Disclaimer: Semua karakter dalam cerita ini milik Marvel, dan sayangnya saya tidak menghasilkan keuntungan finansial apapun dari pembuatan fanfic ini.
Rating: T
Pairing: Steve Rogers/Tony Stark
Warning: male/male pairing, OOC character
Corollaries
An Avenger Fanfiction
By Arialieur
Chapter 2 : Something that looks like chaos and smells like chaos does not necessarily chaos…or Captain America
Gelas-gelas besar berisi bir saling beradu, lalu semua orang di ruangan itu bersorak sorai. Seorang pria berambut coklat gelap dengan jambang tertata rapi berdiri sempoyongan di tengah kerumunan rekan-rekannya.
"Untuk Peter Parker, wartawan baru kita! Selamat datang di Daily Bugle!" serunya.
Semua orang bersorak-sorai lagi. "Parker! Parker! Parker!"
Pemuda yang namanya disebutkan itu hanya tersenyum malu-malu. Seseorang menepuk pundaknya dan mengisi kembali gelas kosong di tangannya sampai penuh. "Minum sampai habiiiiiiis!" pria yang tadi berseru lagi, tidak lupa menenggak kembali birnya.
Peter mengangkat gelasnya, dan meminumnya sampai habis dalam satu kali tegukan diiringi tepuk tangan riuh rendah. "Parker! Parker!" Sang pria berambut coklat kembali mengisi gelas Peter sampai penuh, namun akibat alcohol yang dikonsumsinya, ia kehilangan keseimbangan dan menumpahkan banyak bir ke celananya.
"Shit!" ia mengumpat, dan berpikir harus segera ke kamar mandi.
"Dude, mau ke mana?" salah satu rekan kerjanya bertanya saat ia melangkah, masih sempoyongan, keluar dari kerumunan orang-orang yang masih sibuk berpesta itu (penerimaan pegawai baru, tentu saja, merupakan pembenaran valid untuk berpesta).
"Kamar mandi!" ia berseru. Lalu berjalan menuju pintu yang ia ingat sebagai kamar mandi. Hanya saja, saat ia membuka pintu, yang menyambutnya adalah udara malam New York yang dingin. "Huh."
Ia bersandar di dinding sambil mengusap wajah. Seharusnya ia tidak minum terlalu banyak malam ini, besok siang ia harus mengirim draft artikel mengenai terlukanya Captain America ke e-mail Jameson, bosnya. Angin malam membuat pikirannya terasa lebih jernih, jadi ia memutuskan untuk berjalan-jalan untuk mengurangi mabuknya.
Tidak sampai dua blok dari bar tempat ia berasal, sesosok pria menghalangi langkahnya. "Uh…maaf, saya mau lewat…" ia mencoba melewati pria itu dari kanan, namun sosok itu bergeming.
"Kau mabuk lagi?" sosok itu bertanya.
Sang pria berambut coklat mundur selangkah. "Dude, ini daerah bar. Menurutmu apa yang kulakukan di sekitar sini? Membeli susu? Dan apa urusanmu?" Mungkin bukan jawaban yang bijaksana, mengingat sosok itu memiliki tubuh yang jauh lebih besar dari tubuhnya.
Sebuah tangan besar tiba-tiba mencengkeram lehernya sampai ia sulit bernafas. Rasa takut dan paniknya berlipat ganda saat mendapati tangan yang mencengkeram lehernya itu mulai berubah kehitaman, dengan gelembung-gelembung seperti cairan yang mendidih. Dengan mudah makhluk itu menariknya mendekat untuk memperhatikan wajahnya.
"Kau palsu." Kata makhluk itu singkat, dan ingatan sang pria berambut coklat berakhir di sana.
.
.
.
Suara tepuk tangan mengalihkan perhatian makhluk hitam itu dari korban terakhirnya. Ia menoleh, dan mendapati sesosok pria yang mengenakan jubah dengan tudung menutupi kepalanya. Dalam kegelapan itu, sepintas sang monster dapat mengenali kilat metal dari bawah tudung tersebut. Topeng metal.
"Aku mengikuti sepak terjangmu. Dan harus kuakui, aku menyukainya."
Monster itu hanya diam, dan sang pria bertopeng melanjutkan. "Namaku Dr. Doom. Aku ingin mengajukan…tawaran…"
Suara sang monster parau saat ia menjawab, "Kau tidak punya apapun yang kuinginkan."
Dr Doom tersenyum di balik topengnya, "Aku bisa membantumu… mengalihkan perhatian." Ia merentangkan tangan ke samping, dan beberapa robot mendarat di sampingnya.
Sang monster menggeram. "Aku mendengarkan."
"Aku mau mati saja."
Tony Stark, sang genius billionaire playboy philanthropist menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia duduk di samping tempat tidur Steve di rumah sakit khusus SHIELD, di kursi plastik yang sangat tidak nyaman. Di dekatnya berdiri Phil Coulson, Natasha, Clint dan Bruce.
"Ayolah Tony, kau tidak serius!"
"Tidaaak…aku sangat serius."
"Hush, Tony. Sudah kubilang kan, berkat super serum aku akan baik-baik saja." Steve berkata dari tempat tidur. Pundak kirinya yang terluka sudah dibalut dengan perban. Luka itu rupanya tidak mengenai jantung Steve atau pembuluh darah yang berbahaya. Keajaiban, menurut dokter.
Clint tertawa kecil, "Kurasa bukan itu yang membuat dia ingin mati."
"Oh ya?" tanya Phil, "Apa yang membuatmu berpikir begitu? Fakta bahwa ia mengajak Captain America berkencan via komunikator yang terhubung dengan SHIELD Headquarters, dan dengan demikian efektif terdengar oleh segenap personil SHIELD di ruang kendali?"
Tony menggeram."Kau sama jahatnya dengan Clint, Agent! Sama jahatnya."
Steve, sementara itu, memerah sampai ke telinga-telinga.
"Oh-ho." Gumam Natasha, yang kalau dilihat dari ekspresinya jelas-jelas terhibur oleh wajah sang Captain yang hampir menyaingi tomat. "Aku ingin tahu sampai bagian mana tubuhmu merah seperti ini."
"Kalian bertiga adalah setan dari neraka yang dikirim untuk menyiksaku, aku yakin itu!" seru Tony.
"Bukan menyiksamu! Menyiksa kalian berdua!" balas Clint, sebelum tertawa maniak.
Steve menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dosa apa aku sampai mendapatkan teman satu tim semacam ini?
Saat tawa semua orang sudah mereda, Natasha kembali angkat bicara. "Soal setan dari neraka…" nada suara wanita berambut merah itu berubah serius. "Bagaimana menurut kalian tentang makhluk itu?"
"Asphalt Man."
"Baiklah, Tony, Asphalt Man, biarpun aku merasa itu sebutan yang sangat jelek dan tidak berselera. Kau yang memiliki pengalaman langsung bertempur dengannya, Cap. Bagaimana menurutmu?" Lanjut Natasha.
"Untuk makhluk seukurannya, ia bisa bergerak dengan cepat. Substansi mirip aspal yang menyelimuti tubuhnya dapat menutup lagi setelah terpotong. Dan yang paling berbahaya adalah cakar metalnya."
"Aku meminta JARVIS melakukan scan pada metal itu saat ia menusuk armorku." Tony terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Cakar itu terbuat dari vibranium."
Semua terdiam. Vibranium, bahan yang sama dengan perisai Captain America. "Itu menjelaskan kenapa cakarnya bisa menembus armorku." Kata Tony lagi.
"Sebelumnya kudengar Tony bilang makhluk ini adalah hasil mutasi Wolverine. Tetapi dari video hasil pertarungan saat perisai Cap menebas tubuhnya, tidak terlihat adanya rangka dalam gumpalan mirip aspal itu." Phil menambahkan."Dan setelah tahu cakarnya bukan terbuat dari adamantium, kita bisa mengesampingkan Wolverine-dari-dimensi-lain."
"Ya, dari hasil uji laboratorium aku pun menyimpulkan bahwa unsur utama makhluk ini adalah cairan. Namun komposisi cairan ini belum pernah kulihat sebelumnya, terlebih fakta bahwa makhluk ini mengalami mutasi dari sinar gamma."
"Bruce, kalau kita tembak dengan sinar gamma lagi, menurutmu apa yang akan terjadi? Pada umumnya orang yang terkena sinar gamma—kecuali kau—akan mati."
Mendengar kalimat Tony, Bruce terlihat berpikir sejenak, "The Hulk adalah kasus yang sangat langka. Sebagian besar manusia bumi tidak akan bertahan hidup jika terkena sinar gamma. Perlu seseorang dengan kekuatan khusus untuk mencegah efek radiasi itu menyebabkan kematian."
"Kekuatan khusus…seperti serum super?" tanya Steve tiba-tiba.
"Apa maksudmu?Kau … mencurigai Steven?"Tony menatapnya tidak percaya.
"Cukup masuk akal, kalau dipikir-pikir. Dialah satu-satunya orang yang melewati portal via ledakan sinar gamma yang kita tahu." Ujar Natasha, diiringi dengan anggukan dari Clint. "Ia sering tiba-tiba menghilang."
"Bukankah itu untuk bertemu dengan Reed?" tanya Tony.
"Pagi saat korban pertama terbunuh, kami berpisah rute lari pagi." Ujar Steve. "Lalu—"
Tony mengangkat kedua tangannya, memotong kalimat Steve. "Aku tidak mau melanjutkan pembicaraan ini sebelum kita melakukan penyelidikan lebih lanjut." Ia berkata sebelum bangkit dari posisinya untuk pergi ke luar ruangan.
"Tony." Panggil Steve, "Orang itu berbahaya. Jangan sampai kau sendirian saja dengannya."
Dari ambang pintu, Tony menengok sedikit untuk melihat ke arah Steve, "Pembicaraan ini sudah selesai, Cap." Lalu menutup pintu.
Dua hari kemudian, di workshop bawah tanah, Tony duduk termenung sendiri. Matanya tidak lepas dari video CCTV yang diretas JARVIS dari database kepolisian. Pada video itu ia mengenali sosok Steven, yang terkadang menghilang dari deteksi, lalu muncul kembali. Seolah hilang begitu saja dari radar.
"JARVIS, coba putar rekaman video di sekitar TKP sejak kejadian portal. Scan Steven Rogers."
"Negative, Sir."
Tony menghela nafas yang sedari tadi ditahannya. Walaupun Steven tidak terlihat di sekitar TKP, namun ia tidak secara otomatis terlepas dari kecurigaan, akibat kemampuannya menghilang dari radar dan CCTV. Memang wujud Asphalt Man sangat jauh berbeda dengan Steven, tetapi mengingat teori Bruce akan kemiripan kondisi Asphalt Man dengan Hulk…
Tony meraih gelang besi yang berfungsi untuk memanggil armor Iron Man. Satu-satunya cara adalah mengikuti pria itu secara langsung, sepertinya."Baiklah. JARVIS, kau tahu tugasmu. Rekam semuanya."
"Tentu saja, Sir."
Tony memasang gelang itu di pergelangan tangan lalu berjalan menuju armor Iron Man terbarunya, Mark VII, dan membiarkan armor itu terpasang di tubuhnya. "Ayo kita temui Steven."
Steven, menurut catatan JARVIS, selalu menghilang dari kamarnya selama dua jam di tengah malam. Karena itulah Tony menyesuaikan waktunya dengan saat Steven pergi ke luar. "JARVIS, stealth mode."
Segera setelah stealth mode diaktifkan, Tony mengikuti jejak Steven. Dari Avengers Tower ke mini market, lalu duduk di taman untuk memberi makan anjing liar, dan jogging menuju rerimbunan pepohonan. Tony agak panik saat Steven menghilang dari radarnya, lalu mendarat di tempat terakhir Steven terlihat.
Arc reactor Tony hampir melompat keluar saat sesuatu menabraknya sampai jatuh ke tanah dari samping dan menahan tangannya di kedua sisi kepala.
Steven.
"Aku kehilangan kesabaran menunggumu menampakkan diri."
Dengan perintah suara, Tony membuka pelindung wajahnya. "Kau tahu aku mengikutimu."
Steven mengangkat bahu, tapi tidak melepaskan pegangannya. "Dengan serum super, instingku juga bertambah tajam."
"Hmm, kira-kira apalagi yang bertambah super pasca-serum?" Tony bertanya tanpa berpikir.
Steven mengangkat sebelah alisnya, lalu mendekatkan bibirnya dengan bibir Tony sampai hampir bersentuhan. Begitu dekat, sampai keduanya bernafas dari udara hangat yang sama. "Mau kutunjukkan?"
Mata Tony tidak bisa terlepas dari manik biru Steven, yang menatapnya dengan tatapan lapar dan…posesif? Aneh, bagaimana tatapan itu membuatnya merasa bergairah sekaligus takut. Takut karena sekali ia terjebak…ia tahu ia akan kesulitan untuk melepaskan diri. Sekarang saja, Tony membutuhkan keseluruhan tekadnya untuk menahan diri dari menghapus jarak di antara bibir mereka yang hanya millimeter itu.
"Kau sudah memiliki Tony Stark-mu sendiri." Kata Tony akhirnya. Bagaimanapun miripnya, orang ini bukanlah Steve-nya. Kemana perginya kau 20 tahun belakangan ini, pengendalian diri? Kenapa baru muncul sekarang disaat ada fotokopi Captain America di pelukanku?
Steven menghela nafas, lalu bangkit dan mengulurkan tangan untuk membantu Tony berdiri. "Dia milikku hanya dalam nama saja."
"Oooke, apa ini bagian dimana kau akan mencurahkan isi hatimu? Karena kalau ya, aku ingin melepas armorku dulu sebelum menawarkan lengan baju untuk menghapus air matamu."
Steven tertawa kecil, lalu memberi isyarat pada Tony untuk mengikutinya menuju sebuah bangku taman. "Aku suka duduk di sini, di dekat pepohonan, karena mengingatkanku pada masa-masa sebelum diberi serum. Kalau hari cerah, ibuku suka mengajakku piknik ke taman—tentu saja masa itu kami tidak memiliki banyak makanan, jadi piknik hanya berarti pindah tempat saja—lalu aku akan menggambarnya saat ia sedang tertidur."
Sambil melepas armornya, Tony tersenyum simpul. Ia mengerti rasa damai itu. Dulu sekali Maria Stark pernah mengajaknya piknik di halaman rumah, dan itu adalah salah satu kenangan paling indah yang pernah ia miliki.
Kesunyian yang nyaman menyelimuti mereka berdua, sama-sama dalam kondisi mengenang masa lalu. Steven menengok ke atas untuk melihat bulan purnama sedang bersinar terang di langit New York, dan tertegun. Ingatan yang selama ini ia tekan ke bagian otaknya yang paling dalam muncul ke permukaan. Saat itu juga…sedang bulan purnama…
Tangan kanan Steven gemetar, namun ia berusaha menahannya. Tony, menyadari ini, bertanya, "Ada apa, Steven?" sambil menyentuh lengan Steven. Gemetaran itu terhenti seketika, membuat Steven menghela nafas lega. "Tidak—hanya saja…" diam sejenak, "Bulan purnama mengingatkanku akan kenangan buruk."
Tony menggigit bibirnya. Ia juga familiar dengan kenangan buruk. Seperti tumbuhan yang akarnya perlahan mencengkeram hatimu, semakin kuat dan semakin kuat sampai kau akhirnya bisa melepaskan diri…atau hancur berantakan.
Seandainya dulu tidak ada Pepper di sisiku…
Tony menoleh untuk melihat ekspresi wajah Steven. Pria itu jelas-jelas berusaha supaya terlihat baik-baik saja, tetapi Tony bisa mengenali warna pucat yang menggantikan semu wajah Steven. Apakah Steven memiliki seseorang seperti Pepper yang membantunya melepaskan diri dari kenangan itu? Apakah Tony yang di sana orang itu?
"Aku tidak pandai dengan segala hal yang berkaitan dengan emosi, tapi…" kata Tony akhirnya, menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Steven, "Aku bisa mendengarkan. Itu kalau kau mau."
Steven mengangguk, ia terdiam. Lama. Lalu, seolah sudah mengumpulkan keberaniannya, ia memulai. "Di… duniaku terjadi perang sipil antar pahlawan super. Segalanya jadi begitu buruk, pertarungan demi pertarungan terjadi…" Ia mengeratkan genggamannya, "Kau dan aku, kita berada di kubu yang berbeda…" mata Tony membelalak mendengar kalimat Steven.
Aku dan Steve…sebagai musuh?
Sungguh Tony tidak bisa membayangkan hal itu terjadi.
"Kami berhasil mengakhirinya, namun harga yang harus dibayar terlalu tinggi." Steven memejamkan matanya dan terbayang sosok Iron Man yang berlumuran darah, mata yang pasrah itu sebelum ia melancarkan pukulan terakhir. Malam itu juga, bulan purnama membumbung tinggi, menyinari wajah Tony-nya dengan jelas. Darah…darah dimana-mana…
Tony menyadari tangan Steven kembali gemetar. Dengan tangannya yang masih bebas, Tony membelai lengan Steven, berharap bisa menenangkannya. Steve membuka mata, dan dengan suara serak melanjutkan, "Kita sepakat bertemu untuk…berbicara. Tetapi lalu kau—seperti biasa—mengucapkan hal-hal yang memancing emosiku, dan aku mengatakan hal yang sama buruknya, dan begitu tersadar… banyak orang memegangi tubuhku, menghalangiku… dan kau… aku…"
Steven memandangi kedua tangannya seolah tangan itu masih berlumuran darah. "…membunuhmu—aku hampir membunuhmu, Tony." Ia melanjutkan dengan suara hampir berbisik, kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Saat itu untuk sejenak, di mata Tony ia terlihat begitu rapuh. Sejenak, semua kecurigaan Tony menghilang, dan ia tidak dapat menahan diri untuk memeluk Steven.
"Ssh… Steven." Tony berbisik di telinga Steven, mencoba menenangkan pria itu. Tidak ada air mata, tetapi Tony tahu Steven dibebani oleh perasaan bersalah dan menyesal yang dalam. "Kau tahu tidak?" ujar Tony setelah beberapa lama."Kurasa, di dunia manapun, Steve Rogers merupakan orang yang penting bagi Tony Stark. Kau harus membicarakan hal ini dengan Tony-mu. Ia…pasti memaafkanmu. Aku tahu aku akan memaafkanmu kalau berada di posisinya."
Steven melepaskan diri dari pelukan Tony, "Aku memaksa menikahinya—tanpa persetujuannya, Tony. Karena aku tidak ingin terpisah lagi seperti saat perang sipil. Aku hanya ingin ia ada di sisiku. Walaupun demikian, aku tahu ia tidak pernah memaafkanku."
Oh, pikir Tony. Itu menjelaskan kenapa mereka bisa sampai menikah.
"Apa kau sudah pernah menyatakan perasaanmu?"
Steven terdiam, "Kurasa…sudah terlambat."
Tony memutar bola matanya."Tidak ada kata terlambat, tahu! Apalagi untuk sepasang idiot macam kalian."
"Hei!Aku tidak sudi dikatai begitu olehmu. Kau bahkan belum mengajak Steve-mu berkencan."
"Aku sudah mengajaknya berkencan, namun aku mengajak orang yang salah. Kau."
Steven tertawa, tetapi ia lalu menarik Tony ke dalam pelukannya. Ia memejamkan mata sambil menghirup aroma tubuh Tony, sesuatu yang sangat ia rindukan. "Seandainya kau milikku…" Tony mendengar Steven bergumam, dan ia hanya bisa menepuk-nepuk punggung pria berambut pirang itu.
Di langit, bulan purnama bersinar dalam keheningan.
"Orang ini terdengar jujur." komentar Clint pasca menonton rekaman video pembicaraan Tony dengan Steven di malam sebelumnya (hasil rekaman JARVIS). Tentu saja versi yang sudah diedit bagian depan dan belakangnya. Steve tidak perlu melihat adegan-hampir-ciuman di awal, dan bahwa Tony berencana mengajaknya berkencan. Pokoknya tidak.
"Rekamannya terputus." Demikian komentar Natasha. Duo assassin itu, ditambah Bruce, Steve, dan Tony tentunya, sedang berkumpul di workshop Tony untuk rapat sekaligus melihat hasil Tony memata-matai Steven. Kelima orang itu mengelilingi sebuah layar hologram besar yang menampilkan berbagai macam data, gambar, serta video.
"Bagian depan dan belakangnya itu…pribadi. Tidak ada yang perlu kalian lihat." Kata Tony sambil menyandarkan sikunya di atas meja. Tangannya mengutak-atik layar hologram yang lebih kecil.
"Aku yang memutuskan itu, Tony." Kata Steve dengan nada tegas. Berkat serum, ia memiliki kemampuan penyembuhan yang jauh di atas manusia normal. Karena itu, hanya dalam tiga hari saja ia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Kabarnya luka Steve bahkan sudah hampir sembuh total-kenyataan yang membuat para dokter yang menangani Steve sangat terkejut).
"No can do, baby doll." Tony menegakkan diri, lalu menyandarkan pinggulnya di meja. "Rekamanku," ia menunjuk dirinya sendiri, "Keputusanku." Lanjutnya.
Clint mendengus. "Jangan bilang kau tidur dengan Steven setelah pembicaraan itu."
Tony menatap Clint sambil menyilangkan tangan di dada, ujung bibirnya terangkat sedikit. "Siapa bilang aku tidak?"
Mendengar hal itu, obeng di tangan Steve patah jadi dua—sejak kapan aku memegang obeng?. Steve menunduk memperhatikan obeng yang patah itu, lalu diam-diam ia masukkan sakunya sebelum Tony sadar.
"Kembali ke masalah semula, rekaman ini tidak membuktikan bahwa ia bukan tersangka kita." Bruce menyela pertandingan saling menatap antara Tony dan Clint sebelum sang pemanah itu mengatakan hal lain yang membuat Steve menghancurkan lebih banyak barang di workshop Tony.
"Tidak, ini membuktikan bahwa Steven memiliki kondisi kejiwaan yang normal—walaupun sedikit galau—sehingga ia tidak punya motif untuk melakukan pembunuhan berantai ini. Ayolah guys, kita semua tahu Steve seperti apa, ia tidak akan sembarangan membunuh orang."
"Ya, tapi ini Steven, orang yang baru saja melewati perang sipil dan hampir membunuh pasangannya sendiri, lalu terkena radiasi gamma dan terlempar ke dimensi lain. Rekamanmu di awal memperlihatkan bahwa tangannya gemetar saat ia teringat kenangan buruknya. Dengan kata lain, mengalami gejolak emosi yang kuat. Hal ini terjadi padaku, saat aku menahan The Hulk untuk tidak keluar."
"Aku tidak mengatakan ia seratus persen bebas dari kecurigaan. Sebelum rekaman yang kau lihat, ada saat di mana ia menghilang dari radarku." Tony menengok ke arah Steve, "Seperti saat kita bertemu Asphalt Man, Steve." Ia mengetik sesuatu di layar hologram, lalu menunjukkan beberapa video via layar yang lebih besar. "Dan dari hasil kamera CCTV yang dihack JARVIS, ternyata hal itu sering terjadi."
"Tidak bisakah kita menjebaknya? Setidaknya untuk memastikan ia Asphalt Man atau bukan. " Natasha mengusulkan.
Semua terdiam, berpikir. "Biar aku yang lakukan." Kata Tony tiba-tiba.
"Tidak." Tolak Steve tegas.
"Aku satu-satunya yang ia percayai di sini! Akuilah, Steve! Ini adalah pilihan paling logis!"
"Ini terlalu berbahaya. Terakhir kali kita berhadapan dengan Asphalt-man, ia hampir membunuhmu."
Tony maju ke hadapan Steve, sampai dada keduanya hampir bersentuhan. "Terakhir kali kita berhadapan dengan Asphalt-man, ia hampir membunuhMU, Steve." Desisnya.
Steve menyilangkan tangan di depan dada. "Kalau begitu apa yang membuatmu berpikir aku akan membiarkanmu menjadi umpan?"
"Kau—" Tony mencengkeram kerah baju Steve, "Argh, kenapa kau begitu keras kepala?"
Keduanya bertatapan, tak satupun mau mengalah. Sampai akhirnya, Steve memejamkan mata dan menghela nafas. Perlahan ia melepaskan cengkeraman Tony dari kerahnya. "Kau bilang, di dunia manapun, Steve Rogers merupakan orang yang penting bagi Tony Stark." Ia menelan ludah sebelum melanjutkan, "Begitu juga sebaliknya, Tony."
Steve menatap Tony lekat-lekat sebelum mundur dan berbalik pergi. "Aku ada rapat dengan Fury. Ingat, aku tidak akan menyetujui ini." Kata Steve saat ia mencapai pintu, "Kita akan menemukan taktik lain."
Melihat kepergian Steve, Tony mengacak rambutnya sebelum menyatakan ia butuh Vodka, dan menghilang ke bagian belakang workshop.
Clint, Natasha, dan Bruce masih berdiri di tempat yang sama, saling berpandangan.
"Apa cuma aku di sini yang bertanya-tanya kenapa belum ada kabar dari Reed Richards?" tanya Clint.
"Aku akan mengecek hasil penyelidikan NYPD." Kata Natasha. Semoga kepolisian New York dapat menemukan informasi yang berguna.
"Aku akan menguji coba sekali lagi sampel darah Steven di lab." Kata Bruce.
"Aku…akan mencari Phil. Kuharap ia tidak sedang berada di belahan bumi lain mengerjakan misi dari SHIELD." Kata Clint.
"Baiklah."
Ketiganya saling berpandangan lagi.
"Terkadang aku ingin mengunci Tony dan Steve di silinder kaca Nick Fury sampai mereka mendeklarasikan cinta pada satu sama lain dan mengakhiri seluruh kecanggungan ini." Kata Clint sambil beranjak dari tempatnya.
Natasha, teringat pada silinder kaca tempat memenjarakan Loki beberapa waktu yang lalu itu, mengangguk setuju. "Ide bagus." Katanya. Kalau setelah semua ini berakhir Tony dan Steve belum bersama juga, mungkin ia benar-benar akan melakukan hal itu.
"Biar kuperjelas, jadi kalian mencurigai mantan Captain America sebagai pelaku penyerangan berantai ini."
Nick Fury, adalah orang yang memiliki karisma dan ketegasan seorang diktator yang mampu membuat agen SHIELD biasa menangis tersedu-sedu hanya karena ditatap oleh sebelah matanya (karena yang sebelah lagi, well, ditutup). Sayangnya Steve Rogers bukan agen SHIELD biasa, karena itu ia kebal terhadap tatapan Fury ini, tatapan yang mempertanyakan kenapa ia tidak melapor lebih cepat.
"Benar sekali, Sir. Beberapa petunjuk mengarah kepadanya, tetapi kami masih menunggu hasil tes Dr. Banner untuk mendukung hipotesis kami." Steve berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Iron Man berkeyakinan bahwa ada motif yang kuat di balik semua ini, kalau memang Steven pelakunya."
"Seseorang yang sudah disuntik serum perajurit super kini memiliki kemampuan berubah seperti Hulk dan ia berkeliaran bebas di luar sana, di tengah-tengah para Avengers, begitu, Prajurit? Dan yang ingin kalian lakukan adalah mencari motif?" nada suara Fury meninggi.
"Sekali lagi, kecurigaan kami belum memiliki bukti yang kuat. Menjawab pertanyaan anda, dengan mengetahui motifnya, apa yang membuat emosinya bergejolak, kita bisa mengetahui dalam kondisi apa ia berubah menjadi—well, Asphalt Man. Dengan demikian kami bisa menentukan tindakan apa yang harus diambil, seandainya skenario terburuk terjadi."
"Dan apa, skenario terburuk itu menurutmu, Captain?"
"Bruce Banner adalah manusia biasa, bisa anda bayangkan kalau aku yang terkena radiasi sinar gamma itu?"
Nick Fury terdiam, bibirnya mengatup erat. Ia lalu duduk bersandar di kursinya. "Aku akan menekan Dr. Richards untuk mempercepat pekerjaannya. Kalau kita tidak bisa membunuhnya, kita akan melemparnya ke dimensi lain yang tidak berpenghuni. Kau boleh pergi, Captain. Kita sudah selesai di sini."
"Mau berlatih tanding?"
Suara yang persis dengannya itu membuat Steve memperlambat pukulannya ke samsak sampai akhirnya berhenti. Ia menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju, lalu menengok ke arah Steven. Pria dari dimensi lain itu bersandar di ambang pintu, sudah mengenakan celana training dan kaos tanpa lengan. Steve memberi isyarat dengan tangannya ke arah ring, mengundang Steven untuk naik.
"Apa kabarmu akhir-akhir ini? Kau jarang kelihatan di tower." Tanya Steven sambil memasang kuda-kuda. Kedua tangan terkepal di depan dadanya.
"Biasa, menyelamatkan dunia." Jawab Steve pendek sambil melancarkan jab kiri, yang berhasil dielakkan dengan mudah oleh Steven. "Bagaimana denganmu?"
Steven tertawa kecil, lalu membalas jab Steve dengan pukulan ke arah pinggang. "Menjadi kelinci percobaan Dr. Richards."
"Teringat masa lalu, huh?" Steve menangkis pukulan Steven dengan tangan kanannya, lalu tiba-tiba melancarkan hook kiri ke rahang Steven, yang tidak sempat ia hindari. Pria itu mundur sejenak, lalu meraba rahangnya, dan kembali memasang kuda-kuda. "Tidak buruk. Alat yang akan mengembalikanku sudah hampir selesai, by the way."
Jab kanan dari Steven. Steve menghindar. "Berita bagus."
Steven menyeringai, "Kalau bisa, aku ingin membawa Tony."
Cross. Tangkis. Jab.
"Tony dibutuhkan di sini. Kau sudah punya Tony-mu di sana."
Straight. Straight. Hook.
"Bagaimana kalau aku akan tetap membawanya?"
Steve memicingkan matanya. "Tidak bisa. Ia milikku." Uppercut dari kiri bawah menghantam rahang Steven.
Steven terhuyung ke belakang, tetapi kemudian berhasil mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Steve menyadari tangan pria itu mulai gemetar. Bagaimana warna matanya berubah gelap, pupil pria itu membesar dan nafasnya mendadak memburu. Steve mengepalkan tangan erat-erat, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Tetapi sama dengan kemunculannya yang mendadak, gemetaran itu juga terhenti seketika. Wajah Steven kembali terlihat tenang.
"Ah ya, aku sudah dengar bagaimana Tony mengajakmu berkencan di depan publik. Kuasumsikan kau menjawab ya, mengingat kau sudah menganggapnya milikmu."
Steve terdiam, karena memang ia belum berkesempatan memberi jawaban. Melihat hal ini, mata Steven berkilat, seperti sedang merencanakan sesuatu. Steve tidak suka itu.
"Well, well…apa ini? Pertandingan memperebutkan cinta Princess Anthony?" Clint melompat turun dari ventilasi udara di langit-langit. Steve bahkan sudah tidak kaget lagi.
"Tony sekarang seorang putri? Apa aku harus mempersiapkan diri melihat Tony berkeliaran mengenakan dress pink kembang-kembang?" Phil bertanya sambil masuk ke dalam gym, tentu saja dalam balutan jas hitam rapi seperti biasa. "Hey Captain, Stark-Rogers." Ia menyapa kedua Steve yang masih di atas ring.
"Kudengar kau pergi melakukan misi SHIELD." Kata Steve sambil turun dari ring dan menghampiri sang agen.
"Clint menyeretku kembali." Phil menyodorkan sebuah folder berwarna kuning ke tangan Steve, "Ini data yang kau minta."
"Terima kasih, Phil. Aku tahu ini…err..merepotkan. Maaf."
Phil mengibaskan tangannya, "Tenang saja, aku selalu senang membantumu."
"Daaan JARVIS bilang disinilah kalian semua berkumpul. Sedang apa? Wah apa aku melewatkan latih tanding dua Steve Rogers? Tunjukkan rekamannya padaku nanti, JARVIS." Tony muncul tiba-tiba, mengagetkan Steve yang langsung mencengkeram folder kuning di tangannya erat-erat di depan dada.
"Tentu saja, Sir."
Tony melihat folder kuning di tangan Steve. "Serius? File di atas kertas? Bukankan aku memberimu Starkpad bulan lalu?"
Wajah bersalah Steve menjawab segalanya, membuat sang billionaire memicingkan mata. "Kau merusaknya lagi ya?" tanya Tony menuduh.
"Tidak—err—kali ini Thor. Dia…mematahkannya menjadi dua?" jawab Steve dengan suara kecil.
"Apa semua benda yang kau pegang harus kuperkuat dengan vibranium? Karena asal tahu saja material itu tidak tersedia banyak di sekitar sini. Apa aku harus melelehkan perisai Steven?" Tony berhenti sejenak, berpikir. "Ngomong-ngomong, kemana perisaimu, Steven?"
Steven mengangkat bahu, "Entah, sepertinya tertinggal di tempat asalku."
Ketidakpedulian Steven akan keberadaan perisainya memunculkan lebih banyak kecurigaan di antara para Avengers, tetapi mereka tidak menyebutkannya. Tony baru akan meracau lagi, namun kalimatnya dipotong oleh Clint. "Jadi ada perlu apa, Tony?"
"Ah benar, aku mencari Steven. Tadi Reed telepon, memanggil kita berdua ke Baxter Building. Sepertinya ia butuh data lebih darimu dan bantuanku membuat alatnya."
Steven mengangguk, "Aku akan ganti baju dulu kalau begitu. Kita bertemu di bawah, 10 menit lagi?"
"Oke." Jawab Tony sambil memperhatikan punggung Steven yang pergi menjauh. Masih sambil memandangi punggung Steven (oke, lebih bawah lagi sedikit), Tony melangkah menuju pintu Gym. Tiba-tiba saja tangan Steve mencengkeram lengannya, membuat ia tertarik ke belakang dan menabrak dada bidang pria itu.
"Ingat apa yang dikatakan Fury, Tony. Untuk kemungkinan terburuk." Ia berkata dengan nada rendah di telinga Tony untuk menghindari kalimatnya terdengar oleh Steven—serum super juga meningkatkan kemampuan pendengaran. Dan kalau saat Steve melakukan itu nafas Tony sedikit tercekat, sang Captain America menganggap rasa puas yang ia rasakan sebagai bonus.
"I-iya, aku tahu." Balas Tony, sedikit tergagap, panas tubuh Steve terasa dari balik T-shirt tipis yang mereka berdua kenakan. Dan otot dada itu, oh God (yang bukan Thor ataupun Loki), banyak hal yang bisa Tony lakukan pada otot sebagus itu. Memaksa pikirannya kembali tenang, Tony mengangkat pandangannya sampai bertemu dengan Steve, wajah mereka berdekatan."Genius, ingat?" ia mengetukkan telunjuknya di pelipis.
"Hmm…" Mata Steve melirik bibir Tony, lalu kembali menatap mata pria itu, "Hati-hati dan….jangan memprovokasi Steven."
Tanpa keduanya sadari, ruangan itu jadi sunyi. Tony hampir saja menyerah dan membuat jarak wajah mereka jadi nol (dan besarnya gaya yang dibutuhkan berbanding lurus dengan tekanan, gesekan,dan sudut elevasi-APA YANG KUPIKIRKAN TADIII?), tetapi suara Clint membuyarkan suasana. "Jadi…sekarang kalian pasangan? Sial, aku kalah 50 dollar dari Nat!" ia mengeluh. Phil menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Idiot.
Steve tergagap. "Pa-pasangan? Tapi kami tidak—tunggu dulu, kalian bertaruh atas—" kalimatnya terhenti saat melihat ekspresi Tony yang mendadak dingin. "Tony? Ada apa?"
Tony menarik lengannya dari pegangan Steve. "Tidak ada apa-apa. Aku pergi dulu, Steve."
"Kau. Captain. Idiot." Kata Clint setelah Tony pergi, disambut dengan ekspresi bingung Steve. "Apa salahku?"
Phil menyikut pinggang Clint. "Kau yang paling tidak berhak mengatai orang seperti itu, Clint." Tegurnya.
"Ada apa ini? Apalagi yang kalian lakukan? Dan kemana Tony?" Natasha masuk ke dalam gym sambil menunjuk arah kepergian Tony.
"Err—Baxter building, Reed butuh bantuannya." Jawab Steve, masih memikirkan ekspresi Tony tadi. Natasha mengangguk-angguk. "Kalau begitu kita saja. Aku sudah mendapatkan hasil penyelidikan CSI NYPD, ayo ke ruang rapat. JARVIS?"
"Semua sudah saya persiapkan, Ms. Romanoff."
Tanpa banyak bicara, mereka semua mengikuti kemana Natasha pergi.
Baxter Building masih persis seperti terakhir kali Tony lihat, sayangnya. Ia setengah berharap bangunan itu akan rusak atau bagaimana pasca kejadian portal kemarin, tapi tidaaaaakk…lagi-lagi gedungnya—Avenger Tower—yang mengalami kerusakan. Lantai 40-60 masih tidak bisa terpakai akibat tertabrak Doombot yang dilempar Thor. Untung saja penjualan merchandise Avenger berjalan sangat lancar, sehingga bisa menutupi biaya perbaikan.
"Hey Tony, Steven." Sapa Susan Storm—Richards, Tony mengingatkan dirinya sendiri. Susan Richards.
"Hey Sue. Kemana yang lain? Sepertinya sepi." Tanya Tony sambil melihat ke kanan dan kiri. Nope. Tidak ada tanda-tanda kehadiran yang lain. Biasanya Johnny datang dan membuat keributan.
"Reed di workshop, tentu saja. Ben sedang menemui Alicia, dan Johnny…entahlah. Mungkin kencan." Jawab Susan sambil mengantar Tony dan Steven ke arah workshop di lantai teratas Baxter Building. Tony pernah beberapa kali ke sana, ia ingat workshop Reed Richards dipenuhi berbagai macam mesin dan—yang lain tidak percaya saat ia mengatakan ini—lebih berantakan dari workshop Tony.
"Kudengar mesinnya sudah hampir selesai." Kata Steven.
Susan terlihat gugup, "Err-yah, ada sedikit penyesuaian yang tidak bisa dilakukan tanpa bantuan Tony."
Tony melirik Steven, tetapi melihat pria itu masih terkendali, ia memfokuskan pandangannya pada mesin di tengah ruangan dan Reed Richards yang sedang membungkuk mengutak-atik mesin itu. Sang ilmuwan meraih peralatannya dari tempat yang agak jauh, tangannya memanjang kesana kemari.
"Oke, itu praktis sih, tapi agak creepy." Tony berkomentar, membuat Reed menyadari kedatangannya.
"Hei Tony, Steven." Sapanya. Steven mengangguk, sedangkan Tony berjalan lebih dekat, tidak sabar ingin ikut mengutak-atik mesin portal antardimensi itu. Susan dan Steven tertawa kecil, melihat Tony dan Reed berdiskusi dengan antusias, mengucapkan jargon-jargon teknis yang tidak mereka mengerti, dan mengutak-atik mesin portal itu.
Susan menepuk pundak Steven. "Aku perlu mengecek ulang data fisikmu. Ayo!" ia mengisyaratkan Steven untuk mengikutinya ke pinggir ruangan, dimana terdapat alat lain. Steven diminta duduk di sebuah kursi, kabel dipasangkan ke pergelangan tangan dan pelipisnya, sementara Susan mengoperasikan sejenis computer yang terhubung dengan kabel-kabel tersebut.
"Berikan aku beberapa data tentangmu, Steven."
"Namaku Steven Grant Rogers. Lahir 4 Juli, 1922 dari Joseph Rogers dan Sarah Rogers, di Lower East Side Manhattan. Mantan Captain America, walaupun sekarang di duniaku dipanggil dengan Commander Rogers."
"Hmm… kau sempat mengatakan timeline duniamu lebih maju beberapa tahun daripada di sini."
"Ya, sekitar 8 tahun?"
"Well, keterangan itu mengurangi beberapa kemungkinan." Susan mengetikkan sesuatu ke dalam komputernya. "Yang menyulitkan kami menemukan dimensimu adalah pengaruh radiasi gamma yang ada di dalam darahmu. Tetapi kurasa perhitungan Reed sudah hampir selesai. Apalagi dengan bantuan Tony…"
"Fury menghubungiku." Kata Reed setengah berbisik. "Bagian itu kurasa harus kita upgrade." Katanya lagi sambil menunjuk salah satu bagian yang dipegang Tony.
"No shit, Reed. Bagaimana bisa kau membangun mesin portal antardimensi dengan ini?" Tony mengernyitkan dahi sambil membolak-balik pecahan mesin itu. "Ya, aku tahu." Ia balik berbisik, tetapi lalu melirik ke arah Steven sambil menunjuk ke arah telinganya sendiri. Prajurit super dengan pendengaran super.
Reed mengangguk, mengerti. "Masalahnya adalah aku masih belum bisa menentukan koordinatnya." Koordinat yang Fury minta, akan dimensi lain yang tidak ada penghuninya.
Tony mengeluarkan Starkphone-nya dan menyambungkannya ke mesin Reed. "JARVIS akan membantumu."
"Dan ini." Reed memberikan sebuah alat yang berbentuk lingkaran, seperti sebuah kalung.
"Apa itu…choker?"
"Ini adalah alat yang akan memindahkan Steven ke dimensinya. Mau tidak mau harus dipasang di dekat kepala—dalam kasus ini di leher, untuk menemukan gelombang dari dimensi yang sama dengan gelombang otaknya. Dikendalikan dari komputerku."
"Bagaimana dengan sumber energinya?" Tony bertanya sambil mengutak-atik choker tersebut, membuka casing-nya dengan hati-hati lalu... terdiam melihat apa yang ada di situ.
Pada dasarnya, chocker itu adalah bom nuklir mini dengan fitur tambahan.
Refleks ia melihat ke arah Reed dengan tatapan tidak percaya. "Fury siap untuk segala kemungkinan, huh?" ia berkata pada akhirnya. Reed mengangguk, wajahnya murung. Tony menggertakan gigi. "Dan yang membuatku kesal adalah ini memang diperlukan sebagai sumber energinya." Ia teringat kehadiran Steven di ruangan. "Tidak banyak sumber energi yang bisa menyediakan cukup banyak untuk membuka portal antardimensi."
Tidak, sebenarnya Tony bisa membuat sumber energi itu, tetapi… Ya, kalau Steven memang Asphalt Man, bom itu akan dibutuhkan. Dengan tangan gemetar, Tony mencengkeram pergelangan tangannya sendiri, mencoba meredam perasaan bersalah yang ia rasakan terhadap Steven. Bagaimana dengan Tony di dimensi sana? Apa ia tega merenggut Steven dari Tony?
"Tony?"
Tony terlonjak dari tempatnya bersila di lantai karena sentuhan tangan Steven di bahunya. "Kau melamun, kenapa? Semua baik-baik saja?"
"Oh. Aku…aku baik-baik saja, Steven." Tony mengangguk, lalu menggunakan sebelah tangannya untuk menyeka wajah. "Kurasa aku butuh kopi."
"Ah, biar aku buatkan." Kata Susan, yang langsung beranjak menuju pantry.
Steven menggelengkan kepala melihat wanita berambut pirang itu, "Aneh rasanya melihat Susan begitu ramah padamu."
"Memangnya di dimensimu Susan membenciku?"
Ekspresi wajah Steven sejenak terlihat kosong, tanpa ada emosi di dalamnya. "Tidak lagi." Jawabnya pendek. Perasaan Tony mendadak jadi tidak enak.
"Nah! Sepertinya kita sudah bisa mulai mengetes apakah mesin ini berfungsi atau tidak. Steven, bisa tolong kenakan choker ini?" Reed menyerahkan choker itu ke tangan Steven, yang ia terima sambil tersenyum nakal ke arah Tony.
"Asal Tony membantuku memakainya."
Tony agak terkejut dengan permintaan itu, tetapi lalu balas tersenyum."Aku tidak janji akan berkelakuan baik, Steven."
Steven berjalan mendekat sampai ia berada di hadapan Tony, "Hmm…aku tidak keberatan kalau kau agak nakal." Godanya sambil menyerahkan choker itu ke tangan Tony.
Reed mengeluarkan suara seperti tersedak, "Oh, please jangan saling menggoda di sini."
Steven menyeringai ke arah Reed. "Kenapa, dokter? Mau bergabung?"
"Awas saja kalau kau bilang 'iya', Reed." Kata Susan, yang memasuki ruangan sambil membawa nampan berisi empat cangkir kopi. "Kopi, boys! Tapi tentu saja itu bisa menunggu sampai setelah uji coba." Lanjutnya pasrah, saat melihat Reed sudah siap di samping portal generator.
Reed berdehem, "Baiklah, aku sudah memasukkan koordinatnya. Ayo kita coba."
Tony mengalungkan lengannya untuk memasang choker itu di leher Steven. Ibu jarinya membelai tengkuk pria itu, setelah pengaitnya terpasang dengan kuat. Steven tersenyum, tangannya menahan kedua tangan Tony di kedua sisi bahunya. Meraba semakin tinggi, sampai akhirnya ia menggenggam pergelangan tangan Tony di mana terdapat gelang untuk memanggil armor Iron Man.
Steven mencondongkan tubuhnya ke depan untuk sekilas mengecup bibir Tony, lalu dalam satu gerakan ia menekan tombol di gelang Tony, yang membuatnya terlepas.
"Ap—"
Sebelum Tony sempat bereaksi, ia melempar gelang itu jauh-jauh ke sudut ruangan, meninju ulu hati Tony sampai ia berlutut kesakitan. Direnggutnya salah satu kabel listrik di lantai sampai terputus, dan ia menyentuhkan ujungnya ke tubuh Reed Richards. Sang ilmuwan tumbang diiringi jeritan istrinya.
Steven menoleh ke arah Susan berdiri, hanya saja wanita itu sudah menggunakan kekuatannya untuk menghilang. Ia menyeringai. "Jangan berpikir bisa sembunyi dariku, Sue." Pendengaran super Steven bisa mendengar bunyi langkah Susan, yang berusaha mengendap-endap di belakangnya.
Tanpa ragu ia menangkap leher Susan dengan satu tangan, memutus aliran nafasnya. Wanita itu meronta-ronta, tidak butuh waktu lama sampai ia kehilangan kesadaran. Melihat Susan tidak sadarkan diri, Steven melempar tubuh lemas itu ke lantai.
"Dan sekarang…" ia kembali memfokuskan perhatiannya kepada Tony, yang kini sedang berusaha berdiri dari posisinya. Steven ikut berlutut di hadapan Tony, sebelah tangan terulur untuk membelai rahang sang Iron Man. "Tinggal kau dan aku, sayang."
"Holy shit…" umpat Clint saat melihat foto-foto yang terpampang di layar computer itu. File yang dikirim oleh NYPD mengenai daftar korban menunjukkan bahwa semua korban memiliki ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan Tony.
"Korban Asphalt Man tidak dipilih secara acak. Mungkin ia menganggap mereka semua Tony, dan saat ia menyadari bahwa mereka bukan Tony, ia menjadi emosi dan membunuhnya." Natasha menambahkan.
"Ini…" Steve tidak mampu berkata-kata. Teringat pembicaraannya dengan Steven di gym, bagaimana Steven berkata ingin membawa Tony pergi. Perasaannya mendadak jadi sangat tidak enak. Bahkan saat Starkphone-nya berbunyi, ia langsung mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Steve!" Suara Bruce terdengar panik.
"Bagaimana hasil lab-nya, Bruce?"
"Aku dan JARVIS berhasil membalikkan proses mutasinya dengan algoritma yang dibuat Tony. Dan hasilnya… DNA yang kami dapat adalah DNA yang persis denganmu, Steve!"
Wajah Steve semakin pucat."Phil, apa…Tony masih berada di Baxter Building?"
Phil mengalihkan pandangannya dari layar computer, "Kurasa begitu. Aku akan mencari cara menghubungi Thor di Asgard."
Steve mengangguk, "Ya, kita membutuhkan Thor."
"Tony tidak bisa dihubungi." Ujar Natasha. Kekhawatiran tersirat jelas di wajah yang biasanya terlihat dingin itu. "Dan…" sang Black Widow memandangi Starkphone yang mendadak bergetar di tangannya. Wajah Nick Fury terpampang di layarnya. Panggilan masuk.
"Romanoff."
"Kenapa di antara semua Avengers hanya teleponmu yang bisa dihubungi? Serahkan telepon ini pada Rogers!" suara Nick Fury terdengar tidak sabar. Tanpa berkomentar Steve menerima telepon itu.
"Rogers."
"Kumpulkan yang lain. Ada Doombot di tengah kota dan aku tidak ingin ada kerusakan yang tidak perlu hanya karena kalian terlambat sampai di lokasi."
"Tapi, Sir, Tony—"
"Doombot, Rogers. Nyawa penduduk sipil terancam."
KLIK.
Steve mengepalkan tangan erat-erat sampai buku jarinya memutih. Ia memasukkan code tertentu ke dalam Starkphone-nya, yang akan menotifikasi telepon genggam semua anggota Avengers.
"Avengers Assemble!"
Tony menepis tangan Steven. "Ternyata memang kau."
Pria berambut pirang itu tersenyum, tetapi sorot matanya terlihat dingin. Bulu kuduk Tony berdiri.
"Tentu saja itu aku. Orang-orang itu menipuku…terlihat seperti dirimu, tetapi ternyata bukan…" Steven berkata sambil berdiri, memberi jarak di antara mereka.
Wajah Tony memucat, "Kau membunuh mereka karena mereka mirip denganku?"
Steven kembali menyeringai. Tony berusaha berdiri dengan berpegangan pada meja. "Kenapa, Steven? Kau bukan orang yang bisa sembarangan membunuh orang lain."
Senyuman Steven menghilang. Mata birunya mulai terlihat liar. "Kau tahu, Tony?" ia mengambil satu langkah maju, membuat Tony mundur untuk menjaga jarak. "Pukulan terakhir itu…tidak sempat kuhentikan. Aku membunuhmu, Tony."
"Apa?"
"Aku membunuh Tony-ku." Tangan Steven mulai terlihat gemetar, pupilnya melebar. "Kau tahu apa yang kulakukan selanjutnya?"
Mata Tony menyapu ke seluruh workshop, mencoba menemukan gelangnya. Mendadak Steven sudah berdiri tepat di hadapannya, dalam jangkauan tangan. "Aku menikahi mayatnya, untuk mengingatkan diriku akan dosa yang kulakukan." Tubuh Steven mulai membengkak, "Selamanya aku akan mencintai Tony seorang…seorang…" gelembung-gelembung hitam bermunculan di tubuh sang eks-Captain America, dilengkapi dengan cakar baja yang menyeruak dari tangannya.
"…yang kukecup adalah bibirmu yang dingin Tony…"
Tony mulai merasa panik, "Tunggu, Steven…"
"Tapi kecelakaan dengan portal itu terjadi, dan kau muncul di hadapanku. Hangat, hidup…" Steven kembali mendekat, dan Tony tercekat saat menyadari ia sudah mundur sampai menabrak dinding.
"Kita…masih bisa membicarakan ini, Steven." Katanya sambil mengangkat kedua tangan ke depan, "Bagaimana kalau kau tenangkan diri dulu."
Tangan hitam itu terulur ke arah Tony, yang berusaha sekuat tenaga untuk tidak berjengit."Tidak akan kulepas lagi…Tony-ku. Kau akan kembali bersamaku ke duniaku, dan kita akan sungguh-sungguh menikah di sana."
"Tony—kau bisa mendengarku? Tony!" suara Steve terdengar melalui komunikator, dan rasa tegang di tubuh Tony berkurang sedikit. Ia harus memberitahu Steve bahwa kecurigaan mereka memang benar.
"Oke, biar kuperjelas. Kau, Steven, membunuh Tony di duniamu dalam perang sipil itu, lalu menikahi mayatnya, dan BOOM! Terlempar ke dimensi kami untuk membawaku ke dimensimu dan menjadikanku pengantin bulan Juni yang cantik. Itukah kenapa kau membawaku ke Baxter Building ini?"
Steven menyeringai."Kau sedang bicara dengan siapa, Tony?"
"Shit!"Tony menunduk tepat waktu untuk mengelak dari pukulan Steven. Dari komunikatornya ia bisa mendengar Steve berseru, "Dia sudah berubah!" dan "Doombot di belakangmu, Hawkeye!" kepada Avengers yang lain.
"Kalau kau berusaha melumpuhkanku, tidakkah itu akan menjadi kontra-produktif? Bukankah kau menginginkan tubuhku?"
Steven, yang kini wujudnya sudah berubah menjadi hitam pekat, kembali mengayunkan pukulannya ke arah Tony, yang kembali berhasil dielakkan oleh sang genius. Walaupun ia tidak bisa menghentikan dirinya membentur meja komputer milik Dr. Reed.
"Aku menginginkanmu seutuhnya, aku tahu kau tidak akan menyerah tanpa perlawanan."
"Itu akan manis sekali, seandainya kau tidak sedang berusaha menghajar Tony." Suara Johnny Storm terdengar dari balkon, dan manusia api itu berputar di sekeliling Steven, menciptakan semacam tornado api. Pengalihan perhatian itu membuat Tony berhasil menemukan gelangnya, dan serta merta meraihnya untuk memanggil armor Iron Man.
Steven berhasil menemukan celah di tengah tornado api itu dan menepis Johnny sampai ia terbentur dinding. Dalam sekejap api di tubuh Johnny padam, kembali ke wujud manusianya. Untunglah saat itu terjadi, tubuh Tony sudah terbungkus di dalam jubah besinya. "Kau, Johnny, mendapatkan satu kencan makan malam denganku setelah semua ini selesai."
Johnny terkekeh, "Plus ciuman?"
Steven meraung dengan keras.
"Jangan ngelunjak, anak muda." Kata Tony, sebelum ia menembak Steven dengan repulsor-nya. Tekanan dari benturan tubuh Steven ditambah dorongan repulsor memunculkan sebuah lubang besar di dinding, membuatnya terjatuh ke bawah.
"Dia tidak akan mati hanya karena hal seperti ini." Komentar Johnny.
Tony mengangguk, "Aku tahu."Gumamnya sebelum terbang ke luar. "Guys, ada kiriman Asphalt Man a.k.a. Steven Stark-Rogers ke bawah dalam 3..2…1…"
"F*ck, Tony!Tidak bisa memperingatkan lebih cepat?" umpatan Clint menggelegar via komunikator. Tony tertawa kecil."Aku agak sibuk, Clint."
"Sibuk mengajak kencan Johnny Storm?" nada suara Steve terdengar setingkat lebih dingin.
"Hey! Dia menyelamatkan nyawaku tadi."
"Ssh anak-anak! Kalau kalian sudah selesai bertengkar, ada pahlawan-berubah-monster dan Doombot di sini." Natasha memperingatkan. Tony meretas semua kamera CCTV di sekitar Baxter Building, dan melihat dengan jelas Steven sudah bangkit. Ia melirik sekilas ke arah computer Reed Richards, lalu terbang keluar.
"JARVIS, ambil alih kendali portal generator. Choker itu masih ada di leher Steven, kita akan membutuhkannya."
Tony terbang rendah menuju tempat Steven terjatuh. Pria itu—monster, Tony mengingatkan dirinya sendiri—mulai bangkit. Ia baru saja akan menyemburkan api ke arah Steven saat belasan Doombot mendarat di sekeliling sang monster. Ujung bibir Tony terangkat. Sangat tipikal Doom, pikirnya, memancing di air keruh. "Ikut bergabung dengan rombongan pesta, Victor?" Tony bertanya via loudspeaker, karena ia tahu pasti Doom sedang mengawasi entah dari mana. "Karena, kau tahu, tidak asyik kalau kau bersembunyi saja tanpa ikut bersenang-senang."
Dari tempatnya di atas bangunan tiga lantai dekat Baxter Building, Clint menembakkan anak panah berpeledak ke arah Steven. Ledakan itu, sayangnya, tidak banyak menghentikan langkah sang eks-Captain America. "Cih. Setidaknya kasus pembunuhan itu terpecahkan." Ia bergumam, sebelum melepaskan anak panah lain yang tepat mengenai salah satu Doombot.
"Yeah, tetap saja ia masih belum ditaklukan." Komentar Bruce melalui komunikatornya.
"Bruce? Kenapa kau belum menjadi Hulk?" Steve bertanya, dan beberapa saat kemudian terdengar raungan keras dari sisi lain kota. "Baiklah, sekarang sudah. Phil! Ungsikan penduduk sipil di sekitar sini. Pastikan semua jalan kosong. Natasha, kau tangani Doombot yang berada di darat. Tony! Kau dan aku akan memfokuskan serangan pada Asphalt Man. Clint, kau atasi Doombot yang berada di udara. Dan Hulk?" raungan Hulk kembali terdengar. "Smash!"
Kekacauan di mana-mana.
Penduduk sipil yang panik diungsikan oleh Phil ke luar parameter yang dijaga oleh SHIELD. Steven, mereka menyadari, dapat bergerak dengan cepat untuk ukuran tubuhnya yang seperti itu. Ditambah komposisi tubuhnya yang cenderung cair, berapa kalipun perisai Captain America mengiris tubuhnya, tubuh hitam pekat itu kembali ke bentuk semula.
"Cap, merunduk!"
Steve mengangkat perisainya tepat saat Tony menembakkan laser sambil berputar, menghabisi tiga Doombot sekaligus. Laser itu memantul dari perisai Steve dan mengenai Asphalt Man, memutuskan lengan makhluk itu. Steve tidak berusaha menyembunyikan keterkejutannya saat muncul Asphalt Man baru dari sisa lengan yang terputus itu.
"Bloody hell!" umpatnya.
"Pfft…" Tony menahan tawa mendengar umpatan Steve, "Dari mana kau dapat kata-kata itu, Cap? Diajari mantan pacarmu yang orang Inggris?"
Perisai Steve berdentang dengan keras saat beradu dengan cakar Asphalt Man. "Bukan saatnya…Tony. Kau bisa lihat aku sedang sibuk!" Sang Captain America mendorong Asphalt Man dengan perisainya sampai makhluk itu terlempar. Tony menghantam tubuh yang baru mendarat itu dengan beberapa tembakan repulsor. Tetapi tentu saja, Asphalt Man yang asli (di kepalanya Tony menyebut makhluk ini dengan Asphalt Man 1.0) tidak begitu saja takluk oleh beberapa tembakan repulsor.
Oh joy.
"Ugh, Asphalt Man yang baru ini mengingatkanku pada Gangreen Gang-nya Powerpuff Girls. Hanya saja warnanya hitam. Bisakah aku menyebutnya Gangblack Gang?" Clint melepas panah yang tersambung pada sebuah tali. Panah itu menancap pada salah satu Doombot yang sedang terbang, membuat Clint ikut terbawa. Sang pemanah itu melompat di atap gedung lain, berguling ke depan dua kali untuk mengurangi efek hantaman dengan atap beton. Begitu tubuhnya kembali stabil, Clint menekan salah satu tombol pada panahnya untuk meledakkan panah pada Doombot tadi.
"Kau sama sekali tidak punya selera, Barton. Ckckck…" komentar Natasha, yang melentingkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari tembakan dari sebuah Doombot. Dengan cekatan tangan wanita itu meraih kedua senjata yang terselip di kanan dan kiri Doombot di belakangnya, kemudian menembak kedua Doombot itu bersamaan. Dua kepala metal meledak sekaligus.
"Seharusnya kita menyebutnya Asphalt Man 2.0. Atau Junior." komentar Tony sambil kembali menembakkan laser ke arah Asphalt Man 1.0.
"Jangan memotong Asphalt Man, guys! Ia bisa membelah diri!" seruan Steve dapat didengar oleh seluruh anggota tim.
"Sir, yes Sir!" seru Clint di sela-sela suara ledakan.
Hulk meratakan makhluk baru tadi ke tanah dengan memukulnya berulang kali menggunakan bus (untung Natasha sudah berhasil mengungsikan seluruh penumpang sebelum Hulk meraih bus itu). Saat makhluk itu bangkit kembali, Tony tidak sengaja mengenainya dengan laser. Untungnya, Tony menyadari, hanya Asphalt Man yang asli yang bisa membelah diri menjadi makhluk baru. "Junior tidak bisa membelah diri, Cap! Kau boleh berterima kasih atas daya pengamatanku yang luar biasa ini nanti!"
"Shitshitshit bagaimana bisa ada Gangblack Gang naik sampai ke sini?" Clint mengumpat saat melihat ada makhluk hitam muncul di atap gedung tempatnya berada ("Junior, Clint! Panggil mereka Junior!"). Ia menghindari cakar metal yang diayukan dekat dengan wajahnya dan bersalto ke belakang. Diambilnya panah berpeledak, kemudian ia tembakkan ke arah makhluk itu.
"Adios." Clint berkata sebelum bomnya meledak, menyisakan gumpalan-gumpalan hitam di mana-mana. "Ugh. Ada gumpalan hitam di rambutku."
"Yeah yeah Legolas, kita tidak mau rambut indahmu kotor. Kami mengerti." Kata Tony melalui komunikator. Clint menunduk saat Iron Man menembakkan senapan mesinnya ke Doombot yang berhasil menyelinap ke belakang sang pemanah. Robot itu meledak, menyisakan cipratan oli kehitaman di mana-mana, termasuk rambut Clint.
"F*ck you Stark!" seru Clint saat Tony terbang menjauh sambil tertawa. "Terima kasih atas tawarannya, Clint, but no, thanks."
"Perasaanku saja atau Steven membelah diri semakin banyak?" tanya Natasha via komunikator. Dari gelang Widow's Bite-nya ia menembakkan sengatan listrik bertegangan tinggi, membuat salah satu Asphalt Man berasap dan meleleh menjadi genangan hitam, lalu menembak sebuah Doombot di kepala dengan pistolnya. "Ia bisa membelah diri sesuai keinginan." Kata Steve sambil mencoba menguatkan tekad saat melihat ada 5 Asphalt Man baru muncul.
Captain America mencabut kepala sebuah Doombot dengan tangan kosong, lalu mengayunkan perisainya dari bawah ke atas untuk menghajar kepala Asphalt Man yang asli, membuat makhluk itu terhuyung ke belakang. "Kau selalu terlambat bereaksi pada uppercut dari sebelah kiri." Steve bergumam, mengingat latih tanding mereka tadi pagi. Asphalt Man melompat mundur dengan cepat, dan membaur di antara para Asphalt Man pal—oke, Tony, Junior.
Sebuah(?) Junior dibanting dengan keras oleh Hulk sampai rata dengan tanah. Dengan mudah, makhluk hijau itu memisahkan para Doombot dari kepala, tangan dan kakinya. Hulk menangkap kaki sebuah Doombot yang sedang terbang, kemudian memukulkan robot itu pada Junior.
"Kita harus segera menemukan yang aslinya." Kata Tony, melihat bertambah banyaknya jumlah Junior. "Kurasa aku bisa memancingnya." Ia melanjutkan sembari mendarat di tengah-tengah kekacauan itu. Membuka pelindung wajahnya agar Steven bisa melihat wajah Tony, sang Iron man menyapukan pandangannya ke sekeliling.
"Steven!" ia berseru, mencoba menarik perhatian Steven. Salah satu Junior mendekatinya, namun saat makhluk itu hanya menggeram dan bergerak lambat, Tony menyadari bahwa ini bukan yang asli. Sebuah tembakan repulsor blast menghancurkan makhluk itu.
"Toonyyyy…" suara serak itu membuat Tony menoleh ke belakang. Steven bergerak mendekatinya, masih dalam wujud Asphalt-man, mencoba meraih Tony. Mendadak Steve menghalangi jalan sang monster, membuat Steven meraung dengan keras.
Cakar dan perisai vibranium bergesekan dengan keras, menimbulkan suara metal bertemu metal yang melengking. Tony, sudah menutup kembali pelindung wajahnya, tidak terpengaruh. Tapi ia bisa mendengar keluhan Clint melalui komunikator.
Captain America menghajar kepala Asphalt Man dengan perisainya, namun makhluk itu bergerak cepat dan berhasil mengenai Steve dengan cakarnya. Tiga guratan merah mengeluarkan banyak darah dari perut dan dada Steve, membuat sang Captain America jatuh berlutut.
"Steve!" Tony menembakkan repulsor-nya untuk membuat makhluk itu menjauh dari Steve. Ia terbang mendekat, mengecek luka pria itu. Tetapi Steve hanya menepis tangannya, menyatakan bahwa ia baik-baik saja.
"Aku hanya ceroboh, Tony." Ungkapnya. Tony tidak setuju dan ingin membawa Steve ke tempat yang aman, tetapi beberapa (ekor? orang? buah?) Junior datang mendekati mereka untuk menyerang. Ia tidak memiliki pilihan selain bertahan di tempat dan menghancurkan makhluk itu satu per satu, Steve di sisinya melemparkan perisai layaknya boomerang yang memotong makhluk-makhluk itu.
Saat itulah langit yang tadinya cerah, mulai bergemuruh. Tony menyeringai lebar. Akhirnya! "Thor! Serang dia!" Tony berseru sambil menunjuk pada Asphalt Man. Kilatan petir besar menyambar Asphalt Man, membuat gerakannya terhenti. Lapisan cairan hitam itu menipis di beberapa bagian, termasuk wajah. "Tooonyyyy…" Steven, dengan wajah yang persis dengan Steve itu mencoba meraih Tony, tetapi sang Iron Man menghindar.
"Aku bukan Tony-mu, Steven." Ujarnya sambil menggelengkan kepala dengan sedih.
"TEMAN-TEMANKU! AKU DATANG UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN!" Seru Thor, yang begitu mendarat langsung mengayunkan Mjolnir untuk menghantam tiga makhluk sekaligus. "Tepat waktu, Thor!" Clint berteriak dari atap gedung yang berbeda dengan sebelumnya. Berteriak, karena Thor tidak sempat diberi komunikator.
Melihat dirinya terdesak, Steven meraung keras. Gelembung-gelembung hitam kembali menutupi tubuhnya. Tetapi kali ini, ia menarik kembali semua Asphalt Man di sekitarnya untuk diserap. Ukuran Steven semakin membesar, dan Tony menyadari bahwa choker di leher Steven tidak akan bertahan lama.
"Steve! Alihkan perhatiannya!" ia berseru sementara meretas computer Reed Richard yang mengendalikan portal generator. Ia melanjutkan kalkulasi koordinat dimensi kosong yang sudah dimulai oleh Reed, dan begitu mendapatkan koordinat, ia bersiap mengaktifkan mesinnya.
"Guys, menyingkir dari Steven. Aku akan mengirimnya ke dimensi lain sebelum terlambat."
Melalui JARVIS, Tony menyalakan mesin itu. Tetapi portalnya tidak kunjung terbuka. Wajah Tony memucat, jangan-jangan… ia melihat ke arah puncak Baxter Building, di mana Johnny sedang mengejar Doom keluar dari laboratorium Reed, melalu lubang tempat Steven jatuh tadi.
"Sial, Doom pasti merusak mesinnya!" ia mengumpat, lalu menembakkan repulsor pada jetcar yang dinaiki Doom. Pemimpin Latveria itupun menghilang bersama jetcar-nya yang jatuh entah di mana…untuk sekarang. Tony tidak akan kaget kalau Doom muncul lagi di hadapan mereka dalam waktu dekat.
Asphalt Man menabrak tubuh Tony sampai jatuh. Saat makhluk itu akan menusuk Tony dengan cakarnya, Tony mengaktifkan repulsor di tangan dan kakinya, membuat tubuhnya meluncur ke belakang. Saatnya rencana cadangan. "Steven!" ia memanggil.
Makhluk itu meraung, marah karena Tony berhasil lolos. Tubuhnya masih terus membesar.
"Steven!" panggil Tony untuk kedua kalinya. Tubuh Steven berhenti berkembang, kini ia memfokuskan pandangannya pada Iron Man. "Tooonyyyy?" ia memanggil dengan suara parau.
Iron Man melangkah mendekatinya, "Ya, ini aku, Tony. Kumohon hentikan semua ini, Steven. Aku—aku akan ikut denganmu."
"APA? Tony, apa yang kau lakukan?" Steve memprotes, ia akan maju menghalangi Tony, tapi sang Iron Man mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Aku tahu apa yang kulakukan, Steve. Tetaplah di tempatmu."
"Aku tidak akan membiarkanmu membahayakan diri sendiri."
Tony tertawa kecil mendengar ironi dalam kalimat itu, "Mau bagaimana lagi? Kita hidup sebagai superhero, Cap." Ia kembali memfokuskan perhatiannya pada Steven, yang ukurannya sudah mulai mengecil.
"Kau…akan…ikuut?" suara parau itu terdengar. Tony membuka pelindung wajahnya dan mengangguk, agar Steven percaya. "Yeah Steven, aku akan ikut bersamamu."
Tony melakukan setengah lusin langkah yang membawanya tepat di hadapan Steven. Pria-setengah-monster itu mengulurkan tangannya, yang disambut oleh genggaman tangan berbalut armor milik Tony. "Toonyyy…" Steven memanggil lagi. Tony tersenyum, lalu menutup pelindung wajahnya dan melesat ke angkasa, membawa Steven bersamanya.
Steven menyadari bahaya yang akan datang, mulai meronta di pelukan Tony. Tubuhnya mulai ditutupi lagi oleh gelembung-gelembung hitam, tetapi Tony tidak melepaskannya."Tidakkah kau ingin bersamaku, Steven?" ia bertanya, dan Steven berhenti meronta. "Tooonnyyyy…" panggilnya, jemari melingkar di pergelangan armor Tony.
Begitu mereka mencapai thermosphere, Tony mengejutkan Steven dengan melemparnya ke atas. Rasanya waktu berjalan lambat, bagi Tony, saat ia melihat wajah terkejut Steven saat tubuhnya melayang dan Tony tidak berada di pelukannya. Ia mengulurkan kedua tangan, mencoba meraih sang Iron Man, kembali ke tempatnya, di pelukan Steven seorang. Tony bergeming.
"To….nyyy…" suara Steven semakin parau, seiring dengan usahanya meraih Tony. Pria itu memejamkan mata, seiring dengan perintahnya kepada JARVIS untuk mengaktifkan bom nuklir mini di leher Steven.
"Maaf Steven, seperti yang kau bilang, kau bukanlah Steve yang kumau."
Lidah Tony terasa pahit saat ia memacu armornya untuk terbang dalam kecepatan tinggi untuk menghindari ledakan. Saat ledakan itu akhirnya terjadi, Tony yang masih berada di udara terlempar oleh gelombang energi ledakan tersebut. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, sebelum gravitasi menarik armor ratusan kilogram itu melesat jatuh, menarik Tony di dalamnya. Tony sendiri, dalam keadaan kepala di bawah dan terjun bebas sekian ratus kilometer, tidak bereaksi apa-apa. Ia hanya menatap nanar pada kembang api raksasa yang ia tahu membunuh Steven Rogers, pria yang sangat mencintai Tony Stark, walaupun tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengungkapkannya. Steven Rogers yang meraih pundaknya dan menggoreng bacon untuknya di pagi hari, yang menggodanya di setiap kesempatan.
Bohong besar kalau hati Tony tidak pernah tergerak.
"-ny. Tony!" suara panik Steve terdengar melalui komunikatornya. Tony memejamkan mata, ya, ini Steve yang ia kenal dan ia cintai. Steve-nya.
"Tony!"
"JARVIS! Sekarang akan menjadi saat yang tepat untuk membuka sirip samping!" Tony menyalakan kembali armor Iron Man untuk memperlambat kecepatan jatuhnya. Ia berhasil mendarat dengan mulus tepat saat akan menghantam jalan raya. Steve—tentu saja Steve—merupakan orang pertama yang berlari ke arah Tony, tanpa menghiraukan tiga guratan berdarah di perut dan dadanya. "Tony! Kau baik-baik saja?"
"Sebaik yang bisa diharapkan, Cap." Dan hanya itu yang bisa Tony katakan. Bahkan di telinganya sendiri pun, ia tahu nada bicara itu tidak bisa dipercaya. Mendadak ia merasa sangat, sangat lelah. Tapi masih banyak yang harus mereka lakukan sebelum bisa pulang. Mencari korban yang terluka di antara reruntuhan, misalnya. Iron Man dengan sensor panasnya sangat dibutuhkan untuk pekerjaan macam ini.
Hampir dua jam kemudian, barulah sensor Tony tidak berhasil menemukan apa-apa lagi. Sampai di sini, sisanya bisa diserahkan kepada SHIELD. "Iron Man, out." Ia berkata melalui komunikator, lalu terbang pulang ke Avenger Tower. Steve—Captain America hanya memandangi sosok Tony yang menjauh tanpa mengatakan apa-apa.
Natasha menepuk bahunya, "Pergilah duluan, Captain. Kau sudah bisa menyerahkan sisanya pada kami di sini."
"LADY NATASHA BERKATA BENAR, TEMANKU! SAAT INI MAN OF IRON LEBIH MEMBUTUHKAN KEHADIRANMU DARI APAPUN JUGA!" Thor menimpali dengan volume suara yang rupanya tidak berkurang bahkan setelah lelah bertarung.
Steve tersenyum lemah, tetapi mengangguk dan berjalan menuju helicarrier. Meninggalkan sisa-sisa kehancuran di belakangnya. "Captain America, out."
Steve tidak terburu-buru mencari Tony sesampainya ia di Avenger Tower. Ia tahu Tony butuh waktu untuk sendiri sebelum ia datang dan membicarakan… apapun yang akan mereka bicarakan nanti. Karena itu, Steve menuju ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian, barulah ia naik ke penthouse Tony. Begitu JARVIS membukakan pintu untuknya, Steve langsung menuju pantry untuk membuat dua cangkir kopi. Pada salah satunya ia mencampurkan sedikit whiskey. Untuk Tony.
Steve menemukan Tony duduk di sofa, menonton ulang Friends entah episode berapa dalam keadaan lampu dimatikan. Cahaya dari TV menyinari wajah Tony, membuat Steve bisa melihat rambutnya yang sedikit basah setelah mandi serta T-shirt yang ia kenakan (bergambar perisai Captain America!), dan dari ekspresinya Steve tahu bahwa ia tidak benar-benar menonton. Tidak adanya botol minuman keras di sekitar Tony, Steve akui, membuatnya terkejut.
Steve berdiri di samping sofa, menunggu Tony menyadari keberadaannya. Saat pria itu akhirnya menengok, Steve tersenyum kecil. "Kopi?" ia menawarkan. Sambil menerima mug dengan tangan kiri,Tony menepuk sofa di sampingnya, mengisyaratkan Steve untuk duduk. Sang Captain America duduk di samping Tony, dan keduanya terdiam sambil meminum kopi mereka.
"Kau memasukkan whiskey?" Tony bertanya setelah beberapa saat.
Steve mengangguk, "Kupikir kau membutuhkannya."
"Benar sekali. JARVIS mengunci semua koleksi alkoholku."
"Aku tahu ada alasan kenapa aku menyukai JARVIS." Kata Steve, meneguk sisa kopi dalam gelasnya.
"Pujian anda membuat sirkuit saya terasa hangat, Sir." suara beraksen British itu menimpali melalui speaker yang terpasang di seluruh penjuru Avenger Tower.
"Pengkhianat." Gerutu Tony, yang meletakkan mug kosongnya di atas meja.
"JARVIS hanya khawatir padamu. Protokol keselamatan dan apalah itu."
Tony hanya mengangguk. Setelah terdiam beberapa saat, ia bertanya, "Bagaimana lukamu?"
"Tidak terlalu dalam, berkat super serum akan sembuh dalam beberapa jam."
Tony menhela nafas lega, lalu bertanya lagi, "Kalau keadaan Reed dan Sue?"
Steve menoleh ke arah Tony, yang saat ini sedang melihat ke arahnya. "Aku tidak melihat langsung, tapi kudengar mereka baik-baik saja."
Tony mengangguk-angguk lagi, "Yang lain?"
"Semua sedang menuju ke sini, tapi mereka tidak akan mengganggumu malam ini."
Mendengar itu, Tony tertawa kecil, "Apa? Mereka takut melukai perasaanku? Aku baik-baik saja."
Steve meraih tangan Tony, menggenggamnya erat. "Kuharap begitu."
Tony memandangi tautan tangan mereka, lalu ia melihat ke arah Steve, yang disambut oleh sepasang mata biru memandanginya dengan tatapan lembut. Senyum pria itu diterangi oleh cahaya televisi, dan mendadak Tony ingin bergelung di suatu tempat dan menghilang. Ia tidak pantas mendapatkan senyuman itu, pikirnya. Dengan tangannya sendiri ia sudah mengakhiri nyawa Steven. Menipu perasaan pria itu lalu membunuhnya.
Tetapi saat Steve mengeratkan genggaman dan mengecup dahinya, Tony tidak lagi peduli. Tony Stark adalah orang yang egois, dan kalau Steve bersedia ada di sampingnya, biarkanlah demikian. Ia menyembunyikan wajahnya di leher Steve, membuat pria itu otomatis melingkarkan tangan di bahu Tony, sementara tangan yang tadi menggenggam tangan Tony, kini mengusap-usap punggungnya.
Dan kalau Steve menyadari bahwa lehernya terasa basah, atau tubuh Tony yang gemetaran, ia tidak mengatakan apa-apa. Steve hanya memeluknya erat-erat.
"Sudah mau pergi?" Steve bertanya dari ambang pintu kamar Tony. Sang billionaire sedang merapikan jas yang akan ia pakai untuk kencan makan malam hari ini di depan cermin.
"Hmm. Sepuluh menit lagi Happy menjemputku." Ia berbalik menghadap Steve, "Bagaimana penampilanku?"
Steve mengambil satu, dua langkah mendekati Tony. Jemarinya meraba hem jas Tony dan meluruskan lipatan yang kurang rapi. "Aku benci mengakui ini, tetapi kau memang terlihat tampan."
Ujung bibir Tony terangkat, "Cemburu?"
"Sangat." Ujar Steve, sambil mencuri sebuah kecupan di bibir Tony. "Terlebih kalian akan pergi ke restoran dari daftar yang diberikan Phil padaku, untuk keperluan mengajakmu makan malam." Tambahnya, agak merajuk (dengan cara yang sangat lelaki!—"pssh yeah Rogers,aku akan pura-pura percaya"—"Tony!").
"Kalau ini membuatmu merasa tenang, aku tidak akan mencium Johnny. Lagipula kencan ini cuma satu kali, hanya untuk memenuhi janjiku saja."
Steve mendengus, "Sama sekali tidak tenang. Aku mempercayaimu, tapi aku tidak percaya pada Johnny."
"Hmm…repot juga…" Tony menggerakkan tangannya naik turun dari dada ke pundak Steve, merasakan otot-otot yang, hey! Puncak kesempurnaan fisik manusia, tentu saja. Tony Stark adalah pria brengsek yang sangat, sangat beruntung."Kalau begitu, kau harus memberiku ciuman yang tidak akan bisa kulupakan, kalau-kalau Johnny berhasil mencuri ciuman dariku."
Steve tertawa kecil, "Itu juga niatku datang kemari." Ia bergumam sambil melekatkan bibirnya di bibir Tony, melumatnya sampai nafas Tony memburu, lalu dengan tidak rela melepas Tony dari pelukannya.
"Pergilah. Semakin cepat pergi, semakin cepat pulangnya." Kata Steve, menuntun Tony keluar. Tangannya melingkar di pinggang pria itu dengan posesif.
Beberapa jam kemudian, setelah Johnny Storm berhasil mencuri kecupan dari Tony di depan Avenger Tower, rute terbangnya terhambat oleh sesuatu yang sangat, sangat mirip dengan perisai Captain America.
Dan semua dalam hidup Tony baik-baik saja.
.
.
.
-Yeah this is the end-
Akhirnya! Selesai juga!
Semua ketidaksesuaian timeline murni salah saya... *koprol
Daaan Happy Fujoshi Independence Days, girls and gays! May The Force be with you~