Chapter 10

Disclaimer: Kuroko no Basket (Kurobas) milik Fujimaki Tadatoshi. Saya hanya menjalankan karakter-karakternya dalam fanfic saya. Plot tentu milik saya~

Warning: Shounen-ai. Upcoming gore scene. OOC (I hope not) and some misstype that I missed. Failed Indonesian author writing an Indonesian fanfiction. And characters death. AU.

-xxXXXxx-

Satu, dua, tiga.

Takao mengayunkan hunting knifenya, seperti seorang konduktor yang sedang membawakan simponi indah dalam pertunjukannya. Nada-nada jeritan orang yang jatuh begitu saja akibat serangan dari dirinya. Adrenalinnya berpacu sangat kencang dalam nadi psikopat Takao.

Tubuh-tubuh itu tergelatak begitu di tengah jalan yang ia lalui. Tidak peduli dengan cipratan darah yang mengenai bajunya.

Satu, dua, tiga.

Takao tau ini hanya pemanasan kecil. Ombak yang lebih besar telah menunggunya di puncak gedung ini. Hanamiya sengaja menempatkan yang lemah pada barisan depan untuk pemanasan sebelum ia menghabisi dirinya. Takao tahu itu. Kali ini biarlah ia mengikuti peraturan Hanamiya seorang.

Takao tidak mempedulikan suara jeritan dan sumpah serapah yang keluar dari mulut mereka. Tak butuh waktu lama untuk menghembuskan nafas terakhir mereka. Tak ada satu orang pun yang lolos dari malaikat kematian. Takao tidak menyisakan satu orang pun dari anak buahnya. Ia tidak ingin ada saksi hidup yang tersiksa dalam gedung ini kecuali Midorima.

Terdengar suara sirene yang mendekat. Membuat Takao sedikit terkejut akan hal ini.

"Kepolisian? Akashi mengetahuinya? Atau—Hanamiya yang sengaja mengundang mereka ke dalam pesta privat mereka?" Apapun itu, Takao yakin Hanamiya sudah memprediksikan hal ini. Entah dia yang mengundang mereka atau mereka sendiri yang datang.

Satu, dua, tiga.

Entah sudah berapa kali Takao mengayunkan hunting knifenya, keluar masuk tubuh orang. Ia harus berusaha mencapai puncak lebih dahulu sebelum kepolisian menemukannya.

Dengan cepat ia menaiki tangga untuk mencapai puncak gedung tersebut. Beruntung karena Takao masih melakukan rutinitas lari paginya, staminanya masih tetap ia pertahankan.

Ia membuka mencoba membuka semua pintu yang ia temui di lantai tertinggi. Mencari sosok bersurai hitam lainnya yang ia cari.

Lalu sampailah takao ketika menemukan ruangan yang lain dari yang lain. Ruangan yang penuh dengan tanaman, tidak seperti ruangan lain yang kosong. Ruangan ini juga lebih luas daripada yang Takao temui sebelumnya. Saat itulah Takao tahu ia sudah dekat dengan Hanamiya.

Takao melangkahkan kakinya. Mulai berjalan menyusuri ruangan itu dengan hati-hati, waspada akan adanya serangan dadakan atau apapun itu.

"lebih cepat dari dugaanku." Suara itu mengejutkan Takao untuk sesaat. Ia langsung berbalik arah menghadap ke arah sumber suara yang tau tau sudah berada di ruangan itu. Si sumber suara tersenyum kecil melihat tamu kehormatannya sudah datang. "Lama tak jumpa, Takao."

"Hanamiya." desisnya. Takao berusaha tersenyum, mendinginkan kepalanya. "Dimana Midorima?" tanyanya langsung tidak mau berbasa-basi lagi.

"Ah? Kenapa? Kau sedang terburu-buru?"

Tatapan takao semakin tajam. Ia kehabisan waktu. Polisi di luar sana tidak membutuh waktu lama untuk menyusulnya ke lantai ini.

"Apa kau tidak kangen dengan ku?" Hanamiya mulai berjalan keliling. "sudah berapa tahun kita tidak bertatap muka ya?" terkekeh. "Santailah sedikit. Anggap saja ini reuni kecil kita."

Reuni. Ingin tertawa rasanya mendengar kata reuni. Ya, memang reuni adalah kata yang tepat. Takao, Hanamiya, dan kepolisian. Tepat seperti hari itu.

"jangan sok ramah denganku, Hanamiya. Dimana Midorima." Takao kembali menekankan maksud mengapa ia disini.

"tidak ramah sekali." Jawab Hanamiya santai. "Tenang saja, ia aman" Hanamiya menunjuk ke salah satu pojok ruangan. Dimana sosok pemuda bersurai hijau itu terikat pada salah satu tiang. Terdapat belur luka di wajahnya. Kacamatanya hilang, tidak menghiasi wajah Midorima lagi.

"Mi..dorima.." Takao kaget, tidak percaya dengan matanya sendiri.

"Apa kau puas? Takao?" tanya si surai hitam, masih terkekeh melihat ekspresi lawan bicaranya.

Air muka Takao berubah drastis. "Kenapa kau melibatkan dia, OI HANAMIYA!" gertaknya.

Hanamiya masih tertawa terkekeh. Makin lama, kekehan makin kencang hingga berubah menjadi tawaan gila seorang psikopat.

"Bagaimana Takao? apa kau sudah berada dalam keputus-asaan? Apa kau sekarang merasa frustrasi? Bagaimana seandainya aku sudah meracuni Midorima? Apa yang akan kau lakukan, Takao?" Hanamiya tersenyum. Kali ini bukan senyum kecil, melainkan senyum besar dari ujung kiri ke kanan. "Apa kau masih bisa menyelamatkannya?"

"Bagaimana seandainya aku masih mempunyai satu tamu khusus lagi?"

Takao tidak bergerak. Jangan katakan… jangan.

"Bagaimana seandainya aku menyentuh adikmu lagi?"

Tidak. Jangan ingatkan aku pada hal itu. Ingatan yang paling tidak ingin Takao ingat kembali perlahan muncul di pikirannya lagi. Adiknya Azuki, Orang yang paling Kazunari sayang di dunia ini. Rasa sakit yang sama muncul kembali.

Ekspresi Takao benar-benar berubah menjadi wajah orang yang putus asa. Kakinya terasa lemas begitu mendengar kata-kata itu.

"Tidak mungkin.. Azuki…" Takao berusaha mengumpulkan kekuatannya lagi, ia hampir jatuh tersungkur begitu mendengar tentang adiknya. Nafasnya mulai tidak karuan.

Bohong. Tidak mungkin Hanamiya tahu dimana adiknya sekarang. Tidak mungkin ia bisa menyentuh Azuki yang sekarang. Takao berusaha mengumpulkan kewarasannya. Ini hanya tipuan Hanamiya saja. Takao yakin adiknya masih aman di Osaka.

"Itu bohong bukan, Hanamiya?" Takao meyakinkan hal itu. Ia mencoba menatap Hanamiya kali ini. "Kau tidak memiliki Azuki, bukan?" ucap Takao mantap. Takao teringat akan sikap Hanamiya yang sebenarnya.

Jangan percaya semua omongan Hanamiya Makoto.

"ternyata kau bertambah pintar, Takao. Kuakui kau memang seorang jenius."

"Cukup dengan omong kosong ini, Hanamiya. Apa mau mu sekarang." Suasana di ruangan itu kembali serius.

Kedua surai hitam itu tidak sadar kalau Midorima sudah sadar sepenuhnya. Si surai hijau masih berpura-pura tidak sadarkan diri. Di telapak tangan Midorima sudah ada pecahan kaca yang ia berhasil ia raih dengan susah payah. Tidak ketahuan. Ia berusaha untuk memotong tali tebal yang mengikat kedua tangannya.

Beberapa kali ia harus menahan sakit karena pecahan kaca itu kadang memotong permukaan tangannya bukan memotong tali itu. Pelan-pelan, namun ia harus juga berlomba dengan waktu.

Ia dapat merasakan aura tegang yang menyelimuti kedua orang psikopat itu. Entah siapa yang menang, sulit ia prediksi.

"Sepertinya polisi sudah mengepung gedung ini." Ujar Hanamiya. Tangannya meraih sesuatu dari saku jasnnya.

Takao tentu menyadari hal itu. "Kau telat. Aku sudah tahu dari tadi. Kau sendiri yang memanggil mereka " Takao menebak, sudah bisa membaca logika Hanamiya. "Betul bukan?"

Sedikit banyak Hanamiya kagum dengan Takao. "Bagaimana kita mulai acara utama kita?" Hanamiya mengeluarkan hunting knife yang berada di saku dalam jasnya. Air muka psikopat terpasang di wajah kedua orang itu. Hunting Knife sudah siap di tangan mereka.

"Shall we?"

Serangan-serangan itu pun terjadi. Tarik ulur. Kedua oponen sama kuatnya dalam segi fisik. Kadang Takao lebih unggul, namu detik berikutnya Hanamiya sudah hampir bisa menikam Takao. telat sedetik saja sudah bisa menentukan siapa yang akan mati.

Suara benturan pisau ataupun suara tulang kena tulang dapat terdengar jelas oleh Midorima. Pertarungan itu sangat sangat hingga ia kadang lupa kalau ia juga harus membebaskan dirinya.

Satu tendangan.

Takao berhasil menendang tangan Hanamiya. Hunting knifenya terpental jauh. Jatuh diantara tanaman hias di ruangan itu. Tidak mungkin untuk Hanamiya ambil. Seulas senyuman bangga tergambar dari wajah Takao. kini posisinya lebih unggul dari Hanamiya 1 poin.

Hanamiya memutuskan untuk melawannya dengan tangan kosong.

Pukul, tendang, tangkis, kunci. Melawan Hanamiya yang tidak memakai senjata sama sekali sama susahnya. Takao menyesal kalau ia sudah menganggap remeh akan hal ini.

Ia berusaha menjauh dari Hanamiya untuk sesaat. Hunting knifenya hampir saja dirampas oleh oponennya. Kesempatan ini dipakai hanamiya untuk segera menendang Takao ke arah dinding kaca. Tepat di perut.

Sakit. Takao jatuh tersungkur. Hunting Knifenya terpental. Jatuh hanya beberapa senti dari tangannya. Ia berusaha berdiri, namun efek sakit itu memperlambat gerakannya. Ia merangkak berusaha meraih senjatanya.

Sayang sekali, sepertinya dewi keberuntungan Oha-asa tidak berada di pihaknya. Hanamiya menginjak tangannya begitu Takao meraih senjatanya. Iris Takao menatap sosok monster yang ada di hadapannya. Di tangan Hanamiya sudah ada pistol. Siap untuk menembak Takao kapan pun ia mau.

"Sekarang kau yang kalah." Ujar Hanamiya pelan, siap menarik pistolnya.

Tangan Takao yang lain menarik kaki Hanamiya. Membuat pria itu terjatuh. Dengan segera Takao menendang pistol itu. Terpental sangat tinggi hingga jatuh ke sisi ruangan lainnya, dekat dengan Midorima.

Tentu saja si surai hijau melihat itu sebagai suatu kesempatan emas. Ia menambah kecepatannya. Berusaha secepat mungkin untuk lepas dari tali itu. Peduli dengan tangannya yang sudah lecet tergores sisi tajam pecahan kaca tersebut.

Pertarungan kedua psikopat kali ini menjadi murni fisik.

Sikut, pukul, tonjok. Keduanya sangat kuat. Namun sampailah satu titik dimana Hanamiya mengambil pistol lainnya tersembunyi di balik holster jasnya. Pistol lainnya. Sudah bisa Takao tebak, Hanamiya tidak akan semudah ini ia kalahkan.

"Kejutan." Dan pelatuknya pun ditarik.

Peluru itu masuk ke dalam dada Takao. Iris onyxnya membelalak tidak percaya. Darah pun mulai mengalir, membasahi bajunya. Inikah akhir dari hidupnya? Takao Kazunari, 27 tahun. Hidupnya berakhir dengan tragis. Hunting knifenya terjatuh.

Berjalan mundur, tidak percaya. Tanpa ia sadari ia sudah berada di ujung ruangan. Punggungnya menyentuh dinding kaca. Ini kalah telak.

Hanamiya berjalan santai, mengambil hunting knife Takao yang terjatuh. Berjalan menuju arah Takao sambil menatapnya dengan kasihan. Menancapkan pisau tersebut ke badan Takao sambil berbisik.

"Checkmate." Sekali lagi Hanamiya menarik pelatuk pistolnya. Kali ini bukan ke arah Takao. melainkan dinding kaca itu lalu memdorong Takao pelan, jatuh dari ketinggian gedung 12 lantai.

Dibawahnya lautan dan ombak besar sudah siap menyambut tubuh Takao. Hanamiya melihat tubuh itu jatuh ke dalam lautan. Tersenyum puas walau jauh dari rencana untuk menjebak Takao. senyum psikopatnya terlukis di wajahnya.

Ia membalikan badannya. Ditemuinya surai hijau yang sudah berdiri, pistol berada di tangan Midorima.

"Oh?" kata yang pertama kali keluar dari mulut Hanamiya begitu melihat pemuda bersurai hijau tanpa kacamata menghadapkan pistol kearahnya. Bersiap untuk menembak tapi ia tidak tahu apa yang akan ditembak. Midorima tanpa kacamata sudah seperti manusia buta. Minus matanya terlalu parah. Ia hanya mengira-ngira dimanakah Hanamiya dari sumber suaranya.

Baru kali ini Midorima memegang senjata. Tangannya gemetar, tidak stabil.

"Ka-kau menyentuh Azuki…" Suara kering Midorima memulai percakapan.

"Jadi kau sudah sadar sejak tadi." Hanamiya baru menyadarinya. Obat biusnya yang tadi ia berikan sepertinya tidak seefektif yang ia pikirkan. "Kenapa? Kau menyukainya?"

"… tidak, maaf saja aku tidak tertarik dengan anak kecil." Jawab Midorima hati-hati. Kepingan puzzle akan masa lalu Takao semakin jelas. Haus akan kebenaran masa lalu dari teman berbagi flatnya—mantan. Kalau Midorima dapat kembali dengan selamat ke apartemennya, ia harus mencari orang lain yang mau berbagi flatnya.

"Pantas Takao marah.."

"Marah? Hmph. Aku hanya memainkan pikirannya. Dia sendiri memang sudah tidak sta—"

"Meniduri adiknya sudah berada diluar batas." Potong Midorima. "Jiwamu sendiri juga sama tidak stabilnya."

"Apakah Jiwamu sendiri stabil?" tantang Hanamiya. Midorima tercekat mendengarnnya. Ia kembali teringat seberapa bahayanya Hanamiya ini. Ia mencoba menelan ludahnya sendiri. Tidak berani menjawab pertanyaan itu.

"Oh? Jadi jiwamu sama tidak stabil juga seperti diriku?" kali ini Hanamiya yang tersenyum. "Sayang aku belum begitu mengenalmu, Shin-chan. Aku akan sangat senang untuk mengaduk pikiranmu. Namun sayang…"

Kata-kata Hanamiya bergantung begitu saja. suara yang Midorima dengar selanjutnya adalah suara slide pistol yang digerakan oleh Hanamiya. Dengan segera ia menghadapkan pistolnya kearah sumber suara.

Tanpa ia pikir dua kali. Midorima langsung menarik pelatuknya.

BANGGGGG!

Head shot.

Pertama kali Midorima menembak seseorang dan itu adalah sebuat head shot.

Detik itu juga pintu masuk ruangan itu didobrak oleh Imayoshi, kepolisian. Akashi juga berada disana. Semua mata tidak mempercayain apa yang mereka lihat.

"Shintarou!" Akashi langsung berlali menghampiri si surai hijau. Melihat penampilan Midorima yang jauh dari biasanya. Tidak rapih. Mukanya penuh belur, bajunya juga kusam dan tidak rapih. Dipeluknya dengan erat sahabatnya itu. "Syukurlah kau tidak apa-apa Shintarou." Suara Akashi begitu penuh dengan—syukur.

"A-Akashi…"

"PANGGIL PARAMEDIK CEPAT!" perintah Akashi. Baru pertama kali Midorima melihat si surai merah begitu panik. Seumur hidupnya ia menjadi sahabat Akashi baru pertama kalinya Midorima melihat sisi lain Akashi.

"Akashi… peringkat oha asa hari ini…"

"Gemini nomor satu." Ujar Imayoshi. Semua tim kepolisian sibuk menganalisa tempat kejadian. Imayoshi langsung memberikan selimut menutupi bahu Midorima.

"Kau butuh istirahat yang cukup Midorima-kun." Ujar Imayoshi sambil tersenyum.

"Imayoshi-san.. aku tidak apa-apa, sungguh."

"Kau syok bukan Midorima-kun?" Atasannya menepuk pundak Midorima yang tegang. "Mukamu berkata sebaliknya, Midorima-kun. Tenanglah. Kau sudah aman." Ujarnya lembut. Tak Midorima sangka atasannya juga bisa berkelakuan seperti ini.

"Kau bisa menceritakan semuanya kepadaku besok, Shintarou. Kita ke rumah sakit sekarang, akan kuantar kau pulang sekalian. Ayo Shintarou!" Akashi langsung menarik tangan Midorima keluar dari ruangan itu. Sepertinya ia harus pasrah dibawa Akashi kalau sudah begini.

-xxXXXxx-

Midorima benar-benar capek.

Ia masih tidak percaya apa yang dia lalui ini benar-benar gila. Terlebih lagi reaksi orang orang sekitar Midorima yang membuatnya makin tidak percaya. Bahkan Miyaji-san memaksa Midorima duduk di bangku cafenya lalu membuatkan cream soup untuknya. Khusus! Bahkan tidak ada di menu café Miyaji. Ini semua karena Akashi yang membuat pemilik flat itu kaget setengah mati.

Midorima bahkan harus meyakinkan Akashi untuk pulang. Ia tidak perlu ditemani bahkan untuk sampai ke kamarnya. Midorima Shintarou, 27 tahun tidak butuh asuhan dari sahabatnya. Berlebihan!

Midorima akhirnya mencapai pintu kamarnya.

Dengan berat hati ia memasuki flatnya. Ia masih belum menceritakan tentang Takao kepada siapapun. Midorima pun juga bingung apakah ia harus menceritakan hal ini kepada kepolisian atau tidak.

Hari ini terlalu berat untuk Midorima cerna. Semuanya berlalu dengan sangat cepat. Kini ia kembali berdiri di ruang flatnya, dengan keadaan hidup. Sedangkan temannya berbagi kamar selama empat tahun, tewas dihadapannya beberapa jam yang lalu.

Walau Midorima tidak dapat melihat semuanya dengan jelas. Namun suara pistol dan suara rintihan Takao. Suara keputus-asaannya dan Hanamiya cukup meyakinkan kalau Takao sudah tewas. Ditembak, tusuk, dan jatuh. Tak ada manusia normal yang akan selamat melalui semua hal itu, Midorima yakin.

Dengan berat nafas si surai hijau menutup pintu kamarnya. Sebentar lagi antara ia yang akan angkat kaki dari flat ini atau seseorang akan menempati kamar milik Takao dulu. Namun Midorima rasa ialah yang akan angkat kaki dari flat ini.

Tangannya menyusuri meja kayu ek, tempat dimana ia biasa menulis laporan eksperimennya. Tangan lainnya sibuk mencari kacamata cadangannya.

"Aku akan merindukan tempat ini…" ujar Midorima pelan.

"Shin-chan kau sudah pulang?"

Suara Takao. Midorima sudah mulai berhalusinasi rupanya. Badannya sudah kelewat capek sampai-sampai ia mendengar suara Takao. Si surai hijau ini benar-benar butuh istirahat seperti kata Imayoshi.

"Halo-halo Shin-chan~"

Kenapa suara ini seakan memanggil Midorima. Terlebih lagi terdengar sangat jelas. Terlebih lagi suara itu kenapa seakan-akan berasal dari kamar Takao.

Tunggu…

Midorima yang baru saja merebahkan tubuhnya ke sofa langsung bangkit berdiri, berjalan menuju kamar Takao. diketuklah pintu teman sekamarnya.

"Ta-kao?" tanyanya ragu. Tidak… tidak mungkin

"Ah, Shin-chan masuk saja. pintu kamarnya tidak kukunci…" suara itu menjawab. Telinga Midorima tidak salah. Ini memang suara Takao Kazunari.

Tangannya ragu untuk memutar knob pintu itu. Namun perlahan. Midorima membuka pintunya.

Rasanya kaget. Yang ia lihat memang Takao! Midorima tidak berhalusinasi bukan. Pemuda bersurai hitam itu sedang duduk tepi ranjangnya. Kotak p3k terbuka. Beberapa botol alcohol tergeletak begitu saja di dekat kaki Takao. sudah habis ia pakai.

"Sedikit bantuan Shin-chan? Aku akan cerita nanti." Ujar Takao tersenyum kecil. Memelas.

"Tu-tubuhmu…" kata-kata Midorima tergantung begitu saja.

"Eksperimen mu berhasil Shin-chan~ Aku selamat~ Yeiy!" dengan semangat Takao langsung mengacungkan tangannya membentuk tanda peace ke arah Midorima. Tak lama setelah itu ia merintih sakit.

Luka tusuk yang berada di perut Takao sudah menutup, walau menyisakan bekas luka yang amat jelas. Ini.. seperti mimpi bagi Midorima. Bahkan lebih dari mimpi. Ini keajaiban. Otak Midorima seakan macet untuk mencerna hal ini. Tidak tahu ia harus memasang wajah seperti apa.

"Peluru itu masih ada di dalam tubuhmu?" Tanya Midorima. Menghampiri teman sekamarnya. "Aku bila melakukan operasi kecil untuk mengeluarkannya."

Takao tersenyum lembut. "Terima kasih, Shin-chan."

-xxXXXxx-

Jajang! Eikeh cut dulu sampai sini.

Berikut author sedang ingin mengumumkan hiatus sampai entah kapan mood author balik buat lanjutan fanfic ini. Anggap saja ini tamat /ehem

Tapi kabar baiknya(?) dari draft author ini belum tamat loh 8'D

Maafkan kalau ending chapter ini gaje. Maafkan author karena pusing mikir mau diinteraksikan bagaimana. Maafkan juga kalau Akashi OOC di chapter ini. Dan maafkan kalau ada yang membenci Azuki. Maaf. Tapi me cinta sama peranan OC disini. Cinta Takao disini memang pure untuk adiknya.

Ah, andai me punya kakak.

Ehem. Cukup gajenya. Mari kita gunakan bahasa yang lebih serius.

Untuk semua reader yang baca, review, favorites dan follow fanfic ini Author ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.

Maafkan kalau ceritanya tidak memenuhi ekspektasi para reader sekalian. Saya tahu chapter kali ini itu lame sangat! Gekidasa! Author mohon untuk para sempai fanfiction yang membaca fanfic ini untuk memberikan masukan. Karena saya masih belum berpengalaman untuk menulis ending sebuah cerita.

Ara, ending?

Upupupupu~ masih terlalu cepat untuk ending! Nantikan sequel khusus dari me~

Thank You for the lovely reviews and support! Kalau mau ngobrol2 mari silakan lewat twitter ataupun tumblr juga boleh.

See You in the sequels!