A/N : Yap, ini adalah fic saya yang kedua belas. Fic ini mengenai percintaan, seperti biasa, dan maaf kalau kisahnya (mungkin) terlalu biasa. Atau bisa juga, karakternya agak OOC. Fic ini terbentuk karena inspirasi dari lagu SNSD dengan judul yang sama, berhubung saya cinta sekali dengan SNSD hehehe. Oke deh, enjoy this fic! Semoga saja fic ini bisa menghibur anda semua. Mohon read and review ya, makasih.

Oh ya, FF VII bukan milik saya, tapi milik SE. Saya membuat fic ini murni karena saya suka dan ingin memperluas imajinasi saya, bukan untuk mencari keuntungan.

OH!

-Story 1-

Seorang wanita berambut panjang tengah melangkahkan kakinya menuju ke gedung sekolah yang ada di depannya. Di gerbangnya, terdapat huruf 'SMA MIDGAR' yang ditulis besar-besar. Hatinya yang deg-degan membuat setitik keringatnya menetes. Rambut panjangnya terlambai-lambai angin yang berhembus. Tangan kanannya terus merapikan seragam putih berlengan pendeknya. Sementara tangan kirinya terus menggenggam erat tasnya. Dan di kantong kemejanya, tergantung sebuah name tag bertuliskan 'Tifa Lockhart', namanya. Sebenarnya dia tidak metasa nyaman dengan ini, tetapi apa boleh buat. Memang peraturannya sudah begitu.

Sekarang masih jam setengah sembilan pagi, atau setengah jam setelah bel masuk kelas berbunyi. Tifa mengambil napas panjang dan memantapkan langkahnya. Ini adalah hari pertamanya sekolah. Jangan sampai dia terlihat bodoh di sini. Tifa merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas putih. Setelah membacanya sebentar, dia langsung mengangguk dan memasuki gedung sekolah. Di dalam, dia langsung menengok ke sana kemari.

"Ruang guru. Dimana ruang guru?" gumamnya.

Karena tempat ini adalah baru baginya, tentu saja Tifa akan sangat kebingungan dalam mencari dan menemukan sebuah tempat. Apalagi, SMA Midgar ini begitu luas. Lorongnya begitu panjang dengan deretan kelas-kelas. Dan Tifa juga tidak bisa menemukan TU alias Tata Usaha untuk bertanya. Aduh, kenapa sih dia harus masuk jam setengah sembilan? Kalau dia masuk setidaknya setengah jam lebih awal, kan dia bisa bertanya pada murid-murid di sini.

Menyadari tidak ada jalan lain, akhirnya Tifa nekat saja terus mencari. Dia terus berjalan menyusuri lorong sambil celingak-celinguk. Sebelah kiri adalah ruangan kelas 1-1. Sebelah kanan adalah kelas 1-3. Lalu 1-4, 1-5, 1-6, 1-7, dan kemudian... tangga untuk naik ke atas. Sekarang dia kelas dua SMA, mungkinkah itu berarti kelasnya ada di lantai dua ? Untuk mengetahuinya, Tifa segera melangkahkan kaki ke tangga dan naik ke lantai selanjutnya. Dengan harapan semoga ruang guru juga ada di sana.

"Apakah kau yang bernama Tifa Lockhart?"

Tifa menoleh ke belakang yang juga adalah asal dari suara yang memanggilnya. Dan matanya menangkap sosok seorang perempuan cantik berambut cokelat dan dikepang. Warna matanya hijau, dan pita merah yang mengikat kepangnya membuatnya semakin cantik. Dan dari seragam yang dikenakannya, sudah pasti dia adalah siswa sekolah ini.

"Em, ya."

"Perkenalkan, namaku Aerith Gainsborough. Sebenarnya aku ditugaskan untuk membawamu ke kelas, tetapi aku ada sedikit urusan. Jadi terlambat deh."

"Tidak apa-apa. Jadi, kau tahu ruang guru ada dimana?"

"Tentu, ada di lantai tiga. Ikutilah aku."

Lantai tiga? Sambil mengangguk, Tifa mengikuti langkah Aerith dan berjalan menaiki tangga. Dan lantai dua, lantai ini juga tidak kalah luas dengan lantai yang pertama. Ya ampun, sepertinya dia akan sangat kelelahan karena harus berjalan di lorong yang luas, dan kemudian menaiki tangga yang lumayan tinggi. Belum lagi, dia berjalan dari rumah karena jaraknya yang kebetulan dekat.

"Kau pindahan?"

"Eh? Iya. Aku berasal dari Nibelheim."

"Wow, kota itu kan jauh sekali? Kenapa kau pindah ke sini?"

"Yah, berhubung ada urusan keluarga. Jadi mau tidak mau, aku harus pindah."

"Oh..."

Yang dikatakan Tifa adalah bohong belaka. Faktanya, kedua orangtua Tifa belum lama ini bercerai. Penyebabnya adalah kebiasaan buruk ayah Tifa yang suka sekali minum-minum. Ditegur berkali-kali juga tidak membuatnya berhenti. Klimaksnya, bahkan sampai memukulnya dan ibu Tifa. Menyadari tidak ada jalan lain, akhirnya ibu Tifa mengajukan gugatan cerai karena tidak tahan dengan perlakuan suaminya. Tanpa mengurus harta gono-gini dan hak asuh anak. Sebagai penopang hidup, ibu Tifa membuka usaha restoran ramen sendiri. Modalnya berasal dari tabungan selama belasan tahun.

"Apa kau sudah memutuskan mau masuk klub mana?"

"Klub?"

"Iya, klub. Sudah tahu mau masuk yang mana?"

"Entahlah, aku belum memutuskan."

"Oh, kebetulan ada banyak sekali ekstrakurikuler di sini. Mulai dari basket, futsal, cheerleader, marching band, modern dance, dan lain sebagainya."

Tifa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Yah, memang ada banyak. Bahkan jauh lebih banyak dari sekolahnya yang dulu.

Mereka berdua kini tiba di lantai dua. Dan tiba-tiba saja, bunyi 'kriiing' yang begitu keras terdengar hingga mengagetkan Tifa. Ternyata itu adalah bel pergantian jam pelajaran. Dan karena sekolah ini menggunakan sistem moving class, murid dari kelas yang hanya satu jam pelajaran langsung berbondong-bondong keluar. Ekspresi wajah mereka juga beragam. Ada yang senang, ada yang biasa saja, ada juga yang stres berat. Dan kelihatannya, mereka tidak melihat Tifa yang juga adalah murid baru.

Mereka menaiki tangga lagi yang terletak tepat di sebelah kiri. Mereka agak sulit berjalan karena tangga dipenuhi oleh murid-murid. Ibaratnya seperti mobil yang mencoba menerobos kemacetan, hampir mustahil. Setelah dua menit 'berjuang' melewati kerumunan murid-murid, akhirnya mereka tiba di lantai tiga. Tifa menghempuskan napas sementara Aerith hanya tersenyum. Kelihatannya dia sudah terbiasa.

"Ruang guru ada di ujung lorong sebelah kanan, ayo," kata Aerith.

Lantai tiga ini dipenuhi oleh sederet kelas untuk siswa kelas tiga. Dasar, rasanya pembagian kelas-kelas ini seperti kamar hotel saja. Tapi yah jujur saja, itu sangat mempermudah. Kalau sekolah lamanya sih, urutan kelasnya sungguh acak-acakan.

"Oh ya em, Aerith."

"Ya?"

"Kau kelas berapa? Tadi kau belum memberitahu kelasmu."

Aerith tersenyum. "Aku sekelas denganmu kok."

Tifa memasang ekspresi tidak percaya.

"Dan lagi, aku adalah ketua kelas."

Tifa jadi bertambah tak percaya. Wow, sepertinya wanita yang ada di depannya ini adalah tipe yang sempurna. Cantik, anggun, menawan, sederhana, pandai, dan bisa menjadi pemimpin. Bisa gawat seandainya mereka menyukai satu pria yang sama. Mungkin dia akan kalah dan pria itu akan memilih Aerith. Memutuskan untuk tidak menanyakan apa-apa lagi, Tifa mengatup mulutnya rapat-rapat dan melihat deretan kelas di sebelah kirinya sembari berjalan.

Ketika mereka sudah berada di depan pintu, tiba-tiba saja Aerith memberikan isyarat untuk menyuruh Tifa untuk berhenti. Tubuh Tifa langsung bergerak sesuai dengan komando, dan kemudian, Aerith mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Kenapa dia tidak disuruh langsung masuk saja sih?

Tifa terus berdiri di sana sambil melihat jam tangannya sesekali. Sudah lima menit. Apa sih yang sedang dilakukan Aerith? Tifa kira, dia hanya tinggal masuk dan kemudian memperkenalkan dirinya kepada para guru-guru di dalam. Rasanya bosan meski waktu hanya berjalan sebentar.

"Maaf, kau menghalangi jalan," kata seseorang di belakangnya.

Tifa langsung merasa kaget dan membalikkan tubuhnya. Dan ternyata, sekarang dia tengah berdiri tepat di depan pintu ruang guru. Awalnya Tifa ingin langsung minta maaf, tetapi entah mengapa malah matanya yang bertindak duluan. Sosok seorang laki-laki tampan yang tingginya mungkin sepuluh senti di atasnya, matanya biru muda, dan model rambutnya sungguh tidak biasa, tetapi cocok dengan wajahnya yang begitu... tampan.

Astaga, apakah sekolah ini memang sarangnya manusia rupawan?

"Maaf?"

Pertanyaan itu membuat Tifa tersentak dan sadar kembali. Dengan sedikit panik, Tifa berpindah posisi dan mempersilahkan laki-laki itu untuk masuk ke ruang guru.

"Maafkan aku, aku bengong," kata Tifa.

"Hati-hati lain kali."

"Em... ya."

Laki-laki jabrik itu segera berjalan kembali dan membuka pintu berwarna cokelat yang juga adalah pintu ruang guru. Wah, ternyata dia cukup dingin juga. Sepertinya bukan tipe yang enak untuk diajak mengobrol tuh. Dan sepertinya, dia anak kelas tiga. Dalam arti lain, kakak kelas.

Suara langkah kaki terdengar dari dalam ruang guru. Tidak lama kemudian, muncullah sosok Aerith yang tengah tersenyum.

"Masuklah, Tifa. sensei ingin bertemu denganmu."

...

Cloud Strife sungguh merasa kesal hari ini. Saat pertandingan basket tadi, timnya kalah dan dia harus mentraktir tim lawan dengan lima kaleng Elixir, minuman olahraga yang harganya cukup mahal. Kemudian saat pelajaran, seorang temannya mengusilinya dengan beberapa kali melempar remahan kertas tanpa maksud yang jelas. Parahnya , dia melakukannya terus menerus sampai membuat Cloud sampai tidak dapat lagi membendung kekesalannya dan ia langsung menghampiri temannya itu. Sehingga guru yang sedang mengajar segera menegur bahkan memarahinya. Sebagai hukuman (tambahan), Cloud disuruh untuk menemui guru BP agar ia bisa diceramahi dan diberi nasehat untuk introspeksi. Astaga, padahal hanya gara-gara kesalahan kecil saja.

Ketika bel sekolah berbunyi, itu adalah pertanda bahwa dia harus segera menemui guru BP. Dengan malas dan rasa kesal yang masih tersisa, Cloud melangkahkan kakinya menuju ruang guru. Dan mungkin karena kesal, dia berjalan sambil membungkukkan kepalanya dan merenggut sendiri. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau di depannya ada orang. Seorang wanita berambut panjang. Kenapa juga dia berdiri di depan pintu?

"Maaf, kau menghalangi jalan," katanya dingin.

Perkataannya membuat wanita itu kaget dan membalikkan tubuhnya. Tetapi alih-alih minta maaf, dia malah memperhatikan wajahnya dalam waktu lama. Seolah-olah yang ada di depannya adalah aktor terkenal sedunia dengan sejuta pesona. Astaga, kalau saja dia bukan wanita, mungkin Cloud akan berbicara lebih kasar lagi.

"Maaf?" tanyanya lagi sambil menahan emosi.

Wanita itu kembali terkaget-kaget, dan kemudian dia langsung minggir untuk memberi jalan.

"Maafkan aku, aku bengong."

"Hati-hati lain kali."

"Em... ya."

Setelah memalingkan wajahnya, Cloud berjalan memasuki ruang guru dan mencari sosok guru BP yang harus ditemuinya. Tetapi dia tidak ada di mejanya. Padahal biasanya Kazuhito sensei, sang guru BP, selalu duduk di mejanya sambil membaca berkas-berkas yang seolah tidak ada habisnya.

Penasaran, Cloud memutuskan untuk bertanya kepada guru laki-laki yang duduk tak jauh di depannya. Namanya adalah Akihiko sensei, guru Sejarah yang tahun ini menginjak usia empat puluh tahun.

"Maaf, sensei."

"Hm? Ada apa Cloud-san?"

"Apakah Kazuhito sensei masuk hari ini? Biasanya dia selalu ada di mejanya tetapi hari ini dia tidak ada."

"Kazuhito? Aaah, dia izin pulang cepat hari ini."

"Izin pulang cepat?"

"Yah, katanya isterinya sedang berada di Rumah Sakit. Kabarnya kecelakaan."

Cloud menganggukkan kepalanya dengan sedikit rasa simpatik.

"Ada keperluan apa kau ingin bertemu Kazuhito? Mau kusampaikan pesan?"

"Ah, tidak usah. Terima kasih sensei."

"Sama-sama. Kau sedang kelas apa sekarang?"

"Kelas Seni, sensei."

"Kelas seni ya? Hm..."

Akihiko menoleh untuk melihat jadwal yang terpasang di papan.

"Wah, ternyata nanti aku harus mengajar kelas 1-2. Mereka belajar sampai bab berapa ya?"

Dengan kedua tangannya, Akihiko mengambil agenda miliknya dan membolak-balik halamannya. Cloud hanya melihatnya dengan heran.

"Anu, sensei. Kalau begitu saya permisi du—"

Sebelum Cloud menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba matanya menangkap sosok seseorang yang berjalan masuk dan tengah tersenyum pada salah satu guru. Dan sosok itu adalah...

"Perkenalkan sensei, nama saya Tifa Lockhart. Saya adalah murid pindahan dari Nibelheim."

Gadis yang ditegurnya tadi.

"Ah, salam kenal. Bagaimana kesan pertama di sekolah ini?" tanya sang guru.

"Lumayan, tapi muridnya banyak sekali."

"Ha ha ha, begitulah sekolah kami. Kau tidak bisa membayangkan total seluruh murid di sini."

Gadis yang bernama... er, Tifa. Ternyata dia murid baru ya? Pantas saja waktu dia bertemu dengannya tadi, Cloud merasa tidak pernah melihatnya. Yah, dia memang tidak mengenal semua siswa di SMA ini, tetapi dia bisa membedakan siapa yang murid dan yang bukan murid.

Entah karena penasaran atau apa, Cloud yang seharusnya kembali ke kelas malah tetap diam di sana dan mendengar pembicaraan Tifa dengan guru yang ada di depannya. Oh ya, nama gurunya adalah Kasumi sensei, guru Matematika yang sangat baik hati. Mereka berdua terus berbicara sampai Kasumi tiba-tiba menolehkan kepalanya pada Cloud.

"Cloud kemarilah."

Cloud mengerutkan dahinya. "Hah?"

"Sebagai seorang pemain basket andalan sekolah, tidak ada salahnya kau memperkenalkan diri, kan?"

...

Pemain basket andalan sekolah?

Mulut Tifa membentuk huruf 'O' ketika mendengar itu. Ternyata laki-laki tampan yang menegurnya tadi adalah pemain basket andalan? Tetapi tunggu dulu, rasanya semua itu memang masuk akal ketika melihat bentuk tubuhnya yang tinggi dan berotot. Dan ekspresi wajahnya itu, seperti tidak rela. Bahkan hanya untuk sekedar bersalaman dengannya saja.

Melihat Cloud yang tidak bergerak juga, akhirnya Tifa memutuskan untuk bertindak duluan. dia berjalan mendekati Cloud dan kemudian menjulurkan tangan kanannya. Bibirnya membentuk senyum. Usaha untuk memberikan citra baik pada seseorang yang baru saja dikenalnya.

"Tifa Lockhart, senang berkenalan denganmu," kata Tifa. "Senpai."

Ekspresi wajah Cloud jadi semakin aneh ketika dia mendengar kata 'senpai'. Tetapi akhirnya, dia ikut menjulurkan tangannya dan membalas jabatan tangan Tifa.

"Ya, senang berkenalan denganmu juga."

Mereka berdua saling bertatapan sesaat. Dan kemudian, mereka melepaskan tangan mereka dan suasana diantara mereka jadi... canggung.

"Baiklah, berhubung perkenalan sudah selesai," sela Kasumi. "Mari kita ke kelas, Tifa dan Aerith. Dan Cloud, kembalilah ke kelasmu."


Mohon sampaikan review dengan mengisi kotak di bawah ya, makasih :) hehehe.