Naruto©Masashi Kishimoto

Destiny©Shiroi no Tsuki

PAIRING: SASUHINA

WARNING: CANON(MUNGKIN)?, OOC,MUNGKIN ADA ADA OC NANTINYA, TYPO'S, DON'T LIKE? DON'T READ!, DLL.

.

.

.

.

.

.

Sebagai Heiress Hyuuga, Hinata memang selalu diperlakukan keras oleh sang Ayah.

Seperti pada saat sekarang ini, tubuhnya sedikit babakbelur karena latihan yang didapatnya dari sang Ayah.

Walau 'pun begitu, ia tetap menjalani latihan keras tersebut.

Hinata berjanji akan menjadi lebih kuat dari sekarang.

Karena itulah selain didikan keras dari Ayahnya, ia juga melatih kemampuannya secara diam-diam dipinggir danau yang terlindung dari hutan lebat diKonoha, hingga keberadaan danau tersebut tidak banyak orang yang megetahuinya.

Walaupun ia sudah berlatih keras sepanjang sore tadi, dimalam hari ini 'pun Hinata kembali dalam melatih kemampuannya tersebut.

Sekarang tubuhnya telah dibasahi oleh keringat akibat latihan yang baru saja dilakukannya.

Hinata menengadah keatas menatap bulan yang berbentuk bulat sempurna, napasnya masih terengah.

Perlahan ia menarik napasnya dalam, kemudian mengeluarkannya berkali-kali sekedar untuk mengatur kembali napasnya yang masih tidak teratur.

Ia mendudukkan dirinya diatas sebuah batu yang cukup besar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang tidak bisa lagi diajak berkompromi.

Sungguh, Hinata sangat kelelahan sekarang.

"Gagal…" Lirihnya penuh keputusasaan saat ia masih belum bisa menguasai jurus yang sekarang ia pelajari.

"Sekali lagi," Ucapnya seraya berdiri dari tempatnya duduk dan memasang kuda-kuda bersiap untuk melakukan teknik jutsu tersebut.

Tapi, tiba-tiba tubuhnya oleng diakibatkan kepalanya yang mendadak terasa pusing yang sangat amat.

Tubuhnya 'pun terjatuh menubruk tanah yang dilapisi rerumputan hijau yang sedikit memancarkan bias cahaya bulan, membuat rumput itu terlihat sedikit bersinar kehijauan.

"Uhukk… uhukk…"

Hinata sudah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya yang selama seharian ini memang tidak pernah berhenti untuk berlatih, ia terbatuk mengeluarkan sedikit darah dari mulutnya.

Ia hanya menatap darah itu yang menetes dari mulutnya kemudian mengalir kedagu hingga terjatuh kerurumputan.

Ini 'lah efek samping dari pemakaian jutsu yang ia pelajari.

Semakin ia sering memaksakan dirinya untuk melatih kemampuan jutsu itu, malah semakin membuat tubuhnya lemah dan akhirnya ia tidak bisa menjadi seorang Kunoichi lagi.

Karena jutsu ini memang merenggut dengan perlahan cakra yang ia miliki.

Perlahan ia memejamkan matanya merasakan hawa dingin tengah malam.

Mungkin Hinata akan tertidur disini karena ia memang sekarang tak bisa menggerakkan tubuhnya sama-sekali, tubuhnya telah mati rasa.

Tidak beberapa lama muculah seorang pemuda bermarga sama dengan Hinata yang sejak tadi sebenarnya telah memperhatikan aktifitas yang Hinata lakukan—Hyuuga Neji—kakak sepupu Hinata yang satu ini memang sangat memperhatikan keadaan sang Heiress.

Ia sedikit memandang khawatir pada keadaan tubuh Hinata dan membopong tubuh Heiress Hyuuga yang sudah tidak sadarkan diri itu menuju kediaman Hyuuga.

"Kau terlalu memaksakan diri, Hinata-Sama" Ucapnya sambil membawa Hinata kekediaman Hyuuga.

.

.

.

.

.

.

Wajah Hiashi mengeras mendengar penuturan dari para Tetua Hyuuga, ia tidak bisa menerima apa yang telah disampaikan para Tetua tersebut.

Ternyata pagi-pagi ia dipanggil hanya untuk mendengarkan pernyataan yang membuatnya harus menahan emosi.

Bagaiman bisa ia membuang putri sulungnya begitu saja dan mengeluarkan nama Hyuuga Hinata dari silsilah keluarganya.

Walaupun Hinata tidak memiliki kemampuan bertarung yang baik. Tetapi Hinata tetaplah putri yang ia sayangi.

Hiashi memang tidak pernah mengira sebelumya para Tetua akhirnya akan mencabut gelar Hinata sebagai Heiress Hyuuga dan membuangnya dari Konoha hanya karena gadis itu tidak mempunyai bakat untuk menjadi penerus.

Kini ia hanya bisa mengepalkan jarinya kuat dibalik jubah yang ia pakai.

Para Tetua dihadapannya ini terus saja mengucapkan hal-hal yang membuat emosinya semakin meningkat.

Dengan perasaan yang berkecamuk didalam hatinya, akhirnya Hiashi memutuskan sebuah keputusan yang bulat.

"Baiklah, saya akan menyanggupinya." Ucapnaya mantap.

Hal tersebut tentu saja membuat para Hyuuga lainnya menegang akan keputusan Hiashi.

Setega itukah sang Ayah yang pada putrinya sendiri, hingga mampu mengucapkan kata tersebut dengan mantap tanpa mencoba menyangkal ucapan para Tetua.

Setelah mengucapkan kata itu ia pun berdiri memberi hormat pada para Tetua Hyuuga, "Ini demi generasi klan Hyuuga." Ucapnya seraya menegakkan tubuhnya dan berlalau dari ruang pertemuan klan.

.

.

.

.

.

Hinata mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menerima cahaya yang didapat dari retina matanya.

Dan akhirnya ia bisa membuka matanya dengan sempurna, alisnya sedikit mengernyit menemukan dirinya tidak lagi berada didalam tengah hutan lebat konoha.

"Kau sudah bangun…" Suara ini, Hinata sangat kenal dengan suara baritone khas sang pemilik.

"Neji-nii,"panggilnya pada pemilik suara itu.

Neji mendekatkan tubuhnya pada Hinata sekedar untuk merespon panggilan Hinata. "Aku yang membawamu semalam"

Hinata mencoba untuk bangun dari tempatnya yang dibantu oleh Hanabi—adiknya—ia sedikit bingung, aneh tidak biasanya saudara dan sepupunya berada dikamarnya sepagi ini.

Hinata menatap adiknya yang membantunya untuk bangun secara intens, ada sedikit kerutan sedih diwajah adiknya ini.

"Hanabi-chan, kau terlihat…. Sedih?" Tebak Hinata ragu

"A-Ah iie, ne Onee-sama. Kau sudah lebih baik," Hanabi sesegera mungkin memutuskan topik yang sedang dibahas Hinata.

"Aku baik-baik saja Hanabi-chan." Hinata tersenyum mendengar kekhawatiran Hanabi.

"Hn, Syukurlah." Kali ini Neji yang menimpali.

Hinata masih penasaran dengan kehadiran mereka berdua dikamarnya, karena itulah sekali lagi ia bertanya, "kalian, sebenarnya apa yang ter…"

"Tidak ada apa-apa Hinata, kami kesini hanya untuk memberitahu misi yang akan kau jalani hari ini."

Neji menyela perkataan Hinata dengan cepat. Tidak, ia bohong bahwa ada misi baru yang akan Hinata dapatkan.

Sungguh Neji tidak mampu untuk mengucapkan hal yang sebenarnya pada Hinata.

Ia tidak mampu untuk mengucapkan bahwa sebenarnya mereka disuruh untuk memberitahukan Hinata untuk meninggalkan klan Hyuuga dan pergi dari Konoha.

"Cepatlah berkemas Hinata-nee!" Hanabi berkata lembut namun ada sedikit kegetiran dari suaranya.

"Ya, ak…"

Suara pintu geser kamar Hinata berbunyi menandakan seseorang telah membukanya.

Sontak saja Hinata menghentikan perkataannya, mereka bertiga kini serempak menolehkan kepalanya kepada seseorang yang baru masuk tersebut—Hyuuga Hiashi—

Hanabi dan Neji kini mulai meneteskan keringat dingin dipelipis mereka, takut kalau Hiashi akan membahas hal yang sebenarnya kepada Hinata.

"Hinata, cepatlah kemas semua barang yang kau perlukan!" Ucap pria setengah baya yang kini berstatus sebagai kepala klan Hyuuga sekaligus Ayah dari Hinata dan Hanabi serta paman dari Neji itu.

"Ha'i, tapi…"

"Kau harus segera pergi, Hinata…" Hiashi memotong perkataan Hinata dengan tegas tanpa adanya suara kelembutan dari seorang Ayah. "Neji, Hanabi, cepat kalian bantu Hinata membereskan semua barangnya!"

Neji dan Hanabi yang mendapat perintah itu terkesiap tidak dapat membantah sang kepala keluarga.

"A-Apa maksudnya? S-Semua barang?" Hinata terkejut atas perkataan Otou-Samanya.

"Ya, Hinata. Bereskan semua barangmu!"

"…"

Tidak mendapatkan jawaban dari sang putri sulung, Hiashi lantas melanjutkan ucapannya yang sungguh ia 'pun sebenarnya tidak ingin mengucapkannya.

"Kau telah mendapat titah dari para Tetua untuk mening…"

"TIDAK… OTOU-SAMA" Hanabi dengan cepat memotong ucapan Ayahnya yang akan mengatakan yang sebenarnya pada Hinata."Kumohon jangan katakan!" Pintanya memohon pengertian sang Ayah.

Hiashi menatap tajam putri bungsunya, "Cepat atau lambat ia pasti akan mengetahuinya Hanabi."

Hanabi hanya tertunduk diam, memang benar apa yang dikatakan Ayahnya. Cepat atau lambat, Hinata pasti akan mengetahuinya dari para Tetua. Jadi untuk apa disembunyikan sekarang? Toh nanti pada akhirnya Hinata akan mengetahiunya.

"Kau telah mendapat titah dari para Tetua untuk meninggalkan desa Konoha dan Klan Hyuuga, Hinata…" Ucap Hiashi melanjutkan perkataannya yang tertunda karena Hanabi.

Hanabi telah tidak sanggup lagi membendung tangisannya, kini air matanya menetes tak hentinya mengalir dari pipi mulusnya.

Hinata yang mendengar ucapan Ayahnya, hanya menundukkan kepalanya dalam sembari mencengkram selimut tebal yang sekarang dikenakannya.

"apa itu artinya, aku diusir dari Klan Hyuuga oleh para Tetua Otou-Sama?"

Pernyataan itu telak menusuk jantung Hiashi dan juga Neji serta Hanabi, memang benar. Pernyataan itu memang benar, para Tetua memang bermaksud untuk mengeluarkan—tidak tapi mengusir—Hinata dari Konoha.

"Kenapa? Apa karena aku terlalu lemah dimata kalian…" Hinata masih berucap lirih, air matanya jatuh tanpa mengeluarkan isak tangis seperti Hanabi—adiknya—

"Tidak Hina…."

"Aku tidak apa-apa" Hinata menyela perkataan Neji.

"Aku akan pergi, sesuai yang diperintahkan oleh Tetua"

Kini Hinata mengembangkan senyumnya, walau air mata masih menggenang dipelupuk matanya.

Neji dan Hanabi hanya bisa diam terpaku melihat ketabahan dan ketulusan yang Hinata miliki.

.

.

.

.

.

Disebuah gubuk kecil di hutan desa Ame.

Seorang pemuda yang tertidur diatas Futon lusuh terlihat kalau dia sedang memimpikan hal yang buruk, tercetak jelas dari kerutan diwajahnya.

Dalam sekejap pemuda tersebut membuka matanya, perlahan ia bangkit dari tidurnya.

Keringat dingin menetes dari pelipis sang pemuda.

Nafasnya sedikit terengah karena mimpi tersebut.

"Lagi…" Gumamnya

Hampir setiap malam. Tidak, bahkan setiap malam ia selalu memimpikan hal yang sama, mimpi disaat sebelum perang dunia Shinobi keempat dimulai.

Pemuda itu—Uchiha Sasuke—selalu memimpikan dimana ia selalu dikejar oleh rasa bersalah terhadap Anikinya—Uchiha Itachi—

Ia selalu terbayang bagaimana ia yang diselimuti oleh rasa dendam pada Itachi, ia juga mengingat bagaimana senyuman teakhir yang diberikan Itachi kepadanya,.

Sasuke sangat menyesal telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak ia lakukan, ia telah balas dendam pada orang yang ssalah.

Jika saja Anikinya masih hidup, mungkin ia sekarang tidak sendiri dihutan ditempat yang gubuk seperti ini.

Ia memang telah memutuskan untuk tetap menjadi seorang Missing-Nin setelah perang dunia shinobi keempat berakhir, walaupun naruto telah megajaknya pulang untuk kembali ke Konoha, Sasuke tetap berisi keras pada pendiriannya. Bahkan ketika Naruto memaksanya dengan bertarung bersamanya, sebagai imbalan jika Sasuke yang kalah dalam pertarungan tersebut ia haruslah kembali ke Konoha tanpa kekerasan.

Namun, ia kalah. Sasuke kalah dalam pertarungan tersebut, sekarang ia mengakui kemampuan Naruto—sahabatnya itu—

Walau 'pun begitu, Sasuke tetap berhasil melarikan diri dari mereka yang mengejarnya, terkhir kali ia mengingat bagaimana Naruto mengejarnya yang sudah babak belur karena pertarungan mereka dan meneriakkan namanya, dan terakhir kali juga ia melihat Sakura yang mengejarnya dengan air mata yang menggenangi pipinya.

Pemuda itu bangkit dari tempatnya dan melangkahkan kakinya menuju pintu depan gubuk tersebut, kepalanya menengadah kelangit melihat awan yang memang selalau berkabut. Mungkin sebentar lagi akan hujan.

Sedikit bergegas ia menapaki jalan yang berada dihutan Ame untuk sekedar membersihkan tubuhnya sekaligus mencari sesuatu untuk ia sarapan.

Sasuke terus menjalani hidupnya seperti sekarang, terkadang ia menerima beberapa pekerjaan untuk melakukan sebuah misi dari penduduk desa didekat hutan tersebut.

Sekarang tidak ada yang perlu disesali olehnya, memang itulah kenyataan hidup yang ia jalani. Menyesal 'pun tidak ada gunanya jika Sasuke telah melakukan perbuatan yang selalu menghantuinya dalam setiap tidur malamnya.

.

.

.

.

.

Kini Hinata telah berada didalam hutan Ame yang sangat rimbun akan dedaunan yang menutupi masuknya cahaya matahari melalui celah-celah dedaunan yang dimiliki oleh pohon-pohon yang berada dihutan tersebut.

Napasnya sedikit memburu karena kelalahan setelah ia melompat dari dahan kedahan pohon yang lainnya tanpa henti sejak dua hari, kini Hinata telah kelelahan. Hingga memutuskan untuk berjalan kaki agar menemukan tempat beristirahat.

Lama setelah itu, ia menemukan sebuah pondok kecil yang sepertinya tidak ada penghuninya. Akhirnya Hinata memutuskan untuk beristirahat disana. Lagipula sekarang langit telah mendung bersiap menumpahkan air yang dikandungnya, memang ia sangat menyadari kalau wilayah Ame sering diguyur hujan setiap harinya. Jadi Hinata pun bergegas untuk menuju pondok tersebut.

Tangan mungilnya membuka perlahan pintu pondok, matanya sedikit menyipit ketika menyadari ternyata pondok yang ia singgahi tidak kosong. Disana ada sebuaah meja persegi yang diatasnya terdapat sebuah gulungan yang Hinatapun tidak tahu gulaungan apa itu dan seperangkat peralatan makan yang masih belum tersentuh oleh pemiliknya, dan disana juga ada sekat dinding yang mungkin didalamnya adalah sebuah futon yang masih acak-acakan. Itu artinya dalam pondok kecil ini ada seseorang yang menghuninya.

Merasa tidak enak kaena telah lancang memasuki pondok orang lain, akhirnya Hinata membatalkan niatnya untuk istirahat dan bermalam di pondok tersebut.

Tapi sebelum ia menutup kembali pintu yang ada dihadapannya suara derau hujan yang mengguyur tiba-tiba saja memasuki indra pendengaran Hinata, kepalanya menoleh kesamping. Yah sekarang telah hukjan deras, terlambat baginya untuk menuju desa Ame yang jaaknya tidak jauh dari hutan ini.

Menyerah, akhirnya Hinata terpaksa untuk berteduh didalam pondok itu, "Permisi!" Ucapnya perlahan sambil memasuki pondok yang Hinata yakini sipemiliik sekarang tidak ada, mungkin pemilik pondok ini adalah seorang tua yang sedang pergi ke desa. Begitu pikirnya menyimpulkan pendapatnya sendiri.

Karena begitu lelahnya Hinata, akhirnya ia meletakkan tas nya di samping meja yang terdapat didalam pondok tersebut. dirinya pun langsung merebahkan dirinya diatas lantai yang berlapiskan tatami itu.

Perlahan tangan mungilnya meraba-raba lantai dibawahnya, berdebu. Itulah yang didapatinya sekarang. Sebenarnya siapa pemilik pondok ini? Tidak bisakah orang itu merawat rumah kecilnya ini dengan baik?

Merasa tidak nyaman dengan keadaan yang ada di pondok ini akhirnya Hinata berinisiatif untuk membersihkan ruangan yang lumayan kecil untuk dihuni oleh seseorang.

Ia kemudian bangkit dari rebahannya dan mata almethysnya mulai mencari sesuatu untuk bisa ia gunakan dalam membersihkan ruangan ini.

Tidak ada apapun yang bisa digunakan.

Ia kemudian bangkit berdiri untuk mencari-cari sesuatu dibalik sekat dinding tersebut. Hinata menghela napas ketika melihat pemandangan yang tidak enak untuk dilihat itu. Bayangkan saja, sekarang yang ada dihadapannya adalah sebuah futon yang berserakan tidak teratur dan sebuah baju kimono berwarna putih yang tergeletak begitu saja.

Sekarang ia tahu bahwa pemilik pondok ini adalah seorang pria, dengan sigap akhirnya Hinata mulai membereskan ruangan itu dan ia sejenak melupakan benda yang ingin ia cari untuk mengepel lantai ruangan sebelah.

.

.

.

.

.

"Hufhhh…" Hinata bernafas lega setelah pekerjaannya membersihkan pondok selesai, tidak disangkanya ternyata Hinata malah membersihkan seluruh ruangan yang ada.

Ia tidak menyadari bahwa malam telah menjelang. Namun hujan masih setia turun menghujam bumi.

Sungguh ia benar-benar tidak menyadari akan hal itu, bahkan tubuhnya yang kelelahan pun terasa menghilang setelah pekerjaan yang dilakukannya selama seharian penuh ini,

Hinata melihat sekeliling ruangan yang telah ia bersihkan, "Sudah rapi semua," Gumamnya merasa puas akan kerja kerasnya seharian.

"Baiklah! Waktunya istirahat!" Ucap Hinayta lagi bersemangat, ia yakin bahwa pemilik pondok kecil ini nantinya akan senang jika rumah kecilnya sudah sangat bersih.

Dengan cepat tangannya menggelar futon yang sudah bersih yang baru saja beberapa saat lalu dicucinya, dengan cekatan ia meletekkan bantal dan selimut diatas futon yang udah terglar. Menyiapkan tempat tidur yang nyaman untuk sang pemilik pondok.

Setelahnya, ia pun menggelar futon yang dimilikinya di ruang tamu dimana terletak meja segi empat yang sudah bersih dibersihkan Hinata. ia pun menggeser meja tersebut kearah tembok untuk menggelar futon-nya.

Tak lama setelahnya, perlahan mata almethys miliknya terpejam menikmati derau hujan yang masih mengalun menemani tidur HInata yang panjang, mungkin? Entah apa yang akan terjadi jika Hinata tahu bahwa siapa pemilik pondok ini sebenarnya.

.

.

.

.

.

BRAAKKK!

"APA YANG KALIAN LAKUKAN! SEENAKNYA MENGUSIR HINATA DARI DESA TANPA SEIZINKU!" Teriak sang hokage keenam yang baru saja mendapat jabatannya itu, setelah menggebrak meja hokage yang ada dihadapannya, ia mulai melangkah maju untuk menghadapi para tetua Hyuuga termasuk ayah dari Hinata.

Para tetua hanya diam mendapat teriakan dari sang Hokage—Uzumaki Naruto—

Naruto memandang ayah dari Hinata itu dalam tatapan penegasan darinya, Hiashi hanya menatap datar pada sang Hokage. "Maaf paman, ini memang bukan urusanku. Tapi ini memang urusan pribadi klan kalian, tapi sebagai Hokage, aku tidak bisa membiarkan Kunoichi milik Konoha pergi begitu saja." Tegasnya pada Hiashi maupun dari semua tetua klan Hyuuga.

Benar,

Hiashi membenarkan ucapan dari Naruto, Naruto memang benar. Sebagai Hokage ia tidak bisa membiarkan kunoichi seperti Hinata—walau pun selemah apapun gadis itu—Hinata tetaplah milik desa konoha.

Dan bukan karena hal itu saja, Hiashi membenarkan perkataan Naruto karena Hinata adalah putrinya.

Ayah seperti apa dia hingga tega membuang putrinya begitu saja,

Tidak.

Ia bukanlah seorang ayah yang setega itu pada putrinya, karena itulah ia secara diam-diam memerintah Neji untuk mengejar HInata.

Untuk melindunginya.

Untuk menjaga HInata.

Dan untuk membawa kembali Hinata secara diam-diam.

Naruto menghela napas berat setelah perdebatan kecil diantara para tetua klan Hyuuga.

"Shizune-san!" Panggil Naruto pada sekretarisnya

"Ha'i, Hokage-sama?" panggil Naruto kepada sekretarisnya.

Perintahkan beberapa tim untuk datang kesini!" Perintah Naruto yang langsung dipenuhi Shizune terbukti begitu Naruto mengucapkannya, wanita itu langsung menghilang dari ruangan Hokage.

Shizune mengerti mengapa Naruto begitu marah pada para tetua klan, ia sangat mengerti. Ia pun sangat terkejut ketika melihat ekspresi Naruto yang belum pernah seserius ini sebelumnya.

Perhatian Naruto teralih kembali kepada para tetua klan dan Hiashi, dengan perlahan ia mulai mengatur napasnya agar emosi yang sedang menimpanya sekarang tidak lah semakin memuncak. "Aku sedang tidak ingin berdebat dengan kalian, enyahlah!" perintahnya dingin.

Salah satu dari tetua klan mengernyitkan alisnya hingga wajah orang tua itu semakin terlihat mengerut, "Anda terlalu lancang pada kami, Hokage-sama. Tidak tahukah jika kami yang memilih anda sebagai Hokage—"

BRAAAKKK!

Seketika perkataan yang diucapkan orang tua tersebut terhenti ketika melihat amukan dari sang Hokage, semua yang ada didalam ruangan itu tersentak ketika mendapati meja Hokage yang awalnya terlihat rapi, kini telah hancur tidak berbentuk. Sebagian dari mereka bergidik ngeri mendapat hal tersebut.

Tanpa mengatakan papun, Hiashi beranjak dari tempatnya dan berlalu meninggalkan ruangan Hokage diikuti oleh para tetua lainnya.

Setelahnya semua meninggalkan ruangan itu, Naruto mengapalkan tangannya kuat-kuat dan kembali melammpiaskan kekesalannya pada tembok terdekat hingga membutat tembok tersebut retak.

Napasnya terengah.

Jantungnya berpacu lebih cepat.

Sungguh ia sangat marah pada para tua Bangka itu.

Ingin sekali ia menghantamkan tinjunya pada mereka kalau saja mereka bukanlah orang penting didesa ini.

Ia tahu

Naruto sangat tahu perasaan apa ini.

Namun segera diindahkannya perasaan itu sekarang, yang penting adalah kembalinya Hinata kedesa dan segera menemui gadis itu agar para tua Bangka itu tidak dapat berkutik barang sedetikpun mengenai Hinata.

"Hinata…" Lirih Hokage muda itu dengan pandangan sendunya yang tidak bisa terbaca.

.

.

.

.

.

Hinata terbangun dari tidurnya yang baru saja beberapa menit ia terlelap, gadis itu terkejut bukan main. Ketika ia mendengar suara pintu didepannya terbuka dan menghembuskan angin dingi yang segera saja menerpa kulitnya.

Sungguh angin itu begitu kencang hingga mmbuat lilin yang berada digubuk itu pun padam.

Terbelalak mata almethys itu, ketika melihat seseorang yang telah membuka pintu.

Wwalaupun penerangan yang telah Hinata nyalakan beberapa saat yang lalu itu telah padam, tapi Hinata masih bisa mengenali sosok siluet orang yang sekarang berada di hadapannya.

Sosok pemuda berpakaian putih yang dilumuri darah.

Sosok pemuda yang napasnya terengah karena ia baru saja menembus badai yang baru berlangsung.

Seorang pemuda yang sangat dikenali oleh Hinata.

Pemuda itu, dengan matanya yang sedikit buram karena luka yang dialaminya. Ia melihat sesosok siluet gadis yang mungkin saja ia kenal.

Yah, gadis yan berada didalam gubuknya saat ini.

Ia tidak tahu pasti,

Tapi yang dirasakannya sekarang hanyalah rasa denyut dikepalanya yang semakin menggila hingga membuatnya jatuh ambruk tak sadarkan diri.

Pemuda itu tidak peduli lagi akan siapa gadis yang sekarang telah berani-beraninya memasuki kediamannya.

Hinata yang melihat hal tersebut terpekik kaget hinnga tanpa sengaja meneriaki nama pemuda yang memang tidak pernah ia sangka akan bertemu dalam keadaan seperti ini.

"Sa-Sasuke-kun!"

.

.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

.

.

A/N: Fic baru ane muncul lagi, ini adala fic canon pertama Tsuki. Semoga saja tidak berantakan, soalnya Tsuki memang ga bisa dalam hal menulis fic yang kayak gini~ =.='. tapi g tahu kenapa tiba-tiba aja datang ide buat ngebuat fic canon.

Yap, akhir kata review! Please!

Bagi yang udah baca makasih banyakkk!

Salam

Shiroi no Tsuki