Ketika Junho pulang ke apartementnya. Ia tidak mendapati Wooyoung di dalam sana, kakaknya belum pulang. Dengan sedikit bersiul santai ia berjalan ke arah dapur. Membalik kantong belanjaannya di atas meja untuk mengeluarkan seluruh snack dan minuman kalengnya. Terdengar suara dentingan benda kecil terjatuh ke lantai.

Junho menatap lantai. Memandang heran pada sebuah cincin perak yang terjatuh di dekat kakinya. Cincin siapa?

Junho memungut cincin perak itu dari lantai, lalu mengamatinya dengan sama. Setahunya ia tak membeli snack yang berhadiah cincin. Lalu milik siapa ini? Junho mengedikkan bahu tak acuh, dan langsung melemparkan cincin tersebut ke tempat sampah. Toh, cincin itu juga bukan terbuat dari emas yang berharga. Lagian Junho bukanlah seorang yeoja yang gila dengan perhiasan, jadi untuk apa disimpan?

.

.

.

.

.

... Iya kan?


...

P.S.P

( Pacarku Seorang Penyihir)

by Sayaka Dini

Fantasy/Romance/Humor

Disclamer: Semua anggota 2pm milik Tuhan. Dan cerita ini asli milik Ayaaaaa! Yah, buatan Aya sendiri!

Inspirasi: Harry Potter, My girlfriend Gumiho, Rooftop Prince.

Main Pairing: ChanHo / ChanNuneo, Khunwoo / Khunyoung, TaecSu / OkKay.

Warning: BoyxBoy. Shounen-ai. Miss Typos bertebaran di mana-mana, terlalu malas untuk mengeceknya lagi *plaak!* maaf (=.=)'

Warning tambahan: Karena gendernya Fantasy dan Humor, jadi ada beberapa karakter yang sedikit OOC. Mian.

Don't like? So i hope you dont read this. Oke?


Mobil yang membawa Jun.K dan Changdae itu menepi di pinggir jalan. Kakaknya yang gemuk itu ingin membeli beberapa snack di supermarket mini sebelum mereka menuju sebuah hotel yang akan jadi tempat istirahat mereka selama di Busan.

Jun. K mendesah bosan. Berdiam diri di dalam mobil sambil melihat beberapa orang lalu lalang di trotoar sebelah pada malam hari ini. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok namja chabby yang berlari kecil memasuki toko buku. Junsu menajamkan pandangannya untuk melihat lebih jelas ke dalam toko buku melalui jendela kaca pilar toko tersebut. Meskipun namja chabby itu sempat menutup sebagian wajahnya dengan buku, Junsu masih cukup mengenali pemilik wajah tersebut, itu Wooyoung.

Junsu tersenyum sumringah. Tanpa menunggu lagi ia meraih syal abu-abu, melingkari lehernya dan sebagian wajahnya. Keluar dari mobil untuk menuju toko buku di mana Wooyong berada. Entah dia sedang beruntung atau apa, bertemu dengan Wooyoung malam ini juga. Bahkan sebelum ia berkunjung ke apartement Wooyoung dan Junho, seperti biasa.

Ah, seandainya Junsu tahu seberapa beruntungnya ia malam ini.

.

.

.

.

"Hey," seorang pegawai toko lain menepuk bahu Taecyeon. "Kau kan yang paling tinggi di sini, bisa kau bantu aku untuk mengambil stok buku di gudang belakang? Aku takut jika aku yang mengambilnya sendiri itu malah akan jadi berantakan dan malah menimpaku."

"Oh, oke Yonghwa." Taecyeon segera berdiri dari tempat duduk di balik counter kasir. Meletakkan majalah musik bercover gambar Jun.K yang baru ia baca itu di atas meja kasir. Lalu menuju pintu gudang belakang toko dengan Yonghwa yang mengekor di belakangnya.

Tepat ketika sosok Taecyeon menghilang di balik pintu gudang belakang, pintu depan toko terdorong dari luar, Junsu menapakkan kakinya memasuki toko buku dengan syal abu-abu yang melingkari leher dan mulutnya.


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Seseorang menepuk bahu Wooyoung, menyentakkan namja chabby yang sedang melihat-lihat buku. Wooyoung menoleh, mendapati wajah namja tertutupi syal itu sedang menyapanya

"Wooyoung-ah."

"Siapa?"

"Ini aku," dia menurunkan syalnya ke bawah dagu.

Wooyoung terbelalak terkejut. "Astaga, Junsu-" Junsu langsung membekap mulut Wooyoung untuk tidak berseru terlalu kencang. Tak ingin menimbulkan keributan di tempat umum karena kehadirannya. Wooyoung mengangguk mengerti dengan isarat Junsu untuk tidak bersuara keras.

"Apa yang kau lakukan di sini, hyung?" bisik Wooyoung.

Junsu kembali memasang syalnya dengan baik. "Aku memang sedang mencarimu." dia tersenyum di balik syalnya. "Bisa kita bicara di tempat lain?"

Wooyoung tersenyum tipis. "Tentu hyung. Asal kau nanti tidak lupa memberikanku tanda tangan," candanya sambil mengembalikan buku ke dalam rak.

Junsu tekekeh. "Akan kuberikan sebanyak yang kau mau." Mereka pun beranjak menuju pintu depan toko.

"Bagaimana kalau kita ke tempatku? Junho pasti senang melihat kedatanganmu lagi," ajak Wooyoung bersemangat sambil menarik pintu depan toko, keluar dari toko tersebut.

Junsu yang mengikutinya di belakang ikut tersenyum lebar. "Rencananya aku memang ingin beri kejutan buat kalian besok untuk merayakan kelulusan kalian-"

"Taecyeon-ah!"

Otomatis langkah Junsu di ambang pintu toko langsung terhenti. Ia menoleh kebelakang untuk mencari asal suara.

"Letakkan di sini saja," seorang pegawai laki-laki menunjuk di depan salah satu rak buku, pada namja yang lebih tinggi -yang berdiri membelakangi arah panda Junsu- yang sedang membawa kardus buku.

"Hyung?" Wooyoung memanggil heran dari depan toko. Melihat Junsu masih berdiri di ambang pintu.

Junsu tersentak dari kesadarannya. Menoleh pada Wooyoung sambil mendesah. Lagi-lagi ia bertemu orang yang bernama sama dengan Taecyeon, seperti yang sering ia alami dua tahun ini, pikir Junsu. Nyaris ia benar-benar keluar dari toko buku tersebut ketika ia tiba-tiba dengar suara yang begitu familiar dari belakangnya.

"Apa ada lagi, Yonghwa?"

Junsu membeku. Suara berat nan serak itu jelas milik Taecyeon-nya.

.

.

.

.

.

Taecyeon meletakkan kardos buku di lantai dan kembali berdiri tegak.

"Ini sudah cukup." Yonghwa tersenyum senang. "Terima kasih yah."

Taecyeon membalas dengan senyuman miriing. "Sama-sama." Seseorang lalu memegang lengan Taecyeon dari belakang. Taecyeon menoleh, memandang heran pada namja yang lebih pendek darinya itu. Wajahnya yang berbingkai rambut coklat lembut dengan poni miring, juga syal abu-abu yang menutupi leher sampai hidung, membuat Taecyeon merasa asing.

"Apa ada yang bisa ku bantu?" tanya Taecyeon mulai khawatir pada pengunjung tersebut. Karena mata namja itu tampak berkaca-kaca, dan juga tangannya yang menggenggam erat lengan Taecyeon mulai bergetar hebat.

"Junsu hyung?" sebuah suara menyahut. Taecyeon menoleh ke ambang pintu dan melihat Wooyoung yang berada di ambang pintu ikut terkejut menatapnya.

Seketika itu Taecyeon tersentak dan kembali menatap namja di hadapannya. Bahkan sebelum Taecyeon bisa mengkongfirmasinya, namja yang lebih pendeknya itu sudah melangkah mendekat, memeluk tubuh tegap Taecyeon, membenamkan wajahnya pada dada bidang pegawai toko tersebut. Getaran tubuh Junsu yang mulai menangis dalan diam mampu membuat hati Taecyeon ikut bergetar hebat.

"Taec..." bisiknya penuh kerinduan.

.

.

.

.

Dan Taecyeon tak bisa mencegah matanya ikut berkaca-kaca mendengar suara indah itu secara nyata.


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Wooyoung memutuskan untuk meninggalkan Junsu bersama Taecyeon. Mengesampingkan keingin tahuannya mengenai Nickhun, ia tak sampai hati untuk mengganggu Junsu. Karena Wooyoung sangat tahu bagaimana perasaan Junsu sebenarnya saat ini. Sudah 2 tahun sejak mereka berdua menjadi teman dekat dan saling berbagi meski itu melalui telepon maupun email. Juga saling membantu untuk mencari Nichkhun maupun Taecyeon.

Dengan setengah hati, Wooyoung membuka pintu apartementnya dan memasuki ruang tengah dengan suara televesi yang terdengar.

"Hai hyung," sapa Junho tak acuh dari sofa di depan tv. Memakan snacknya sambil memerhatikan acara balapan motor. "Bagaimana harimu?" tanyanya santai tanpa menoleh ke arah Wooyoung.

Wooyoung mendesah. "Buruk, kurasa..." jawabnya ragu.

Junho menoleh menatap hyungnya, ikut cemberut melihat wajah lelah Wooyoung. "Aku juga..." timpalnya kesal. "Jaebeom hyung dan Jokwon hyung pamer kemesraan mereka di karaokean tadi. Mereka bahkan berani berciuman di hadapanku!" adu Junho kesal lalu mendesah. "...bikin orang iri saja..." Ia memakan snack kentangnya dengan ganas.

Sebenarnya Wooyoung ikut prihatin. Namun ia tak bisa mencegah dirinya untuk menahan tawa geli keluar dari mulutnya. "Untungnya aku tidak ikut tadi."

Junho cemberut semakin sebal. Hendak mengeluarkan kata protes ketika bel apartement mereka mendadak berbunyi. Wooyoung yang masih berdiri tak jauh dari pintu, otomatis berbalik untuk membukakan pintu tersebut.

.

.

.

.

.

"Hai hyung."

Wooyoung menganga di tempat. Ekspresi terkejut di wajahnya berbanding terbalik dengan namja tinggi di hadapannya yang menampilkan senyuman lebarnya setelah menyapa Wooyoung dengan nada santai.

"Chan...sung?" Wooyoung mengeja namanya dengan ragu. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah mengenalnya.

"Iya. Ini aku." Chansung mengaguk semangat. "Junho ada di dalam kan?" Tanpa menunggu jawaban dari Wooyoung, Chansung segera melesat masuk ke dalam apartement.

"Yach!" buru-buru Wooyoung segera menyusul Chansung. "Tunggu dulu, Chansung! Kau tidak tahu kalau Junho tidak mengingat-"

"Ada apa?" Junho bertanya heran mendengar keributan dari arah pintu. Ia berdiri dari duduknya sambil menoleh. Beradu pandang dengan Chansung yang baru saja memasuki ruang tengah.

Chansung tersenyum lebar seperti orang idiot. Junho menatapnya datar tanpa ekspresi. Sementara Wooyoung memilih diam untuk mengawasi keduanya, berantisipasi dengan apa yang akan terjadi.

.

.

.

.

.

_To_Be_Continued_

.

.

.

.

.

_Ralat_

_Mari_kita_lanjutkan_

.

.

.

.

.

"Junho-yah," Chansung berjalan cepat sambil merentangkan kedua tangannya, hendak memeluk Junho, tapi, "Akh!" Chansung langsung meringis sambil mengusap kakinya yang telah ditendang Junho.

"Kau pikir siapa dirimu?" sengit Junho tajam, bersedekap dada.

Chansung mengernyit heran melihat kelakuan Junho yang lagi-lagi seolah tak mengenalinya. Mata coklatnya lalu beralih pada jemari Junho di antara lipatan tangan Junho di depan dadanya. Mencari sebuah cincin yang mungkin ada di antara jemari Junho, namun Chansung tak menemukannya sama sekali. Junho sama sekali tidak menggunakan cincin perak itu.

"Di mana cincin itu?" nada suara Chansung mendadak berubah menjadi lebih serius.

"Cincin?" Junho tampak berpikir sejenak. "Ahh... Jadi itu cincinmu yah? Kau sampai ke apartementku karena cincinmu yang tak sengaja masuk ke dalam kantong belanjaku." Junho menunjukkan wajah bersalah. "Ku pikir cincin itu tidak ada pemiliknya. Jadi aku sudah membuangnya di tempat saampah."

"Membuangnya?" ulang Chansung tak percaya. Merasa dikhianati dengan pendengarannya. Tak tahukah Junho kalau cincin itu bisa membuat ingatannya kembali? Junho akan mengingat semua kenangan itu lagi jika saja ia menggunakan cincin itu dengan keinginan Junho sendiri tanpa paksaan apa pun.

"Apa itu penting untukmu?" tanya Junho penuh minat melihat ekspresi Chansung yang tampak begitu sedih. Junho tak tahu mengapa ia ikut prihatin dengan namja yang baru ia temui ini hari.

"Ya," lirih Chansung, menatap lurus mata Junho. "...sangat penting untuk kita berdua..."


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Sejak pertama kali bertemu pandang dengan namja tinggi bermata coklat besar itu di tengah jalan, ketika ia tak sengaja menabrak bahunya dan membuat kantong plastiknya jatuh. Junho sadar ada sesuatu di antara tatapan namja itu yang tertuju padanya. Walau hanya sekilas, Junho seolah bisa merasakan kerinduan yang begitu dalam beserta kekecewaan yang tampak begitu sedih dari tatapan tersebut. Dan perasaan itu terasa semakin jelas ketika namja itu kembali menatapnya dalam di apartementnya, seperti saat ini.

Hati Junho bergetar sendiri dalam diam. Ia tahu ada yang salah di antara mereka. Tapi apa itu?

"Chansung," Wooyoung memanggil dengan nada prihatin. Junho tersentak mendengar nama itu. Ia meenoleh ke arah Wooyoung yang memandang namja di hadapannya sambil memanggil nama tersebut.

Chansung. Junho mengulang nama itu dalam hati sambil menatap kembali namja tinggi di hadapannya. Seketika itu ada sebuah sentakan dalam dirinya yang membuat emosi Junho seolah jungkir balik dalam sekejap. Membuat ia panik dengan dirinya sendiri yang seolah telah melakukan kesalahan besar meski ia tak tahu apa itu. Tubuh Junho bergetar tanpa sebab sambil menatap Chansung dengan pandangan horror. "S-siapa kau sebenarnya?"

"Mengapa kau tidak bertanya pada dirimu sendiri?"

"SUDAH KULAKUKAN DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN PETUNJUK APAPUN!" Junho berseru frustasi pada Chansung. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa hal ini begitu mengganggu diriinya.

"Junho..." Chansung berjalan mendekat. Perlahan ia meraih lengan Junho, membuat getaran tubuh Junho berhenti seketika. Junho merasakan kepanikannya dalam dirinya padam hanya karena sebuah sentuhan itu. "Biar aku membantumu..." Ia menangkup pipi Junho dan mendekatkan diri pada wajah imut itu dengan membungkukkan kepalanya sedikit.

Dan Junho hanya bisa membeku di tempat ketika Chansung mencium bibirnya penuh perasaan. Itu aneh. Karena Junho tak mampu melawan. Ia malah memiliki sebuah dorongan untuk membalas ciuman itu, dan Junho membalasnya. Berciuman dengan namja tinggi yang baru ia temui ini hari. Ini benar-benar terasa aneh. Karena mengapa ciuman itu terasa begitu wajar? Seolah mereka pernah melakukannya? Bahkan sering melakukan ini sebelumnya.

"Nuneo..." Chansung berbisik lirih di sela ciuman mereka. Sebelah tangannya meraih pinggang Junho, membawanya dalam dekapan ketika ia kembali mencium bibir empuk Junho. Menyalurkan kerinduan yang begitu dalam sekaligus merapalkan mantra dalam diam.

Junho yang memejamkan mata dalam ciuman mereka. Merasa kepalanya terasa begitu pusing. Sekelabat memori dalam bayangan berputar begitu cepat, seperti sebuah film nyata, yang memang benar terjadi adanya. Sekarang terasa begitu jelas bagi Junho. Tanpa sadar matanya mulai memanas.

"Channie..."

.

.

.

.

Wooyoung melihat itu semua. Ada rasa turut bahagia dalam dirinya. Namun ia tak bisa menampik bahwa dia begitu iri melihat sepasang insan itu telah kembali untuk kedua kalinya hari ini. Kapan gilirannya tiba? Kapan Nichkhun akan kembali padanya? ia bertanya penuh harapan dalam hati.

Ia berbalik. Memandang pintu depan yang masih terbuka lebar. Wooyoung bisa merasakan jantungnya berdebar begitu hebat, menanti sebuah keajaiban muncul di hadapannya. Berharap Nichkhun akan menyusul, datang dari balik pintu itu seperti Chansung.

Namun detik berlalu, menit berlalu. Tak ada siapa pun yang muncul di sana. Tak ada. Sama sekali tidak ada. Membuat ruang kosong dalam hati Wooyoung semakin hampa terasa...


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Itu sudah tengah malam. Namun Wooyoung masih tetap memilih berada dalam taman sepi yang tak jauh dari apartementnya. Duduk seorang diri di bangku panjang di sisi taman. Sejak melihat Chansung mencium Junho, Wooyoung memilih pergi keluar dari apartement mereka. Tak ingin mengganggu mereka. Sudah dua tahun berlalu dan Wooyoung tak mau lagi terlalu posesif pada Junho. Mereka sudah beranjak lebih dewasa sejak dua tahun yang lalu. Sejak dua tahun Nichkhun dan Chansung pergi.

Getaran ponselnya menyentakkannya. Wooyoung pun mengangkat telepon yang berasal dari kembarannya.

"Hyung!" suara Junho terdengar khawatir di seberang sana. "Kau di mana sekarang? Ini sudah lewat tengah malam."

"Aku di taman."

"Oo... kupikir kau pergi mencari Nichkhun." Terdengar suara helaan nafas lega dari Junho. "Sebaiknya sekarang kau pulang hyung. Aku sudah bertanya pada Chansung tentang Nichkhun."

Wooyoung tersentak. "Apa yang dia katakan?"

Ada hening sejenak, menandakan Junho sedikit ragu untuk menjawabnya. "Eumm... Chansung bilang ia tak tahu di mana Nichkhun. Katanya, seharusnya Nichkhun sudah kembali sejak setahun yang lalu, karena Nichkhun sudah lulus sekolah duluan sejak setahun lalu. Chansung bahkan terkejut saat kutanya di mana Nichkhun. Dia pikir Nichkhun sudah duluan menemuimu sejak-"

Wooyoung menjauhkan ponsel dari telinganya. Apa dia tidak salah dengar kan? Seharusnya Nichkhun pergi hanya setahun, dan kembali sejak setahun yang lalu. Tapi mengapa sampai sekarang ia belum menemuinya? Atau jangan-jangan-

Wooyoung tercekat, memikirkan kemungkinan terburuk. Bahwa mungkin saja Nichkhun sudah membuangnya sejak dulu. Bahkan di saat Wooyoung sudah setia menunggunya, Nichkhun telah membuangnya tanpa kata. Ruang hampa dalam hati Wooyoung berubah rasa menjadi perih, seolah ada serangga kecil yang menggerogoti ruang kosong di hatinya. Memakan habis hatinya dengan rasa sakit yang luar biasa. Ponsel itu terjatuh dari tangan Wooyoung ke atas trotoar di bawahnya.

Punggungnya melengkung ke bawah, tubuh dan kepalanya merunduk dalam dengan kedua tangan yang mencekram erat baju bagian dada. Mengapa rasanya begitu sakit? Tanpa sadar tubuhnya bergetar dalam diam.

"Wooyoung! Kau kenapa?" sebuah suara yeoja yang familiar menyahut dengan nada khawatir. Tanpa melihat dan mendongak, Wooyoung sudah tahu orang yang sekarang berdiri di hadapannya adalah Suzy. Dalam hati Wooyoung memprotes, mengapa dia selalu saja muncul di saat yang tidak diinginkan?

"Oppa, Kau tak apa?"

Wooyoung merasakan kedua tangan Suzy yang memegang bahunya. Dari arah pandang Wooyoung yang terus tertuju ke bawah, terlihat Suzy yang berjongkok di hadapannya, berusaha melihat wajah Wooyoung yang terus menunduk.

"Astaga Oppa! Kau menangis?"

Benarkah? Wooyoung bahkan tak menyadarinya.

Tangan Suzy terulur, mengangkat dagu Wooyoung agar menghadap padanya. Ibu jarinya mengusap pelan aliran basah di pipi chabby itu. "Kenapa menangis?"

Kenapa? Wooyoung juga bertanya dalam hati. "Kenapa...?" pandangan basahnya tampak linglung. "Kenapa dia belum datang?" ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan suaranya agar tak bergetar. "Padahal," nafas Wooyoung mulai tak menentu. "Padahal aku telah mempercayainya."

"Wooyoung-"

"Tidak." Wooyoung menggeleng sambil menatap ke bawah. Memutuskan kontak mata pada Suzy. Pikirannya kalut, ia bahkan tak peduli jika dirinya tampak begitu kacau di hadapan juniornya. "Ini tidak mungkin terjadi, iya kan?" nada suaranya terdengar tidak yakin. "Dia tidak mungkin meninggalkanku," tapi Wooyoung tak bisa mengelak bahwa matanya kembali memanas memikirkan dugaan itu.

"Meski dia sudah pergi tanpa kata, tapi aku percaya, dia pasti akan kembali..." pandangannya yang buram oleh air mata memandang kedua tangannya yang bergetar hebat. "A-aku... Aku percaya padanya. Karena dia sudah berjanji padaku untuk tidak akan meninggalkanku. Dia sudah janji. Dan aku percaya..." tapi hati Wooyoung kini terasa begitu sakit mendengar ucapannya sendiri yang terdengar miris.

"Uyongie..."

Wooyoung merasa dirinya kembali berhalusinasi dengan mendengar suara Nichkhun memanggilnya.

"Maafkan aku..." suara Nichkhun kembali terdengar. Bahkan tangan Suzy yang memegang dagunya lagi, terasa seperti tangan besar Nichkhun yang mengangkat wajahnya agar kembali menghadap ke depan. "Aku sudah salah besar Wooyoungie. Sungguh maafkan aku..."

Wooyoung mengerjap, menatap bingung pada wajah Nichkhun di hadapannya. "K-khun...?" tangannya yang gemetar terulur untuk menyentuh sisi wajah tampan itu. "K-kau kah itu?" dia tidak sedang bermimpi, kan?

Tanggan Nichkhun menangkup tangan Wooyoung yang berada di pipinya, lalu menciumnya. "Ya, ini aku."

Wooyoung menggigit bibir bawahnya yang terus gemetar. "K-kau-" matanya liar meneliti setiap inci wajah namja di hadapannya. "B-bagaimana bisa-" Kebingungan besar melanda dirinya. Sial.

Plaak!

Ia bahkan tak sadar sudah menampar pipi Nichkhun tanpa berpikir dulu.

Nichkhun meringis, mengusap pipinya yang memerah sambil memandang heran pada Wooyoung. "Uyongie?"

"Apa itu sakit?"

"Ya."

"Bagus." Wooyoung tersenyum di antara wajahnya yang tampak basah karena habis menangis. Tanpa aba-aba ia lalu menarik bahu Nichkhun dan memeluknya erat. "Itu artinya aku tidak sedang bermimpi."

Nichkhun tersenyum di balik bahu Wooyoung. "Aku tak percaya kau menamparku hanya untuk membuktikan kau sedang bermimpi atau tidak?" kedua tangannya pun melingkari pinggang Wooyoung, membalas pelukannya.

"Kau pantas mendapatkannya. Idiot," umpat Wooyoung pelan.

Tapi Nichkhun tetap saja tersenyum. "Maafkan aku..."

Tak ada lagi yang berbicara setelah itu. Tetap diam dalam posisi keduanya. Wooyoung yang duduk di bangku taman, agak membungkuk untuk memeluk tubuh Nichkhun yang berlutut di hadapannya, membalas rangkulan Wooyoung.

Ada jeda lama dan keheningan yang cukup nyaman sampai Wooyoung menyadari satu hal.

"Di mana Suzy?"


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Junho merentangkan tangan kirinya ke atas, meneliti jari manisnya yang telah dihiasi cincin perak. "Kurasa cincin ini tidak buruk juga," gumamnya acuh.

"Kau bercanda?" sahut Chansung dengan nada protes. Ia berbaring di atas sofa panjang dengan berbantalkan paha Junho. "Itu sangat cocok untukmu." Ia meraih tangan kiri Junho dan ikut memerhatikan jemari manis tersebut.

Junho mencibir, meski sekilas ia sempat merona ketika Chansung mencium jemarinya. "Jadi... Kau tidak akan pergi lagi kan?" nada suaranya menurun. "Dan... aku tidak harus melupakanmu lagi kan?" ada ketakutan dalam nada suara Junho.

Chansung tersenyum tipis. "Tenang saja nuneo. Ini sudah berakhir." Chansung menautkan jari jemari mereka, saling mengenggam penuh perasaan. "Aku sudah lulus sekolah sihir. Dan mendapatkan sertifikat untuk hidup di dunia ini. Aku bahkan sudah memiliki identitas manusia asli di sini."

"Benarkah?"

"Hem." Chansung mengangguk semangat. "Namaku Hwang Chansung. Tempat tanggal lahir di Seoul, 11 Febuari 1990. Orangtua ku menetap di Itali, meninggalkan gym keluarga Hwang di Seoul untuk aku urus setelah lulus sekolah. Apa perlu aku ejakan nomor ktpku sekalian?"

Junho tertawa kecil. "Arachi. Aku sudah percaya padamu." Ia tampak berpikir sejenak. "Jadi orang tuamu tinggal di Itali?"

Kali ini Chansung yang tertawa geli. "Tidak Junho. Mereka masih ada di dunia sihir, itu hanya identitas palsu saja. Tapi aku serius dengan Chan-Gym yang berada di Seoul. Kita akan pindah ke Seoul untuk mengurusnya."

"A-apa?" Junho menganga terkejut.


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Taecyeon menghela nafas pelan. "Junsu," ia memanggil pelan. "Bisakah kau lepaskan tanganmu sebentar? Aku harus membantu Yonghwa dan Hongki untuk membereskan toko."

"Shiro." Junsu menggeleng. Semakin menggenggam erat ujung baju Taecyeon, layaknya anak kecil yang takut kehilangan ibunya.

Hongki tertawa. "Sudahlah Taecyeon-ah. Kau pulang saja duluan malam ini. Biar kami yang menutup toko ini."

"Itu benar." Yonghwa mengangguk setuju. "Lagipula kau sudah cukup membantu kami tadi. Sebaiknya urus saja pacarmu sana," ia berkedip menggoda, ditambah dengan siulan Hongki. Membuat Taecyeon, maupun Junsu yang masih memakai syal di mulutnya, merona malu mendapatkan godaan tersebut.


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


"Penyihir?" Wooyoung menatap terkejut pada Nichkhun yang duduk di sampingnya. "Tapi, mengapa kau harus menjadi Suzy selama ini? Bukannya akan lebih mudah kalau kau langsung menemuiku saja sejak setahun yang lalu? Setelah kau lulus sekolah sihir. Atau, jangan-jangan kau sengaja ingin memainkan perasaanku?"

"Bukan begitu maksudku Uyongie," Nichkhun mengusap pelan bahu Wooyoung, berusaha menenangkan emosi Wooyoung. Meski dalam hati Nchkhun berusaha keras untuk tidak meraup bibir pink Wooyoung yang saat ini mengerucut cemberut. Sial, dia itu sedang kesal atau memang sengaja ingin menggodanya.


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Ok Taecyeon adalah penyihir jenius yang sudah lulus sekolah sihir sejak dua tahun yang lalu. Awalnya ia memutuskan untuk menetap di dunia manusia karena ingin menambah ilmu pengetahuannya mengenai dunia tersebut. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Kim Junsu. Manusia biasa yang tanpa sengaja telah menjadi korban ramuannya.

Peraturan tetaplah peraturan. Dan Taecyeon tak pernah sekalipun berkeinginan untuk melanggarnya. Satu-satunya cara agar Junsu tidak kehilangan ingatannya -seperti permohonannya pada Taecyeon- dan Taecyeon tak melanggar peraturan dunia mereka, adalah membuat Junsu 'terikat' dengan Taecyeon secara nyata.

Tanpa memberitahukan alasan sebenarnya, Taecyeon mengikat Junsu menggunakan gelang sihir yang ia pakaian pada pergelangan tangan Junsu. Sebagai tanda bahwa Junsu telah sah menjadi miliknya, membuat Junsu berhak memiliki ingatannya mengenai Taecyeon.

Meski begitu, Taecyeon tetap tak ingin egois. Status Junsu sebagai penyanyi solo terkenal tak bisa diabaikan. Itu adalah mimpi Junsu, dunia Junsu, dan Taecyeon tak ingin mengganggu kesenangannya. Terus berada di sisi Junsu hanya akan membuat sebuah skandal baru, masalah besar bagi karir Junsu, dan Taecyeon tak mampu melihat Junsu terpuruk.

Maka keputusan bulat pun dibuat oleh Taecyeon. Ia mengikat Junsu sebagai miliknya, tapi dia juga terpaksa melepaskannya, meski bukan benar-benar lepas darinya. Ia akan membiarkan Junsu menikmati dunia musiknya di atas panggung sana. Dan biarkan Taecyeon mengamatinya dari jauh, menjaganya dari jauh. Dan ketika tiba saatnya Junsu terjatuh dari dunianya, atau memilih mundur dari ketenarannya, Taecyeon akan keluar dari persembunyiannya, untuk menyambut Junsu dengan senyuman khasnya. Itu yang Taecyeon rencanankan.

Tapi, siapa yang bisa menduga kalau Junsu yang menemukannya terlebih dahulu?

.

.

.

.

"Kau yakin dengan keputusanmu?" tanya Taecyeon, melirik Junsu yang berjalan beriringan di sampingnya. "Bukankah menjadi penyanyi tenar adalah impianmu?"

Junsu tersenyum dibalik syalnya. "Aku sudah cukup menikmati impianku itu."

"Tapi, bukan kah kau sangat suka menyanyi?"

"Aku memang suka menyanyi, tapi bukan berarti aku harus jadi penyanyi selamanya kan?" Langkah Junsu terhenti, diikuti dengan langkah Taecyeon. Ia berbalik menghadap namja tinggi tersebut. "Aku akui. Aku sangat menikmati peranku saat berada di atas panggung. Bernyanyi, menghibur para penonton yang terus bersemangat. Membuat mereka merasakan segala emosi yang kusampaikan melalui lagu. Aku juga senang ketika mereka memuji kerja kerasku. Tapi, begitu aku membuka mata di atas panggung. Aku selalu berharap, aku bisa melihatmu di antara para penonton, melihatku, dan tersenyum padaku."

"Aku selalu melihatmu Junnie..."

"Tapi aku tidak melihatmu Taec..." Junsu menunduk. Ia meraih jemari tangan Taecyeon. "Aku tak pernah menemukanmu di antara para penonton. Aku tak pernah tahu apa kau benar-benar mendengar nyanyianku atau tidak..." lirih Junsu, diam-diam ia menggigit bibir bawahnya. "...dan kenyataan itu selalu membuatku kosong. Aku sadar, seberapa banyak orang yang bertepuk tangan untukku di luar sana, itu tak pernah membuatku begitu senang seperti saat kau memberikan senyumanmu padaku setelah aku menyanyi."

Kedua tangan yang saling bertautan itu, saling meremas pelan. "Junnie... aku-" Taecyeon hendak mengatakan sesuatu, namun ia langsung tersadar dengan posisi mereka yang masih berdiri di tengah trotoar pejalan kaki. Ia mendesah pelan. "Sebaiknya kita ke tempatku dulu sebelum ada yang menyadari identitasmu." Ia menarik tangan Junsu untuk mengikutinya.

Tapi Junsu tak bergerak selangkah pun dari tempatnya.

"Apa lagi?" tanya Taecyeon heran.

"Aku lelah." Junsu merajuk. "Aku baru saja sampai di Busan dua jam yang lalu. Sejak dari Bandara aku belum sempat istirahat di hotel. Kakiku sudah sangat lelah untuk berjalan ke-"

"Arrachi, arrachi." Taecyeon segera memotong keluhan Junsu. Tanpa di suruh ia berjongkok di hadapan Junsu. "Kenapa tidak langsung bilang saja kalau kau ingin digendong?" sindir Taecyeon.

Junsu tersenyum lebar. Meraih leher Taecyeon dari belakang. "Kau masih kuat kan?"

"Menurutmu?" Taecyeon meraih kedua paha Junsu di sisi pinggangnya, lalu berdiri dan mulai berjalan sambil menggendong Junsu di belakangnya.

Kedua tangan Junsu merangkul leher Taecyeon dengan posesif. Tersenyum sambil menikmati aroma manly tubuh Taecyeon.

"Aku merindukan punggungmu..."

"Aku rindu menggendongmu..."

Keduanya lalu tertawa kecil dengan aura kebahagian yang saling memancar.

"Taecyeon..."

"Ya?"

Junsu membenamkan wajahnya yang memerah di pertengahann leher Taecyeon. "Jangan lepaskan aku lagi..." bisiknya pelan.

Langkah Taecyeon terhenti. Menoleh ke samping untuk beradu pandang dengan Junsu. Dan sebuah senyuman hangat yang dirindukan Junsu tampil pada wajah tampan tersebut. "Tidak lagi, Junsu..." Taecyeon menggosok pelan kedua hidung mereka. "Aku tak akan melepaskanmu lagi..."

Junsu tersenyum malu di balik syal abu-abu yang menutupi mulutnya.

"Junsu..."

"Hm?"

"Bisa kau turunkan syalmu? Itu sangat menggangguku..." itu hanyalah alasan Taecyeon untuk bisa mengecup bibir Junsu...

.

.

.

.

Tangan Junsu meremas pelan helaian rambut Taecyeon ketika namja itu mengemut bibirnya. Ia terus mempertahankan kepalanya miring ke depan agar leher Taecyeon tidak begitu ngilu untuk terus menoleh ke samping. Sementara kedua tangan Taecyeon menahan diri untuk terus menahan berat tubuh Junsu di gendongan belakangnya. Berciuman dalam posisi gendong di punggung.

Taecyeon tersenyum. "Aku mencintaimu Junsu..."

Rona merah di wajah Junsu semakin pekat. "hah...A-aku...hah...Aku juga..."


.

.

~*~P.S.P~*~

.

.


Nichkhun Buck Horvejkul. Namja tampan yang sekaligus seorang penyihir itu baru lulus dari sekolah sihir setahun yang lalu. Sudah jauh-jauh hari ia memutuskan untuk menetap di dunia manusia setelah ia lulus. Karena ia tahu, ada seseorang yang menunggunya di sana.

Ia ingin sekali menemui Wooyoung dan menceritakan, menjelaskan semua hal mengenai dirinya pada Wooyoung tanpa harus ada lagi yang ditutupi. Tapi lagi-lagi peraturan dunia mereka menghalanginya. Jika Nichkhun menemui Wooyoung saat itu dan membeberkan rahasianya sebagai penyihir, hanya akan membuat Wooyoung harus melupakan kenangannya bersama Nichkhun, seperti yang dialami Junho.

Seperti halnya Taecsu, satu-satunya cara agar Wooyoung tak melupakannya adalah 'mengikat' Wooyoung secara nyata melalui sihir untuk menjadi milik Nichkhun. Namun untuk melakukan hal itu, Wooyoung harus mencapai umur yang cukup dan juga harus lulus dari sekolahnya untuk mendapatkan sebuah ikatan sihir dari seorang penyihir.

Mau tidak mau, Nichkhun menahan diri untuk tidak muncul di hadapan Wooyoung sampai ia lulus sekolah. Namun bukan berarti Nichkhun harus menahan diri untuk tidak menjaga Wooyoung dari berbagai tatapan tak menyenangkan siswa lain di sekolahnya. Nichkhun pun memutuskan untuk menjaga Wooyoung dengan cara lain.

.

.

.

.

Tangan Nichkhun terulur di hadapan Wooyoung. Memperlihatkan sebuah cincin di atas telapak tangan tersebut.

Wooyoung menelan ludah gugup. "Apa itu?" tanyanya pura-pura tak tahu.

"Ini cincin. Tentu saja. Bukan anting-anting." Nichkhun nyengir.

Wooyoung langsung memukul bahu Nichkhun. "Kau sangat tahu, bukan itu maksudku," kesalnya sambil cemberut.

Cengiran Nichkhun berubah jadi senyuman gugup. Ia mengusap tengkungnya dengan gerakan gelisah. "Kupikir aku ahli dalam hal ini. Tapi ternyata..." matanya bergulir menatap bawah. "Sampai sekarang aku masih belum menemukan rangkaian kata yang tepat untuk melakukan hal ini." Sebelah tangan Nichkhun meraih jemari Wooyoung. "Tapi yang jelas..." Diam-diam tangan Nichkhun menjadi sangat dingin karena gugup. "...aku ingin bisa hidup bersama denganmu... selamanya... b-bisa kan?"

"Apa..." mata Wooyoung ikut bergulir pada cincin di tangan Nichkhun, juga pada jemarinya yang digenggam namja tampan itu. "...apa kau sedang melamarku?"

"Eumm... ya."

Pandangan keduanya bertemu, seolah ada yang memberi aba-aba, pipi keduanya memanas satu sama lain secera serempak. Meski rona merah di pipi chubby Wooyoung lebih pekat daripada rona merah di pipi Nichkhun. Melihat wajah menggemaskan Wooyoung, tak bisa mencegah Nichkhun untuk mengeluarkan senyuman jenaka di wajah tampannya. Seolah mampu menular, Wooyoung pun ikut tersenyum, mengabaikan fakta bahwa wajahnya sejak tadi terus memanas.

"Jadi..." onyx Wooyoung kembali melirik cincin di tangan Nichkhun. "...kau memberiku pilihan?"

"Tidak," tegas Nichkhun. Tangannya mengarahkan lubang cincin itu pada jari manis Wooyoung. "Aku datang jauh-jauh tidak ingin menerima kata penolakan." meski begitu, masih ada rasa ketakutan dalam benak Nichkhun kalau saja Wooyoung tak menginginkan hubungan yang lebih serius.

"T-tunggu apa lagi?"

Nichkhun memandang Wooyoung yang sedang merunduk malu, menyembunyikan ekspresi wajahnya.

"Pakaikan saja cincin itu..." bisiknya.

.

.

.

.

"Astaga! Khun!" lengan Wooyoung melingkar erat di leher Nichkhun, sementara matanya memandang hororr pada pemandangan malam kota Busan di bawah kaki mereka. "Kau bermaksud ingin membunuhku atau apa sih?" protes Wooyoung panik.

Lain halnya dengan Wooyoung, Nichkhun malah tersenyum penuh hiburan. Kedua tangannya melingkar erat pada Wooyoung agar tak jatuh dari pelukannya. "Bukankah kau sendiri yang meminta ingin terbang bersamaku?"

"Tapi bukan begini juga caranya. Ku pikir kau akan menggunakan permadani terbang atau baling-baling bambu."

Nichkhun sweatdrop. "Aku penyihir Uyongie. Bukan aladin atau pun doraemon." Ia cemberut. "Bagaimana bisa kau samakan ketampananku dengan mereka?" ia mulai lagi bernarsis ria.

"Ini terlalu tinggi, Khun. Turunkan aku sekarang juga!"

"Kau yakin ingin kulepaskan di sini?"

"Apa? Hey! Tidak! Bukan begitu maksudku!" Wooyoung panik. Segera meraih leher Nichkhun dan merangkulnya erat, ketika tubuhnya nyaris saja merosot ke bawah karena pegangan Nichkhun pada pinggangnya melonggar. "Demi Tuhan Khunnie! Aku tak ingin jatuh dari ketinggian dua ratus meter!"

Nichkhun terkekeh pelan. Kembali memeluk pinggang Wooyoung dengan posesif. "Aku hanya bercanda..."

"Sialan kau Khun," umpat Wooyoung pelan. "Kau hampir membuatku mati," desisnya kesal.

"Kau juga..." Nichkhun mengendus ke pertengahan leher Wooyoung. "Kau membuatku mencintaimu sampai mati..."

Itu sama sekali tidak nyambung. Tapi cukup membuat kekesalan Wooyoung sirna dalan sekejap. Dalam hati Wooyoung bertanya-tanya. Mengapa Nichkhun selalu saja bisa menjungkir balikkan perasaannya dalam sekejap?

.

.

.

.

Lagi-lagi insomnia menyerang Jr, pemuda tujuh belas tahun yang hiperaktif. Ia memutuskan untuk keluar kamar menuju balkon di lantai lima apartementnya. Rencananya ia ingin menikmati indahnya pemandangan malam kota Busan. Sampai akhirnya tanpa sengaja mata Jr malah menangkap kejadian janggal di atas langit.

Dengan background pemandangan langit malam, beserta bulan purnama bundar sempurna, ada dua insan namja yang melayang di sana, saling berpelukan, dan astaga mereka berciuman!

Jr mengucek matanya untuk meyakinkan dirinya. Namun bayangan dua namja yang melayang di atas sana tak juga hilang. Kurasa insomnia ini mulai membuatku berhalusinasi, pikirnya menyimpulkan. Jr berbalik, kembali memasuki apartement sambil merinding ngeri.

"Jb hyung! Aku ingin tidur bersamamu!"

.

.

.

.

.

~The_enD~

.

.

.

.

.

THANKS TO

My God

My Parents

My Friends

JYPEntertaiment

Readers & Reviewers:

mrs okcat, Qhia503, Azula, woojay, nuneo2daKAY, inkballoon, , Kirie, reaRelf, Guest, weniangangel, chanana10, elz602yes, gaemwon407, BLUEFIRE0805, irnafith, Difa Khunyoungie, uutbe, Asha lightyagamikun, ZoeKyu, Aqua, Akita Fisayu, ecca augest, , elfa chan, afiati, JunKAY0430, yuliafebry, KidMoonLight, bval, Putree LEN, nikmah cupu, syahroh alhalim, renata, nhawoo, lovechanho, chanhottest, deewildypark, dephdhep, Aryssu, ok taecyeon.

Aya tahu ini tidak sempurna.
Karena itu Aya ucapkan beribu kata maaf.

Berkenan meninggalkan review terakhir beserta kotak saran mengenai fic 2PM selanjutnya?

Main pairing : Khunyoung or Okkay or Channuneo?

Genre: Romance and... Friendship or Fantasy or Action or HighSchool?

Rated: T or M?

See you in the next my fanfic~

Love you All~

^Aya^

(Sayaka Dini)