Keheningan bukanlah hal yang cocok jika disandingkan dengan sebuah tempat umum. Dimana sebuah tempat umum selalu identik dengan keramaian. Halte bus? Ramai. Pasar? Ramai. Terminal? Ramai. Benarkan, sebuah tempat umum haruslah ramai. Meski mungkin tak berlalu untuk tempat umum yang satu ini.

Keheningan sangat di prioritaskan tempat umum yang satu ini. Bisa menebak apa nama tempat umum ini? Yah, satu-satunya tempat umun dimana keheningan sangat di butuhkan hanyalah rumah sakit saja. Bagi dua pria disana, keheningan tak lagi menjadi hal yang asing. Karena pada keseharian yang mereka jalani, mereka juga membutuhkan keheningan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Karena pekerjaan mereka membutuhkan konsentrasi, dimana hal tersebut sangat bersahabat dengan susana hening.

Satu-satunya yang tak merasa nyaman dengan keheningan yang melanda hanyalah bocah cilik yang nampak melirik papanya dalam jeda yang tak lama. Heojun sebenarnya ingin menangis dan panik. Hanya saja, melihat aura yang melingkupi jussi dan papanya membuatnya menahan diri. Tapi ia ingin menangis melihat mommy tergeletak dan tak menyahut satupun panggilannya. Apa mommynya dimakan monster yang akan di panggil Heojun? Tapi, bagaimana bisa? Bahkan ia belum memanggil monster itu.

"Pa—"

"Inilah yang kutakutkan Min, lebih dari ketakutanku pada kemarahan kalian." Belum selesai Heojun menegur Yunho, Yunho secara tak sengaja meredam teguran itu dengan buka suara. Changmin, yang menjadi tujuan Yunho berbicara terdiam. Tentu saja, melihat orang yang kau sayangi tergeletak sakit bukanlah hal yang mudah. Kemarahan dari orang-orang yang menyayangimu pasti akan ada akhirnya, tidak dengan kepanikan yang menjalari semua bagian tubuhmu jika berhadapan dengan pilihan pertama. "Akupun belum mengetahui banyak tentang Jaejoong. Aku berusaha keras agar tak menanyakan itu pada Kibum secara terang-terangan. Aku hanya mengetahui hal-hal yang terjadi setelah Jaejoong bersama kami." Tambahnya seraya memeluk Heojun yang menelusup pada celah antara tubuh dan tangannya. Meminta sebuah pelukan.

"Sebenarnya apa yang kuceritakan padamu adalah keseluruhan apa yang terjadi pada Jaejoong ketika bersama kami." Terdengar suara sekretaris kesayangannya dari lorong di samping kirinya, namun Yunho hanya membiarkan telinganya yang menangkap berita itu. Perhatiannya sedang tertuju pada putranya yang terlihat mendung. Yunho mengusap lembut kepala Heojun berulang-ulang untuk memberikan kesan nyaman dan pesan tersirat pada putranya itu jika semua akan baik-baik saja.

"Butuh ceritaku untuk melengkapi semuanya hyung." Suara lain yang terdengar khas ditelinganya terdengar. Membuat tidak hanya Yunho, namun juga Changmin yang menoleh kasar dalam waktu bersamaan ke arah lorong dimana Kim Kibum berasal. Berbeda dengan Changmin yang membulatkan matanya, Yunho tetap mempertahankan kesan tenangnya disini. Meski tak bisa ia pungkiri, jika jauh dilubuk hatinya sangat was-was ketika mata tajamnya menangkap tiga orang yang sedang berjalan kerahnya sebagai objek yang akan dikirim retinanya pada otak.

Kim Kibum, sekretaris kesayangannya. Cho Kyuhyun, adik ipar satu-satunya. Serta err~ nampaknya ia harus meralat kata-katanya tentang satu satunya adik ipar. Karena adik iparnya yang lain kini tengah menuju tempatnya. Adik iparnya dari istrinya, adik iparnya yang iri akan kebahagiaannya dan istrinya. Adik iparnya yang memilki nama Kim~ Junsu.

-oOo-

MOMMY © O-CYOZORA

YunJae

YooSu

ChangKyu

SiBum

Genre: Romance, Family

::BOYS LOVE, OOC, OC, AU, MYSS, TYPO::

©Yunho dan Jaejoong saling memiliki, O-Cyozora hanya menulis cerita dan tentu mengklaim OC dan jalan ceritanya©

PART 10

ENJOY~

-oOo-

Berada disebuah ruangan yang nampaknya nyaman tak membuat senyuman mengembang diwajahnya. Meski ia memasang wajah sumringah, ia tetap tak bisa menutupi kekesalannya. Apalagi, melihat potret yang ada didinding sana. Sebuah potret keluarga bahagia yang seolah meledeknya.

Mengapa? Hanya satu pertanyaan itu yang melintas dipikirannya ketika melihat senyuman seseorang yang sangat ia kenal terpampang di potret itu. Ia dan pria itu sama. Apa bedanya mereka berdua sehingga takdir dan keberuntungan hanya berpihak pada seseorang yang ia panggil hyung. Ia juga seorang Kim, sama seperti kakanya. Tapi mengapa? Mengapa kebahagiaan terus mendekat pada hyungnya? Tak pernah kebahagiaan itu mendekat padanya, kecuali ia sendiri yang mengambilnya. Lalu, mengapa penderitaan tak pernah menyentuh kakaknya? Terkecuali ia sendiri yang bersusah payah untuk merekayasa kejadian agar hyungnya itu menderita. Haruskah? Haruskah ia melakukannya sekali lagi agar penderitaan jatuh pada hyungnya lagi?

Heh~ serinagian terpampang di bibirnya. Ya, ia akan melakukannya. Jangan salahkan dirinya, dan jangan tanya mengapa ia tega. Salahkan saja takdir yang tak adil, atau dewi keberuntungan yang hanya mau mendekati kakaknya. Yap, salahkan saja mereka yang begitu kejam padanya. Bukan salahnya jika melakukan kekejaman yang sama pada hyungnya kan?

"Se—"

"—dang apa aku disini? Aku hanya menjengukmu. Apa tak boleh?" ia langsung menyela apa yang hampir diucapkan hyungnya yang muncul dari tangga. Ia menatap nyalang pada pria bermata doe itu dari lantai bawah. Sejenak, ia terpana atas gerakan menutupi hidung dan mulut yang dilakukan kakaknya ketika kikikan tawa keluar dari bibir mungil yang penuh itu.

"Seorang Kim Junsu menjengukku? Rasanya aku tak percaya." Ujarnya setelah tawanya mereda. Ia beranjak menuruni tangga yang telah setengahnya ia lalui.

"Tak percaya? Mengapa?" Kim Junsu mengangkat alisnya. Begitu kakaknya menapakkan kaki dilantai yang sama dengannya, ia beranjak mengambil tempat duduk di sofa panjang yang terdapat disana.

"Dengan apa yang kau lakukan padaku dan Junnie. Apa yang bisa kupercaya darimu?" tanya pria yang kini tengah melangkahkan kakinya untuk mendekat, meski ia masih sedikit menjaga jarak.

"Bahkan kau menggunakan nama kecilku untuk memberi nama malaikat kecil itu. aku tak mengerti, mengapa kau bersikeras untuk mempertahankannya. Junsu dan Junnie, apakah itu tak terdengar sangat serasi?" tak menjawab pertanyaan dari hyungnya, Junsu malah mengatakan hal lain yang membuat kakaknya menyeringai Jengah. "Omong-omong, dimana Junnie sekarang? Kau hanya sendiri disini Jaejoong hyung? Dimana Yunho hyung?" tambahnya lagi.

"Bukan urusanmu." Jawab Jaejoong ketus.

"Aku hanya bertanya." Junsu merunduk begitu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya dia atas meja. "Kau dan kegilaanmu pada eskrim vanilla dan gajah. Bahkan kau mengoleksi patung kecil mereka. Lalu, sejak kapan kau menyukai beruang coklat?" Junsu hampir saja menyentuh beruang kecil itu jika Jaejoong tak langsung menepis tangannya. Melupakan bahwa ia terus berusaha menjaga jarak sebelumnya.

"Jangan bertanya hal-hal yang tak penting. Katakan saja alasanmu datang kemari." Ujar Jaejoong penuh dengan emosi.

"Aku? Aku hanya—"

"Suie? Kau disini?" belum selesai dengan ucapannya, suara pria yang dicintainya merasuki telinganya. Membuatnya berbalik dengan tetapa memasang wajah sumringahnya.

"Chunnie?"

Jaejoong hanya menatap pria yang sempat ia kagumi yang tengah berada pada pintu penghubung ruangan ini dengan ruang tamu utama rumah yang ditempatinya dengan Yunho kini.

"Umma memintamu segera pulang. Aku datang untuk menjemputmu." Ujar Yoochun. Sesekali ia melirik Jaejoong dengan baju hangat tipisnya didekat meja.

"Aku hanya ingin mengetahui keadaan Jaejoong hyung." Junsu merajuk. Terlihat menggemaskan jika saja dibalik itu semua ia tak menyimpan dendam yang disebabkan rasa iri berlebihnya.

"Jaejoong hyung belum terlalu sehat Suie-ya. Dan aku yakin kau mengetahuinya." Yoochun mendekati Junsu hingga tak ada lagi jarak diantara mereka. "Umma akan pergi jika kau tak segera pulang." Tambahan dari Yoochun nampaknya membuat Junsu tersentak untuk beberapa detik.

Junsu terlalu menyayangi ibunya untuk bisa membiarkan ibunya pergi dari kehidupannya. Nampaknya, ia memang harus pulang.

"Baiklah. Aku akan pulang." Junsu memasang senyuman manis yang polos pada Yoochun. Mempertahankan ekspresinya, ia menatap Jaejoong. "Hyung, kau mau mengantarku sampai bandara?" dan dengan nada suara yang manis ia mengatakannya. Sudah lama ia menjadi aktor yang hebat. Bukankah ia selalu memasang wajah polos ketika appanya memarahi Jaejoong saat Jaejoong sering berkelahi dulu? Yang tanpa diketahui sang appa bahwa perkelahian itu hanyalah untuk melindunginya. Hahaha~ Kim Junsu memang hebat. Ia bisa membalik takdir. Ia bisa membuat appanya membenci anak yang selalu melindungi anak kandungnya. Dan satu kali lagi, ia akan membalik takdir.

"Suie, nampaknya itu tak perlu. Keadaan Jaejoong hyung belum begitu pulih. " sela Yoochun.

"Yah, sayang sekali. Padahal, akan sangat lama hingga aku bisa berkunjung lagi kemari. Dan kau hyung," Junsu menunjuk Jaejoong. "Kau tak bisa datang menjengukku. Aku hanya ingin mengobrol lebih banyak denganmu." Tambahnya. Jaejoong terlihat berpikir atas ucapan Junsu. Semuanya benar, Jaejoong takkan bisa menginjakkan kakinya di Korea untuk waktu yang tak ia ketahui. Sekedar mengantar Junsu mungkin bukanlah hal yang berbahaya. Lagipula, Yoochun bersama mereka. Sekeras kepala apapun Junsu, bukankah selama ini Yoochun selalu berhasil menundukkannya?

"Baiklah. Aku mengambil pakaian hangatku dulu." Jaejoong menatap wajah Junsu beberapa saat untuk meyakinkan dirinya bahwa Junsu tak berniat macam-macam padanya. Hanya ekspresi sumringah dan ceria tanpa terlihat niat jahat yang terpasang disana meyakinkan diri akan hal itu, Jaejoong melangkah kembali kekamarnya dilantai satu tingkat diatas lantai tempat mereka berada kini.

Kehilangan sosok Jaejoong untuk objek pantulan irisnya, Junsu berbalik menatap Yoochun dengan pandangan penuh cinta.

"Chunnie-ya, apakah taksi yang mengantarmu kembali sudah pergi? Haruskah aku memesan taksi untuk mengantarkan kita?" tanyanya.

"Aku—" Yoochun menatap Junsu. Menyelidik adakah arti tertentu yang bisa ia dapatkan dari sana. "—aku akan memeriksanya." Lanjutnya ketika meyakini bahwa Junsu tak memiliki rencana lain untuk menyakiti Jaejoong. Toh sebenarnya, selama ini Junsu tak pernah melukai fisik Jaejoong secara langsung. Junsu, masih memiliki rasa sayang untuk kaka tirinya itu. hanya saha, perasaan itu tertutup oleh emosi Junsu yang belum bisa terkontrol dengan baik oleh sang empunya. Usia yang masih terlampau muda menjadi alsan yang tak bisa dibantah untuk semua itu.

Junsu memasang senyuman ceria ketika mengiringi kepergian Yoochun. Senyuman itu masih mengembang ketika ia merogoh kantungnya untuk mendapatkan ponselnya. Menekan beberapa bagian untuk memasukkan nomor dan menghubungi seseorang, entah siapa. Selesai dengan itu, ia menempelkan benda pipih itu pada telinganya. Begitu merasa mendapt jawaban, Junsu mengubah senyuman manisnya menjadi sebuah seringaian yang mnyertai ucapan satu kalimatnya.

"Aku akan tiba, lakukan sesuai rencana."

...

"Aku tak ingat melewati jalan ini ketika datang Suie." Ujar Yoochun ketika mobil taksi yang mereka tumpangi tengah melaju. Jaejoong yang tak begitu mengetahui tentang jalan di Jepang hanya menolehkan kepalanya pada jok belakang dimana adik dan iparnya berada. Perasaan was-was kembali datang pada dirinya saat ini.

"Ya, kita melewati jalan memutar sekarang. Selagi berada di Jepang, tak ada salahnya kan sedikit berkeliling?" Junsu tersenyum ceria ketika mereka melewati sebuah pertigaan. Senyuman itu menghilang dalam waktu cepat, berganti dengan sebuah seringaian yang membuat Jaejoong semakin was-was ketika melihatnya. Dan disaat yang sama, mobil itu berhenti. "Nah hyung, kau bisa turun." Ucapan tanpa dosa yang meluncur ringan dari mulut Junsu.

Mata doe Jaejoong membulat diikuti ekspresi penuh kekagetan dari Yoochun. Mengapa? Ini bukan bandara kan? Ini sebuah jalan yang bahkan terlihat sangan sepi. Tapi,

"Mengapa harus turun disini?" tanyanya bingung. Kembali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui jawaban dan ekspresi yang dikeluarkan oleh Junsu.

"Aku," Junsu memasang ekspresi tanpa dosa, lagi-lagi. "Hanya tak yakin. Jika kau mengantar kami sampai ke bandara, aku takut aku akan menyeretmu untuk kembali pulang." Tambahnya.

Tidak! Jaejoong tak mau kembali ke Korea. Kembali ke Korea sama artinya dengan memulai kembali perdebatan mengenai hak asuh Junnie. Ia dan Yunho adalah orang tua kandung Heojun dan anak itu akan lebih bahagia jika bersama mereka. Lagipula, perdebatan itu akan membuat Heojun bingung. Akan menjadi pengaruh yang tidak baik untuk perkembangan putranya itu. Lebih baik ia memang turun saja, menuruti saran Junsu sebelum adiknya itu bertingkah nekat.

Jaejoong membenarkan posisi syal yang melingkari lehernya. Sekali lagi ia menoleh kebelakang untuk melihat adik dan iparnya sebelum membuka pintu mobil disampingnya.

"Terima kasih kau mau mengantar kami hyung." Ujar Yoochun ketika Jaejoong keluar dari mobil. Pria tampan itu sedikit lega karena sampai saat ini Junsu tak melakukan hal yang aneh. Err~ apakah ia terlalu cepat merasa lega? Karena tanpa disadarinya, Junsu ternyata ikut keluar dari mobilnya. "Su, kau mau apa?" ujarnya.

"Aku hanya ingin mengucapkan perpisahan. Sebentar ya, Chunnie." Ujar Junsu yang tengah melangkah mendekati Jaejoong. Yoochun memperhatikan Junsu dari dalam mobil. Mungkin tak apa jika Junsu hanya ingin mengucapkan salam perpisahan. Toh ssampai saat ini pria itu tak melakukan hal-hal yang kejam.

Jaejoong yang sayup mendengar ucapan pelan Junsu menghentikan langkahnya. Matanya melihat Junsu lekat-lekat.

"Hyung," Junsu membuka suara. Seringaian telah bertengger apik dibibirnya. Membuat Jaejoong hampir menyatukan alisnya karena bingung. "Aku hargai keputusanmu untuk mempertahankan Junnie. Aku sungguh tak mengetahui, itu hal baik atau tidak untukmu hyung. Ada kemungkinan kau bisa memiliki putra kedua dari keadaan tubuhmu. Maka, aku berpikir mungkin bukan masalah besar jika meminta putra pertamamu. Karena kau tahu hyung, aku tak bisa sepertimu." Junsu mengusap perutnya dengan nada sedih disini.

"Tap—"

"Aku tahu, tapi keputusanmu membuatku menderita. Karenanya hyung~" oke, Kini Jaejoong was-was ketika menunggu lanjutan kata untuk kalimat Junsu. Sama halnya dengan pria yang kini berada dalam mobil taksi. Yoochun merasa ini mulai berbahaya. Jadi ia memutuskan untuk menyusul Junsu. "Akan ku buat kau menderita, sangat-sangat menderita." Bukan hanya seringai itu yang membuat tubuh Jaejoong bergetar takut. Kalimat terakhir yang diucapkan adiknyapun berpengaruh besar. Seringaian itu tak sama seperti ketika Junsu membuat orang kesal untuk kemudian membuat sebuah keributan dalam sebuah perkelahian. Dimana Jaejoong yang mengetahui Junsu tak bisa berkelahi akan datang dan menggantikannya berkelahi. Lalu, appa mereka akan memarahi Jaejoong tanpa mengetahui apa alasan Jaejoong berkelahi. Jaejoong tahu, rencana Junsu kali ini bukanlah rencana remeh seperti waktu lalu.

"Suie, sudahlah. Kita harus cepat sebelum umma marah." Yoochun segera menggandeng Junsu dan menarik pria itu lembut kearah mobil taksi yang tengah terparkir dimulut jalan buntu ini. Tanpa perlawanan berarti. Pria itu kembali masuk diikuti oleh pria yang telah memliki ikatan dengannya.

"Mianhe hyung. Kami pulang dulu." Ujar Yoochun melalu jendela mobil ketika kendaraan itu mulai melaju. Meninggalkannya sendirian. Yoochun menarik napas lega ketika menyadari Junsu tak berusaha lebih dari ancaman yang ditujukan untuk Jaejoong. Ya, mungkin ia bisa lega. Karena ia jelas tak mengetahui jika pria manis disampinya tengah menekan beberapa bagian di layar ponselnya demi mengirimkan sebuah kata 'lakukan!' entah pada siapa.

Jaejoong menghela napasnya perlahan ketika mobil yang ditumpangi saudara tirinya tak nampak lagi dimatanya. Namun ia merasa keheningan dan suasan sepi didaerah tempatnya berada bukanlah hal yang baik. Tapi, berjalan tak tentu arah bukankah hanya akan menghabiskan tenaganya saja. Apalagi keadaan tubuhnya yang belum begitu baik setelah operasi kelahiran Junnie.

Err~ iapun tak bisa bertanya pada segerombol orang yang datang padanya. Mengapa tak bisa? Tentu saja tak bisa, mana bisa ia bertanya pada pria-pria yang memasang wajah tak ramah. Lagipula penampilan mereka terlihat seperti brandal saja.

He-hei! Apa masalah mereka? Tiba-tiba memukuli Jaejoong? ugh! Jaejoong kan baru tiba beberapa hari disini. Iapun tak pernah membuat masalah. Argh! Jangan perutnya! Jahitan bekas operasinya bisa—hhh~ darah. Darahnya keluar dari sana. Sudah dibilang jangan menendang atau memukuli perutnya kan? Tapi, Ukh! Bukan berarti memukul kepalanya diperbolehkan tahu.

Jaejoong merasa kepalanya berat setelah sentuhan keras dan berulang dibagian sana. Ia merasakan tubuhnya meringan, ia merasa bisa terbang. Ukh! Apakah ini karena ia akan mati? Tidak, Yunho dan Junnie pasti sudah pulang dari pengecekan kesehatan putranya itu. Mereka akan panik karena tak menemukannya di rumah. Tuhan~ sungguh. Jaejoong tak ingin mati. Ia boleh saja merasa terbang, tapi ia harus kembali kebumi. Ia ingin kembali kerumahnya. Meski itu terasa, uh~ menyakitkan dan gelap.

...

"A—kau sudah bangun? Chagi-yaaa~ kemarilah. Ia sudah siuman!" hanya sebuah teriakan dari pria manis yang tak dikenalnya yang bisa ia dengar ketika pertama kali membuka mata setelah beberapa kali mengerjapkan matanya untuk bisa menyesuaikan cahaya yang menerobos masuk dalam indaranya tersebut.

"Ukh!" dan tentu saja, jangan lupakan sakit yang terasa diseluruh bagian tubuhnya. Terutama kepalanya.

"Kami sudah memanggil dokter untuk mengobatimu. Dokter mengatakan hanya menunggu penyembuhan dan kau harus beberapa kali mengontrolnya kerumah sakit." Ucap pria itu ketika dengan kedua tangannya sedikit menahan gerakan Jaejoong yang hendak mengubah posisinya.

Seorang pria berlesung pipi menghampiri penglihatannya setelah itu. Pria itu tersenyum dengan sangat tampan. Tak sepenuhnya tertuju padanya, karena ia mengetahui jika pria itu sering kali lebih memokuskan perhatiannya pada pria yang terlihat lebih kecil darinya itu.

"Jangan memaksakan dirimu. Istirahatlah." Dan suara itu, membuatnya berhenti berusaha untuk duduk.

"Iya. Berbaringlah." Pria yang pertama ia lihat menepuk pelan tangannya. "Ah, ya. Aku Kim Kibum. Dan dia Choi Siwon. Siapa namamu? Kami belum menghubungi keluargamu, karena kami tak tahu apapun tentangmu." Kim Kibum mengerutkan bibirnya.

"Tak apa, terima kasih telah menolongku. Namaku. Nama—aku tak ingat namaku." Ujarnya dengan wajah bingung. Siapa yang tak bingung jika berhadapan dengan situasi ini. Ia bisa mengerti bahasa yang digunakan Kibum dan bahkan menggunakannya. Tapi namanya, ia... tak bisa.

Kibum menatap Siwon yang sedang mengerutkan dahinya pasrah.

.

"Hyung, aku lupa membawa dompetku. Bisakah kau kemari dan membawa uang untuk kami?" sayup, Jaejoong mendengar Kibum bicara melalui ponselnya. Sebenarnya, ada yang salah dengan ucapan pria itu. Sebenarnya, uang itu bukan untuk mereka atau kami yang disebutkan Kibum. Uang itu untuk biaya pengecekan keadaannya. Ha~ ia terlalu banyak merepotkan Kibum dan Siwon. Ia harus melakukan sesuatu setelah ini. Toh keadaannya hampir pulih. Ia hanya, harus bekerja. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan meski tanpa ingatan. Benar kan?

.

"Jejung-ah?!" sebuah seruan yang beradu dengan pertanyaan menghampiri pendengarannya. Ia tahu, ia dan Kibum sama-sama memasang wajah bingung sekarang. Pria yang akan menjadi bossnya jika ia benar-benar bekerja melalui rekomendasi Kibum itu memanggil siapa? Okey, lupakan fakta bahwa pria itu terlihat kaget. Karena dua pria lainnya tak ada yang menyadari hal itu.

"Boss?"

"Duduklah dulu." Belum selesai Kibum mengucapkan pertanyaan yang hadir dalam benaknya, pria bermata tajam itu segera mempersilahkan mereka masuk.

"Kau memutuskan pindah rumah bos?" Kibum mengedarkan pandangannya pada rumah yang terlihat tak terlalu besar dengan gaya modern itu.

"Ya, kantor terasa dekat dari sini. Aku bisa pulang dengan cepat untuk menemui putraku." Pria berwajah kecil itu tersenyum pada Kibum. "Diakah orang yang kau ceritakan Bummie?" Tambahnya lagi ketika menelusuri tubuh pria disamping Kibum secara mendetail dengan matanya. Dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

"Iya, hehehe~ seperti yang kuceritakan padamu. Keadaannya belum begitu baik, tapi kau bisa memperkerjakannya untuk pekerjaan apapun." Kibum menepuk-nepuk pria disampingnya.

"Baiklah, aku Jung Yunho! Siapa namamu?" Yunho mengabaikan Kibum sementara ini, karena perhatian dan matanya sedang sibuk menelaah pria bermata besar dihadapannya.

"A—" nama ya? ia belum pernah memikirkan itu, karena Untuk Kibum dan Siwon, itu tak menjadi masalah. Ia melihat kearah Kibum, memohon sedikit bantuan dari pria itu.

"Err~ boss. Jika kau ingat, aku pernah mengatakan bahwa dia kehilangan memorinya. Lalu, siapa Jejung yang kau panggil tadi?" dengan sigap Kibum memberi apa yang ia butuhkan. Ah, ia sangat bersyukur. Seseorang yang menolongnya adalah Kibum.

"Jaejoong yah? Dia penyanyi terkenal kesukaanku. Terlalu lama berada di Jepang membuatmu ketinggalan tentang Korea eh?" Kilah Yunho. "Jika aku tak salah melihat, wajah mereka sangat mirip. "Ah ya, bagaimana kalau namamu Jaejoong saja, mulai sekarang." Usul Yunho. Ia menatap Kibum dan pria yang dibawa sekretarisnya itu bergantian.

"Hum~ iya. Bagaimana?" Kibum menatapnya setelah menganggukkan kepala mendengar usulan Yunho. "Lagipula, kami lelah memanggilmu 'hei'."

"Baiklah, aku tak masalah."

"Oke, mulai hari ini namamu adalah Kim Jaejoong." kekeke~ nampaknya ada yang keceplosan disini. Membuat Kibum mengerutkan dahinya bingung.

"Kim Jejung? Hei boss, kau sudah mengambil nama orang seenaknya, sekarang memberinya marga juga seenaknya!" rasanya, Kibum sedikit tak terima. Bagaimanapun, Jejung pasti memiliki nama keluarga. Meski ia kehilangan ingatan akan nama adanya marganya, mana boleh Yunho memutuskan begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Well, alasan yang jelas ya? Nampaknya Kibum terlalu cepat mengambil pemikiran tersebut. Karena Yunho, pria itu terlihat tak setuju dengan pendapat Kibum. Lihat saja jari telunjuk yang digoyangkannya itu.

"Nah, begini." Yunho mengambil buku memo serta pen yang terdapat disamping telepon rumahnya. Ia menuliskan nama Jejung dalam huruf hangul. Dan disamping tulisan Jaejoong itu, ia menggambar asal seorang manusia absurd. Ia menarik garis dan membuatnya menjadi tanda panah pada tulisan Kim yang selanjutnya ia tulis. "Jaejoong adalah namanya, Kim adalah marganya. Bagaimana bisa aku memutuskan seperti itu? aku mengambil margamu Kim, Kibum. Bukankah kau bilang kau yang menemukannya?" jelas Yunho.

Kibum mengangguk pelan dan Kim Jaejoong, yang akhirnya memiliki nama bar—kurang cocok bila disebut memilki nama baru. Tapi, katakanlah begitu sekarang. Ia begitu semangat menganggukkan kepalanya. Karena akhirnnya~ ia memiliki sebuah nama.

"Ara. Kutitipkan Jaejoong padamu mulai sekarang. Jangan memberinya pekerjaan yang aneh-aneh oke? Jika kau berani macam-macam. Siwon akan memenjarakanmu." Ancaman Kibum membuat Jaejoong terkekeh. Kibum begitu peduli padanya, saat ini. Ia bisa merasakan hal itu.

"Tidak macam-macam. Hanya satu macam, menjadi mommy untuk Junnie." He? Mommy?

"Mommy? Kau ingin menikahi Jaejoong?!" kaget Kibum.

"Maksudku, pengasuh. Bukankah di Amerika pengasuh terkenal dengan sebutan mommy?" oh. Kibum ingin melempar kepala Yunho rasanya. Kalau saja ia bukan bossnya, sudah Kibum tendang Jauh-jauh. Mommy memang suka mengasuh. Tapi, hanya mengasuh putranya sendiri, bukan putra milik orang lain.

"Itu Nanny bos. Bukan Mommy oke? Terdengar mirip. Tapi itu berbeda."

"Baiklah, apapun itu. Yang penting ia akan mengasuh Heojun. Karena seperti yang kau ketahui Kibum, Mommy milik putraku tak lagi bersamanya." Entah apa maksudnya, Jaejoong tak begitu mengerti. Hanya saja, ia bertekad akan menyayangi anak asuhnya sepenuh hati. Yunho pun terlihat baik. Ia merasa akan bekerja di tempat yang tepat.

-oOo-

'Begitu?' matanya yang tertutup mulai mengerjap. Telinganya berfungsi dengan baik meski ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Sedikit banyak, ia mulai mengetahui alasan dari semua hal yang dilaluinya selama ini. Sedikit banyak, Jaejoong mulai mengerti mengapa Yunho memendam kebenaran yang seharusnya mudah untuk dikatakan. Tapi, pria itu malah menyimpannya dan membuat banyak kesalahpahaman mulai terjadi.

"Junnie~" ucapnya pelan, kepalanya masih terasa sangat berat. Namun ia sungguh ingin memeluk putra kecil yang dilupakannya selama ini.

Lirihan yang lolos dari mulut Jaejoong bisa terdengar oleh Yunho yang sedang duduk di tepian ranjang rumah sakit ini. Pria itu langsung memeluk erat Jaejoong ketika melihat mata doe itu terbuka.

"Kau sudah sadar sayang?" tanya Yunho pelan, ia terus mengecupi pucuk kepala Jaejoong.

"Junnie Yun?" Jaejoong kembali menanyakan Heojun.

"Dia bersamaku." Rasanya bukan suara yang asing untuk Jaejoong. Masih dalam pelukan Yunho, pria itu menolehkan kepalnya perlahan.

"Junsu?" ne? Junnie bersama Junsu? Kim Junsu? Pria yang menginginkan putranya?"

"Mommy~!" seru Heojun yang tengah menggenggam, atau digenggam oleh Junsu. "Ano, Jussi. Junnie mau peluk Mommy." Bocah itu menggoyangkan tangannya yang bertaut dengan Junsu.

"Ara." Junsu melepas pegangannya pada Heojun, membiarkan anak itu berlari ke arah ranjang dimana Jaejoong dan Yunho berada,

"Ukh! Junnie tidak bisa naik papa." Rajuk Heojun setelah beberapa kali gagal menaiki ranjang Jaejoong. Mengundang tawa dari kedua orang tuanya.

"Sayang sekali. Jadi, kali ini biar papa saja yang memeluk mommy ne? Junnie tidak usah." Ucap Yunho seraya menempel-nempelkan tubuhnya dengan tubuh Jaejoong dengan sengaja.

Bocah itu mengerutkan bibirnya kesal. Matanya berkeliling pada Kibum dan Changmin yang sedang duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Kim Jussi, bantu Junnie." Heojun mengangkat dua tangannya kedepan, sejajar dengan dadanya. Sedangkan yang dimintai tolong hanya terkikik geli. Menyebalkan~ "Min hyung!" hehehe, Heojun kan bisa menyuap pria jangkung yang ingin sekali dipanggil dengan panggilan yang dipakainya barusan. Pria itu masti mau menolongnya jika begitu. Hehehe~

Ah tapi, Changmin memang senang mendapat panggilan hyung dari Junnie. Sayangnya, melihat rajukan dari bocah itu mengalahkan rasa senangnya ketika mendapat panggilan yang diidam-idamkannya itu. Hoe~ baiiiiik, Heojun mau ngambek saja.

"Sini, papa yang bantu." Yunho bangkit dari posisinya ketika matanya melihat bocah itu lebih memajukan bibir yang sudah ia kerutkan itu. Apalagi dengan tangan yang terlipat didepan dada sebagai penanda jika bocah itu memulai sesi ngambeknya. Ia mengangkat Heojun untuk sampai pada pangkuan sang mommy.

"Ehehe~" tawa ceria terdengar dari mulut manis itu ketika ia berhasil memonopoli pelukan Jaejoong. Membuat Jaejoong ikut serta dalam keceriaan yang dibawa putranya dalam sekejap. Ya, sekejap. Karena pada detik selanjutnya, dengan Heojun dalam pelukannya, ia melihat adiknya yang tengah berdiri diambang pintu dengan was-was. Untuk apa pria itu disini?

"Nah, Kibum hyung. Terima kasih atas informasimu. Aku sangat merindukan kakakku. Yunho hyung tak memberi tahu padaku. Tanpa info darimu, aku pasti belum melihat kakakku." Junsu mengerutkan bibirnya bersamaan dengan waktu Heojun melepaskan pelukannya pada Jaejoong. Bocah itu mengecup pipi kanan Jaejoong, berlanjut pada pipi kirinya, disusul ujung hidung mancungnya dan saat terakhir, putranya itu menyatukan bibir mereka dalam sebuah kecupan.

"Junnie sayang mommy. Sarangiii~" ucapnya setelah menyelesaikan kecupannya. Tak berselang lama setelah bibir Heojun mengatup, bocah itu turun dari ranjang Jaejoong. Melangkahkan kakinya untuk kembali menautkan tangannya dengan, Junsu?

"Akan kubawa Junnie bersamaku hyung. Ini giliran untukku." Ucapnya dengan lancar. Matanya mengarah pada Jaejoong dengan senyuman tipis. Tangannya terangkat ke depan, sejajar dengan dada ketika ia mulai mengatakan, "Junnie, bagaimana jika jussie gendong Junnie saja?"

Jaejoong menggelengkan kepalanya, tidak! Tidak! Tidak boleh! Junnie jangan sampai ikut Junsu, Jaejoong takkan rela. Junnienya sayang padanya, ia percaya itu. Junnienya takkan mau berpisah dengannya hanya karena ajakan dari Junsu kan? Jaejoong akan mendahului Junsu, ia yang akan menggendong Junnie, bukan Junsu.

Jaejoong menurunkan kakinya dari ranjang, ia berniat berlari sekencang-kencangnya menuju Heojun. takkan ia biarkan Junsu menyentuh Heojun sedikit pu—

"Akh!" sial, sial! Kemana tenaganya saat ia membutuhkannya? Mengapa ia harus terjatuh dengan lemahnya saat ia harus mempertahankan Heojun. Apa pula yang dipikirkan Yunho? Mengapa ia lebih memilih menahan tubuh Jaejoong dibanding mempertahankan Heojun?

"Nah, kami pergi." ucap Junsu setelah kembali berdiri tegak, kali ini dengan Heojun dalam dekapannya. Ia kembali tersenyum sebelum berbalik dan melangkahkan kakinya.

Klep!

Pintu tertutup dan hening berkuasa.

Jaejoong, dengan wajah paniknya menatap tiga orang yang tertinggal diruangan yang sama. Kepanikan yang melandanya bahkan membuat air matanya menyeruak minta keluar. Dan apa? Changmin disini, Kibum disini, Yunho disini. Mengapa mereka tak melakukan apapun untuk menahan Junsu? Mengapa bisa?! Mereka membiarkan ia, ia kehilangan Heojun. Putra yang baru saja bisa ia rengkuh kembali tanpa kebingungan. Apa yang sebenarnya mereka lakukan, hiks.

...

Anyeoooong~ chapter akhir datang :3 kekeke~ akhirnya, ayam fri! *slap* terlihat terburu-buru kah? Hehe gomen ya, jika ia. Tapi kalo di perpanjang nanti mengular seperti ular. Makanya, aku putusin seperti ini aja dah.

Err~ aku salah prediksi. Ternyata om lapangan golf nggak muncul disini. Cuma di flashback itu mah. Cuma baby Junnie yang muncul hehehe~ *peluk-peluk baby Junnie* nggak lagi-lagi ah bikin Junnie jadi antagonis. Gx tega deh. Betewe, ada yang bingung nggak sama yang diatas. Aku nggak kasih tanda di flashbacknya, tapi pasti pada ngerti dong? Kalo nggak ngerti, baca ulang aja lagi *digetok*

Yang rikues YunJae Chibi Fanfiction, insya Allah aku bikinin. Meski yang sweet-sweet ambigu aja kali yah. Aku nggak bisa memposisikan diri sebagai anak kecil yang omongannya bener-bener ngejeblak secara yadong soalnya. Jadi nggak dapet mood maupun feel deh. Tapi, kalo yang omongannya mengarah, bolehlah.

Nah, ucapan terima kasih yang tulus dari aku untuk:

Kyute EvilMagnae, Cho hyuka, Kakkaichi, js-si, Babycuttie, Reysa J,

Kasiy Yunjae, blackwhite28, Julie Namikaze, D'Dark Queen of Blackfox, QueenDeeBeauty,

Mitsuki Hana, Zira, Boenita, gery miku, irengiovanny, sicca nicky,

Meirah.1111, yjs, KokkiBear, Evil Thieves, desi2121, , Someone, Chan Nuriza,

Aoi ao, KimShippo, Guest #1, mrshelmet, EMPEROR-NUNEO, alint2709,

Guest #2, sycarp, cax, bbb, gdtop,dreani, Haku Miura, Himawari Ezuki, ,

KimYcha Kyuu, Guest #3, Riestha-tita, NaraYuuki, Trililililil, JennyChan,

Guest #4, nope6002, mimi, KID, Griffo205, Cho Min Gi, noviuknow, BooMilikbear, Guest #5,

nabratz, vianashim, Angel Muaffi, Guest #6, ghoticlolita89, Guest #7,

christty, Gyujiji, 3kjj, PhantoMiRotiC, Casshiper Jung, Girrafe, huijiae, riska0122, ifa. ,

iasshine, Jung Jaema, missjelek, geelovekorea, Rara, Aizora, Anik0405,

nunoel31, CuteCat88, Garrife, meow, asdbsk, zhe, Dennis Park, Punki ningtyas, Yuusan90,

nanajunsu, zoldyk, hanasukie, JejeKyu Red Saphire, fheeyj, Vivi,

Willow Aje Kim dan Taeri Park.

Juga bagi para silent reader yang bikin aku terbang, serta Nayuka :3 yang meski nggak baca ff yang ini tapi terus kasih supportnyata buat aku. Nah, love you and thanks for all.

Uh, untuk masalah yang masih agak nggantung, ChangKyu misalnya. Mungkin aku bakal bikin side storynya di waktu mendatang, insya Allah. Kalo mood dan kesempatannya ada. Nah, akhir kata~ O-Cyozora mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya.

...

"Jae-yah, sebaiknya kau kembali ke kasurmu." Yunho menyadarkan Jaejoong dari keterdiamannya. Pria itu membantu Jaejoong berdiri perlahan, namun dengan enggan Jaejoong menurutinya. Bahkan Jaejoong melepaskan tangan Yunho yang menyentuh tubuhnya dengan kasar. Membuat suaminya itu mengerutkan dahinya.

"Jangan sentuh, aku bisa melakukannya sendiri." Ucapnya ketus. Perlahan, ia mendudukkan dirinya dengan bibir yang tertarik dalam sebuah garis melengkung layaknya gunung.

"Aku hanya ingin membantumu." Ujar Yunho tak ambil pusing.

"Mengapa kau membantuku untuk hal sepele yang bisa kulakukan sendiri? Sedangkan kau tak melakukan apa-apa ketika Kim Junsu mengambil putraku!" teriaknya kesal. Matanya yang sudah enggan untuk menatap Yunho memanas, apalagi jika ia memikirkan kenyataan bahwa ia kehilangan putranya.

"Itu, tak apa sayang."

"Tak apa bagaimana?! Junsu mengambil putraku kau tahu! Kau sudah tak menyayangi Heojun eoh?" Tuduh Jaejoong. Tuduhan yang membuat Yunho terkesiap. Bagaimana mungkin ia tak lagi menyayangi Heojun? Jaejoong terlalu seenaknya berpikir.

Sebenarnya bukan Jaejoong yang terlalu seenaknya berpikir sih. Yunho saja yang terlalu hobi membuat orang salah paham. Lihat, Kibum saja berpikir seperti itu.

"Jae—"

"Sudahlah, tinggalkan aku sendiri. Aku tak butuh orang-orang yang membiarkan aku kehilangan putraku." Ha-ha, Jaejoong membuat tiga pria selain dirinya merasa tak enak hati.

"Jae, Junnie bukan hanya putramu. Ia juga putraku."

"Mana ada seorang ayah yang membiarkan putranya diambil begitu saja." Balas Jaejoong dengan sengit, membiarkan Changmin dan Kibum ingin mengambil popcorn untuk menemani mereka menonton adegan ini.

"Hei, Jae~ kata-katamu sedikit membuatku tersinggung." Yunho mendudukkan diri di samping Jaejoong, membuat posisi mereka berhadapan satu sama lain. "Kau terlalu khawatir."

"Khawat—" balasan ketus yang akan dikeluarkan Jaejoong terpotong saat hendak menatap Yunho dengan garang. Penyebabnya tak lain senyuman menyejukkan yang tersungging dibibir pria itu.

"Junnie hanya berkunjung ke Korea, atau bisa juga pulang ke Korea. Banyak yang merindukannya disana, sayang." Yunho mengusap lembut pipi Jaejoong. "Kita akan menyusulnya nanti. Jika kesehatannmu sudah kembali."

"Jadi?" mata besarnya tak berkedip, tunggu sebentar. Ini maksudnya, ia tak kehilangan Heojun kan? Kalau ia bisa menyusul Heojun, artinya—

"Yap, Kita akan membesarkan Heojun disana, dengan bantuan ahjussi dan halmoninya. Perusahaan disini biar Changmin yang mengurusnya. Kita akan pulang." Hooo~ jadi saat ia tak adarkan diri banyak yang terjadi? Junsu telah mengerti? Ia tak lagi bertindak sesuai emosi? Ahhhh~ ini kabar baik.

Err~ nampaknya, yang tidak baik hanya pria jangkung yang tengah mengerutkan bibirnya didekat Kibum saja. Heheh~ bergantian menjadikan Jepang sebagai rumah tinggal kan tak apa Min. Apalagi jika hubunganmu dengan Kyuhyun akan terus membaik.

"A-aku sudah sehat, ayo!" Jaejoong terlalu semangat untuk kembali menemui putranya yang dibawa Junsu beberapa saat lalu. Melupakan ia pernah kehilangan tenaga belum lama ini, ia kembali beranjak, hendak melangkahkan kakinya untuk turun dari ranjang. Memang dasar tenaga Heronya yang belum kembali, langkahnya kembali ciut. Hampir saja ia kembali jatuh jika Yunho lagi-lagi tidak menahannya.

"Hei," Yunho membaringkan Jaejoong. Membuat pria itu setengah berbaring dengan beberapa bantal yang menahan kepalanya. "Kubilang, pulihkan dulu tenagamu, kembalikan kesehatanmu. Meski kau belum mengingat tentang kami, jangan terlalu memaksakan diri. Karena yang aku dan Junnie butuhkan adalah Jung Jaejoong yang sehat, meski tanpa ingatan." Senyuman khas milik Yunho setia bertengger dibibir tebal pria itu. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya untuk mengecup dahi Jaejoong. Membuat pria bermata besar itu menutup matanya. "Lagipula, jika kau sehat. Akan sangat mudah untuk menghadirkan adik untuk Junnie." Lanjutnya seraya mengusap nakal perut Jaejoong.

He? Adik untuk Junnie. Sebentar-sebentar, Jaejoong merasakan panas melingkupi wajahnya ketika memikirkan malam dimana ia memadu dengan Yunho. Benarkan? Jika ingin menghadirkan adik untuk Heojun, maka ia dan Yunho akan melakukan itu, ia, ia akan di rasuki. Lagi.

Aih~ merah yang manis sudah pasti menjadi dugaan Jaejoong untuk keadaan wajahnya, karenanya tangannya bergerak cepat untuk menutupi sebagian wajah pada bagian mulut dan hidungnya. Walaupun, sebenarnya itu tak ada gunanya, karena Yunho sudah terlanjur melihat semburat yang mengingatkannya akan warna apel matang.

Jaejoong tak pernah berubah, ia selalu memiliki sisi manis yang membuat Yunho ingin selalu mengecupnya.

"Uhuk!" suara batuk? Ya. sayang hanya batuk yang dibuat-buat. Dari siapa? Tentu saja pria bermarga Kim yang kembali merasa jengah. Hei~! Ia dan Changmin berada disini. Yunho dan Jaejoong buta ya? Seharusnya cari tempat yang memungkinkan jika mau bermesra—"Min, sebaiknya kita keluar saja." Sebenarnya tempatnya sudah tepat, hanya keberadaan dirinya dan Changmin saja yang membuatnya kurang tepat. Baiiiik~ obat nyamuk akan menyingkir.

-END-