Aloha semuanyaa! Maaf banget bru bisa publish sekarang, kemaren" abis lebaran sibuk buat OSPEK, wihhh, capekk banget. Moga" kalian maklum ya dengan keleletan saya, hehehe *digampar-reader. Oh ya, minal aidin ya jika author-yang-malas ini punya kesalahan, mohon maaf lahir batin :). Saya juga minta doanya agar bisa memasuki masa perkuliahan dengan lancar :D. Yaudh langsung baca aja, caww
Lagi-lagi Hinata bermimpi hal yang sama. Masih diruangan yang dipenuhi oleh cahaya. Namun kali ini cahaya-cahaya itu lebih menyilaukan dari sebelumnya. Ia merasakan ketenangan dan rasa aman yang tak asing dihatinya. Perlahan namun pasti, cahaya-cahaya menyilaukan itu mulai meredup, menampilkan sesosok gadis berbalut gaun putih menjuntai. Mata amethys-nya terbelalak mendapati gadis yang kini ada dihadapannya.
Gadis itu.
Ya, gadis itu adalah dirinya.
Bukan, Hinata menggelengkan kepalanya. Gadis itu bukan Hinata. Ia terlihat lebih dewasa dari yang seharusnya.
"Hinata." Gadis itu memanggilnya lirih. Suaranya sarat kepedihan, membuat Hinata merasakan sesak tak terkira.
"Sebenarnya siapa kau?" Kali ini Hinata memberanikan diri bertanya. Ia mulai muak merasakan perasaan ini. Perasaan lemah, kehilangan, dan penyesalan. Perasaaan yang mengingatkannya akan kematian ibunya.
Gadis dihadapannya berjalan mendekatinya kemudian membelai pipi mulus Hinata. "Kau." Tukasnya pelan.
"A-apa maksud-..."
"Aku adalah kau. Kita berdua adalah Hinata. Aku adalah masa lalumu."
Secara tiba-tiba gadis yang mengaku adalah dirinya memeluknya. Awalanya ia merasa aneh, namun kemudian terkejut mendapati gaun yang dikenakan sang gadis kini ternoda akan warna pekat darah. Dimulai dari perutnya, semakin lama rembesan darah semakin membesar. Membuat ketakutan Hinata membuncah. Bisa ia rasakan bau amis besi menyergap indera penciumannya.
"Hei, a-ada apa denganmu!? Kenapa tiba-tiba kau berdarah seperti ini?" Ujar Hinata panik.
"Belum saatnya." Gumam sang gadis lirih, "Maafkan aku, Hinata."
Raut wajah Hinata berubah ngeri saat jemari penuh darah milik sang gadis membelai wajahnya. Secara sempurna, kedua matanya tertutup rapat, dan akhirnya gelap.
Title : Different Life
:
:
:
Disclaimer : Masashi K (Bukan punya saya!)
:
:
:
If You Don't Like, Don't Read, Just Leave
"Hinata-chan, kau baik-baik saja?"
Mata Hinata mengerjap beberapa kali, mencoba beradaptasi dengan cahaya disekitarnya. Terlihat sepupu-menyebalkannya memandangnya khawatir.
"S-Shion?! Apa yang terjadi padaku?"
Pertanyaan Hinata membuat Shion menghela napas panjang, "Kau pingsan. Sasuke-kun yang membawamu kemari."
Manik Hinata menjelajahi ruangan yang kini ia tempati, bau obat-obatan samar menyapa indera penciumannya. Ah, rupanya kini Hinata berada di UKS sekolahnya.
Tak lama mereka berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Hinata, kukira kita tidak bisa menyembunyikannya terus dari Sasuke-kun." Ujar Shion lirih, menyuarakan kegelisahannya.
Manik Hinata melirik tajam, "Apa maksudmu?"
Bukan menjawab pertanyaan Hinata, Shion malah bangkit dari tempat duduknya kemudian membuka pintu ruangan. Terlihat sosok pemuda yang dibenci Hinata memasuki ruangan.
Ekspresinya masih saja datar. Namun jika seandainya kita melihat mata onyx-nya, terlihat kilatan penuh emosi disana.
Dengan gusar Hinata segera memalingkan wajahnya sengaja. Seolah tak sudi menatap wajah rupawan bungsu Uchiha,"Apa yang kau inginkan?" Tanya Hinata dingin, membuat Shion mendelik jengkel pada Hinata yang menurutnya keras kepala.
"Cukup Hinata! Jika terus seperti ini kau semakin menyakiti dirimu sendiri, bahkan kau menyakiti Sasuke-kun."
"Shion, bisakah kau meninggalkan kami berdua?" Tukas Sasuke lembut.
"Sa-Sasuke-kun, t-tapi-..."
"Kumohon. Ada yang perlu kami bicarakan." Lanjutnya tegas. Terperangah sesaat, akhirnya Shion menuruti perkataan Sasuke untuk meninggalkan mereka berdua.
Sebenarnya Shion mengerti, sangat mengerti mengapa Sasuke bersikap begitu padanya. Pasti kekasihnya kecewa padanya. Selain itu Shion yakin, rasa bersalah Sasuke pada Hinata tak urung akan membuatnya terpuruk dalam kesedihan. Shion tak pernah ingin Sasuke menderita. Sejak dulu ia sangat menyayangi Sasuke, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu ia menyetujui permintaan Hinata. Permintaan untuk merahasiakan kecelakaan tujuh tahun lalu dari Sasuke.
Dan pada akhirnya semua menjadi sia-sia.
Lihat saja Hinata yang kini masih memalingkan wajah-nya dari Sasuke. Sementara Sasuke hanya terdiam di tempatnya.
"Maafkan aku."
Mendengar kalimat maaf dari Sasuke untuk sekian kalinya membuat Hinata terhenyak sesaat. Tubuhnya bergetar menahan gejolak campuran emosi dihatinya. Perlahan isakan tangis menyapa pendengaran Sasuke.
Hinata menangis, kembali menangis dihadapannya.
Rasa benci berkecambah di hati Sasuke. Dirinya sendiri terkejut mendapati betapa ia membenci suara tangisan Hinata.
"Kau berhak untuk marah padaku. Aku akan menerima semua kemarahan darimu. Jika kau membenciku, aku tidak keberatan."
Mengusap air matanya, Hinata memalingkan wajahnya menghadap Sasuke. Kali ini ia terkejut mendapati raut wajah pemuda dihadapannya kosong dan hampa. Inikah maksud kata-kata Shion dulu? Raut wajah kesedihan dan penyesalan itu?
"K-kau adalah p-penyesalan terbesarku, Uchiha-san." Dengan susah payah Hinata mencoba berbicara normal, namun sayangnya gagal. Tapi tidak dengan tubuhnya, kali ini ia mencoba bangkit dari tempatnya.
Melihat usaha Hinata untuk bangkit, Sasuke berniat menolongnya. Namun dengan kasar ditepisnya tangan Sasuke sebelum sempat menyentuh Hinata.
Hening. Keadaan begitu hening hingga membuat keduanya merasa tercekik.
"Alasanku merahasiakan kematian Okaa-san darimu karena kupikir aku akan mudah membencimu, Uchiha-san." Tak tahan dengan keheningan yang tercipta, Hinata mulai mengungkapkan alasan sesungguhnya. Alasan mengapa ia merahasiakan kejadian antara dirinya, Sasuke, dan Okaa-san nya.
Kali ini Sasuke menatap heran pada gadis tunggal Hyuuga, "Begitukah?"
Hinata tersenyum miris, "Dengan merahasiakan semuanya, kau tidak akan merasa bersalah seperti sekarang. Sehingga aku dapat terus membencimu."
Tentu Sasuke tidak perlu mengulang pertanyaannya. Otak jenius-nya memproses dengan cepat perkataan Hinata. Memang benar apa yang dikatakan gadis itu. Bila ia tidak mengetahui segalanya, Hinata dapat terus membencinya. Hingga pada akhirnya dirinya-pun akan mulai membenci Hinata.
Dan kali ini Sasuke menemukan fakta baru.
Bahwa dirinya, Sasuke Uchiha, merasa takut untuk pertama kalinya.
Takut jika rencana Hinata membalaskan dendam dengan membuatnya menjadi membenci gadis itu menjadi kenyataan.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" Lelah, Sasuke terlalu lelah menghadapi Hinata. Gadis itu sukses membuatnya menyesal sekaligus marah dan geram disaat bersamaan.
"Tidak ada yang harus kau lakukan, Uchiha-san."
Benar, tidak ada yang bisa ia lakukan. Hinata tidak mungkin memaafkannya semudah itu. Kau terlalu berharap, Sasuke.
Tanpa menunggu jawaban Sasuke, Hinata segera pergi meninggalkannya. Gadis itu tidak tahu betapa aroma lavendernya meninggalkan jejak kuat dipikiran sang Uchiha.
Tak terasa bel pulang berbunyi nyaring, membuat Hinata tersadar dari lamunannya. Matanya terpejam erat sebelum kemudian membereskan buku-buku pelajaran yang terhampar di mejanya.
Sementara itu kedua sahabatnya menatap Hinata gelisah. Tentu Sakura dan Ino merasa amat bersalah telah 'mengkhianati' Hinata dengan membawa sang gadis menemui Sasuke. Apalagi insiden pingsan Hinata membuat rasa bersalah mereka semakin besar. Walaupun agak ragu, Ino menghampiri Hinata perlahan.
"A-ano, Hinata-chan. Apa kau baik-baik saja?"
Sunyi, tak ada respon dari Hinata membuat Ino semakin menciut. Walau mereka baru bersahabat saat penerimaan masuk Konoha High School, Ino sangat mengetahui tabiat Hinata. Sahabatnya itu merupakan pribadi yang kuat, ramah, dan baik hati. Hinata juga tidak gampang marah jika mereka melakukan kesalahan. Namun satu hal yang paling Hinata benci, pengkhianatan.
Memang sekilas terlihat perbuatan Ino dan Sakura hanyalah masalah sepele. Namun sayangnya mereka mengetahui masalah antara Hinata dengan Sasuke. Hinata pernah memberikan garis besar masalah itu pada mereka.
"Ne, Hinata-chan. Apa kau marah pada kami? Kami tidak bermaksud mengkhianati kepercayaanmu. Namun Sasuke-..."
"Tidak masalah Ino-chan, Sakura-chan. Aku tidak marah terhadap kalian berdua. Aku-...aku hanya kecewa." Jawab Hinata tersenyum lembut.
Rasa bersalah Sakura dan Ino semakin menjadi-jadi, "Gomen, Hinata-chan. Kami hanya tidak tahan melihat kau menyimpan lukamu terus menerus. Sejak kami menjadi sahabatmu, kami tidak pernah melihatmu tersenyum lepas. Kau terus menanggung masalahmu sendirian." Ujar Sakura panjang lebar.
"Benar Hinata-chan. Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi kami merasakannya. Sebenarnya kau-pun lelah kan?" Kali ini Ino ikut menyuarakan pendapatnya.
Benar, ia sangat lelah. Begitu lelahnya menyimpan kebencian terhadap Sasuke hingga ia sendiri tak pernah menyadarinya. Sayangnya masih ada rasa tidak rela untuk melepaskan perasaan benci ini. Terlalu banyak luka yang diberikan Sasuke padanya, walau pemuda stoic itu sama sekali tidak menyadarinya.
Tanpa diduga Ino dan Sakura menggenggam kedua tangan Hinata lembut. "Menangislah Hinata-chan. Lepaskan semuanya."
Kata-kata Sakura sontak membuat air mata Hinata mengalir untuk kesekian kalinya. Keduanya hanya bisa tertegun melihat sahabat mereka menangis sedih. Jujur saja, baru kali ini mereka melihat Hinata menangis. Saat menceritakan penyebab kematian Okaa-sannya pun Hinata terlihat tenang, lebih tepatnya berpura-pura tenang seolah tidak apa-apa baginya untuk hidup seperti ini.
Tidak tahan mendengar tangisan Hinata, Sakura dan Ino perlahan memeluk Hinata. Mereka berdua turut menangis bersamanya. Terlihat bodoh memang, namun sedikitnya perasaan mereka tersampaikan pada Hinata. Mereka tidak tahu bahwa di tengah tangisan mereka, Hinata mengucapkan syukurnya pada kami-sama atas kehadiran Sakura dan Ino dalam hidupnya, sahabat terbaik untuk tempatnya bersandar.
"Arigatou, Sakura-chan, Ino-chan."
Sementara itu sepasang mata onyx memandang kosong adegan antara Hinata dengan kedua sahabatnya. Rasanya ingin ia ikut memeluk gadis indigo yang selama ini membencinya. Detik itu ia tersadar dengan apa yang dipikirkannya. Dirinya-lah yang telah membuat gadis indigo itu menangis. Karena kesalahannya Hinata membencinya. Jadi jangan berharap terlalu banyak, Sasuke. Karena gadis itu tidak mungkin memaafkanmu.
"Sasuke-..." Suara lembut Shion menyadarkan Sasuke dari pemikiran anehnya.
"Hm. Kau sudah selesai?"
Anggukan Shion cukup untuk menjawab pertanyaan Sasuke.
"Baiklah. Ayo kita pulang." Ajak Sasuke sambil menggenggam tangan kekasihnya. Shion tertegun sesaat sebelum akhirnya berjalan mengikuti Sasuke. Ia tidak menyangka Sasuke masih bisa sehangat ini padanya. Padahal Shion telah membuatnya kecewa dan terluka.
Sesampainya di parkiran, suasana terlihat sepi dan lengang. Hanya terdengar suara burung gagak menghiasi langit senja di belakang gedung Konoha High School. Sasuke melepaskan genggaman tangannya agar leluasa mengambil kunci mobil di dalam sakunya.
Entah apa yang terpikirkan dalam benak Shion, secara tiba-tiba ia memeluk punggung Sasuke erat.
"Tolong biarkan aku memelukmu seperti ini, Sasuke. Sebentar saja." Ujar Shion lirih.
"Hm." Dua konsonan favorite kekasihnya menjadi petunjuk bahwa permintaannya disetujui.
Shion tersenyum sejenak sebelum dirinya terisak mengeluarkan air mata.
"Shion-..." Panggil Sasuke khawatir.
"Hiks-...ada yang harus kukatakan padamu Sasuke. Ku-kuharap kau mau mendengarkanku."
Kembali Sasuke terdiam. Betapa ia menyayangi gadis yang kini tengah memeluknya. Namun perasaannya hanya sampai sebatas itu. Ia hanya menganggap Shion sebagai adiknya, tidak lebih.
Pernyataan cinta Shion dua tahun lalu diterimanya karena ia merasa bisa secara perlahan-lahan belajar mencintai Shion. Tak urung penyangkalan-penyangkalan terus tertanam dalam hatinya. Dan firasatnya benar, bahwa Shion bukanlah gadis yang tepat.
"Jujur saja, Shion. Aku sudah mengetahui bahwa bukan kau yang menyelamatkanku di malam itu." Suara Sasuke terdengar tenang namun berbeda dengan reaksi yang diberikan Shion. Tubuh sang gadis bergetar ketakutan.
"K-kau sudah tahu?"
"Hm. Aku sudah tahu."
Perlahan Shion melepaskan pelukannya, "K-kenapa kau tidak marah padaku?"
Terdengar helaan napas Sasuke, "Tidak. Karena memang semuanya kesalahanku."
Shion memandang ragu pada pemuda dihadapannya, "Lalu apa kau kecewa padaku?"
Terkekeh pelan, Sasuke mengacak-acak rambut Shion lembut, "Tentu. Tapi terima kasih untuk semuanya."
Kali ini Shion tersenyum lembut, disekanya jejak air mata disekitar matanya"Sama-sama, Sasuke-kun. Terima kasih juga karena kau memaafkan aku."
" apa."
Ekspresi Shion berubah menjadi raut wajah kecewa, "Tapi sepertinya hubungan kita harus berakhir, Sasuke-kun. Karena sejak awal kau memang tidak pernah memandangku." Mendengar perkataan Shion membuat Sasuke mendengus geli.
"Kau memang pembohong yang unggul, Shion." Sindirnya bercanda.
Tak pelak Shion tertawa pelan mendengar sindiran Sasuke, "Belajarlah padaku, Sasuke-kun. Karena menurutku, kau merupakan pembohong yang buruk."
Sejujurnya, Shion merasa tak rela untuk memutuskan hubungan mereka yang sudah terjalin dua tahun belakangan ini. Ia menyadari bahwa perasaan Sasuke tak bisa dipaksakan.
Semua keegoisannya hanya akan menambah luka Sasuke, bahkan suatu saat dirinya yakin akan ikut terluka. Sudah lebih cukup bagi Shion mengetahui jika Sasuke menyayanginya. Ya, sudah lebih dari cukup.
"Sayonara, Sasuke-kun."
Itachi Uchiha menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur berukuran besar dalam kamarnya. Bibirnya terus menerus tersenyum, membuat kesan dingin dalam dirinya hancur seketika. Jika salah seorang pelayan di rumahnya melihatnya dalam keadaan seperti ini, bisa dipastikan mereka akan langsung melaporkannya ke rumah sakit jiwa.
Baiklah, pemikiran Itachi memang sedikit berlebihan. Dia kan manusia biasa. Tentunya wajar jika ia tersenyum seperti orang kebanyakan. Namun andai kau tahu Itachi, orang normal tidak akan tersenyum terus menerus tanpa alasan yang jelas selama dua jam penuh!
"Aku pasti sudah gila."
KREK
Terdengar suara pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan sesosok wanita cantik setengah baya berambut raven melangkah mendekati Itachi.
"Kaa-san."
Wanita itu ternyata adalah ibu dari duo Uchiha. Mata onyx-nya menatap anak lelakinya lembut, "Itachi, semestinya kau menyapa ayahmu terlebih dahulu."
Senyum Itachi perlahan memudar, digantikan dengan wajah datar khas Uchiha, "Baiklah. Setelah mandi aku akan segera menyapa tou-san."
Mikoto tahu hubungan Itachi dan Fugaku tidak terlalu baik. Fugaku memang selalu menuntut kesempurnaan pada anak tertuanya hingga komunikasi antara mereka begitu kaku. Bukan tanpa alasan Fugaku berlaku seperti itu. Karena Itachi-lah yang akan menggantikannya kelak. Menjadi pemimpin perusahaan Uchiha Corp.
"Setelah menyapa ayahmu, ibu tunggu kau untuk makan malam bersama."
"Hm."
Itachi kembali merebahkan tubuhnya ketika ibunya pergi. Kali ini maniknya terpejam, memilih menikmati kilasan-kilasan mengerikan tentang kehidupannya di masa lalu.
'...-. Selamat bertemu lagi dikehidupan selanjutnya.'
'Aku membecimu!"
'Kau tidak mungkin memilikinya. Karena dia adalah milikku."
'Dikehidupan selanjutnya akulah yang akan membunuhmu.'
"Huh, apa yang sebenarnya terjadi di masa laluku?" Menghela napas panjang, Itachi memutuskan untuk segera mandi. Ia berharap dengan membersihkan tubuhnya, kilasan-kilasan yang didapatnya setahun lalu dapat menghilang dan kemudian tergantikan sosok seorang gadis yang begitu ia damba.
Sayangnya niat Itachi terhenti saat sebuah kilasan berhasil mengganggunya.
'Kita lihat saja Sasuke. Selamat bertemu lagi dikehidupan selanjutnya.'
"Sa-Sasuke?" Gumamnya lirih sebelum rasa sakit tiba-tiba mendera kepalanya.
"Ugh-..."
'Cepatlah ingat, Itachi.'
"Argh-...siapa? Kenapa kau-..."
'Kau harus ingat siapa dirimu.'
"Hentikan! Aaarrrgghh-..." Itachi berteriak kesakitan, kepalanya serasa ingin pecah.
'Ingatlah siapa dirimu, dan apa tujuanmu. Kita adalah satu, kau dan aku adalah satu. Keinginanku adalah keinginanmu juga, Itachi.'
Gimana menurut kalian? Jika berkenan berikanlah review sebagai penyemangatku :D