Pairing untuk bab ini: Mmm...sedikit tentang imajinasi di kepala Dante. Surprise-surprise!


Bab 1: Mari Bertemu Dengan Masalah!


Awan pekat hitam-kelabu menghantui remang malam.

Benderang kelam bulan purnama berwarna merah membias pada rambut seputih salju yang sebagian panjangnya terbawa buaian permainan semilir sepoi angin malam.

Jaket merah panjang bergoyang selama sol sepatu boot terus menapak; menaiki tangga batu yang penuh hiasan retak.

Ramai ilalang bercampur baur keindahan semu dari bunga-bunga liar memenuhi latar pemandangan berupa puing tertinggal yang bervariatif ukuran petak perumahan dan sudah lama terabaikan.
Tapi yang mengusik benak bukanlah suasana sunyi mencekam, ataupun sematan suram dari awang kabut tipis pemberi imaginasi 'menyesatkan'.

...melainkan tengger berbagai pilar patung berwajah makhluk penghuni Neraka dimanapun sepasang mata memandang.

Itu... menyedihkan.

Ironis, manusia selalu berpikir tentang 'pemenuhan' dan fanatik akan ilusi beserta janji. Terlalu berharap tanpa kesanggupan batas. Akhirnya halal segala cara dijadikan ketentuan.
Saat mereka bercita-cita akan 'kuasa', Iblis memberikan 'kenyataan'. Padahal epilog dangkal para makhluk rendahan itu tidak lain demi jurnal peringkat; siapa yang berposisi paling populer dan memiliki pengikut terbanyak.

Kesimpulannya? Manusia dan Iblis sama saja. Penentu bagi kedua sisi adalah martabat, juga bagaimana cara mendedikasikannya.

...

..

.

"Hm..."

Dehem terlepas seiring bibir Dante menggaris senyum begitu memandang bentang dataran berupa reruntuhan alun-alun, bertepatan kedua kakinya selesai menaiki anak tangga.
Sementara pupil dalam kedua iris biru es tertuju pada wanita bertubuh molek tanpa busana yang duduk seorang diri di puncak tertinggi puing-puing air mancur.

Oh ya. Iblis.

Dan apapun pemikirannya tadi...

YA, bicara memang mudah.
Tapi sejarah keluarga miliknya cukup membuktikan, bukan?

Dante tidak pantang menghilangkan senyum selama berjalan menghampiri, mengamati lebih dekat si empunya raut wajah yang kesempurnaannya tiada banding.

...sampai akhirnya langkah kedua kaki Dante berhenti seketika wanita yang berada tidak jauh darinya menoleh, membuat rambut lurus panjang semerah darah disana saling berkayuh di balik gemulai jejaring kelambu kerudung hitam bak imajinasi pengantin kematian.

Sedangkan pengelihatan Dante kini tertuju pada separuh pinggang ke bawah si wanita, dimana berwujud urai puluhan tentakel sebesar paha perempuan yang masing-masing pangkalnya terikat tindik rantai hitam penuh desain keangkuhan.

"Dante..."

Gema suara terdendang parau, berasal dari mulut wanita itu.

"Satu yang tersisa dengan separuh darah manusia. Satu yang tersisa dengan separuh darah Sparda. Dan satu yang tersisa..."

Wanita itu membuka kedua kelopak mata, menampilkan ketajaman sepasang pupil kucing berbola mata merah yang berpendar bak batu amber seiring mulut melanjutkan untaian kata,

"...dari separuh yang hidup."

Dante pun mengangkat kedua alisnya.

Dan yang menjadi pokok sebutan 'satu' ini kini menyemeringahkan tawa pendek —walau jauh di lubuk dada terukir gelora kebencian karena menyisihkan Vergil dalam diferensiasi penempatan 'separuh', sejelasnya juga merupakan penghinaan bagi Dante.

"Wow~ Fans, eh?" Komentar Dante seraya memulai langkah, berjalan santai mengitari puing-puing air mancur tanpa melepaskan pengawasan terhadap si 'makhluk'.

"Oke, biar kuterangkan satu hal," lanjut Dante seraya memasang pose sok pertimbangan.
"Hanya karena aku sekarang berdiri seorang diri, bukan berarti 'satu yang tersisa'," pernyataan dikentalkan dengan aksi menarik Rebellion, lalu ditopangkan ke pundak.

"Dan... meski wanita adalah warna bagi kehidupanku di dunia ini, sudah pasti pilihanku tidak akan jatuh bagi wanita separuh badan sepertimu," tekan Dante.

Setelah perkataan beralur sarkastis itu, Dante melebarkan senyum bertepatan berhenti di depan lawan bicaranya.

Sedangkan wajah wanita itu mendongak dengan ekspresi tanda tanya, selayaknya tersinggung.

Untuk momen seperti ini, bagi Dante, kalimat hanya untaian kecap. Semua makhluk memiliki emosi karena dari sanalah obsesi berasal, dan keahliannya berada dilingkup 'memancing'.
Memang kesadarannya untuk memasang kartu 'Joker' sama saja dirinya seolah-olah bidak yang menanti untuk digerakkan. Tapi di luar resiko... bidak 'Raja' tidak akan terlihat sebelum bidak 'Ratu' menyerang, bukan? Dan semenjak awal Dante tidak pernah berdiam dalam petak 'hitam', ataupun petak 'putih'.

Wanita itu kini menyunggingkan senyum —picik, tidak lebih.

"Aku mengenalmu lebih dari yang kamu tahu, Dante," ucapan lembut mendayu dibarengi gemerincing rantai saat sebuah tentakel menjulur... menyeka rahang kokoh milik Dante.
"...anak Sang Legendaris Sparda," lanjutan kalimat seiring tentakel itu terus menuruni sisi leher, dan berakhir merasakan kekarnya bidang dada milik putra 'Sang Legendaris Sparda'.

Dante menggeleng sembari menjauhkan tentakel itu secara baik-baik bak memperlakukan tangan seorang wanita.

"Begitu juga denganmu, Cintah. INI tidak akan berhasil dalam istilah 'kita'," terang Dante semudah bercanda dalam alur sarkastis.

Sekilas, terdapat pandangan sinis pada sorot mata wanita itu atas 'penolakan' dari Dante.

Semenit berikutnya... Wanita itu mendadak mengeluarkan suara jeritan mirip ringkik aneh bertepatan lingkaran sinar mantra sihir terbentuk pada daratan area reruntuhan alun-alun, dan—

WOOSHHH!

Tulisan-tulisan sihir tersebut menyebar bersama perubahan dataran pijak yang beralih hitam legam selembek cairan.

Meski Dante sedikit terkejut, Dante cekat melompat dan mengambil pijakan pada salah satu puing sebagai tekanan pental untuk melesat disertai menghujamkan Rebellion.

Sayangnya pilar topan cepat menghadang, sekaligus menghempasnya.
Sebelum terjatuh dari keadaan terpelanting, Dante segera memaku ujung bilah Rebellion ke puing, disambung memijak pada gagang sambil mengamati pergerakan seruak puluhan tentakel berkelas raksasa yang merebak dari permukaan 'lautan' hitam.

"Yang kutentukan akan selalu berjalan. 'Panggilan' ini satu dari antaranya!" Suara wanita itu menggema kembali diikuti hunusan-hunusan tentakel. Rupanya si 'makhluk' sama sekali tidak berniat membiarkan Dante memperoleh jeda untuk berdiam.

"Klise, hm?" Komentar Dante seraya menarik Rebellion dari tancap, lalu disematkan ke holster punggung selama menggunakan satu-per-satu tentakel sebagai pijakan sementara.
"Wanita memang susah menerima realita!" Lanjut Dante saat mengambil Ebony dan Ivory, dan merantaikan burst tembakan.

Potongan-potongan puing dan serpihan-serpihan bebatuan pun berterbangan ke udara akibat menjadi target salah sasaran sepanjang sebar peluru menghajar apapun dalam area batas pandang Dante.

"Ini kesempatan emasmu memperoleh apa yang telah hilang!" Bentak wanita itu, terdengar mirip suara Siren.

Dante memicing, namun masih berada di kawasan canda —sesuai khasnya.

Kesempatan, eh?

Pikir Dante kala men-charge kekuatan maksimal pada Ebony dan Ivory.
Kalau bicara tentang kesempatan... tembakan sudah siap dilepaskan begitu terdapat celah yang matang pada pusat di antara buah dada wanita itu.

Sayangnya wanita itu berkata kembali dengan acuan distraksi, "Hadiahku untukmu, pilihlah yang terbaik saat 'gerbang' terbuka sekali lagi!"

Dante terhenyak atas kata: gerbang.
ITU membuatnya kehilangan konsentrasi sehingga saat menarik pemicu, presisi menjadi meleng dan tembakan menghajar laluan angin kosong.

Di detik yang sama, lawannya tidak kalah cekat mengambil momen, menggerakkan seluruh tentakel, merengkuh dan menangkap tubuh Dante dalam lilitan kuat, disambung membanting Dante ke 'lautan' hitam.

"GHH—" Dante berusaha melepaskan diri di tengah cairan yang pekat kala suara wanita itu lagi-lagi menggema.

"Namun ingatlah."

Dante masih sibuk meronta dengan mengaktifkan Devil Trigger yang buruknya sama sekali tidak mengoyak tumpukan lilitan yang semakin erat dan membeban. Sedangkan cairan hitam kental terasa bergerak merasuki dari katup mulut, lubang hidung beserta lubang telinga... termasuk meresap melalui pori-pori kulit dan sela-sela bola mata.

"...kehidupan bak retan kaca. Sebaik apapun benah tertampil, pecahan yang ada akan selalu terlihat."

Kalimat itu terdengar jauh...

Sangat jauh...

Terlalu jauh...

Dante terus meronta dengan lambat sepanjang tenggelam dalam remang tidak berdasar, dan kegelapan mulai menelan utuh...

Terus...

Terus...

Terus...

...sampai Dante tidak lagi bergerak.

...

..

.

Plek!

"...!" Dante membuka kedua mata dengan ekspresi tercengang —SANGAT tercengang.

Sedetik berikutnya, Dante menyisirkan pandangan rancu.
Dan penemuan pertama adalah ruangan kantor yang berpenerangan remang. Penemuan keduanya adalah botol beer murah kosong yang tergeletak sembarangan di lantai, sampai penemuan ketiganya yaitu tumpukan kardus pizza kosong di pinggir meja kerjanya.

Dante mengedip sejenak atas pemandangan 'Home, Sweet Home' kantor bernama 'Devil May Cry' miliknya.

Maka untuk asumsi tercepat dari 'kisahnya' barusan...

"Mimpi, huh?" Celetuknya.
Pertanyaan itu penuh makna guyon yang hanya terarah bagi diri sendiri, tepatnya untuk konfirmasi pribadi. Karena ya, ini bukan pertama kalinya Dante menerima mimpi... mati.

Tapi entah kenapa, Dante menghela nafas panjang.

Lega? Oh, itu persetan. Dante tidak pernah merelasikan tahayul sebuah mimpi, boro-boro mau ribet arti. Toh sejauh ini, kehidupannya memang mimpi buruk —bagi manusia normal, tepatnya.

(...'Panggilan' ini satu dari antaranya.)

Ngiang kalimat itu...

Panggilan?

"Seharusnya wanita itu membuat jadwal janji, seenaknya saja kalau memanggil. Tch," gumannya kala menegakkan tubuh dari sandaran, kemudian tidak sengaja melirik majalah Playboy yang tadi jatuh di samping kursi, dalam kondisi terbuka.

"..." Dante pun tertegun memandang sosok model bertubuh seksi yang terdapat pada lembaran tersebut.

"Heh," senyumnya saat mengambil majalah dari permadani kumal.
"He-ya, cantik~" ucapnya disertai telunjuk tangan kanan yang menyusuri potret wanita molek yang mengenakan pernak-pernik serba hitam ala pengantin, dimana wajah disana sungguh tidak asing.

Ha!

"Kamu memang mimpi buruk," komentarnya begitu menutup majalah itu, dan melemparnya begitu saja ke atas tutup tong sampah.

Tapi...

(Hadiahku untukmu, pilihlah yang terbaik saat 'gerbang' terbuka sekali lagi!)

Lagi-lagi Dante tidak bisa menghilangkan ngiang kalimat-demi-kalimat yang terutara dari apapun penggolongan wanita itu.

Mau dibilang pertanda pun, jika ini terhubung ras Iblis...

Sudah hampir setahun aktivitas mereka menipis. Walau berita itu tidak bagus bagi kelangsungan koceknya, tetap saja... situasi itu SUNGGUH bagus.
Yang mengganggu benaknya hanya pada bagian 'gerbang'.

Apa maksudnya?

Bagaimana pun, pikiran tidak dapat melepaskan begitu saja.

"Rencana baru, huh?" Gumannya saat raut beralih serius.

Sekali lagi, tapi...

Mau rencana atau masalah, sejelasnya Dante tidak perduli sedikit pun jika belum terjadi.
Memangnya apa yang bisa diharapkan? Menyisir seluruh kota dan tiba-tiba Gerbang Iblis mendadak poof di hadapannya? Heh, SEANDAINYA semulus itu...

(...memperoleh apa yang telah hilang!)

Pandangannya langsung tertuju pada sarung tangan lamanya yang kumal plus terdapat bekas sayatan. Benda itu merupakan salah satu yang terhitung berharga, kini selalu berdiam di dekat foto almarhumah ibunya.

Semenit berikutnya, Dante menggeleng dengan pengertian konyol.

"Yang hilang, eh? Barisnya panjang! Bercanda saja..." komentarnya sambil menurunkan kedua kakinya dari meja, kemudian beranjak berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

Tanpa merepotkan banyak soal mimpi buruknya, Dante menendang pintu kamar mandi dan masuk ke ruangan kecil tersebut.
Sewaktu hendak melepas sarung tangan untuk membasuh muka dan menyegarkan pikiran, mendadak terdengar dentum keras dari lantai atas.

BRUGH!

Apapun suara itu, tebakannya: salah satu Devil Arm sedang bermain petak umpet dengan Devil Arm lainnya.

Jadi... Dante bersikap cuek.

Tapi seketika terdengar suara dentum GRUSAK! GRUDUK! untuk kedua kalinya, lebih keras, bahkan menambah porsi retak pada langit-langit kamar mandi... Dante tidak ayal lagi segera beranjak keluar, dan—

...tiba-tiba langit-langit beton di ruang tengah roboh berbarengan bentuk besar mirip hibrid kalajengking-tarantula jatuh... PAS di atas meja mahony tercintanya.

"..." Dante kontan mengangkat kedua alisnya sewaktu angin dari efek momentum menggerus lantai kayu.
Di sela itu, dari rusuhnya barang yang terlempar, kedua tangannya menangkap mudah pigura foto dan sarung tangan.

Saat kepul debu perlahan-demi-perlahan mereda, Dante melimpahkan fokus terhadap seseorang yang berada di atas tubuh si monster.

Disana...

Dante sempat memicing terhadap pemandangan kumpulan helai-helai berwarna seputih salju yang mengalun —rambut berbelahan kanan dengan poni sepanjang tulang pipi, rambut milik seseorang itu, pria; kala pria itu menarik pisau yang membenam pada leher si monster dan berlanjut melompat, memijak mundur bertepatan campuran darah dan lendir menyembur dari bekas luka si monster.

Tempat yang terkena lelehan dari cairan tersebut langsung berlubang. Rupanya terdapat unsur asam dalam kandungan cairan darah si monster.

Keunikan lain dari 'tamu'-nya, Dante tidak mendeteksi bau amunisi pada monster tersebut.
Bahkan Dante cukup terkejut saat 'merasakan' bahwa kategori si monster sungguh tergolong... Iblis! Walau sedikit aneh karena monster tersebut agak 'tercium' janggal dari yang sewajarnya.

Tunggu. Membunuh monster tiga ukuran lebih besar dari tubuh manusia normal... HANYA dengan modal pisau? Oh, WOW!

Pikir Dante dengan tatapan 'terpesona'.

Dante pun bersiul.
"Kamu punya gaya, bung," komentarnya penuh apresiasi.

Pria yang menjadi 'tamu' di kantor Dante ini sekarang menoleh ke Dante. Seakan-akan baru menyadari kehadiran si Tuan Rumah.

Sedangkan Dante memperhatikan seksama karakteristik si tamu: tinggi 180 centimeter, berperawakan ramping dan lumayan berotot. Oh, six pack di abdomen itu terlihat jelas karena pakaian disana: kaos berwarna hitam turtleneck, dilibat jaket hitam panjang berbahan kulit. Bawahan hanya celana jeans panjang berwarna abu-abu tua dan sepasang sepatu boot hitam —keseluruhannya berdesain klasik.

Yang cukup mengganggu disini adalah kilau iris kuning berpupil kucing pada kedua mata itu. Tentu si tamu bukan manusia. Tapi pertanyaan Dante di detik ini: APA penggolongan pria itu? Karena ANEHNYA tidak terdeteksi apapun, selayaknya manusia normal.
ITU membuatnya tertarik untuk mencari tahu. Dan ide 'mencari tahu' ternyata bertepatan dengan suara derap kaki-kaki besar yang mendekat ke area gang kantornya yang diikuti suara lengking lolongan berkhas monster yang saling bersahut-sahutan. Oh, mereka sangat BANYAK.

Dante pun memilih bersikap mudah.

"Aku tidak keberatan mendengarkan masalah untuk sekedar sesi curhat. Tapi pastikan kamu membuat jadwal janji sebelum membawa masalah ke rumah orang," terangnya sambil meletakkan pigura foto almarhumah ibunya beserta sarung tangan peninggalan 'coretan' Vergil di atas kulkas, kemudian mengeluarkan Ebony dan Ivory.

"..." Pria berambut putih itu memicing pada Dante, berlanjut menyiagakan diri seketika seruak para monster tumpah-ruah dari seluruh lowong yang bukan bata.

Pecahan kaca pun bersebar.

Saat Dante mengawali menarik pemicu, peluru kaliber .45 pertama yang keluar dari kedua ujung laras pistol kembar berkhas Colt yang dipegangnya langsung meluncur pada monster yang berada di belakang si tamu.

Ternyata dengan reaksi mudah, si Tamu menunduk secara prespektif natural mengelak peluru.

"Nice," goda Dante. Menjelaskan bahwa perbuatannya tadi memang disengaja.

"Hmph," dengus si Tamu sebagai tanggapan minim.
Berikutnya si Tamu bergerak mengandalkan presisi, mengambil momen dengan kepastian bilah pisau bersarang sempurna dan menghasilkan serangan fatal pada monster yang tadi di-headshot oleh si Tuan Rumah.

Di lain sisi, Dante tidak pernah luput meneliti ketangkasan si Tamu selama menembak berkali-kali tanpa henti, juga tanpa kebutuhan reload.
Si Tamu sendiri tampaknya menolerir 'keanehan' dual pistol milik Dante, juga bersikap cekat mengambil giliran finishing pada makhluk-makhluk yang terhuyung akibat tembakan Dante.

Sewaktu mengetahui terdapat serangan yang mengarah ke titik buta si Tamu, Dante cekat menarik Rebellion dan melemparnya, membuat si Tamu reflek melompat mundur.
Begitu ujung bilah Rebellion menancap di tembok, Dante tersenyum memandang empat deret monster yang menggeliat dalam posisi tusuk sate.

"Oi!" Panggil Dante dikemudian sambil melempar Ebony ke si Tamu.
Dan si Tamu menangkapnya menggunakan tangan kiri seakan-akan tahu kalau sisi ejector selongsong peluru berada pada sisi kiri. Setelahnya mengambil posisi menembak saat merapat ke belakang punggung Dante begitu para monster yang hijrah SEMAKIN banyak.

Mereka berdua bergabung dalam patnership dadakan di antara kepung yang sepertinya tidak pernah habis. Keduanya berkoordinasi secara hening seiring tubi-tubi serangan yang menghasilkan satu-demi-satu, bahkan terkadang beberapa lawan serempak bergulir merenggang maut.

Saat pistol milik Dante yang dipegang oleh si Tamu membutuhkan reload, si Tamu melemparkan Ebony ke Dante;
Bertepatan Dante memanggil Rebellion dan menusuk lawan di belakangnya dengan kecepatan yang sama saat si Tamu menusuk leher lawan di depannya menggunakan pisau militer, diteruskan menendang untuk menjauhkan si monster sebelum muncrat asam mengenai mereka berdua.

Hoo~

Pikir Dante seraya menangkap Ebony.

Dante serius memberikan decak kagum karena serangan pisau si Tamu benar-benar berbobot sekaligus tingkat reflek dan kecepatan yang termasuk hitungan cool, juga aksi tanpa tanda-tanda lelah. Sejelasnya terdapat penilaian berlebih.

Sewaktu si Tamu meneruskan menghajar lawan berikutnya...

Menarik...

Pikir Dante sambil membogem dan menginjak monster di dekatnya. Lalu ujung laras Ebony dan Ivory disumpalkan pada mulut lawan yang menganga.

Tapi tidak akan menarik jika bintang utama tidak bermain dalam panggungnya, kan?

Pikir Dante seiring senyum terukir kala kedua telunjuk menarik pemicu, dan momentum tembakan berlibat kilat-kilat merah langsung menghancurkan kepala sampai sebagian tubuh atas si monster naas tersebut.
Muncrat cairan asam menghujaninya. Tapi dengan santai, Dante mengibas tangan beserta jaketnya bertepatan luka bakar pada wajah dan sebagian kulit tubuhnya beregenerasi di luar batas rata-rata tanpa meninggalkan bekas.

ITU membuat si Tamu mengunci pandangan pada Dante.

Sebelum Dante sempat 'menerangkan' atas aksi pamernya tadi.
Tiba-tiba biang terbesar muncul dari lubang besar di atas ruangan. Padahal 'pesta' belum usai.

"Wah-wah. Semakin jelek dan jelek saja. Desainnya tidak ada yang lebih bagus apa?" Komentar Dante saat menyarungkan kedua pistol kembarnya ke holster, dan menghindar bertepatan si Bos Besar melompat turun, menimbulkan dentuman keras sekaligus efek puing-puing bata dan serpihan-serpihan lantai kayu yang terlempar ke segala arah.

Dengan kemudahan gaya Trickster, Dante muncul di udara dan tidak membuang waktu menghujamkan Rebellion pada kepala si Bos Besar.

Sayangnya dua puluh pasang sayap tajam berbentuk sabre shamshir mengembang dari punggung si Bos Besar. Semua ujung sayap tertuju secara tanggap ke arah Dante.

Meski Dante sedikit terkejut, Dante adalah Dante. Dan Dante TIDAK PERNAH takut mati.

Namun si tamu mendadak lompat mendorongnya bersama lemparan pisau yang meluncur dan menancap PAS pada sebuah dari delapan mata milik si Bos Besar.

Di detik si Bos Besar melolong kesakitan, kedua pria pun jatuh tersungkur ke lantai.

Atas aksi pisau milik si Tamu yang melukai minim, tapi fatal... Kaki-kaki besar bergerigi dan berjumlah kaki laba-laba milik si Bos Besar mendadak bergerak liar menginjak sembarangan sekaligus membantai monster-monster kroco yang masih berkeliaran.

Sedangkan situasi Dante di tengah kerusuhan berbahaya itu...

Dante merasa harga dirinya sedikit tergores karena tadi adalah tindakan yang tidak perlu —ayolah, memangnya siapa dirinya pakai acara diselamatkan?

Meski Dante mengomel dalam hati... Dante agak terhenyak begitu menyadari kedekatan jarak antara wajah dimana SEKARANG, Dante mendapatkan pemandangan secara penuh terhadap wajah si Tamu: kulit halus —sisihkan segi warna sepucat mayat plus keberadaan janggut dan kumis yang tipis— lalu bulu mata yang panjang, hidung mancung, bibir yang sintal... Hm. Pastinya sosok di atas tubuhnya ini bisa menjadi gadis yang SANGAT cantik!

DAN sedetik SETELAH pemikirannya itu..

Hah?

Dante kembali HARUS terhenyak saat si 'rupawan' beranjak dari atas tubuhnya, dan tidak urung membuyarkan SELURUH 'imajinasi'.

Apa yang barusan kupikirkan...?

Pikir Dante dengan syok seketika mengingat baik-baik si 'rupawan' ini jelas-jelas adalah PRIA.

Dante pun berniat mengalihkan pikirannya dengan hendak mengambil Rebellion yang tergeletak tidak jauh dari posisinya berada.
Tapi melihat kelebat dari kaki runcing di atasnya, Dante seketika itu reflek menarik kerah jaket si Tamu dan membawa tubuh itu mengguling ke bawah porsi tubuh si raksasa.

Dante dikemudian berdiri seraya memanggil Devil Arm Pandora yang langsung terbuka menjadi transformasi Hand Cannon pada tangan kanannya.

Dengan unjuk seringai, Dante berseru, "Jackpot!"

Ledakan bombastik dasyat meluncur dari Hand Cannon tersebut dan menembak abdomen si Bos Besar, sampai menembus. Alhasil semburan organ-organ dalam milik si Bos Besar pun berterbangan.
Pisau militer milik si Tamu yang tadi masih menancap pada salah satu mata si Bos Besar langsung jatuh memaku lantai bersama gugurnya kepingan-kepingan tubuh si Bos Besar yang ambruk terpencar.

"Ha! Seperti biasa," ucap Dante sambil membersihkan debu dari jaket tercintanya. Sementara Devil Arm Pandora kembali ke bentuk semula yaitu tas, dan disanggahkan ke pundak kanan.
"Tidak lebih selain badan besar yang tanpa otak," komentar lanjutan, bersama kerlingan mata kiri pada si Tamu.

Pria yang menjadi 'tamu' sepertinya terhenyak.

Dante kini mengulurkan tangan kiri. Senyum manis masih menghiasi wajahnya.

Sedangkan si Tamu memandang tas Pandora milik Dante untuk beberapa saat, diteruskan memandang sejenak ke tangan yang tersuguh.
"Darimana mereka?" Tanya si Tamu untuk pembahasan Devil Arm Pandora sewaktu membawa tangan kanannya diikuti jemari yang memaut pada pergelangan tangan kiri Dante.

"Di suatu tempat," jawab Dante sambil menarik si Tamu ke posisi berdiri.
Berikutnya menyambung kalimatnya tadi dengan ekspresi sok misterius, "Dan dari suatu monster."

"..." Si Tamu mengerutkan kedua alisnya.
Saat Dante hendak melepaskan pautan tangan, mendadak si Tamu menarik tangan Dante sehingga tubuh Dante terbawa mendekat ke si Tamu, dan Dante kini berdiam sejarak inch secara berhadapan —masing-masing tubuh bagian depan bersinggungan terlalu dekat.

Perputaran detik pun terisi dengan pandangan yang saling mengorek jendela jiwa.

Hingga diakhiri Dante dengan...

"Hei," ucap Dante dengan ekspresi antara lucu dan tertegun atas aksi si Tamu —tidak seperti Dante baru kali ini mengalami tatapan bertema 'ketertarikan' dari seseorang yang berkelamin sejenis.

Masalahnya...

"Kamu mungkin menarik untuk ukuran pria. Tapi sori, bung. Aku 'lurus'," tekan Dante kala jarak antara wajah terasa semakin tipis, dan Dante bisa merasakan udara dingin yang menghembus dari kedua lubang hidung si Tamu.

Sejauh keunikan (atau kejanggalan) dari si Tamu, Dante sebenarnya tidak mau merepotkan perhitungan sains untuk keanehan baik kondisi dan temperatur disana.
Dan sejauh 'lurus', saat bibir si Tamu kini membuka di depan bibirnya, Dante berharap tidak mau menyia-nyiakan kesempatan begitu saja. Apalagi penampakan lidah berwarna merah muda beserta rongga mulut yang terlihat 'kosong', SANGAT menanti... mengundang dan menggo—

"...!" Dante terkejut seketika sesuatu melesat keluar dari mulut si Tamu.

Dan sesuatu itu...

Dante otomatis mundur bertepatan bentuk 'bunga' besar berwarna merah kehitaman yang terlihat menempel pada rongga mulut si Tamu, mengembang bersama suara desis sekaligus berniat mencaplok wajahnya.
Berhubung pegangan tangan masih terpaut, Dante pun terpaksa menjadikan Pandora ke mode Boomerang dan melemparkannya ke wajah si Tamu.

Langkah itu sukses membuat pegangan dilepas sebelum bilah tajam Boomerang mendapatkan porsi leher; si Tamu berguling ke belakang mengambil pisau dan cekat melemparnya pada Boomerang sehingga Devil Arm itu terpental berbarengan bilah pisau terdeflek ke udara dan menancap pada beton langit-langit ruangan.

Sedangkan Pandora ditangkap oleh Dante kembali dan menghilang semudah magic saat Dante merasa tidak memerlukannya.

"Oke, bung. Kamu mempunyai sesuatu yang sangat menjijikkan untuk kadarku. Jika kamu mau hubungan spesial 'kita' tetap berlanjut, sebaiknya kamu menerangkan APA dirimu dan APA alien di mulutmu itu," ucap Dante sambil menunjuk secara datar.

Si Tamu menelan kembali 'bunga' besar tadi semudah menelan ludah, kemudian menghela nafas panjang sambil melemaskan otot-otot leher.

"Plaga," jawaban singkat si Tamu untuk pertanyaan Dante soal 'alien'.
"Aku tidak mempunyai nama, namun Tuanku memanggilku 'Leon'. Dan kedatanganku memiliki tiga hal prioritas. Itu salah satunya," lanjut si Tamu seolah-olah itu adalah keterangan yang normal sambil menunjuk mayat tidak berbentuk milik si Bos Besar.

Dante pun memasang raut berpikir untuk penempatan kata: Tuanku, plus tentang...

Plaga? Apa maksudnya?

Pikir Dante sembari mengambil kesimpulan soal...

Bos Besar tadi?

Ah. Dante baru mengerti apa maksud dari 'mendorong' pada sesi tadi.

Ehh? Masa iya dia mau tangkap demi dipelihara?

"Leon, huh?" Kata Dante sambil manggut-manggut.
"Baiklah, Leon. Aku meminta maaf soal makhluk besar tadi. Tapi kurasa hewan itu tidak ada manis-manisnya menjadi gandenganmu," godanya dikemudian.
"Mungkin kalau kamu lebih bersosialisasi, aku bisa bertindak lunak terhadap Iblis besar itu," imbuh Dante sewaktu pria yang mengaku bernama 'Leon' itu memberikan 'ekspresi' pada Dante.

Lalu si Tamu bicara, "Aku JUGA menginginkanmu..."

"Oh? Aku jadi merasa SUNGGUH spesial," timpal Dante secara sarkarstis.
"Apa kamu serius ingin melanjutkan SESI 'kita'?" Tanyanya tanpa permintaan jawaban karena kalimat tersebut sejujurnya berkadar peringatan.

Si Tamu menyunggingkan senyuman dingin kala menyahuti, "Tidak hanya 'kita'."

Usai perkataan dari si Tamu... Dante melirik pada bebatuan kecil yang berjatuhan dari atas, tepatnya pada teritori cahaya malam berasal; Dante kontan menoleh ke arah lubang besar di atas ruangan kantor ini saat melihat siluet dari sesosok orang, pria, berpakaian dan berwajah serupa... si Tamu? Malah benar-benar terlihat kembar!

Pria yang menjadi kembaran 'tamu' Dante itu berdiri pada pinggir celah entah semenjak kapan. Buruknya, sosok baru itu ternyata tidak hanya satu!

"Apa yang—" guman Dante seketika sosok-sosok serupa Leon itu menunjukkan diri, berdiri pada sekeliling groak lubang. Jumlah mereka adalah tujuh— bukan, sembilan...?
Situasi porak poranda beserta penerangan kerlap-kerlip remang dari lampu yang rusak pada ruangan kantor Devil May Cry, ditambah suasana malam dari langit gelap yang kelam menjadikan penampakan pupil predator pada masing-masing kedua iris kuning milik sosok-sosok kembaran Leon itu terlihat benar-benar mengancam.

INI mirip film ber-genre supernatural kelas murahan...

Pikir Dante saat mereka melompat turun satu-per-satu, kemudian berjalan mengambil posisi di seputar Dante, mengepung penuh detail terkoordinasi, dimana memancing Dante untuk masih iseng saja berkomentar guyon, "Sebentar. Apa aku sedang masuk candid camera, atau acara bodoh semacamnya?"

Sedangkan sosok yang menjadi 'tamu awal' mengacuhkan kalimat Dante tadi, melengos dan memandang ke sekeliling seakan-akan sedang menginspeksi ruangan.

Lalu si Tamu pertama berkata pada Dante, "Dan aku berharap dapat menggunakanmu untuk mendapatkan Yamato."

Penyebutan kata: Yamato plus pengenalan arti khusus terhadap benda spesial dalam keluarga Sparda —nama keluarga yang pernah dibencinya. Dante tidak urung mengunci pandangan ke pria yang tadi menyinggung soal 'Yamato', pedang katana milik Sparda yang diturunkan pada Vergil dan sudah dihadiahkannya pada Nero.

"Tampaknya 'kita' KINI berada pada sisi yang sama, eh?" Pancing Dante atas pengertian satu penggolongan, YA, Iblis.
"Namun jangan berharap, bung," ancam Dante.

Lawan bicaranya langsung menyeringai, menunjukkan barisan gigi-gigi runcing yang tidak lazim bagi seorang manusia; di saat yang bersamaan sosok-sosok kembaran si Tamu mengeluarkan 'bunga' —Plaga, yang keluar dan merekah dari rongga mulut mereka masing-masing, dilanjutkan adegan sosok-sosok kembar itu berlari ke arah Dante tanpa aba-aba lagi.

"Oh boy," geleng Dante.
Selanjutnya menarik Ebony dan Ivory dari holster, dan terpaksa melayani sesi pertarungan.


Di jalanan utama jalanan kota Gotham, di Los Angeles...

Api terlihat di beberapa gedung pada kanan-kiri sisi jalanan besar. Paduan teriakan-teriakan mengenaskan semakin memperkeruh suasana mencekam.

Baur kepanikan massa sungguh morat-marit. Mobil-mobil yang ditinggalkan dalam kondisi terparkir tidak jelas beserta sosok-sosok horor yang berjalan sempoyongan mengejar orang-orang yang berlarian panik.
Letup tembakan terjadi dimana-mana, serusuh-rusuhnya karena melibatkan para tentara dan peralatan berat seperti tank.

Barikade seharusnya sudah terpasang untuk memaksimalkan keamanan, namun sayangnya tidak membantu banyak karena kualitas makhluk-makhluk yang terdefinisi zombie itu bergerak lebih cepat dari yang sewajarnya.

[Perhatian. Yang masih bertahan di dalam rumah, apartemen, gedung fasilitas umum... mohon menuju ke barikade terdekat untuk mendapatkan pengobatan, vaksin, juga perlindungan.]
Suara dari speaker milik para tentara tampaknya tenggelam seiring dentum tembakan sekelas machine gun dari helikopter-helikopter yang berterbangan.

Helikopter-helikopter milik militer itu berusaha membantu membersihkan jalanan dari invasi para zombie berjenis baru ini, juga bertugas mengevakuasi para warga sipil yang terperangkap di atap-atap gedung.

Sementara itu di sisi lain dari kota Gotham...

Sosok wanita berpakaian ala biker yang seksi sedang melajukan motor besar berkelas Harley Davidson, menuju salah satu bentuk janggal yang baru saja melakukan transformasi, atau mutasi bagi pengenalan pribadi wanita tersebut.

Suara raungan motor meringkik disertai suara KRAK! yang terdengar dari susunan rangka si makhluk yang terlindas.

Wanita itu memberhentikan motor dikemudian, di posisi menyimpang di tengah-tengah jalanan.
Rambut merah yang dikuncir ekor kuda mengalun di selanya kala wanita itu menarik sebuah senapan shotgun dari tas yang terpasang pada bagian sisi penumpang motor, dan tanpa kebutuhan turun dari motor, wanita itu menembak makhluk yang masih berusaha berdiri meski sebagian tubuh makhluk tersebut telah hancur akibat tadi terlindas.

Darah muncrat dari bagian kepala, namun wanita itu tidak berhenti dan tetap menembak untuk kedua... sampai keempat kalinya.

Alhasil bentuk kepala pada makhluk tersebut pecah, dan tubuh itu berakhir ambruk berbarengan bubur otak bertebaran pada permukaan aspal.

"Heh. J'avo brengsek," maki wanita berambut merah itu sambil mengokang senapan shotgun-nya, sehingga selongsong peluru kosong dari tembakan terakhir tadi meloncat keluar dan menggelinding pada permukaan aspal, dekat kaki kanannya memijak.

"Kota ini pun..." ucap wanita itu kembali kala menatap bagaimana situasi kota Gotham ini.

Desahan berkadar lelah terlepas dari celah bibir si wanita saat menaruh senapan shotgun pada tas.

Wanita berambut merah itu kini mengambil PDA dari saku celana. Setelah mengecek, sama sekali tidak ada penanda telepon yang masuk atau misscall dari seseorang yang spesifik. ITU membuatnya mendesah kembali, kali ini bertema khawatir.

"Chris, dimana kamu...?" Guman wanita itu untuk sesaat, dan berakhir mengembalikan PDA ke saku celana.
Berikutnya mengganti gigi kopling, dan mengegas motor sebelum bentuk-bentuk janggal lainnya menyadari keberadaannya.

Begitu deru motor besar tersebut menggema, wanita itu pun kembali menancap gas untuk melakukan eksplorasi ke sepanjang jalanan terlihat.

...TBC.


A/n: Ouch. Jadi terdapat BANYAK Leon yang 'bermain' bersama Dante? Hooooo~ Bagaimana seri adegan pertarungannya? Dan siapakah wanita berambut merah yang berpakaian ala biker tadi? *Grins*

*Ehem* Saya mengalihkan cerita dari formasi aslinya di "Operasi Leon May Cry" yang sebelumnya. Apakah membuat penasaran?

Next chapter, hayo siapa saja yang akan muncul? *Smile*