Summary: Setelah kematian Dumbledore, Harry pergi ke masa lalu di saat Voldemort masih berumur sebelas tahun. Dengan misi merubah masa depan, Harry menjalani kehidupannya yang sekarang dengan Tom Riddle sebagai pengajar di Hogwarts. Time Travel. Slash. TomHarry.

Disclaimer: J.K. Rowling

Prologue

Takdir yang ia pilih adalah takdir yang berbeda.

Takdir yang mempertemukannya dengan musuh besarnya di masa lalu.


"Kau tahu, Harry? Apa yang membedakanmu dengan Kau-Tahu-Siapa?"

"Ya. Aku memiliki Sirius, kau dan Ron, Ginny, serta teman-teman di Orde Phoenix ataupun Dumbledore's Army. Sementara dirinya hanya memiliki para Death Eater dan pengikutnya."

"Yes. Intinya, yang membedakanmu dan dia adalah cinta."

"Lalu apa yang bisa kulakukan dengan cinta itu, 'Mione?"

"Rubah masa lalu itu dengan cinta, Harry."


Panti Asuhan, London, Juli 1938.

"Kau siapa?"

Suara khas anak kecil yang terdengar menyadarkan seorang pemuda yang sedang dalam posisi tak wajar di dekat lemari. Posisi tak wajar karena pemuda itu dalam keadaan setengah terbalik dengan kaki di atas sementara punggungnya menyatu dengan lantai yang dingin. Pemuda yang berambut hitam acak-acakan dan bermata hijau cemerlang itu mengerjapkan matanya pelan. Pandangannya kabur karena kacamata bulat yang biasa bertengger di matanya sekarang berada entah dimana.

"Err... aku─"

"─apa kau penyihir?" ucap anak kecil itu dengan nada yang terdengar penasaran.

Pemuda itu segera mendudukkan dirinya dalam posisi yang benar. Tangan kanannya menggapai-gapai di sekitarnya untuk mencari kacamata bulat pemberian bibi dan pamannya di saat ia masih kecil itu (oh, demi Merlin, tentu saja kacamata itu adalah kacamata bekas pamannya yang sudah retak di tengahnya).

"Penyihir? Oh ya, tentu aku adalah penyihir─ well, penyihir muda lebih tepatnya..." jawabnya sambil memakai kacamatanya yang ternyata ada di sebelah kakinya.

Anak kecil berambut hitam kelam lurus itu mengangkat salah satu alisnya.

"Lalu apa buktinya kau penyihir selain kau yang tiba-tiba bisa berada di kamarku dalam sekejap itu, sir?"

Great.

Inilah susahnya bila orang─ralat, anak kecil lebih tepatnya─ yang kau hadapi ini adalah anak yang jenius, pikir pemuda itu. Pemuda itu pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menyalipkan tangan kanannya ke saku jubahnya. Mengeluarkan sebuah tongkat Holy yang terbuat dari helai bulu burung phoenix.

"Wingardium Leviosa."

Mata abu-abu anak kecil itu melebar. Seluruh benda di kamarnya melayang secara perlahan dan bergerak-gerak di sekitarnya melawan gravitasi. Anak kecil itu tertawa kecil sambil menggapai-gapai ujung kaki tempat tidurnya yang sekarang berada tepat di atas kepalanya. Ia pun mengalihkan pandangannya ke pemuda yang masih memainkan tongkat di tangannya seraya tersenyum memandangi anak kecil itu. Seakan tersadar, anak kecil itu berdeham pelan dan tawa rileks di wajahnya pun menghilang dalam sekejap.

"Oke, aku percaya bahwa kau adalah penyihir. Yang jadi pertanyaanku sekarang, untuk apa seorang penyihir muda sepertimu berada di kamarku secara tiba-tiba seperti itu?" Pemuda itu pun menurunkan tongkat sihirnya yang seketika benda-benda yang melayang tersebut kembali ke tempatnya semula dan memasukkannya kembali ke saku jubahnya.

"Aku─" Suara ketukan di pintu kamar anak itu memotong perkataan pemuda tanggung tersebut. Keduanya menatap horor ke arah pintu kamar dan mendengarkan suara wanita yang meminta izin untuk masuk ke kamar itu. Refleks, anak kecil itu pun mendorong tubuh pemuda yang lebih tinggi darinya ke arah lemari pakaian dan segera menutup pintu lemari sebelum wanita itu masuk.

"Kau kedatangan tamu─ sedang apa kau di situ, Tom?" Wanita paruh baya itu menatap anak kecil yang dipanggil Tom dengan pandangan heran. Anak kecil itu mengedikkan bahunya dan berjalan ke arah kursi yang sedari tadi ia duduki itu.

"Tidak ada apa-apa. Ada perlu apa?" Wanita itu mengernyit saat mendengar jawaban yang terdengar kurang sopan itu. Ia pun kembali mengulang maksud tujuan ia ke kamar Tom.

"Tamu? Tamu apalagi sekarang? Kalau dia adalah dokter yang kesekian kalinya kau suruh datang, lebih baik kau dan kenalanmu itu segera pergi dari sini sebelum aku─" Perkataan anak kecil itu terpotong saat seorang pria berambut dan berjengggot abu-abu serta berpakaian nyentrik itu masuk ke dalam kamar dan tersenyum ke arahnya.

"Aku adalah Professor Dumbledore, pengajar sekolah Hogwarts, tempat sekolahmu nanti, Tom Marvolo Riddle."

xxxx

"Professor?" desis Tom dengan pandangan jelas-jelas tak suka itu ke arah pria tua yang sekarang duduk di tepi tempat tidurnya.

"Ya, apa perlu kita berkenalan lagi, Tom? Jika itu yang kau inginkan maka─"

"Tidak, aku sudah cukup jelas mendengarnya. Yang kumaksud untuk apa ada seorang Professor repot-repot datang ke tempat anak kecil yang yatim piatu ini? Kau bukannya suruhan wanita tua itu untuk memeriksaku lagi, huh?" ucap Tom sambil menggenggam keras kepalan tangannya yang berada di meja.

"Oh bukan. Aku tidak akan memeriksamu seperti orang suruhan Mrs. Cole itu, Nak. Aku hanya mau memberitahumu mengenai sekolah yang akan kau datangi nanti, Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry." jawab Dumbledore seraya mengambil surat di balik jas panjangnya dan memberikannya ke Tom.

"Witchcraft and Wizardry─ berarti aku adalah penyihir juga?" Pria berjenggot itu menaikkan alisnya.

"Juga? Kalau aku tak salah mengerti, berarti kau pernah bertemu dengan penyihir sebelumnya, Tom?" terka Dumbledore seraya mendekatkan dirinya ke arah Tom. Anak kecil itu menegang sebentar sebelum ia kembali rileks.

"Tidak, Professor Dumbledore. Aku hanya berpikir seperti itu karena aku bisa melakukan hal-hal yang luar biasa dibanding manusia lainnya." Ia pun tersenyum manis ─yang membuat Dumbledore kembali mengangkat kedua alisnya heran karena perubahan sikap tiba-tiba dari anak kecil tersebut─ sambil mengambil salah satu batu di dekat pinggiran jendela tepat di depan mejanya. Ia menutup matanya dan secara perlahan membukanya sambil menatap batu di telapak tangannya yang terbuka. Batu itu bergerak ke arah kiri lalu bergetar dan mulai melayang-layang kecil di telapak tangannya. Dumbledore menahan nafasnya dan menatap takjub ke arah telapak tangan anak kecil itu. Batu itu semakin bergetar ke segala arah seakan tak bisa dikendalikan dan dalam sekejap batu itu terbelah dua dan hancur dalam hitungan detik, menyisakan debu-debu di tangan anak itu.

"Bagaimana? Apakah itu salah satu contoh bahwa aku adalah penyihir, Professor?" Senyum di mulut anak kecil itu semakin mengembang. Dumbledore menatap wajah anak itu dan menarik nafas perlahan.

"Ya, Tom. Itu adalah bukti bahwa kau adalah seorang penyihir. Tak bisa disangkal lagi bahwa kau adalah keturunan penyihir. Dan sayangnya aku tak semudah itu bisa kau alihkan, Tom Riddle. Siapa orang yang kau sebut penyihir itu, Tom?"

Anak kecil berumur sebelas tahun itu mendecak pelan. Ia tak menyangka ia akan kelepasan bicara seperti itu di hadapan orang yang belum ia kenal. Ah, bicara mengenai orang yang belum ia kenal, pemuda berambut hitam itu juga belum ia kenal. Namun ia merasa ia kenal dengan pemuda itu. Jauh di dalam dirinya, ia menyadari bahwa pemuda itu adalah orang yang ia kenal baik. Sayangnya ia masih belum ingat mengenai pemuda itu.

"Hm, kalau kau tak mau memberitahuku maka..." Seketika lemari pakaian milik Tom terbakar dengan api biru yang melahap seluruh lemari itu. Pandangan horor tak terelakkan dari wajah Tom yang sekarang berlari ke arah lemari itu sambil berteriak panik.

"KAU MEMBUNUHNYA! KAU MEMBUNUHNYA! IA ADA DI DALAM, BRENGSEK!" teriaknya sambil mengambil selimut dari tempat tidurnya dan mengibaskannya ke lemari tersebut berharap api biru itu padam.

Dengan satu jentikan, api biru itu menghilang dan pintu lemari itu terbuka dengan sendirinya. Pemuda tanggung itu melangkah keluar dengan tatapan heran lalu melihat Tom yang sama herannya. Tom mendesis menahan malu dan menatap Dumbledore dengan tatapan tajam.

"Kau. Mempermainkan. Aku." desis Tom yang sekarang berjalan dengan langkah lebar ke arah Dumbledore yang tersenyum.

"Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya memastikan siapa penyihir yang kau pernah temui itu. Dan, senang bertemu denganmu, Nak─"

"Harry. Harry Black." Jawab pemuda itu cepat. Tom membalikkan badannya dan menatap pemuda itu.

Harry. Rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tapi di mana?

"Hm. Kalau begitu senang bertemu denganmu, Harry. Ah, apakah kau penyihir yang Tom maksud?" tanya Dumbledore pelan sambil menepuk-nepuk tempat tidur Tom, gestur yang menyuruh Harry untuk duduk di situ. Tanpa bicara, Harry pun duduk di sebelah Dumbledore sambil menatapnya intens, membuat Tom menautkan kedua alisnya.

"Ya, Professor. Erm, bo-bolehlah aku menyentuh tangan anda sebentar?" Harry bertanya sambil menatap tangan Dumbledore yang berada di tempat tidur. Dumbledore menatap Harry dengan heran namun menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Harry. Dengan pelan, Harry menyentuh tangan Dumbledore sambil berbisik pelan.

"Dia masih hidup..." Tanpa disadari, Harry menghela nafas dan tersenyum sambil menyentuh tangan hangat Dumbledore. Membuat baik Tom ataupun Dumbledore heran dengan sikap Harry yang aneh.

"Pardon?" Sontak, Harry melepaskan tangan Dumbledore dan tertawa paksa. Ia menggelengkan kepalanya seraya menatap pintu kamar Tom yang tertutup. Dumbledore pun berdeham pelan dan menatap Tom yang masih berdiri di depan dirinya.

"Kau akan masuk Hogwarts di awal September. Sebelum hari itu tiba, aku akan menemuimu lagi untuk menemanimu membeli berbagai perlengkapan sekolah untukmu di Diagon Alley. Persiapkan dirimu, Tom, untuk menemui berbagai hal yang lebih luar biasa dari yang kau lakukan tadi. ─Tom meringis pelan saat Dumbledore mengedipkan sebelah matanya dan tertawa─ Dan... Harry." Pemuda itu langsung menoleh ke arah Dumbledore.

"Setelah kita keluar dari sini, kita harus berbicara empat mata. Yang aku lihat, kau juga masih berumur enam belas tahun, aku rasa? Kau murid sekolah mana─ aah, sepertinya pembicaraan ini kita lanjutkan di luar saja. Baiklah, Tom. Aku dan Harry pergi dulu. Sampai nanti." Dumbledore mengibas-ibaskan tangannya dan berjalan ke arah pintu kamar dengan Harry yang mengikutinya.

Belum sampai dua langkah, tangan Harry tertahan. Diliriknya anak kecil yang menahan tangannya itu.

"Kau... kita akan bertemu lagi bukan, Black?" tanyanya pelan. Harry tersenyum dan menepuk-nepuk kepala Tom sambil berlutut agar sejajar dengan arah pandang Tom.

"Ya, kita akan bertemu lagi di Hogwarts, Tom. Maaf, tadi aku mengagetkanmu. Dan, oh demi Merlin, tadi kita belum sempat berkenalan! Baiklah, aku ulang saja ya. Namaku Harry Black. Senang bertemu denganmu." Harry mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Tom menatap tangan Harry itu dan menjabatnya pelan.

"Aku Tom. Tom Marvolo Riddle. Calon penyihir sepertimu," ujarnya. Harry terkekeh pelan dan berjalan ke arah keluar kamar. Saat ia sampai di ambang pintu, Tom berkata,

"Aku bisa berbicara dengan ular. Ular itu pun seakan mengerti apa yang kukatakan dan ia mau menurut apa yang kusuruh. Apakah itu juga termasuk kemampuan penyihir?"

Mau tak mau, Dumbledore yang menunggu di dekat pintu berbalik menatap Tom yang sekarang menatap keduanya dengan pandangan tajam. Saat Dumbledore membuka mulutnya, Harry menjawab pertanyaan atau pernyataan Tom tersebut.

"Itu termasuk kemampuan penyihir, Tom. Selamat siang."

xxxxx

Ruang Asrama Gryffindor, Hogwarts School, 30 Juni 1997.

"Kau serius dengan hal ini, Hermione? Kenapa kita tidak mengirim Harry beberapa jam yang lalu saja agar dia bisa menyelamatkan Dumbledore?! Bloody hell! Kau gila! Ini hal paling gila yang aku pernah dengar!" teriak pemuda berambut merah seraya mengacak-acak rambutnya.

"Tentu aku serius, Ron. Oh Merlin, hentikanlah sikapmu itu. Kau mau kepalamu botak kalau kau terus menerus mengacak-acak rambutmu itu?" Hela nafas panjang tak tertahan dari bibir merah remaja putri yang sekarang membaca sebuah buku tebal. Umpatan kembali terdengar dari pemuda itu yang membuat remaja putri itu memutar bola matanya.

"Ya! Kau mengirimkannya ke masa saat Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut-Namanya itu masih anak-anak. Dan kau berpikir kalau Harry bisa mengubah semuanya kalau ia pergi ke masa itu? Oh demi jenggot Merlin, aku tak tahu kalau kepintaranmu itu membuatmu gila, 'Mione. Bukankah kita ditugaskan Dumbledore untuk mencari Horcrux? Kenapa kau memberikan ide gila seperti ini, hah?" Ron pun menghempaskan tubuhnya ke atas sofa merah marun yang empuk seraya menghela nafas panjang.

"Sudahlah, Ron. Setidaknya percayalah kau kepada Harry. Dia teman kita sejak pertama kali kita masuk Hogwarts, kan?" Hermione menutup buku tebalnya dan menaruhnya di sebelah pahanya. Ia menggenggam tangan Ron sambil tersenyum. Ron hanya bisa mengerang pelan dan menaruh kepalanya ke tekuk leher Hermione yang sekarang terkekeh pelan.

"Tapi ini ide gila. Ide yang sangat gila. Kau sendiri kan yang bilang kalau merubah waktu itu hal yang paling dilarang bagi penyihir? Tapi kenapa kau malah melakukan hal yang di luar logika seperti ini, 'Mione? Apa yang kau rencanakan dengan Harry?" Ron menatap nanar ke arah perapian. Ia begitu lelah dengan apa yang terjadi beberapa menit sebelumnya. Tak menyangka bahwa kedua sahabatnya memiliki rencana yang absurd seperti itu.

"...memang ini terdengar gila, Ron. Tapi ini juga satu kesempatan baru yang bisa merubah masa depan. Walaupun ide ini juga bisa mengorbankan kesempatan yang lain, tapi aku yakin Harry bisa merubah masa depan yang lebih baik dari yang sekarang," ujar Hermione sambil mengelus rambut merah Ron. Terdengar Ron yang menghela nafas untuk keberapa kalinya dan akhirnya memilih diam. Hermione tersenyum dan menatap ke luar jendela asrama.

'Selanjutnya, kuserahkan pada pilihanmu di masa lalu, Harry.'


Pemuda di masa depan dan Anak kecil di masa lalu.

Apakah takdir mereka akan berubah?


A/n: Aloha~ Fic pertama di fandom Harry Potter (dan diedit sedikit tadi. orz). :') Cerita dengan time-travel emang banyak di pairing TomHarry ini. Tapi semoga fic ini bisa beda dengan fic yang lain. orz Chapter 1 sedikit emang, tapi yang selanjutnya lbih banyak lagi kok. Dansemogaapdetcepet #eaa

Review please?