Hanya seberkas cahaya redup yang tertinggal di atas langit. Tinggal menunggu waktu hingga sang rembulan menyampaikan salamnya pada dunia, menyapanya untuk mengawali sang malam.

Luhan masih menangkup wajah Sehun.

Sehun melepaskan tangan Luhan dan mendengus. Ia menatap Luhan lurus ke dalam bola matanya.

Ia terduduk. Luhan masih terduduk di kursi. Sehun mendekati Luhan dan membiarkan kedua telapak tangannya bertumpu pada tepian kursi yang digunakan Luhan. Sehun menangkap Luhan. Ia terperangkap pada lingkaran lengan kurus Sehun.

Sehun mendekatkan wajah mereka berdua. Debaran itu muncul di dada Luhan.

Bukan waktu yang tepat. Momen yang terasa tak benar.

Ia mendekatkan bibirnya pada pipi Luhan. Sehun tidak akan pernah tahu bahwa Luhan hampir tidak bisa bernapas jika ia berada di dekatnya pada jarak seintim ini. Degupan dada Luhan tidak akan pernah mau untuk diajak berkompromi. Luhan sedikit gemetar, ia terlalu gugup.

"Kau pikir aku percaya dengan cinta? Bermimpilah, Luhan,"

Bisikan Sehun memberikan sebuah dentuman yang keras di dada Luhan.

.

.

Foregone Portrait

EXO Fanfiction

Sehun and Luhan

.

.

Cairan berwarna putih berada pada sela-sela jemari Sehun. Ia mendesah dan membersihkannya dengan sapu tangannya.

Tidak biasanya Sehun begitu kasar. Tidak seperti biasanya ia begitu ceroboh dan berantakan dalam menuangkan cat-cat minyak ke dalam palet kecilnya. Mungkin pikirannya sedang terganggu. Mungkin karena Luhan terus berdiam diri di kursi favoritnya dan menghujaninya dengan tatapan yang bahkan bintang sekalipun tidak akan dapat menjelaskan cahaya sendu pada mata cantiknya.

Sehun tidak mengusir Luhan. Ia menarik kursi lain dan mengambil sebuah kanvas polos. Ukuran yang lebih kecil dari biasanya. Luhan hanya melirik dan terus melirik.

Luhan terlalu takut untuk berucap. Sehun yang berada di depannya kembali menjadi Sehun yang pertama ia kenal: dingin, kaku, diam dalam ketenangannya, menyatu dalam aksinya. Bagaikan sebuah jam, Luhan hanya bisa termangu dalam waktu yang terus berjalan.

Sehun tenggelam dalam lukisannya, melebur menjadi satu dalam imajinasinya.

"Aku… Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu,"

Luhan memang takut, tetapi ia pemberani.

Tidak sedikit pun suara yang dimunculkan oleh Sehun. Sesekali ia melirik lukisan-lukisannya yang telah membentuk kisah sendiri di dalamnya. Sehun adalah dewa, pencipta dari segala maha karyanya. Menjadi seseorang yang perfeksionis bukanlah tipikal khasnya. Sehun tidak membutuhkan kesempurnaan, ia sudah bahagia dengan kesderhanaan yang ada.

Tetapi jika sudah ada yang menyebutkan kekurangan dari karyanya, ia akan terganggu. Ia risih, karena Luhan mengucapkan sesuatu yang tepat mengenai apa yang telah ia hindari selama ini.

Cinta. Sehun berpura-pura tidak mengenali kata itu.

"Tenang," kali ini, ia mulai melukis tanpa garis kecil pensilnya. "Aku tidak terganggu sedikitpun,"

Luhan tahu bahwa ia sedang berbohong. Ada sebuah topeng yang membungkus hatinya di dalam sana.

"Kau tidak terganggu?"

"Tidak,"

"Sedikitpun?"

"Iya,"

"Kenapa kau tidak pernah menyalurkan cinta pada lukisan-lukisanmu?"

Sehun menjatuhkan kuasnya; sedikit membantingnya.

Luhan sudah dapat menebak apa yang akan terjadi berikutnya.

"Apa lagi yang mau kau ucapkan?"

Orang bilang Sehun pendiam, ia pemarah. Sehun dingin, ia tidak ramah. Hal yang umum. Siapa yang tidak tahu akan hal itu?

"Berhenti berbicara soal cinta. Memangnya kau seorang filosofis? Ucapanmu itu mengganggu, tidak berguna, bodoh. Aku geli mendengarnya. Kenapa sejak awal aku membiarkanmu untuk berada disini? Sampah,"

Mungkin Luhan memang naif. Kepercayaannya terhadap Sehun tak akan pernah runtuh dalam batinnya meskipun Sehun mencoba untuk mematikannya berkali-kali. Luhan bagaikan bernapas dalam hampa udara yang takkan pernah terjangkau selamanya. Sesederhana itu untuk mengenal Sehun, namun sesederhana itu pula Luhan tersakiti karenanya.

"Maafkan aku jika kau terganggu," sekilas Luhan merasa bahwa ia berada dalam ruang penuh asap, namun ia hanya terperangkap dalam sesaknya sendiri. "Aku hanya ingin melihatmu, melihat karyamu, jauh lebih hidup daripada biasanya… Bukan bermaksud untuk mengguruimu,"

Sehun berusaha untuk menangkap raut wajahnya, ekspresi matanya. Hingga pada menit Luhan beranjak menjauhi dirinya, Sehun terus bergeming tanpa membalikkan tubuhnya kepada Luhan. Egonya terlalu tinggi, jauh melebihi pelupuk biru di atas langit.

Tidak ada sinar yang menghiasi pucuk rambut Luhan yang harum dan lembut. Ia menoleh sesaat, hanya untuk memastikan bahwa Sehun tidak jatuh tertidur seperti tempo hari.

"Aku hanya ingin menyemangatimu,"

Luhan membuka pintu ruangan dan membiarkan kaki kanannya yang berat melangkah terlebih dahulu. Ia mencium bau kebebasan, rerumputan dalam dunianya yang nyata. Ada pembatas dalam dunia Luhan dan Sehun. Bukan pintu, mungkin sesuatu yang lebih hebat, yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata, dengan tulisan dalam kertas kecil, dalam lukisan.

"Aku hanya ingin menjadi bagian dalam duniamu,"

Dan Sehun masih terus membiarkan tangannya membawa sebuah palet yang berhiaskan warna-warna rapuh di dalamnya. Saat Luhan berada di dekatnya, warna itu terlihat sangat hidup. Ketika Luhan pergi, segalanya mengering. Kaku, keras. Air tidak akan bisa menghidupkannya kembali, semuanya telah memudar.

Ketika Sehun memandang kertas kanvasnya, barulah ia menyadari bahwa ia gagal dalam membangun taman surganya. Setengahnya masih bersih dan polos, ada bagian yang hilang dan pergi entah kemana.

.

Bibir Luhan terbuka dan mengatup. Berkali-kali terulang dalam hitungan detik, menit. Ia membaca not-not balok yang ia saja tidak tahu apa nama bintik putih dan tidak bisa membedakan bintik hitam yang memliki tangkai lengkung dengan yang tidak. Luhan mencoba untuk memahami liriknya dengan not angka biasa, dan itu berhasil.

"Berhenti bernyanyi. Kau mengacuhkanku sedari tadi padahal aku ada di sampingmu,"

Terjarak sekitar 42 sentimeter, Luhan tersenyum kepada temannya dan kembali bersenandung. Sumbang, sumbang, ungkap teman dekatnya. Luhan menggembungkan pipinya dan menepuk wajahnya dengan empat lembar kertas yang ia genggam. Luhan menyanyi dari mulut, bukan dari hati.

Dan sahabatnya tahu, ada sesuatu yang tengah terjadi kepadanya. Ia tidak bertanya. Ia memberikan waktu kepada Luhan untuk bercerita, nanti.

"Cinta itu apa, Jongdae?"

Ia masih memberikan waktu kepada Luhan.

"Apakah kau pernah merasakan cinta? Apakah cinta hanya bisa dirasakan oleh orang yang sedang jatuh cinta saja? Apakah cinta itu terbatas? Jongdae, jangan diam saja, aku menunggu,"

Jongdae tidak menjawab pertanyaannya yang datang secara bertubi-tubi. Sejak Luhan menghiraukannya tadi, Jongdae selalu memandang ke arah yang berlainan dengan pandangan mereka berdua. Termakan oleh diam. Bibirnya tidak sanggup untuk mengungkapkan apapun.

Ada seseorang yang tengah membungkukkan badannya kepada sebuah pintu kelas. Ia menutupnya dan mendekap setumpuk lembar kertas yang tidak tertata rapi. Bibir kecilnya mencoba untuk menghitung setiap helai yang ada, jemari kecilnya menari-nari kecil.

Luhan mengingat sosok itu.

Alisnya mengerut dalam kepada Jongdae.

"Yah, Jongdae. Pantas saja… Kenapa kau malah berdiam diri begitu?"

Luhan membiarkan tujuh senti di antara mereka menghilang.

"Dia ada disana. Kenapa kau tidak melakukan apapun? Bukankah… Bukankah kau masih menyayanginya?"

Jongdae bersandar pada dinding tempat mereka berada. Senyumannya terbalut dengan pilu. Lirih, menyedihkan. Ia mencoba untuk menjelaskan segalanya kepada Luhan, tetapi ia memilih untuk diam. Luhan pasti dapat membacanya, karena Luhan adalah orang yang selalu mengerti hati seseorang meskipun tanpa untaian kata-kata, tanpa jeritan tangis dalam batin.

Sayangnya, Luhan tidak dapat membacanya. Ia butuh penjelasan yang nyata, bukan alibi yang terurai dalam senyuman semu.

"Kau ingin tahu apa itu cinta?"

Kebiasaannya yang tidak pernah berubah sejak dulu: mengalihkan topik pembicaraan. Luhan sudah terbiasa.

"Satu hal yang tidak dapat kau jelaskan hanya dengan suatu kalimat, sajak, penggalan kata-kata adalah cinta,"

Jongdae mencuri pandang lagi kepada lorong kirinya. Perih, memang.

"Yang bisa kukatakan saat ini hanyalah suatu hari nanti, kau akan menemukan sebuah buku dengan kisah-kisah tentang hatimu dan hatinya. Hanya tentang hati kalian berdua. Lalu kau akan menikmati buku tersebut dan membacanya, karena kau tahu bahwa pada akhir kisah yang kau baca, kau hanya ingin menghabiskan sisa senyummu bersamanya,"

Jongdae menepuk bahu Luhan yang mungil, seolah menyalurkan semangat kepadanya.

"Luhan, ingatlah selalu bahwa semua orang adalah kembang api, tetapi seseorang yang berada di benakmu saat ini adalah sang langit"

Luhan tersipu malu. Ia merasa dipermalukan oleh perkataan Jongdae. Padahal Jongdae lebih muda darinya, tetapi pemikirannya sudah berada dalam garis yang melampaui batas usianya. Pengalaman yang menjadikan seseorang dewasa dan Jongdae telah merasakan hal itu dalam hidupnya.

Jongdae mengajak Luhan untuk kembali ke kelas mereka. Meskipun mereka harus melewati sesuatu yang seharusnya Jongdae tidak lalui, mereka terus saja maju. Jika Luhan memandang lurus ke depan, maka Jongdae akan menunduk. Luka itu masih ada dan masih terasa pedihnya.

Tidak baik untuk terus memandang lantai saat sedang berjalan. Jongdae bertabrakan dengan seseorang yang berada di depannya.

Sepasang mata bulat yang tampak rapuh dan indah layaknya kaca bertemu dengan kedua mata Jongdae. Ujung sepatu mereka bersentuhan, tetapi tidak satupun di antara mereka yang berpindah dari posisi mereka. Mereka membatu, mereka terpaku dalam kesempurnaan sosok masing-masing.

Tiga menit setelahnya, Jongdae dapat merasakan kembali apa itu cinta.

"Halo…" ucap Jongdae perlahan. "Halo, Minseok,"

Setiap Jongdae tersenyum, senyuman terbaik itu akan menerpa diri Minseok perlahan-lahan dan membiarkan dirinya bercampur menjadi satu dengan perasaannya. Minseok akan membalasnya dengan senyuman, dengan cahaya embun pada bola matanya. Meskipun Minseok bukan miliknya lagi, bibir tipis yang selalu mengukir senyuman penuh kehangatan itu akan selalu menjadi miliknya, selamanya, dalam mimpinya, dalam angannya.

"Halo juga, Jongdae,"

Minseok adalah perihal tercepat yang terjadi dalam layar kaca kehidupan Jongdae dan hal terlambat yang berakhir di dalamnya.

.

Entah apa yang membuat Sehun merubah pikirannya dari pergi ke ruangan melukis dan melanjutkan lukisan menjadi pergi ke anak-anak tangga dan tetap diam disana. Sehun tidak tahu mengapa ia harus berdiri, terpatok dalam ujung hari, dan membiarkan sang mentari menelan bayangannya perlahan-lahan tanpa seorangpun yang datang menemani. Ia hanya berdiri dan membatu, menyaksikan pantulan cahaya gelap langkah-langkah pelajar yang tengah berlalu-lalang melewatinya.

Sehun melipat lututnya dan membiarkan lengannya memuluk kakinya. Ia tampak seperti seorang anak jalanan yang ditelantarkan oleh kedua orangtuanya. Ada sebuah perasaan yang mengganggunya. Ada sebuah rasa bersalah yang terus menghantuinya. Alasan-alasan kecil dan tidak masuk akal itulah yang telah menggiring kakinya ke sudut anak tangga, tepian tembok yang dingin, udara yang kasar, senja yang tampak tidak bersahabat.

Dan ketika matanya sedikit terpejam, suara sepatu berdetak menuruni anak tangga.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam…

Kaki itu berhenti melangkah. Sehun membuka matanya dan berbalik badan.

Hanya ada Sehun dan seorang namja bernama Luhan yang saling memandang, bertukar udara yang saling mereka hirup, posisi yang kaku dan sangat kaku; jarum jam seolah berhenti berlayar dalam lautan waktu.

"Hai,"

Kali ini, bukan Luhan. Sehun mencoba, ia hanya sedang mencoba.

"Jika kamu berada disini untuk menyalahkanku lagi, mungkin sudah saatnya aku harus pergi. Maaf, aku duluan, Sehun,"

Langkah-langkah mungil itu turun melalui anak tangga dan berlalu melewati dirinya. Harum permen dan susu, harum yang lembut dan kekanak-kanakkan. Sosok itu memunggungi Sehun dan mulai menghilang di samudera cahaya mentari di balik awan. Senja membawanya pergi. Luhan hendak meninggalkannya lagi.

"Luhan,"

Ketika Sehun menangkap lengan kurusnya, Luhan dapat merasakan bahwa dirinya terjerembap dalam perasaannya lagi.

"Luhan…"

"…Tanpa lelah, aku menaruh kepercayaan besar pada harapanku yang mungkin, suatu hari nanti, aku dapat membuka hatimu meskipun hanya secuil saja. Lalu aku tersadar, menjadi temanmu saja mungkin aku tak layak. Tetapi aku terus berakhir pada titik yang sama untuk bisa berada di dekatmu dan menjadi temanmu, sahabatmu, apapun itu, asalkan dapat berada di dekatmu, Sehun. Aku terus bermimpi seperti orang bodoh,"

Ia hendak mengambil bagian dalam dunianya yang hilang pada awalnya. Saat sosok itu muncul, yang ia lakukan hanyalah mengabaikan dan membiarkan tali erat yang tak tampak mengikat tubuhnya dan hanya kekangan sajalah yang ia rasakan dalam tubuhnya. Lukisan tempo hari, bagian yang kosong, potongan yang hilang, segalanya berada dalam diri Luhan.

Karena Luhan telah menghilang dari pandangannya, sudut matanya, dan membawa pergi serpihan yang hilang. Mungkin ia akan mencoba meraih kembali perasaannya yang tertinggal itu dalam dirinya. Sehun hanya ingin bertemu Luhan, merasakan kehadirannya, menatap mata cantiknya, mendengar suara tawanya, meskipun ia masih bersikukuh pada pendiriannya untuk tidak mempercayai cinta.

Hanya keinginan sesaat. Hanya keinginan sementara yang tak bisa ia lawan.

Sehun tidak kembali ke asrama. Ia menaiki anak tangga dan berjalan menuju ruang favoritnya.

.

.

.


(part iii - end)

maaf untuk update yang lama (dan sempet sempetnya aku update di tengah tengah minggu UAS) ;A; terima kasih untuk dukungannya selama ini! aku akan berusaha lebih baik lagi dan lagi! :D