Miracle in The Darkness

Main Chara: Uchiha Sasuke dan Hyuuga Hinata

Naruto punya Masashi Kishimoto

Fiction ini punya Bird paradise

Rated T

For SasuHina Days Love (SHDL) Event

Warning: OOC, Typos, gaje, membingungkan, ide pasaran, alur mundur, more description less dialogue, dan berbagai macam kekurangan lainnya.

Don't Like Don't Read

Don't Like Don't Read

Don't Like Don't Read

.

.

.

Bagian I

Empat musim yang berbeda. Selalu memberi warna tersendiri bagi setiap manusia.

Musim dingin, selalu membawa keceriaan bagi anak-anak yang menyambut gelimang hadiah Natal dan berbagai bentuk boneka salju yang dapat mereka udara dingin dibawah minus, namun kehangatan keceriaan mengalahkan kebekuan itu.

Musim semi membawa cerita lain. Kali ini, bunga-bunga yang menggeliat bangun dan menebarkan semarak warna dan aroma wanginya. Menjadi kesejukan berjuta-juta pasang mata yang menikmati keindahannya.

Manusia saling bergandengan tangan dengan orang terkasih berjalan di bawah pohon sakura yang mengiringi langkah mereka dengan taburan warna putih atau merah jambunya. Menghadirkan sensasi rileks dalam pikiran yang lelah. Akhirnya, senyum tulus pun terkembang dari bibir-bibir pendamba kebahagiaan.

Musim panas menyuguhkan kekhasannya. Udara yang panas di siang hari dan matahari yang bersinar terang, membuat sebagaian orang lebih memilih berdiam diri dalam rumah sambil menyalakan kipas angin dan menyantap buah semangka yang segar. Sunguh menghadirkan kebersamaan.

Ada senyuman bahagia dari para pelajar karena libur panjang telah tiba. Dan saat malam, langit begitu cerah menghadirkan berjuta bintang. Dan yang paling mereka tunggu adalah festival kembang api yang selalu diadakan di musim panas.

Musim gugur pun memiliki perannya tersendiri bagi semua makhluk hidup. Ia kembali memberi efek gugurnya bunga dan dedaunan yang selama beberapa bulan memberi keindahan. Memberikan sejenak jeda bagi tumbuhan itu untuk beristirahat dan menghilangkan beban mereka. Agar dimusim dingin nanti mereka dapat tertidur mengumpulkan energi.

Dan di musim semi selanjutnya, mereka dapat kembali bertunas dan menghasilkan bunga-bunga yang indah. Begitulah seterusnya. Pergantian alam yang penuh dengan keseimbangan. Memberikan berbagai macam makna dan kebahagiaan bagi setiap manusia.

Kali ini alam yang terlihat menguning dihempas cahaya senja. Semaraknya daun-daun yang berguguran dan angin yang berhembus dingin. Mengiringi datangnya musim diawal bulan September.

Musim gugur.

Keindahan musim ini tak pernah bisa dinikmati oleh pemilik sepasang obsidian kelam yang begitu memukau. Atau lebih tepatnya, semua musim tidak ada yang bermakna baginya.

Hatinya terlalu keras untuk mengartikan semua makna tersirat dibalik keindahan empat musim yang ada di negaranya.

Baginya, hidup itu tetap sama. Tak ada arti yang dapat membuatnya merasakan kebahagiaan. Tidak, setelah apa yang mejadi sumber kebahagiaannya tertidur dan tak pernah membuka matanya sampai sekarang.

Seorang gadis mungil yang sekarang terbaring dan nampak begitu tenang dalam tidurnya. Begitu damai, seakan ketiadaannya tidak menghancurkan hati seseorang.

Sudah lebih dari empat musim gadis bersurai indigo tersebut terus seperti itu. Tertidur tanpa mempedulikan seseorang yang selalu setia menemani dalam lelapnya. Tertidur tanpa tahu, bagaimana matinya hati seseorang itu kala obsidian kelamnya memandang lekat sosok sang gadis tercinta.

Begitu besar dosanya kah dirinya yang egois? Sehingga gadis yang sangat dicntainya tak sudi bangun lagi hanya sekedar untuk memandangnya acuh seperti dulu?

Ia rela, melakukan apapun asal gadisnya kembali bangun. Ia rela walau seumur hidupnya terkurung dalam sepi yang menyiksa.

"Hinata … bangunlah … aku berjanji akan melepaskanmu. Asal kau membuka matamu. Aku berjanji akan menghilang dari hidupmu selamamya."

Tangan kekarnya menggenggam jemari mungil yang nampak begitu pucat. Obsidian kelamnya nampak sarat akan luka walaupun ia tak bisa menangis.

Namun percayalah, seandainya hati dapat terlihat, maka hatinya sudah hancur tak berbentuk.

-Ia rela melepas gadis itu dari genggaman tangannya.

.

.

.

Flashback

.

Gadis mungil bersurai indigo itu terlihat berjalan kesana kemari dengan begitu riang. Kebahagiaan jelas terpancar dari bola mata keperakannya. Ia tak hentinya meletakan berbagai macam bunga segar disetiap sudut taman yang akan digunakan sebagai pesta pernikahan kakak tercintanya esok pagi.

Gadis berusia enambelas tahun yang baru duduk di kelas dua Konoha High School itu tak menghiraukan teriakan ibunya yang menyuruhnya untuk pulang karena senja yang mulai merayap.

"Hinata … kau akan kelelahan kalau kau tak berhenti sekarang. Dan mungkin kau akan sakit." Suara yang lebih berat dari ibunya berhasil menghentikan kegiatan gadis cantik tersebut.

"T-tapi, Nii-san … bunganya masih banyak yang belum dirangkai," belanya.

"Sudah ada teman-teman Nii-san yang mengurus semuanya. Kau tak perlu khawatir," jelas Neji Hyuuga untuk meyakinkan sang adik.

Ya, keluarga Hyuuga bukanlah keluarga yang kaya raya. Mereka hanya keluarga sederhana yang begitu bahagia. Ayah mereka –Hyuuga Hiashi- hanya pegawai pemerintahan yang sebentar lagi akan pensiun.

Sedangkan Neji, baru dua tahun bekerja disebuah perusahaan besar. Kejeniusan membuat dirinya selalu mendapatkan beasisiwa saat kuliah dan akhirnya diterima bekerja diperusahaan bergengsi.

Sekarang, karena keuletannya, ia sudah mendapatkan posisi yang lumayan tinggi di perusahaan tersebut. Sehingga gajinya yang lumayan besar dapat digunakan untuk membantu biaya sekolah kedua adik perempuannya.

Dan setelah usianya menginjak duapuluh empat tahun, akhirnya Neji menikahi teman semasa kecilnya yang juga merupakan cinta pertamanya . Lee Tenten. Seorang gadis manis keturunan Cina.

Pernikahan anak sulung dari tiga bersaudara ini dibuat sederhana. Neji hanya mengadakan pesta kebun kecil-kecilan untuk acara pernikahannya besok sesuai permintaan Tenten. Tidak ada even organizer yang mendekorasi taman kecil di belakang gereja tersebut.

Melainkan hanya keluarga dan teman-teman Hyuuga Neji dan Tenten yang suka rela mau membantunya. Tapi hasilnya, taman kecil itu disulap menjadi taman bunga yang dominan berwarna putih dan ungu lembut. Sederhana namun tetap indah dan menawan.

"Baiklah …aku akan pulang. Jaa Nii-san…" ujar gadis tersebut sebelum berlari menghampiri sosok ibu dan adiknya yang sudah menunggu.

.

.

Di kediaman Hyuuga yang bergaya konfensional, terlihat ramai dikarenakan beberapa tamu yang merupakan teman Neji dan Hiashi datang untuk minum bersama. Sedangkan kedua adiknya terlihat sudah bergelung di atas futon. Namun kedua pasang mata tersebut belum ada satupun yang terpejam.

"Nee-san… apakah setelah Neji-Nii menikah nanti dia akan pergi dari rumah ini?" tanya Hanabi yang berbaring di samping Hinata. Gadis berusia duabelas tahun itu menatap kakak perempuannya lekat.

"Tentu saja Hana-chan … Neji-Nii sudah punya rumah sendiri," jawab Hinata lembut.

"Aku akan kesepian … pasti tidak akan ada yang memarahiku lagi kalau aku menjahili Nee-san," ujar Hanabi dengan tatapan sendu.

Telinganya masih mendengar percakapan diruang tengah. Hinata tersenyum lembut menanggapi ucapan sang adik.

"Kalau begitu, aku yang akan memarahimu kalau kau menjahiliku," tukas Hinata sambil terkikik.

Ia tahu bahwa adiknya ini sangat manja terhadap kakak lelakinya. Dan pastinya, Hanabi akan merasa sangat kehilangan Neji.

"Kalau begitu … Hinata-Nee tidak boleh meninggalkanku. Janji?" mata Hanabi terlihat berbinar saat mengucapkan kalimat itu.

"Tentu … tapi sekarang kau harus tidur. Supaya besok kau tidak bangun kesiangan gadis nakal …" ujar Hinata sambil mengusap pelan rambut adiknya.

Hinata juga merasa sangat kehilangan bila harus berpisah dengan Neji. Tapi ia sadar, bahwa saat seperti ini pasti akan datang. Saat dimana kakaknya akan membangun keluarga kecilnya sendiri.

.

.

Hari yang dinanti bagi sepasang kekasih yang akan menginjakan kakinya dikehidupan baru tersebut akhirnya datang.

Para tamu sudah memadati taman belakang sebuah gereja kecil di pinggiran kota Konoha. Tempat tenang yang menjadi pilihan bagi sepasang insan tersebut untuk mengikrarkan janji suci mereka.

Hinata dan Hanabi mengenakan baju putih yang membuat mereka berdua terlihat bagaikan malaikat kecil nan cantik. Kedua gadis tersebut menjadi pengiring pengantin wanita. Hanabi terlihat begitu antusias.

Sedangkan kakak perempuannya terlihat malu-malu. Pipinya nampak merona merah. Bagaimanapun juga, Hinata bukanlah gadis yag energik dan mempunyai kepercayaan diri tinggi seperti adiknya. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian.

Alhasil, Hinata selalu menunduk saat mengantar kakak iparnya menuju altar. Tak ia pedulikan berpasang mata yang menatapnya kagum. Seandainya bukan kakak tercintanya yang menikah, Hinata lebih memilih duduk dipojokan yang terhindar dari perhatian khalayak ramai.

Di deretan para tamu, nampak teman-teman Neji dari masa sekolah sampai rekannya di kantor. Tak ketinggalan juga, President Director yang menjadi atasan tertingginya di Uchiha Corp, Sasuke Uchiha.

Ini merupakan sebuah keistimewaan. Mengingat Director muda tersebut jarang sekali atau malahan tidak pernah menghadiri langsung acara pernikahan pegawainya.

Namun mengingat Neji Hyuuga merupakan salah satu pegawainya yang sangat berprestasi dalam pekerjaannya, dan juga teman seangkatan semasa SMA, akhirnya Sasuke memutuskan untuk memberikan selamat secara langsung.

Ia duduk di meja tengah dan dekat dengan altar. Ini memungkinkan dirinya melihat jelas pasangan pengantin yang berbahagia tersebut. Mata kelamnya yang tajam, ekspresinya yang datar dan mulutnya yang lebih sering terkatup rapat ketimbang menanggapi celotehan dari sahabatnya yang tak henti membicarakan apapun.

"Hei Suigetsu! Calon istri Neji memang cantik. Bagaimana menurutmu?" ujar pemuda pirang sebelum bibirnya menyesap cairan berwarna ungu.

"Keh …menurutku lumayan… namun yang berambut hitam panjang itu lebih cantik," ujar Suigetsu dengan tatapan matanya yang terus mengarah pada sesosok gadis yang sedikit tertutupi sang mempelai.

"Mana …" ujar pemuda pirang itu. Selanjutnya kedua manik birunya mencari-cari sosok yang dimaksud oleh pemuda bergigi runcing.

Sedari tadi, Sasuke tetap acuh dengan obrolan ringan kedua sahabatnya tersebut. Ia tak pernah peduli dengan pembahasan soal wanita. Baginya, semua wanita merepotkan dan selalu meneriakinya.

Hal itulah yan membuat Sasuke tak pernah benar-benar jatuh cinta. Hidupnya ia habiskan untuk duduk di balik meja yang bertumpuk dokumen diatasnya. Tanggung jawabnya yang demikian besar sebagai penerus perusahaan setelah ayahnya meninggal membuatnya tak benar-benar bisa menikmati hidup.

Alhasil di usianya yang ke duapuluh empat tahun ini, ia tak pernah memikirkan seorang wanita yang kelak menjadi istrinya.

"Hei! Sasuke! Kau akan cepat mati kalau kau tak bisa menikmati indahnya hidup!" celetuk sahabat pirangnya yang membuat dahinya mengerut sebal. Namun pemuda pirang itu seakan tak menghiraukan tatapan tajam yang diberikan padanya.

"… lihat! Gadis itu benar-benar cantik. Dia bisa menjadi wanita dewasa yang menggairahkan beberapa tahun lagi," imbuhnya yang diselingi seringaian mesum. Sudah bukan rahasia bahwa sahabat pirangnya –Namikaze Naruto- adalah seorang Casanova kelas kakap.

Hampir semua gadis cantik yang ditemuinya jatuh ketangannya dan pasti berakhir di atas ranjang. Sasuke hanya mendengus sebal mendengar kata-kata tak bermoral meluncur dari sahabat masa kecilnya itu.

Namun tak sengaja, obsidian kelamnya menangkap objek yang baru saja menjadi bahan perbincangan kedua sahabatnya tersebut ketika gadis itu berjalan dan akhirnya duduk di seberang tempat duduknya.

Lurus. Hanya dibatasi karpet merah yang membentang menuju altar. Dan bunga-bunga cantik yang terpasang disetiap sisi karpet.

Cantik.

Entah kenapa otak Sasuke yang biasanya selalu tumpul mengenai apapun yang bersangkutan dengan wanita tiba-tiba mendengungkan kalimat itu.

Rambut panjangnya yang tergerai indah, manik mutiaranya yang terlihat sendu dan begitu meneduhkan, pipi chubby-nya yang merona, bibir mungilnya yang sesekali menyunggingkan senyuman tulus, kulit putih yang menyempurnakan tampilan fisik gadis tersebut.

Kecantikan alami yang begitu polos. Begitu menenangkan. Dan tanpa disadarinya, mampu menggetarkan relung hatinya yang mungkin sudah berkarat.

"Siapa dia?" kata-kata itu begitu saja meluncur dari bibirnya yang sedari tadi mengatup rapat. Naruto dan Suigetsu saling bertatapan heran mengingat Sasuke tidak pernah peduli dengan orang lain.

Seandainya dua orang berbeda warna rambut itu tak memperhatikan kemana arah tatapan tak berkedip Sasuke, mereka pasti tak mengerti pertanyaan tersebut ditujukan untuk siapa. Seringaian nampak terukir dari dua pemuda itu setelah mengetahui –kemana tatapan itu berlabuh.

"Mungkin itu adiknya Neji. Mengingat warna mata mereka yang sama," celetukan Suigetsu akhirnya menyadarkan Sasuke dari keterpanaan yang dianggapnya konyol dan sangat memalukan.

Ia semakin sebal kala melihat dua orang itu menertawakannya. Tentu saja, Naruto dan Suigetsu tak akan melupakan momen berharga ini. Momen dimana seorang Uchiha Sasuke manampakan ekspresi terbodoh pada wajahnya yang rupawan.

Mereka berdua berhenti tertawa setelah melihat betapa menakutkannya ekspresi Sasuke yang sedang gusar.

Setelah berdehem beberapa kali, akhirnya kedua pemuda itu bangkit guna memberikan selamat pada sang mempelai. Atau lebih tepatnya kabur dari tatapan menusuk sahabat stoic-nya.

.

.

.

Sejak perjumpaan tak sengaja dengan seorang gadis di pesta pernikahan pegawainya itu, Uchiha muda tersebut tak pernah sedikitpun mampu mengenyahkan bayangan sosok anggun yang ia ketahui bernama Hyuuga Hinata.

Sasuke terus memaki kekeras kepalaan otaknya yang terus saja memikirkan gadis itu. Apalagi setelah ia mencari tahu semua hal mengenai gadis bermata perak tersebut, Sasuke tahu bahwa usia gadis itu begitu jauh di bawahnya.

Dirinya yang digilai begitu banyak wanita cantik, berkelas, dan tentunya dewasa, tidak pernah sekalipun melirik mereka. Ini mustahil. Ia malah terus terpaku dengan sosok gadis remaja berusia enambelas tahun.

Apakah tingkat kejenuhan yang ia rasakan dalam menjalani pekerjaannya yang selama ini selalu menumpuk sudah membuat otaknya sedikit bermasalah?

Agh! Sasuke meremas rambutnya frustasi. Sudah lebih dari dua jam ia hanya terduduk di depan meja kerjanya tanpa melakukan apapun. Ia terus membiarkan dokumen-dokumen itu tetap bertumpuk.

Persetan dengan semuanya. Ia benar-benar membutuhkan sesuatu untuk kembali menjernihkan pikirannya yang kalut. Alhasil, ia keluar ruangan tanpa mempedulikan teriakan Suigetsu yang menyuruhnya menyelesaikan meneliti semua dokumen sebelum pergi.

Namun sekali lagi, tak ada yang mampu memerintah Uchiha -satu-satunya putra Uchiha Fugaku. Tinggalah sang sekretaris malang yang harus meratapi nasibnya, karena harus mengganti tugas Sang Director yang menurutnya selalu seenaknya sendiri.

Disinilah akhirnya, mobil sport hitam metalik itu terpakir di seberang jalan tepat disebuah gerbang sekolah terfavorit di Konoha. Entah apa yang membuat sang pemilik menghentikan mobil mewah tersebut di depan sebuah sekolah.

Sudah tiga kali pria berusia dupuluh empat tahun itu selalu menghentikan mobilnya di depan sekolah tersebut setiap jam tangannya menunjukan pukul dua siang.

Duduk di dalam mobil sambil mengamati anak-anak remaja itu keluar dari gerbang dengan berbagai ekspresi di wajah mereka. Walaupun ekspresi ceria dan lelah lebih dominan menghiasi wajah-wajah belia mereka.

Sasuke ingat, beberapa tahun silam dirinya juga pernah menjadi salah satu siswa di sekolah terfavorit itu. Namun seingatnya, ia tak pernah sekalipun tersenyum setiap kali kakinya melangkah masuk ataupun keluar dari gerbang tinggi tersebut.

Baginya, sekolah hanyalah salah satu kegiatan yang menguranginya dari rasa kesepian. Walaupun ia tak pernah terlihat bahagia dan ramah pada semua teman-temannya, tapi dalam hatinya ia sangat menyayangi tidak banyak, namun mereka selalu membagi senyuman kebahagiaan padanya.

Lamunan masa lalunya tiba-tiba buyar saat obsidian kelamnya menangkap siluet seseorang yang sedari tadi ia tunggu. Gadis bersurai indigo yang begitu cantik. Gadis yang sanggup membuat dadanya bergemuruh merasakan kebahagiaan yang membuncah hanya dengan menatapnya saja.

Namun seketika kebahagiaan yang ia rasakan di hatinya tergantikan dengan amarah yang menyelubungi setiap ruas perasaannya. Kala sang objek terlihat berjalan dengan seorang pemuda yang menggandeng tangannya erat.

Wajah cantiknya terlihat bersemu merah dan senyuman malu-malu itu sungguh membuat hati Sasuke terasa panas terbakar. Ia tidak tahu karena apa. Tapi yang pasti, tangannya yang sudah terkepal erat ingin sekali ia gunakan untuk meninju pemuda bersurai merah yang terus saja membuat gadis itu tersipu malu.

"Shiit! Beraninya …" gumamnya dengan tatapan tajamnya yang terus mengikuti kemana dua sejoli itu melangkah. Setelahnya, ia kembali memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

.

.

.

Hinata merasa sangat bahagia. Karena setelah hampir dua tahun memendam perasaannya dengan seorang pemuda, akhirnya perasaanya bisa terbalaskan. Sabaku Gaara. Pemuda tampan yang seangkatan dengannya.

Hari ini mereka telah resmi mengikat janji sebagai sepasang kekasih. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu sehingga kedua insan ini saling mengetahui perasaannya masing-masing.

"Arigatau … Gaara-kun … sudah mengantarku," ujar Hinata setelah sepanjang perjalanan diisi dengan keheningan yang menyenangkan. Mereka berdiri berhadapan dengan perasaan canggung yang tiba-tiba saja menyelimuti Hinata.

Selama ia menginjakan kakinya di senior high school, belum sekalipun Hinata mempunyai seorang kekasih. Baru sekarang setelah dirinya kelas tiga. Gaara adalah kekasihnya yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.

"Hn, masuklah …" tukas pemuda itu dengan suara baritonnya.

Namun Hinata masih enggan beranjak dari tempatnya. Wajah meronanya ia tundukan dan kedua tangannya saling meremas tas selempangnya. Bertanda ia gugup. Seketika Hinata mengangkat kepala dengan amethysnya yang melebar saat ia merasakan sentuhan ringan diatas poninya. Ia tahu, Gaara baru saja menciumnya. Dan itu sukses membuat jantungnya bertalu-talu menyakitkan.

"Sampai jumpa besok … aku akan menjemputmu." Setelahnya, pemuda itu segera beranjak pergi. Hinata hanya mampu memandangi punggung tegap kekasihnya yang mulai manjauh.

"Gaara-kun …" gumamnya. Senyuman manis segera tercetak di wajah ayunya. Hinata sangat bersyukur, setidaknya di tahun terakhirnya dirinya bersekolah di Konoha high school, Hinata mempunyai sebuah kisah indah yang akan ia kenang seumur hidupnya.

.

.

.

Pemuda Uchiha itu terus saja menenggak alcohol yang sudah membuatnya hampir tak sadarkan diri. Sasuke sudah mabuk. Namun ia sama sekali belum ingin menghentikan alcohol berkadar tinggi itu berhenti mengaliri tenggorokannya yang sudah panas seperti terbakar.

"Kau ada masalah?" teman setianya ini selalu saja menamaninya disaat-saat menjenuhkan seperti ini.

Naruto menatap Sasuke prihatin. Bagaimanapun ia tahu, seberapa berat pekerjaanya sebagai pemimpin utama sebuah perusahaan besar. Apalagi sepeninggal ayahnya. Praktis, sebagai anak tunggal hak waris semuanya jatuh ketangan Sasuke.

Harta melimpah dan juga tanggung jawab yang besar. Sasuke hanya dapat bertumpu pada beberapa gelintir orang kepercayaannya untuk membantu mengurusi semua perusahaan Uchiha yang bergerak di berbagai bidang. Kakeknya sudah terlalu tua. Sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga.

"Apakah urusan perusahaan benar-benar membuatmu depresi?" tanya Naruto lagi.

"Hn," Sasuke menyandarkan tubuhnya di sofa.

Pikirannya sudah terbang tak tentu arah. Sudah lebih dari beberapa bulan pikiran rasionalnya dikacaukan oleh sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang tak bisa dimengerti dengan otaknya yang selalu mengedepankan logika daripada perasaan.

Ia tak mungkin mengatakan masalah yang sebenarnya pada sahabat pirangnya. Baginya, ini terlalu memalukan dan tidak masuk akal. Sudah berkali-kali Sasuke mencoba menepisnya. Namun lama kelamaan ia benar-benar sudah tak tahan lagi.

Tapi dilain sisi, ia tak tahu harus melakukan apa untuk menghilangkan perasaan ini. Perasaan yang sungguh mengganggunya. Setidaknya, ia akan tetap bertahan pada pendirian awalnya. Tidak akan menghiraukan perasaan abstrak yang berpusat pada seorang gadis Hyuuga.

"Aku jenuh Naruto …" gumamnya tak jelas. Namun Naruto yang sama sekali tak mabuk masih bisa mendengar kalimat apa yang terlontar dari bibir sahabatnya.

"Mungkin lebih baik kau mencari seseorang yang dapat membagi kejenuhanmu," ujar Naruto memberi solusi.

"Bukankah sudah ada kau …" tukas Sasuke.

"Umm… maksudku, mungkin seorang wanita?" ujar Naruto lagi tak yakin.

Bagaimanapun Sasuke selalu memperlihatkan tampang tak suka setiap kali ia menyarankan agar pemuda itu mencari seorang wanita yang dapat dijadikan sebagai kekasih ataupun istri. Naruto heran, selama ia mengenal Sasuke semenjak di sekoah dasar dulu, ia tak pernah melihat Sasuke benar-benar mencintai setiap gadis yang dikencaninya.

"Apa selama hidupmu kau tak pernah mencintai seorang gadis pun dengan tulus?" Setidaknya pertanyaan seperti ini cocok diajukan pada pemuda stoic itu saat kondisinya tidak terlalu sadar.

"Pernah," jawaban singkat yang terlontar dari bibir itu membuat Naruto sedikit kaget. Walaupum mata Sasuke terpejam, ia tahu bahwa pemuda itu masih mendengar pertanyaanya.

"Kapan?" tanya Naruto lebih antusias. Karena situasi –dimana seorang Sasuke akan berkata jujur mengenai perasaan akan sangat jarang ia dapatkan.

"…"

Benar-benar jarang. Bahkan Sasuke tak menjawabnya. Malah ia pura-pura tertidur.

.

.

.

Sudah hampir enam bulan ini lokernya selalu berisi sebuket bunga cantik yang beraneka ragam. Kadang cokelat bahkan boneka besar yang tergeletak di bawah lokernya. Karena tak mungkin boneka itu masuk ke dalam lokernya yang kecil.

Sudah tak terhitung lagi berapa banyak bunga, boneka, bahkan cokelat yang sudah ia terima. Dan sampai sekarang ia sama sekali tidak mengetahui siapa pengirimnya. Hal ini tentu saja membuat Gaara sang kekasih begitu gusar.

Dulu ia selalu dapat mengantisipasi siapapun siswa yang mencoba mendekati ataupun memberikan hadiah bagi gadis incarannya. Tapi entah kenapa setelah ia resmi menyandang sebagai kekasih Hinata, Gaara malah tak bisa melakukan apapun saat loker kekasihnya selalu berisi hadiah dari orang misterius.

Bukan karena ia sudah tidak ditakuti lagi oleh siwa lain, melainkan karena tidak satupun dari mereka yang mengaku memberikan berbagai macam hadiah pada Hinata setiap harinya.

Mungkin mereka tidak berbohong, mengingat remaja seusianya tak punya cukup uang untuk setiap hari memberikan sebuket besar bunga segar ataupun barang-barang lainnya -yang tentunya berharga mahal.

Ini sungguh membuat Gaara merasa geram pada siapapun orang yang berani mengganggu gadisnya. Apalagi mencoba mengambil Hinata darinya. Gaara merasa sangat beruntung. Hinata bukanlah gadis materialistis yang akan berbinar bahagia kala mendapati isi lokernya penuh dengan barang-barang.

Walaupun Gaara tahu, Hinata sangat menyukai boneka, bunga dan cokelat. Tapi Hinata tak pernah lagi membawa barang itu pulang kerumah setelah tahu bahwa itu bukan dari kekasihnya. Ia akan memberikan boneka-boneka itu ke sebuah taman kanak-kanak yang tak jauh dari rumahnya.

Sedangkan cokelat akan ia bagi-bagikan kepada teman sekelasnya. Dan bunga segar itu dijadikan sebagai pewangi alami ruang kelasnya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Hyuuga Hinata mempunyai penggemar rahasia yang kaya raya.

Kekasihnya memang kaya, tapi Gaara tak akan memperlakukan Hinata seperti itu. Bagaimanapun Gaara masihlah anak sekolahan seperti dirinya. Yang masih mendapatkan jatah uang dari orang tuanya.

Tapi walaupun begitu, Gaara sering mentraktirnya di kedai es krim atau berjalan-jalan ke taman ria. Ia lebih senang menerima setangkai bunga dari kekasihnya daripada harus menerima sebuket besar bunga dari orang yang tak dikenalnya.

"Aku tak habis pikir, bagaimana bisa pihak sekolah membiarkan kejadian itu terus menerus terulang. Apakah mereka tidak melakukan tindakan tegas pada siapapun yang setiap hari memenuhi lokermu dengan barang-barang tak berguna itu?" ada nada cemburu di setiap kata yang keluar dari bibir Gaara.

"Aku t-tidak tahu, Gaara-kun …" jawab Hinata takut-takut. Gadis Hyuuga itu berjalan disamping pemuda Sabaku dengan menunduk. Ia tahu perangai Gaara. Bukan salahnya apabila ia jatuh cinta dengan pemuda yang paling ditakuti di sekolahnya.

Bagaimanapun juga dimatanya, Gaara adalah sosok baik hati yang selalu menolongnya apabila dirinya mendapatkan kesulitan. Rambu-rambu cinta mulai tumbuh sejak saat itu. Dan Gaara selalu berusaha melindungi Hinata karena diam-diam pemuda itu juga menaruh hati pada gadis lemah lembut tersebut.

Namun sayang, perasaan yang sudah terbangun sejak mereka menginjakan kaki di Konoha High School baru terealisasikan dua tahun kemudian. Semua itu dikarenakan mereka mempunyai kepribadian yang cenderung sama. Pendiam.

Sifat itulah yang membuat mereka lebih memilih menyembunyikan perasaan masing-masing.

"Cih! Sial!" umpat Gaara keras. Membuat Hinata yang berjalan disampingnya menjadi semakin ketakutan.

Manik lavendernya melirik sekilas penyebab apa yang membuat kekasihnya terlihat begitu gusar. Gaara terlihat sedang mengutak-atik ponsel pintarnya. Dengan takut-takut, Hinata mencoba bertanya. "A-ada apa Gaara-kun …?" suaranya terdengar begitu lembut.

"Dengar! Mulai besok kau pakai lokerku. Mengerti!" tiba-tiba saja Gaara menarik tubuh mungil Hinata sehingga tubuh mungil itu bersandar pada sebuah pohon di pinggir jalan. Hinata sama sekali tak mengerti kenapa tiba-tiba kekasihnya memutuskan hal seperti itu.

"M-memangnya kenapa?" Hinata mencoba mencari tahu alasannya.

"Karena orang brengsek yang selalu menerormu itu bukanlah orang sembarangan."

Gaara adalah putra bungsu dari keluarga Sabaku. Ayahnya adalah seorang gubernur di daerah Sunagakure. Sebuah propinsi yang letaknya lumayan jauh dari Konoha.

Demi mencari tahu siapa sang pelaku, Gaara dengan terpaksa harus meminta bantuan ayahnya supaya 'meminjamkan' orang yang ahli dalam bidang melacak. Jadi, bisa dibilang seharusnya tidak susah bagi Gaara mengetahui identitas orang itu. Namun ternyata hasilnya nihil.

Sang pelaku seperti mempunyai mata dibagian sisi tubuhnya. Dan Gaara yakin, pihak sekolah melindungi pelaku tersebut. Sehingga peneroran itu selalu berjalan rapi. Ia akui lawannya kali ini terlalu kuat. Gaara yakin, siapapun orang yang mencoba merebut kekasihnya bukanlah orang sembarangan. Sehingga sekolah elit seperti Konoha High takluk di bawah 'tangannya'.

"Aku tidak ingin kehilanganmu Hinata … aku sangat mencintaimu," tiba-tiba saja, pemuda bersurai merah itu langsung memeluk begitu erat kekasihnya.

Hinata tahu, kenapa kekasihnya terlihat memperlihatkan emosi berlebihan. Bagaimanapun juga, kejadian ini sudah lebih dari enam bulan. Siapapun yang berada di posisi Gaara pasti akan merasakan hal yang sama –seperti yang pemuda itu rasakan.

"Tidak akan … aku juga sangat mencintaimu Gaara-kun …" bisiknya lembut di dada sang kekasih.

Padahal ada satu rahasia lagi yang sengaja Hinata sembunyikan dari sang kekasih. Bahwa peneror rahasia itu tidak hanya selalu memenuhi lokernya dengan barang-barang. Tetapi juga rumah mungilnya.

Hampir setiap minggu selama dua bulan belakangan, sosok misterius itu selalu mengirimkan barang-barang yang menjadi favorit keluarganya. Entah itu barang kesukaan Hanabi, ibunya ataupun ayahnya.

Dan tentu saja, Hinata tak bisa memberikan barang-barang itu pada orang lain. Mengingat barang-barang itu pasti sangat diinginkan oleh orang tua dan adiknya. Biarlah, lebih baik ia terus merahasiakan dari Gaara. Ia tidak mau membuat Gaara semakin terlihat khawatir.

"Kau milikku mengerti?" setidaknya dengan ungkapan Hinata barusan, kekhawatirannya sedikit berkurang. Ia mengecup bibir mungil sang gadis sebelum melanjutkan perjalanan pulangnya yang sedikit tertunda.

.

.

.

Minggu pagi selalu diisi dengan kegiatan bersih-bersih rumah oleh seluruh anggota keluarga Hyuuga yang begitu bahagia. Ayah dan Hanabi selalu mendapat jatah membersihkan pekarangan kecil disamping rumah mereka.

Sedangkan Hinata membersihkan seluruh lantai rumah yang tidak terlalu luas. Dan sang ibu akan membawa keranjang cucian sebelum ia akan membantu sang suami untuk menyiram bunga-bunga dan sedikit tanaman herbal.

Keluarga kecil ini memang selalu harmonis. Hinata merasa hidupnya sangat beruntung. Ia bersyukur kepada Kami-sama yang telah mengirimnya ditengah keluarga sederhana ini. Ibunya yang begitu baik, selalu dapat menenangkan sang ayah apabila kepala keluarga itu sedang dilanda emosi.

Sebaliknya, sang ayah akan mampu menjaga hati ibunya agar jangan sampai menyinggung perasaanya yang terlalu lembut.

Dari kelima anggota Hyuuga hanya Hanabi lah yang mempunyai perangai cenderung keras dan banyak bicara. Ia lebih mirip anak lelaki ketimbang seorang gadis berusia duabelas tahun.

"Nee-san! Kau dapat kiriman lagi!" teriak Hanabi lantang dari pintu depan. Karena memang setiap kiriman selalu mengatas namakan Hinata -walaupun isinya lebih sering kepada selera anggota keluarganya yang lain.

"Paketnya kali ini lebih besar!" ujar Hanabi riang. "… kau harus melihatnya Nee-san!" imbuhnya sambil menyeret tangan Hinata yang masih sibuk menggenggam alat pel.

Tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun –karena terlalu kaget- akhirnya Hinata hanya pasrah. Benar saja, bungkusan berwarna ungu itu terlihat besar dan memanjang. Tanpa diperintah pun, gadis kecil bersurai cokelat itu langsung membuka bungkusan besar yang tergeletak di depan pintu.

Anehnya, setiap kali pegawai pengiriman jasa tersebut datang untuk mengantarkan barang yang berbeda-beda, mereka selalu saja bungkam apabila Hinata mencoba bertanya siapa pengirimnya. Ataupun ketika Hinata menyuruh pegawai tersebut menyampaikan pesannya pada sang pengirim 'untuk berhenti memberikannya barang-barang apapun'.

Namun, seakan tak digubris, selang beberapa minggu, akan ada barang baru yang teronggok dirumahnya.

"Wah! Nee-san … sepeda lipat model terbaru!" seruan Hanabi yang begitu riang kembali menyadarkan Hinata yang terus berkelana dalam pikirannya.

Pupil ungunya mengerjap beberapa kali guna melihat barang yang dimaksud adiknya. Sepeda lipat model terbaru dengan bahan utama besi titanium yang begitu ringan namun sangat kuat. Lihat saja, dengan mudahnya, adik kecilnya mengangkat sepeda itu.

"Ini sungguh keren … untukku saja ya Nee-san …" pupil ungu yang sama dengannya tak henti menatapnya dengan tatapan memohon.

Alhasil Hinata hanya mampu mengangguk. Sepeda itu memang lebih cocok untuk Hanabi ketimbang dirinya yang feminim. Dengan tampang lelahnya, Hinata menyimpulkan bahwa pengirimnya memang memberikan hadiah untuk adiknya. Ia hanya dijadikan sebagai 'atas nama saja'.

"Apakah dari penggemar rahasiamu lagi Hina-chan?" suara ibunya yang mengalun lembut disampingnya membuat Hinata sedikit tersentak. Bagaimanapun, kelakuan orang misterius itu sungguh mempengaruhi mentalnya.

"I-iya Kaa-san …" jawanya malu-malu. Ayah dan ibunya sudah mengetahui perihal ada orang misterius yang memuja anak gadisnya.

Awalnya ibunya merasakan kekhawatiran. Karena ia takut anak gadisnya akan diganggu secara fisik. Namun sampai sekarang, orang tersebut belum menampakkan batang hidungnya. Si misterius itu hanya mengganggu putrinya lewat hadiah-hadiah mahal yang selalu ia kirimkan.

"Itu adalah sepeda yang diinginkan Hanabi beberapa minggu yang lalu. Tapi karena uang gaji Tou-san tak mencukupi, Tou-san menjanjikan akan membelikannya tiga bulan lagi," tutur sang ibu dengan manik hitam yang terlihat berbinar. Menyaksikan anak bungsunya berputar-putar mengelilingi pekarangan rumahnya dengan gembira.

Hinata hanya terdiam. Apakah ia harus berterimakasih pada pengirim rahasia itu atau membencinya. Ia sama sekali tak tahu. Tapi, melihat kebahagiaan adiknya, atau ibunya saat menerima seperangkat alat memasak dengan kualitas bagus, Hinata sepertinya harus berterimakasih dengan orang itu.

Walaupun hanya dalam hati. Tapi ia berjanji, akan mengucapkan terimakasih apabila ia bertemu dengan sang pengirim misterius.

.

.

.

Dengan lesu, gadis bersurai indigo panjang tersebut, berjalan di pinggir trotoar. Biasanya, kekasihnya akan selalu mengantarkannya pulang. Namun, karena Gaara sudah beberapa hari ini pulang ke kota kelahirannya.

Belum genap satu minggu Hinata berpisah dengan Gaara, namun gadis itu sudah merasakan kerinduan yang luar biasa pada kekasihnya. Dan setidaknya, sudah beberapa minggu ini, sang misterius tak menerornya lagi. Setidaknya, semua itu sedikit membuat Hinata tenang.

Gadis bersurai sepinggang itu terus saja melamun, sampai ia sama sekali tak menyadari ada sebuah mobil hitam mewah yang mengikutinya dari belakang. Ia juga tak sadar, ketika ada dua orang yang keluar dan dengan cepat langsung-

Grebb!

-menyergapnya dari belakang.

Dengan keterkejutan luar biasa, Hinata terus meronta kuat. Ia berusaha melepaskan diri. Namun apa daya, tubuhnya terlalu kecil untuk melawan siapapun yang menyergapnya dari belakang. Ia tak mampu lagi menjerit karena bekapan pada mulutnya. Dan hanya memerlukan waktu beberapa detik sebelum gadis mungil itu jatuh dalam lelapnya. Akibat sebuah zat yang dihirupnya.

.

.

.

TBC

Tanks For reading Minna…

Happy SasuHina Days Love buat semua penggemar SasuHina.

Hanya empat chap, dan akan saia apdeth tiap minggunya.

Ano … kalo ada yang berkenan tolong share –in fict abal ini ke grup DnA. Saia belum siap muncul di grup itu. Makasih minna …

Salam

-Bird