PROLOG

.

.

.

-= Wish =-

.

.

.

~ A story by shimizudani ~

.

.

.

All Cast is God's and Theirself

.

.

.

"Aku bahagia menjadi bagian dari keluarga ini."

.

.

.

Sebuah mobil berwarna silver terlihat memasuki pelataran sebuah rumah bertingkat dua. Mobil itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung beberapa orang di dalamnya. Seorang laki-laki paruh baya tengah duduk di kursi kemudi– berkonsentrasi untuk memarkirkan mobilnya dengan benar. Di sampingnya, duduk tenang seorang wanita yang usianya tidak terpaut jauh dari laki-laki tadi. Sementara di barisan kedua, dua orang pemuda sedang duduk sembari memainkan benda yang sejak tadi dipegangnya. Mereka asyik mengotak-atik alat itu—yang ternyata adalah sebuah laptop keluaran terbaru yang merupakan 'oleh-oleh' dari perjalanan mereka. Sedangkan di kursi paling belakang, ada seorang pemuda yang tak terpengaruh dengan keributan yang dibuat oleh dua orang di depannya. Ia melirik malas kursi di sebelahnya, yang seharusnya kosong—namun kini dipenuhi dengan berbagai macam barang yang ia sendiri tak tahu apa isinya. Harusnya ia ikut senang seperti seluruh keluarganya.

Seluruh keluarga?

Jika mereka memang satu keluarga, lalu siapa pemuda yang sedari tadi memperhatikan di balik jendela? Walaupun ada tirai yang membatasi penglihatan pemuda itu, tapi ia masih dapat dengan jelas melihat mereka—para penumpang mobil silver yang memancarkan raut kebahagiaan. Seulas senyum terukir di bibirnya. Terlihat ia sangat memaksakan senyum itu. Bagaimanapun ia tetap merasa senang dengan kedatangan mereka. Ah, tidak. Kata pulang sepertinya lebih tepat untuk diucapkan.

Ia menghela nafas panjang. Senyum itu berganti dengan kekecewaan yang terpancar jelas dari sorot kedua matanya. Dengan langkah gontai ia berjalan ke arah pintu. Tepat di depan pintu, ia terlihat ragu. Apakah ia harus melakukannya lagi? Tapi demi mereka, ya demi mereka, ia rela melakukannya. Ia menghirup nafas dalam dan dengan sekali tarikan, pintu itu telah terbuka.

"Kalian sudah pulang?" tanya pemuda itu dengan senyum riang di wajahnya. "Kalian kemana? Kenapa tak mengajakku? Kalian juga tak memberi kabar?" tanyanya lagi sambil menggembungkan pipinya. Lucu. Tapi ternyata keluarganya terlalu sibuk dengan kegiatan mereka, sehingga tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan pemuda itu.

"Siwon, Donghae, kalian pasti lelah. Istirahatlah," ujar satu-satunya wanita di sana, pada dua orang di belakangnya. "Kau juga harus istirahat," tambahnya pada satu orang yang terakhir keluar dari mobil. Wanita itu lalu berjalan masuk—melewati pemuda yang masih betah berdiri di dekat pintu, tanpa menoleh ke arahnya. Diikuti dengan seorang pemuda berbadan tegap dan seorang lagi di belakangnya. Sama dengan wanita tadi, mereka juga tak menoleh ke arahnya. Bahkan meliriknya pun tidak. Ia tersenyum miris. Sudah biasa.

"Kyuuuuu..." Ia langsung menoleh ketika namanya dipanggil. Dua laki-laki yang tersisa tengah kerepotan mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil—walaupun sebagian sudah dibawa ketiga orang tadi. Insting 'membantu'-nya pun muncul.

"Hyuuuunnggg…" Langsung saja ia menghampiri salah satu hyung-nya dan segera menggantikan kakaknya membawa tas yang berukuran cukup besar. "Biar aku saja yang bawa. Hyung capek, kan? Istirahat saja di dalam," ujarnya dengan penuh rasa sayang.

"Ani. Aku tadi sudah puas tidur di mobil," tolaknya halus—masih nekat untuk membawa tas lain yang ukurannya tak kalah besar dengan yang ada di tangan adiknya, Kyuhyun.

"Sungmin, kau istirahat saja. Appa tak mau kamu kambuh lagi." Laki-laki paruh baya itu akhirnya buka suara. Ia menatap putra ketiganya itu dengan penuh perhatian.

"Ne, hyung. Aku juga gak mau hyung sakit." Seolah berkomplot, Kyuhyun menyetujui saran ayahnya. Jujur, ia memang tak ingin hyung kesayangannya itu jatuh sakit.

Sungmin terlihat kecewa dengan keputusan dua orang itu. Mau tak mau ia akhirnya menurut juga. Dengan muka cemberut, ia mulai berjalan masuk ke dalam rumah. Sedangkan Kyuhyun dan Tuan Lee Chunhwa, Appa mereka, mengikuti langkah Sungmin. Dan tentu saja dengan menenteng tas yang masing-masing berada di tangan kanan dan kiri mereka.

Kyuhyun berlari kecil untuk mensejajarkan tubuhnya dengan ayahnya. "Bagaimana kabarmu, Kyu?" tanya Tuan Lee.

"Seperti yang Appa lihat. Kyu baik-baik saja," jawab Kyuhyun dengan nada yang dibuat seolah 'ia baik-baik saja'. Tapi Tuan Lee tahu betul kalau anak bungsunya itu tidak akan pernah 'baik-baik saja'. Siapa yang akan senang bila dirinya dibiarkan hidup sendiri selama seminggu, sementara keluarganya sedang asyik berlibur. Salahkan ia yang tak bisa menolak keinginan istri dan anak-anaknya. Salahkan juga ia yang tak berhasil memaksakan keinginannya pada keluarganya.

"Maafkan Appa, Kyu. Kau harus lebih bersabar," ucap Tuan Lee lemah. Harga dirinya seakan hancur saat itu juga. Ya, sebagai kepala keluarga harusnya ia bisa menangani keadaan seperti ini. Tapi apa? Ia gagal. Dan untuk kesekian kalinya ia gagal.

Sabar.

Kyuhyun tersenyum pahit. Tak pernah sedetik pun ia melupakan kata itu. Kata itu seolah menjadi keharusan baginya. Jika tak ada kata itu, mungkin ia sudah terpuruk. Hancur. Namun terkadang ia bosan dengan kata itu. Karena berulang kali ia melakukannya, tak pernah ada perubahan. Mereka akan tetap sama. Mengacuhkannya. Menganggapnya tak ada.

.

- Prolog End -

.

NB: Annyeong...

Newbie here.

I hope you will enjoy my story ^^