kaku di tempat ketika sosok berjubah—Maestra—melesat dari area duel, memotong tepat sebelum I-Pin mencapai Fon. Disambarnya anak perempuan itu ke dalam pelukannya, lalu melesat tinggi ke udara.

Dua koin.

Di udara, Maestra menyelubungi dirinya dan I-Pin dengan selubung lapisan besi kokoh berbentuk bola. Ledakan I-Pin tak akan keluar dari bola besi, tetapi Maestra yang ada di dalamnya akan…!

Sekarang pasti tinggal satu koin di dahi I-Pin.

Aku menjerit, "Maestra!"

"VIPER!"

BUUUMMMM…!

Rasanya seperti menyaksikan supernova jarak dekat. Langit sampai memutih saking terangnya, seolah siang datang mengintip selama beberapa detik sebelum kembali bersembunyi. Bambu-bambu sampai nyaris patah jadi dua akibat tekanan angin ledakan. Gelombang debu menyebar bergulung-gulung bak badai pasir. Karena ledakannya terjadi di atas, kerusakan pada rumah-rumah di bawah jadi tidak begitu parah.

Ketika cahaya ledakan menghilang dan angin mereda barulah aku berani menengadah lagi. Aku melihat tubuh Maestra—yang masih memegangi I-Pin—melayang jatuh di antara sisa-sisa ilusi bola besinya. Ia pasti sempat melindungi dirinya di dalam, tapi tetap saja ia tak luput dari ledakan dengan jarak sedekat itu.

"Viper!" Fon—minus spatulanya—melompat menangkap rekan Arcobaleno-nya dua meter dari tanah. Aku segera mendekati mereka, cemas.

Jubah Maestra penuh bekas terbakar dan di kulitnya banyak goresan. Hebatnya, ia masih sadar. Dan kata-kata pertamanya adalah, "F, Fon… kau tidak… apa-apa?"

Senyum Fon bergetar saat ia menjawab, "seharusnya aku yang berkata begitu, tahu." Ia mengeratkan gendongannya.

Mendadak Kusakabe Tetsuya muncul di hadapan kami, langsung mengambil I-Pin yang tak sadarkan diri dari pelukan Maestra. "Kyo-san ingin membicarakan sesuatu dengan Anda berdua." Ia mengangguk ke arah area duel yang dipenuhi bola duri Roll—tak diragukan lagi melindungi Hibari Kyouya dari ledakan.

Pemuda itu sendiri sudah melepaskan Vongola Gear-nya, kembali berpakaian kemeja biasa. Kilau di matanya yang penuh niat membunuh sudah lenyap. "Paman," ia mengangguk kaku pada Fon, seolah ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. "Seorang karnivora harus selalu memprioritaskan keselamatan kawanannya. Tindakannya tadi sudah membuktikan bahwa ia karnivora sejati." Hibari menatap Maestra Mammon, mengirim permintaan maaf telepatik.

"Hibari—"

Hibari memotong kata-kata Fon dengan gelengan singkat, lalu berjalan menghampiri Kusakabe. Saat bahunya dan bahu pamannya sejajar, ia berkata pelan, "kau boleh menikahinya."

"EEEEEH?" aku nyaris tersedak. Jadi alasan mengapa Hibari menantang Maestra Mammon berduel adalah… adalah…

"Fran, ayo masuk ke dalam," Kusakabe menggandeng tanganku lalu menyusul Hibari yang sudah masuk duluan ke rumah. Sebelum aku melalui ambang pintu, aku menoleh menatap kedua Arcobaleno yang kami tinggalkan berdua.

Mereka sedang berci—

.

.


.

.

"ANAK KECIL! ANAK KECIL NGGAK BOLEH DENGAR YANG BEGINIAN!"

Fran manyun, kesal ceritanya dipotong. Ia mulai menikmati kegiatan bercerita ini meski tangan dan kakinya kaku terikat.

Wanita di belakang lampu masih berteriak, "tutup telinga mereka!"

Kegaduhan menyusul ketika semua orang di ruangan bergerak sekaligus, mencari-cari anak kecil untuk ditutup telinganya. Kegelapan membuat kegiatan yang seharusnya mudah itu menjadi lebih sulit berkali-kali lipat. Baik para penculiknya maupun orang-orang yang baru masuk belakangan sama-sama tak diuntungkan dalam kegelapan ini.

"MANA LAMBO? LAMBO NGGAK BOLEH DENGAR YANG EKSTRIM-EKSTRIM!"

Ada dua Guardiani di sini—

"Sapiii…! Mana si sapi tolol?"

"Gokudera-kun, kau menginjak tanganku…"

koreksi, empat Guardiani Vongola, kata Fran dalam hati. Rupanya mereka yang tadi masuk menginterupsi cerita Fran tak lain adalah pengawal pribadi Sawada.

"Onii-san, tolong jangan teriak di telingaku…"

"Vongola?" tanya Fran. "Kau juga ada di sini?"

"Ah, ketahuan deh!" Fran mengenali suara si Hujan.

"A, ahahaha… halo, Fran," Tsuna melambai kepada si ilusionis dari tengah kegelapan.

Sementara itu para penculik Fran juga ribut di antara sesamanya. Pria keempat yang bersuara lemah memanggil-manggil, "Uni, Uni... ada yang lihat Uni? Uni—OW! Sakit, senpai!"

"Jangan"—DUK—"culek"—DUK—"mataku"—DUK—"kora!"

"Uni, di mana pun kau berada, tolong jangan dengarkan materi yang tidak sesuai dengan umurmu…"

Kepala Fran terangkat, ingat betul siapa pemilik suara pria pertama. "Aah… Verrypoo… lama tak jumpa," katanya datar. "Kalau kau ada di sini berarti yang barusan itu Arcobaleno Skull dan Colonello. Uni juga ada. Bisa disimpulkan kalau Arcobaleno Reborn dan Lal Mirch dari CEDEF juga turut dalam pesta ini."

Seluruh ruangan sunyi senyap begitu Fran mengumumkan analisisnya. Kemudian lampu ruangan menyala, menerangi wajah-wajah yang sebelumnya tersembunyi di kegelapan.

Uni berdiri di sebelah pintu dengan satu tangan masih menekan saklar lampu. Lambo tertidur di pelukannya—ajaib sekali ia tidak terbangun karena keributan itu. Ada dua buah sofa kulit; yang sebelah kiri diduduki Tsuna beserta tiga Guardiani-nya: Gokudera, Yamamoto dan Ryohei. Sofa di sebelah kanan diisi oleh empat Arcobaleno. Meja kayu di hadapan Fran diduduki Lal Mirch dan lampu sorot. Semua laki-laki, termasuk Fran, berpakaian resmi. Uni dan Lal mengenakan gaun senada berwarna peach dengan mawar indigo di dada masing-masing.

"Lal Mirch-san… jadi kenapa aku diculik?"

Alih-alih menjawab, Lal mengeluarkan dompetnya. Hampir semua orang di ruangan itu mengeluarkan dompet masing-masing, beberapa sambil mengumpat. Uni, yang sudah kembali ke rekan-rekannya, menerima uang dari tangan Lal dan para Arcobaleno dengan cengiran lebar. Di sofa sebelah, ketiga Guardiani menyerahkan uang ke tangan Tsuna yang terulur. Uni menghampiri sang Don Vongola, lalu ber-high five dengannya.

"Yes!" seru keduanya.

"Kan sudah kubilang jangan bertaruh melawan seorang shaman," Reborn mengantongi dompetnya.

"Benar Reborn-san!" Ryohei menimpali. "Kami juga tidak beruntung bertaruh melawan Intuisi EKSTRIM Vongola!"

"Kalian… ngapain sih?" tanya Fran, tapi pada saat itu pintu ruangan terbuka dan seorang gadis berambut nanas muncul di pintu, mengalihkan perhatian semua orang dari pertanyaannya.

"Oh, jadi di sini kalian rupanya," ujar Chrome dingin. Ia mengenakan gaun yang sama dengan Lal dan Uni. "Aku menyampaikan pesan dari pengantin wanita. Ia bilang akan melepas pendamping pengantin pria untuk menggigit kalian sampai mati kalau ia tidak menemui kalian di aula dalam…" gadis itu melirik arlojinya, "empat detik—ciao!" Chrome langsung lenyap dalam kepulan asap indigo.

"HIIIIEEEEEE!"

Reborn yang pertama melesat keluar pintu, disusul Verde yang sepatunya ternyata dilengkapi dengan roket mini. Lal menyambar Uni yang masih membawa Lambo, Colonello menyusul di belakangnya.

"Lal, kora! Tunggu, kora!" seru si pria pirang.

"Aaaah, senpai!" Skull buru-buru keluar, wajahnya masih lebam.

Karena pintu dipenuhi orang, Gokudera berinisiatif meledakkan jendela. "Silakan, Juudaime!" katanya sambil mengacungkan jempol, giginya berkilauan seperti bintang iklan pasta gigi, "aula hanya tiga lantai di bawah!"

"Jendela… paperwork…" Tsuna mengisak tertahan, tetapi ia melompat keluar juga—daripada digigit sampai mati.

"NGGAK MAU! AKU MAU DUEL EKSTRIM SAMA HIBARI SEPERTI DUELNYA DENGAN MAMMON!"

"Senpai, tak boleh…" Yamamoto menyeret Ryohei yang masih meronta dengan susah payah. "Tidak sopan berkelahi di pesta pernikahan…" dan mereka pun menghilang menyusul kedua rekannya.

Fran menggeliat di dalam ikatannya, membuat kursinya berkelotak keras. "Heeeei…" erangnya lemah, "kalian tidak akan membukakan ikatanku? Ah, sepertinya tidak."

Seekor gagak berkaok di kejauhan. Si ilusionis muda menghela napas panjang, akhirnya memahami mengapa Rokudo Mukuro ingin menghancurkan mafia.

Mereka semua sinting.

.

.


.

BONUS

Hal-hal yang Tidak Diketahui Fran

(diurut berdasarkan kronologi kejadian)

.

.


.

1. Pertaruhan Arcobaleno

.

"Begitu, kora? Ya sudah, kami cuma berenam kalau begitu. Daah."

Klek.

"Fon jadi ikut?"

Colonello menggeleng. "Nggak, Verde. Dia bilang punya janji makan malam dengan Mammon."

Kelima Arcobaleno—plus Lal Mirch—di ruangan itu bertukar tatap dalam sunyi. Reborn-lah yang pertama kali memecahkannya.

"Mammon sedang menagih hutang Fon. Aku bertaruh empat ratus."

"Ah, kora! Lima ratus!" Colonello segera menyahut. "Fon sedang berbaik hati seperti biasanya."

"Hmm…" Verde menekan bingkai kacamatanya; lensanya berkilauan ditimpa cahaya lampu. "Lobus frontalku membisikkan bahwa Fon tidak sebaik yang kita kira—ia sedang berusaha menjebak Mammon. 550."

"Huh, itu simpel tahu," Lal mendengus, "Viper pasti sudah kesal terus diceramahi Fon, dan sekarang ia akan membalasnya. Aku bertaruh tujuh ratus."

"Ah, uh…" Skull mengacak-acak rambutnya, sama sekali tak tahu mengapa Fon dan Mammon makan malam berdua. "Kurasa Mammon hanya tak mau melewatkan kesempatan makan gratis… ah, aku bertaruh… 710."

"Aku ikut," Uni berujar. "Seribu untuk pernikahan Fon-san dan Mammon-san."

Semua orang ganti menatap Uni. Lal mendesis, "kau masih di bawah batas umur untuk berjudi, nona muda."

"Aku bos Giglio Nero," Uni mengarahkan senyumannya pada anggota CEDEF itu, "sekaligus bos kalian." Tak ada lagi yang memprotes keterlibatan Uni dalam pertaruhan itu.

"Tapi, Uni… menikah? Mammon nggak suka Fon, kora."

Uni hanya tersenyum mendengar komentar Colonello. Bulu kuduk Reborn mendadak meremang—entah mengapa ia merasa akan kalah dalam taruhan ini.

.

.

2. Girl Talk

.

"Kyoko-chan~! I-Pin mengirimi Haru e-mail, desu~"

"Huh?" Kyoko menatap sahabatnya yang sibuk merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya yang dihiasi banyak aksesoris. "Hana-chan bilang ia juga menerima e-mail tadi siang dari I-Pin."

"Hahi?" mata Haru melebar. "Apakah e-mail seperti ini, desu?"

Kyoko mengintip layar ponsel Haru. "Tak salah lagi. Omong-omong, aku juga dapat, lho." Ia membuka e-mail yang sama di ponselnya. "Lihat, sama kan?"

Pagi, Kyoko-nee! Aku ingin tanya sesuatu. Jika seorang pria dewasa dan wanita dewasa tinggal dalam rumah yang sama, selalu makan malam bersama dan pergi berbelanja kebutuhan rumah tangga bersama-sama, itu artinya apa ya? Mereka berdua masih single dan sepanjang waktu terlihat akrab sekali. Balas ya!

"Hahi~!" Haru terkikik. "Sungguh manis! Haru bilang pada I-Pin kalau Haru tak sabar ingin melihat pesta pernikahan ala Italia! Pasti menyenangkan, desu~"

Kyoko memegangi pipinya, "Hana-chan juga bilang padanya bahwa dalam waktu dekat sepertinya akan ada pesta pernikahan."

Haru membungkuk di atas meja. "Ah, ah, Kyoko membalas apa pada I-Pin, desu?"

"Kurasa kedua orang yang dimaksud I-Pin menyukai satu sama lain—atau mungkin lebih dari itu," kata Kyoko. "Hmm, tapi siapa ya dua orang itu?"

"Haru tak punya perkiraan, desu," jemari Haru segera berdansa lincah di ponselnya. "Tapi Haru harap I-Pin tidak lupa mengirim Haru undangan!"

Sore, I-Pin-chan! Haru lupa menambahkan, kalau mereka berdua menikah, jangan lupa undang Haru, Hana-chan dan Kyoko-chan, ya! Omong-omong, apakah Haru kenal dengan dua orang yang I-Pin maksud?

"Terkirim, desu~!"

.

.

3. Pertaruhan Vongola

.

Gokudera menunggu sampai Fran sudah jauh dari ruang makan sebelum berbicara. "Hei, ada apa sih di antara Hibari dan Arcobaleno itu?"

Tsuna dan Yamamoto yang sedang makan siang bersamanya mengangkat bahu bersamaan. Pintu ruang makan terbuka, memperlihatkan Sasagawa Ryohei dengan lebam di mata kirinya.

"Onii-san!" seru Tsuna, "matamu kenapa?"

"Oh? Tadi aku masuk ke ruang latihan dan mendapat hantaman super EKSTRIM!" Ryohei terlihat senang. "Ini nih yang menghantamku!" ia melempar sesuatu pada Yamamoto—yang refleks menangkapnya sebelum mendarat di atas makan siangnya.

Benda itu berbentuk tangan manusia yang terkepal, namun terbuat dari berlian berkilauan. Tsuna langsung mengenalinya sebagai ilusi sungguhan. Ruang latihan yang dimaksud Ryohei pastilah berisi Mammon.

"Maa, senpai, Mammon-san pasti sedang bersiap-siap melatih Hibari sore nanti," kata atlet baseball itu.

"Kedengarannya latihan yang EKSTRIM banget!"

"Nggak mungkin!" sambar Gokudera, "mana mau Hibari dilatih ilusionis? Pasti sebentar lagi Arcobaleno itu akan kembali babak belur."

"Aku yakin Hibari sedang latihan—"

"Dibilang nggak mungkin, dasar maniak baseball!"

"Tapi Mammon-san guru yang baik, lho…"

"Mau bertaruh?" mata Gokudera menyipit. Yamamoto menyanggupinya.

"Aku bertaruh Hibari sedang berlatih menghadapi ilusi," katanya dengan senyum masih terpasang lebar.

"Aku bertaruh Hibari hanya ingin menggigit ilusionis itu sampai mati," Gokudera mengulang pendapatnya, "berhubung Mukuro tidak ada."

"Aku ikut!" Ryohei meninju udara. "Hibari dan Mammon sedang berduel super EKSTRIM! Bayangkan, tujuh hari berturut-turut! Uooohh!"

Tsuna yang sedari tadi makan dengan kalem sambil menonton ketiga Guardiani-nya akhirnya berbicara juga. "Apapun yang terjadi di antara Hibari-san dan Mammon, aku bertaruh pasti ada hubungannya dengan Fon."

"Maa, Tsuna," ujar Yamamoto, "apakah Hyper Intuition-mu mengatakan sesuatu tentang hal ini?"

Tsuna hanya tersenyum mendengar pertanyaan Yamamoto. Perut Ryohei tiba-tiba terasa aneh—ia merasa tak akan menang dalam taruhan ini.

.

.

4. Sang Licik yang Licin

.

Fon sedang mengisi wadah biji-bijian di sangkar burung ketika ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. "Viper," panggilnya.

"Ah, nggak seru," Mammon muncul dari gumpalan kabut, pipinya sedikit menggembung karena gagal mengejutkan si kempoka. Ia memasang ilusi yang membuat percakapan mereka tidak terdengar oleh pihak ketiga.

"Hibari masih bertempur di luar…?" Fon melirik ke pintu belakang, tempat suara-suara ribut berasal.

"Aku membuatnya sibuk dengan ilusiku," Mammon membuka kulkas dan mengambil segelas air dingin. "Dan aku harus bilang bahwa kau licik juga, Fon, sampai memanfaatkan murid kesayanganku segala."

"Xie xie," Fon mengangguk, "kuanggap itu sebagai pujian."

Sudut bibir si ilusionis terangkat ke atas. "Untung sekali kita sempat membuat rencana sebelum acara belanja itu. Keponakanmu benar-benar keras kepala, tahu."

"Tapi ini cara yang paling cepat," kata Fon. "Diplomasi tak akan berlaku kalau sudah menyinggung soal cara hidup karnivoranya. Kita—kau harus terlihat mengikuti alur yang dibuat Hibari." Ia menyisiri rambut dengan jarinya, "aku kaget juga waktu Hibari menyimpulkan bahwa tawaranku agar kau menginap di sini adalah lamaran terselubung."

"Uhuk!" Mammon tersedak air dinginnya. "Dia… dia bilang apa!?"

Melihat pipi Mammon yang memerah, Fon nyengir. "Oh, dia bilang aku tak boleh berpasangan dengan herbivora… kalau kau tahu maksudku."

"Muuu! Dasar anak jaman sekarang," umpat Mammon pelan. Diletakkannya gelas yang sudah kosong di bak cuci piring. "Aku harus melanjutkan duelku… kurasa kau sudah memodifikasi segel bom I-Pin?"

"Tentu saja. Segelnya kuubah agar melemah mendengar ejek—ahem, kata-kata Fran dan daya rusak bomnya kuperkecil," Fon menutup sangkar setelah seekor burung kenari kuning masuk ke dalam, terpikat oleh sewadah penuh biji-bijian. "Ah, Viper?"

"Mu?"

Dikecupnya pipi si ilusionis. "Hati-hati, dear." Pipi Mammon masih bersemu merah pekat ketika ia kembali ke area duel.

Fon bersandar di pintu, mengamati jalannya pertarungan dari keributan yang dihasilkan. Ketika bunyi ping terdengar dari halaman, sang kempoka—dengan spatula di tangan—segera membuka pintu dan berseru keras.

"Hibari-kun, I-Pin! Waktunya makan malam!"

.

.

5. African Sunset

.

Pemandangan matahari terbenam di sabana liar Afrika memang indah. Tanah berselimut rerumputan pendek, pohon-pohon berdahan lebar membentuk kanopi; memberi tempat bernaung bagi hewan-hewan.

Sekawanan singa berteduh di bawah salah satu pohon tersebut. Si jantan, ketua kawanan, sedang tidur. Para betina dewasa berbaring malas, perut mereka sibuk mencerna hasil buruan siang tadi. Mata mereka yang sayu karena kantuk tetap tajam mengawasi anak-anak singa yang masih bermain-main.

Permainan para singa kecil terhenti ketika salah satu anak melihat makhluk berkaki dua berlari tak jauh dari pohon mereka. Makhluk itu manusia jantan—tapi wujudnya tidak seperti manusia berkulit hitam yang biasa dilihatnya. Kulitnya cerah dan bulu di kepalanya berwarna biru; bentuknya mirip nanas, lagi.

Salah satu anak singa berguling-guling tertawa melihat si manusia. Anak lain yang berniat mengejarnya dicegah oleh salah satu betina dewasa.

Tak jauh di belakang si manusia terdapat awan debu bergulung-gulung. Dari dalamnya keluar manusia-manusia berkepala-mirip-nanas lain. Berbeda dari manusia jantan pertama, mereka lebih aneh. Bulu-bulu palsu berwarna mencolok—merah jambu, kuning, bermotif-hati—melingkar di bahu mereka. Tubuh mereka yang berotot dibalut kain-kain cerah. Sepatu hak tinggi membungkus kaki mereka. Jelas sekali mereka jantan, tapi penampilan mereka meneriakkan feminitas ke mata singa-singa itu.

Kali ini salah satu betina dewasa ikut berguling tertawa melihat kawanan aneh yang berlari melalui pohon mereka.

Para manusia jantan-tapi-betina itu berteriak-teriak—yang tentu saja tak berarti apa-apa bagi para singa—tetapi bagi si manusia jantan, isi teriakan itu menjadi alasannya untuk terus berlari.

"Ciiiynntaaaaah~ tunggu dakuuu~!"

"Udah jauh-jauh, lho, kita susul dari Italia~!"

"Sialan!" si manusia jantan menoleh dan mengumpat. "Bagaimana kalian tahu aku ada di sini?"

"Dari Tuiter, say~!"

"Tepatnya dari seseorang berakun hibirdsaurus!"

Sang singa jantan akhirnya terbangun karena kebisingan itu. Ia menguap lebar-lebar, memamerkan taringnya dan mengamati sumber keributan.

"Begitu aku sampai di Italia akan kukirim Hibird ke neraka, Hibari Kyouya!" raung Rokudo Mukuro. "KUFUFUFU~~!"

Puas mengamati kawanan manusia-banci mengejar si manusia jantan dengan matahari terbenam di latar belakang, sang singa kembali merebahkan kepala. Ia akhirnya paham mengapa manusia senang bertingkah aneh.

Mereka semua sinting.

.

.

TAMAT!


Glosarium:

Lamprey: ikan tak bertulang rahang yang wujudnya mirip belut—tapi lebih mirip Uroboros-nya Mammon. Beberapa spesies lamprey bersifat parasit, makan dari darah ikan lain. Pertama kali muncul pada zaman Devon dan masih ada sampai hari ini sehingga digolongkan sebagai fosil hidup.

Velociraptor: dinosaurus karnivora kecil yang sering berburu dalam kawanan. Dua kaki depannya dilengkapi cakar melengkung tajam sehingga fungsinya lebih mirip tangan. Panjang tubuhnya sekitar dua meter dengan tinggi sama dengan manusia dewasa. Hidup pada masa Cretaceous Akhir.

A/N: iya, udah tamat. Begetoh. Terima kasih sudah baca, alert, fave dan terutama me-review fanfic ini~! Bagi yang ingin meninggalkan review, kalau bisa login ya, biar lebih mudah dibalasnya. Ada yang punya unek-unek, kritik, saran? Semua akan diterima dengan tangan terbuka, jadi jangan ragu mengisi kotak di bawah ini :)