Around Us
.
By: Emily Weiss
Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: Sasuke Uchiha - Sakura Haruno
.
.
SasuSaku's sweet drabbles
.
Chapter 2: Aku benci gadis yang terlalu cantik. Aku benci mencintai salah satunya. Cih. [PoV: Sasuke Uchiha]
Chapter two: I Hate Pretty Woman, Especially You
[PoV Sasuke Uchiha]
.
.
.
Aku selalu suka menatap pemandangan luar dari balik jendela, merasakan keramaian dengan melihat saja sudah cukup untukku. Aku tidak suka hiruk pikuk, lebih suka begini. Sayangnya kebiasaan ini selalu membuatku merenung, melamun. Dan kebanyakan yang sering aku pikirkan adalah Sakura Haruno. Kalau kau mau tahu, ia adalah kekasihku.
Akut tidaklah tuli, aku bisa mendengar mereka bilang bahwa aku sangatlah tampan dan cocok bersama Sakura yang sangatlah cantik. Tidak, jangan berpikir seperti itu, walaupun aku merasa bahwa aku tidak buruk. Apa, hah? Aku hanya berusaha bersikap jujur, lagipula ini bicara dengan diriku sendiri. Jadi lebih baik kau dengarkan saja.
Baik, aku akui, aku suka penampilanku dan bersyukur Kami-sama memberiku anugrah seperti hidung mancung dan mata tajam seperti ini. Sewaktu kecil, harus aku akui sekali lagi, aku sampai benci bahwa aku begitu tampan—yang aku dengar dari orang-orang. Bukannya aku tidak bersyukur atau tinggi hati. Hanya saja, asal kau tahu, penggemar wanita itu sangat merepotkan, dan menanggapi mereka adalah buang-buang waktu dan sangat tidak Sasuke. Yang mereka bilang misterius dan cool. Padahal bukan keinginanku untuk jadi seorang pendiam, kutu buku, dingin, cuek, dan lain sebagainya. Sudah kebiasaan. Dan tidak berniat untuk mengubahnya. Lagipula, aku tidak peduli.
Aku tidak mau bicara panjang lebar—sekalipun bicara dengan diri sendiri. Kembali pada pokok pikiranku tadi, Sakura Haruno.
Sekarang ia sedang makan di hadapanku dengan lahapnya, seakan-akan sushi itu akan melarikan diri. Padahal, makanan itu tidak akan lari kemana-mana selain ke perutnya. Mulutnya kemerahan, pasti kepedasan karena wasabi yang ia makan dengan tidak manusiawi. Aku bisa melihat bulir keringat mengalir dari pelipisnya, padahal udara sedang dingin. Aku jadi tidak mengerti dengan selera makan wanita ini. Profesinya model, tetapi kebutuhan pangannya seperti korban perang.
.
.
Sasuke mendengus, "Makanlah perlahan."
Sakura menghentikan suapannya, sumpit di jemari lentik itu mengambang di udara. "Aku lapar." ujarnya sambil kembali makan.
.
.
Aku memperhatikan sosok itu sekali lagi. Aku malas mengakuinya tapi sebenarnya Sakura ini cantik juga. Sejujurnya, dia bukanlah satu-satunya wanita cantik yang pernah aku lihat. Tuhan banyak menciptakan perempuan di sekelilingku dengan keelokan di atas rata-rata, aku mengakuinya. Bahkan bagiku, ada saja wanita yang lebih cantik dari Sakura. Tetapi wanita dihadapanku ini, berbeda.
Dia mempesona.
Cih, aku sungguh canggung mengakuinya. Memuji orang bukanlah keahlianku. Memuji tidak termasuk 'hal penting untuk dibicarakan', meskipun aku mencintai gadis yang saat ini hidungnya kembang kempis karena kepedasan makanan.
Cinta? Hal abstrak yang bodoh itu. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya atau senyawa kimia apa yang ada di dalam tubuhku, sehingga bisa mencintai orang seperti dia. Bagaimana aku bisa—secara tidak sadar- menurunkan gengsi, membuang rasa egois, mengalah dan hal-hal lain yang sangat tidak Sasuke—sangat bukan diriku. Bagaimana hal abstrak itu membodohi seseorang seperti aku, membuatku melakukan segalanya asal tidak kehilangan Sakura. Bagaimana hal abstrak yang bodoh itu, menghipnotis pikiranku untuk menyamakan kebutuhanku akan Sakura seperti kebutuhanku akan oksigen.
Cih, aku melantur. Hiperbola.
.
.
.
Pemuda dengan rambut gelap itu membuang pandangan ke jendela. Hari semakin larut dan suhu udara yang meninggi mulai terasa menggigit. Sasuke menghembuskan nafas hangat dari mulutnya, menciptakan uap-uap serupa kabut tipis.
"Sasuke-kun, kau kedinginan?"
"Hn."
"Mau ramen ini? Akan hangat melalui kerongkonganmu."
Sasuke menggeleng. "Makanlah, jangan sampai kau kelaparan."
Gadis beriris hijau itu mengerucutkan bibirnya, "Tapi aku sudah makan seporsi sushi dan sebagian ramen ini. Aku mulai kenyang."
Sasuke menoleh pada gadis itu. "Tinggalkan saja kalau begitu."
"Pamali tahu, di bagian lain dunia ini ada orang yang mengais tanah untuk mencari makan. Masa kau tega membiarkanku menyisakan makanan sedangk-"
.
.
Aku menatap Sakura dengan datar, tanpa pikiran apapun terlintas. Hanya memandangnya dengan kosong. Aku lebih suka melihat dia berbicara daripada mendengarkannya. Menangkap setiap figurnya membuka mulut, mengerutkan dahi, menaikkan alis, mengerucutkan bibir, hingga hidungnya yang kembang kempis—dia lumayan sering melakukannya. Terlalu banyak ekspresi. Melihatnya tanpa benar-benar mendengarnya, seperti saat kau menonton drama tetapi kau menekan tombol mute. Membuatku ingin tertawa saja.
.
.
"Dammit, Sasuke. Kau tidak mendengarkanku kan? Kau malah menyeringai seperti itu lagi. Apasih yang sedang kau pikiran, kau seperti orang kehilangan akal dan-"
.
.
Sangat cerewet. Bosan sekali mendengarnya bicara. Tapi anehnya, aku tidak ingin dia diam. Lebih baik aku mendengarnya mengomel setahun penuh daripada ia bungkam selama sehari, seperti pertengkaran kami yang lalu. Jadi lebih baik aku minta maaf saja lah.
Kuharap permintaan maafku tidak akan membuatnya semakin manja dan mudah menggerutu. Tapi apa aku harus minta maaf? Lagipula, aku tidak salah apapun. Ya, lebih baik aku diam saja, Sakura bukan wanita yang seperti itu. Aku terlalu khawatir berlebihan.
Bagaimanapun, aku memang tidak mau kehilangannya. Tidak mau melewatkan satu frame saja dari wajahnya. Aku rasa, aku bisa melihatnya bicara berjam-jam. Tanpa alasan. Aku .. hanya suka saja melihatnya. Gadis itu tak hanya cantik dengan caranya sendiri, tapi entah bagaimana bisa terlihat memukau.
Dilihat sekilaspun orang pasti tahu.
Dan bagian inilah yang kubenci. Saat mata orang—terutama lelaki- melihatnya dengan tatapan bayi yang kelaparan. Beruntung Sakura tidak cepat terbawa angin dan bersikap acuh pada mereka, jadi masalah lelaki jelalatan itu masih bisa ku toleransi, walau kadang membuatku jengah juga. Karena mengajak mereka berkelahi adalah hal tidak berpendidikan, aku memilih mengeluarkan ribuan pisau dari tatapan mataku. Kalau perlu sampai mereka terbunuh. Sayangnya, mereka tak mati betulan. Dan sepertinya aku memang tidak ingin hal seperti itu terjadi.
Lagipula, semenjak bersamanya, aku belajar banyak tentang take and give, gadis itu tahu aku tidak suka melihat dia terlalu dekat dengan orang lain. Jadi ia sangat menjaga perasaanku. Begitu pula denganku yang tak jarang mendapat perlakuan lebih dari kaum hawa. Aku secara sadar akan menampik mereka, selain karena aku tidak peduli, karena aku juga ingin menjaga perasaan dan kepercayaan gadisku.
Walaupun kenyataannya, masih banyak saja laki-laki tidak tahu diri yang mencoba mendekati Sakura. Rasanya ingin marah memikirkan hal apa yang membuat mereka begitu nekatnya mendekati wanita berpacar. Apalagi Sakura orangnya terlalu ramah, terlalu polos, dan terlalu bodoh untuk menolak mereka mentah-mentah. Terlalu naif untuk menyadari niat terselubung laki-laki disekitarnya. Terlalu rendah hati untuk menyadari kemolekan wajah dan tubuhnya.
Susah membuat Sakura menjaga jarak dengan lelaki di seluruh dunia. Bukan saja karena gadis itu hangat dan sangat welcome tapi juga karena kebanyakan laki-laki di sekitarnya terlalu bermuka tebal. Tidak tahu diri.
Tak jarang Sakura menentang opiniku tentang mereka dan tak lelah mengingatkanku untuk berpikir positif. Gadis ini benar-benar tidak bisa berpikir relistis. Tidak bisa dihitung berapa kali ia mengataiku overprotective. Cih. Wanita keras kepala.
Membuatku ingin marah saja.
Aku benci mencintai wanita cantik seperti dia. Susah menjaganya.
-FIN-
Hugs and kisses,
Ems.