Warnings: suggestive language and M/M action (finally, ne?) dan saya membuat Alcatraz Island masih dipakai sebagai penjara federal dan bukannya bekas penjara atau tempat wisata sejarah seperti saat ini ^^a
Chapter 12 — Separation
Yilan, unknown time.
Ruangan yang ditempatinya hanyalah sebuah ruang dengan dinding batu berukuran kecil. Hanya terdapat sebuah pintu di salah satu sisi ruangan dan sebuah jendela yang dipasangi jeruji besi. Tidak ada apapun selain sebuah tempat tidur usang dan kursi di sana. Ruangan itu lebih mirip seperti penjara daripada sebuah kamar seperti yang dikatakan penjaga di luar pintu ruangan tersebut.
Ia yang pernah berada di dalam keadaan yang lebih buruk dari ini tentu saja tidak terlalu memikirkannya. Sebelum ini, ia bahkan pernah disekap di sebuah tempat tanpa penerangan apapun. Setidaknya di sini ia tidak perlu mencium bau busuk dari tubuh-tubuh tidak bernyawa atau aroma menyengat dari parit yang kotor. Di tempat ini ia bahkan diberikan makanan yang layak tiga kali sehari. Well, tentu saja ia tidak bisa mengatakan dikurung di ruangan sempit ini adalah sesuatu yang baik.
Memikirkan hal itu, Sakura menghela napas panjang. Ia tidak ingat sudah berapa lama dirinya berada di sini. Beruntung sekali ia masih bisa bertahan dan tidak menjadi gila dengan terus menerus terkurung tanpa pernah menghirup udara segar. Satu-satunya hiburannya di tempat ini hanyalah suara gelak tawa dari sekumpulan anak yang didengarnya melalui jendela berjeruji di atas kepalanya.
"Waktunya makan malam, Sakura-chan."
Sepasang iris hijaunya menatap tajam sosok Sai yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu yang tertutup rapat dengan sebuah tampan yang berisi sepiring makanan dan air putih. Dengan cepat ia mengalihkan pandangan ke dinding batu ketika laki-laki berkulit pucat itu meletakkan nampan tersebut di atas kursi. Seperti hari-hari biasanya, Sakura akan memilih untuk mengabaikan keberadaan Sai. Ia juga berpura-pura tidak mendengar ketika laki-laki itu mengajaknya berbicara.
"Bagaimana kabarmu?" Sai bertanya. Sebuah senyum palsu terukir di wajah mantan rekan kerjanya. "Aku yakin kau pasti bosan berada di tempat ini. Bukan begitu, Sakura-chan?"
Sakura mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Ia tahu bahwa tubuhnya menegang ketika menyadari Sai mendudukkan diri tidak jauh darinya.
"Apa yang kauharapkan? Ini tidak terlihat seperti aku punya pilihan lain yang membuatku tidak merasa bosan, bukan?" ujarnya tanpa menatap laki-laki di sampingnya. "Aku hanya heran mengapa sampai sekarang kau tidak membunuhku, Sai? Kau pasti tahu bahwa aku sama sekali tidak berguna untukmu."
Tapi bukannya menjawab, laki-laki berkulit pucat itu hanya tertawa pelan; membuatnya mengernyit dan menahan diri untuk tidak memandang Sai. Sakura menggeretakkan giginya ketika tawa Sai tidak juga mereda. Jika saja memiliki persenjataan, tentu ia tidak perlu mendengar tawa itu untuk selamanya.
"Kau memandang terlalu rendah dirimu," bisik Sai yang tiba-tiba saja bernada serius. Lewat sudut matanya, ia bisa melihat Sai memandang ke arah pintu ruangan seperti untuk memastikan tidak akan ada yang menginterupsi pembicaraan mereka. "Sejak pertama aku memang tidak berniat untuk membunuhmu. Bagaimanapun juga, kau masih berguna di mataku."
Hah! Sakura sungguh ingin tertawa. Di tempat ini, ia sama sekali tidak berguna bagi siapapun. Membuatnya tertangkap oleh orang yang ia kira sudah mati adalah kesalahan terbesarnya. Ia merasa gagal menjadi seorang FBI karena terjebak dengan mudah oleh topeng yang dipakai Sai. Ia merasa tidak berguna karena tidak bisa melarikan diri dari tempat ini.
Apakah Hyuuga Hinata baik-baik saja? Pemikiran seperti itu terlintas di benaknya ketika menyadari bahwa dirinya tidak tahu mengenai keadaan sang Hyuuga. Apa gadis itu bisa menemui Kakashi untuk menyampaikan bahwa Sai masih hidup dan selama ini mempunyai hubungan dengan Shimura Danzō? Apakah Kakashi menerima ponsel yang dititipkannya kepada Hyuuga Hinata?
Sakura sungguh berharap mengetahui jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan itu.
"... Kau bekerja untuk Danzō, bukan? Mengapa kau bergabung dengan FBI?" Sakura tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak bertanya ketika menyadari Sai yang mulai beranjak dari tempat tidur usangnya. Mendengar pertanyaan tersebut, Sai terdiam di tempat. "Apa untuk memata-matai pergerakan FBI? Atau untuk—"
"Aku punya alasan tersendiri, Sakura-chan," Sai terlebih dahulu memotong sembari menyunggingkan senyum yang sama di wajah pucatnya. Sepasang iris gelapnya melirik sekilas ke arah Sakura dari balik bahu. "Dan apapun alasan itu, kurasa kau lebih baik tidak tahu."
"Tapi aku bisa menduga bahwa alasanmu bergabung dengan tim kami di FBI bukanlah untuk membunuh kami, bukan?" Sai tidak mengatakan apapun dan hanya melirik sekilas ke arah wanita berambut merah jambu di belakangnya.
"Jika alasanmu bergabung dengan FBI adalah untuk menghalangi penyelidikan kami terhadap Danzō, kau pasti tidak segan-segan untuk melenyapkan keberadaan kami," Sakura berkata dengan nada suara yang meyakinkan. "Kau mempunyai banyak sekali kesempatan untuk melakukan hal itu mengingat Naruto dan aku menghabiskan sebagian besar waktu bersamamu. Kau juga punya kesempatan besar untuk membunuh Naruto ketika melaksanakan ide Kakashi yang ingin memalsukan kematian Naruto. Tapi kau tidak membunuh Naruto, bukan? Dan jika aku kembali mengingat apa yang terjadi saat pengeboman di tempat tinggal kita sebelumnya, kau seperti mengulur waktu agar aku tidak kembali ke tempat itu sebelum bom meledak. Kau seolah-olah ingin aku tidak kembali ke tempat itu."
Selama beberapa saat, Sai tidak mengatakan sepatah katapun. Ditatapnya wanita itu dengan sepasang iris oniksnya yang tidak memperlihatkan ekspresi apapun sebelum senyum dingin tersungging di wajah pucatnya.
Sai memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Sakura. Mengabaikan pandangan yang diberikan wanita itu, ia beranjak meninggalkan ruangan tersebut, menutup pintu besi di belakangnya dan menganggukkan kepala kepada dua pria bertubuh besar yang menjaga pintu itu.
Mengapa ia tidak membunuh Naruto? Mengapa sampai sekarang ia hanya menyekap Sakura tanpa melakukan apapun kepada wanita itu?
Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Ketika Danzō menyuruhnya untuk bergabung di Tim Kakashi, laki-laki itu sudah mengatakan dengan jelas ia boleh membunuh jika saja ketiga agen FBI itu menghalangi rencana yang sudah disusun Danzō sebelumnya. Ia diperbolehkan melakukan hal itu karena pada dasarnya 'membunuh' adalah alasan utama mengapa Danzō membesarkannya. Ia dibesarkan untuk menjadi seorang pembunuh bayaran dan membunuh dengan tangan dingin adalah hal yang sudah sering dilakukannya.
Dan ketika Hatake Kakashi mengatakan ingin memalsukan kematian Naruto, Sai tahu kesempatannya untuk melenyapkan ketiga agen FBI—seperti perintah Danzō—sudah tiba. Hanya saja, ketika ingin menarik pelatuk dan menembakkan peluru asli ke kepala pemuda pirang itu, mendadak tangannya terasa berat untuk digerakkan.
Sai masih ingat apa yang terjadi saat itu. Selama beberapa saat, ia hanya diam dan memandang sosok Naruto dari balik teropong. Entah mengapa, lagi-lagi ia merasakan kedua tangannya tidak bisa digerakkan. Ketika itu ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Dan pada akhirnya, bukannya menembak Naruto dengan peluru yang sesungguhnya, ia malah menukarkan peluru itu dengan peluru tiruan dan menembak si pirang sebelum tubuhnya merosot dengan kedua tangan yang bergetar hebat.
Sampai saat ini pun ia belum menemukan jawaban atas tindakannya melawan apa yang diperintahkan Danzō.
Naruto's apartment, 00;47.
Naruto tidak menyangka bahwa saat di mana identitasnya sebagai seorang Kurama Kyuubi akan terkuak dalam waktu dekat ini terlebih jika orang yang mengetahui rahasia tersebut adalah Sasuke. Kedua iris merahnya membulat sempurna mendapati ujung pistol semi otomatis terarah padanya dan kedua mata Sasuke yang berkilat marah. Ia bahkan tidak bisa mengatakan apapun setelah mendengar pertanyaan dari pemuda berkulit pucat itu.
Apa yang sudah dilakukannya?
"Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan, Uchiha." Nada suara Naruto terdengar datar. Ia tahu berniat menjauhi Sasuke sebelum pemuda Uchiha itu menarik tubuhnya terlebih dahulu sebelum menghempaskannya kembali di atas sofa. Naruto mendesis marah atas apa yang dilakukan Sasuke.
"Jangan berpura-pura lagi, Idiot." Tangan kanan Sasuke kini menarik bagian depan pakaiannya, menarik wajahnya sehingga berada sangat dekat dengan wajah Sasuke. "Aku bukan orang yang bodoh yang tidak menyadari siapa kau yang sebenarnya. Kurama Kyuubi, huh? Apa kau sudah berhenti menjadi agen FBI dan sekarang berubah profesi menjadi pembunuh bayaran?"
Naruto menggeram marah, menyentak tangan yang menahan tubuhnya sebelum mendorong tubuh Sasuke menjauh. Pemuda berkulit pucat itu kini menatapnya dengan ekspresi dingin dengan tangan yang masih menggenggam senjata api.
"Mengapa kau bertanya seolah-olah peduli padaku, Sasuke?" geramnya pelan. Ia terlihat tidak peduli lagi jika identitasnya sebagai Kurama Kyuubi sudah terbongkar. "Apapun yang kulakukan bukanlah urusanmu lagi, bukan? Kau sama sekali tidak bisa melakukan apapun atas apa yang kulakukan setelah menghilang begitu saja dari hidupku, kau tahu?"
Ia yang sebelumnya menduga jika Sasuke akan membalas kata-kata yang diucapkannya barusan sama sekali tidak menyangka pemuda berkulit pucat itu akan bergerak menerjang ke arahnya dan melayangkan tinju pada rahang kanannya. Dengan tubuh terhuyung ke belakang akibat momentum pukulan itu, Naruto meringis pelan. Ia segera bergerak menghindar ketika melihat Sasuke berniat kembali melayangkan pukulan ke arahnya.
Ini bukan kali pertama perdebatan mereka berakhir dengan adu tinju dan tendangan. Berulang kali hal seperti ini terjadi ketika Sasuke dan dirinya masih tinggal di panti asuhan. Berkali-kali pula, adu tinju yang terjadi membuat mereka berakhir di ruang kesehatan dengan luka lecet dan lebam di beberapa tempat.
"Bastard!" Naruto berseru marah ketika Sasuke berhasil meninju perutnya. Tidak ingin kalah, dengan sigap ia menahan kaki Sasuke sebelum menariknya. Ia segera melayangkan tinju balasan ke arah wajah dan menendang pinggul kiri Sasuke. Terdengar pemuda berkulit pucat itu mendesis; terhuyung ke belakang dan terduduk di lantai. Naruto dengan cepat bergerak menindih tubuh Sasuke dan menahan kedua lengan pemuda itu di atas kepala.
Sepasang iris merahnya menatap lekat sepasang iris oniks itu; mengacuhkan tubuh meronta di bawahnya.
"Sasuke—"
"Lepaskan aku, Idiot."
Naruto menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tidak. Ia tidak ingin melepaskan Sasuke begitu saja. Ia tidak ingin pemuda itu pergi tanpa ada usaha untuk menahan Sasuke.
"K-kita perlu bicara," kata Naruto yang masih menahan kedua tangan Sasuke. Pemuda di bawahnya terlihat tidak setuju. "Sasuke—kumohon..."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Uzumaki."
Naruto mengabaikan nada dingin dalam suara Sasuke. Ia menghela napas panjang. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan, kau tahu?" desaknya. "Apa kau tahu berapa lama aku menunggu saat seperti ini? Apa kau tahu berapa waktu yang kuhabiskan hanya untuk bicara denganmu? Five fuckin' years, Bastard!"
"Dan hal itu sama sekali bukan urusanku. Aku sudah mengatakan padamu—"
"Damn right. Aku masih ingat apa yang kaukatakan. Terima kasih," potong Naruto dengan nada sarkastiknya. "Kau mengatakan tidak menyukai keinginanku untuk menjadi seorang polisi. Kau mengatakan hal itu sebelum pergi meninggalkanku tanpa mengatakan apapun. Tapi kaupikir aku akan percaya, huh? Aku bukan orang bodoh yang akan mempercayai alasanmu itu, Sasuke!"
Walau hanya sekilas, Naruto melihat kedua pupil Sasuke melebar sesaat. Pemuda itu masih tidak mengatakan apapun dan hanya menatapnya dalam diam. Ia mendesah pelan ketika ingatan masa lalu menyeruak di dalam kepalanya. Sampai saat ini, dadanya selalu merasa sesak saat mengingat tidak menemukan Sasuke tertidur di sampingnya sama seperti hari-hari lima tahun yang lalu. Ia merasakan dadanya mencelos setiap kali mendapati tempat tidur di sampingnya kosong.
"Mengapa kau pergi?" Naruto bertanya dengan suara berbisik. Dengan perlahan melepaskan cengkeraman tangannya pada pergelangan Sasuke sebelum menumpukan dahinya pada bahu kanan pemuda itu. "Mengapa kau meninggalkanku, Sasuke? Apa kau sangat membenciku sehingga meninggalkanku tanpa mengatakan apapun, huh?"
Si pirang bisa merasakan tubuh di bawahnya tersentak ketika ia menyelipkan lengan di pinggang Sasuke. Napas pemuda berkulit pucat itu tercekat dengan tubuh yang sedikit bergetar. Merasakan hal itu, Naruto menarik tubuhnya. Ia terpaku menatap wajah Sasuke yang sangat dekat dengannya.
"Naruto—"
Sang Uzumaki tidak membiarkan Sasuke menyelesaikan kalimatnya. Ia sudah terlebih dahulu membungkam bibir pemuda itu dengan bibirnya sementara kedua telapak tangannya tertangkup di pipi Sasuke. Perlahan, ketika merasakan Sasuke tidak berniat untuk menjauh, Naruto memejamkan matanya dan membiarkan emosinya menyeruak keluar di setiap sentuhan pada bibir Sasuke.
Naruto hampir saja melupakan bagaimana sensasi bibir Sasuke pada bibirnya. Ia hampir saja melupakan bagaimana kepalanya terasa kosong ketika bibir mereka saling melumat dan menari bersama jika saja ia tidak merasakan semua sensasi itu sekarang. Dan ketika Sasuke membalas setiap ciumannya, Naruto segera melupakan sekelilingnya. Ia perlahan melupakan jika seharusnya mereka berbicara. Ia segera lupa bahwa ada banyak hal yang harus dilakukannya ketika merasakan jemari Sasuke meremas helaian rambut jingga kemerahannya.
Ia melupakan semuanya dan larut pada setiap pagutan dan hisapan yang diberikan Sasuke padanya sebelum ciuman itu terpaksa terhenti ketika paru-parunya berteriak keras. Ia bahkan tidak sadar jika Sasuke memanfaatkan hal itu untuk mendorong tubuhnya menjauh sebelum kembali mengacungkan pistol ke arahnya.
"Wha—Sasuke!"
"Bergerak sedikit saja, aku akan menembakmu, Uzumaki."
Naruto memutar bosan kedua matanya. Mengapa lagi-lagi ia harus berada di dalam kondisi seperti ini? Tidakkah Sasuke bosan dengan semua yang terjadi di antara mereka? Ia sudah lelah atas sikap Sasuke yang selalu memandangnya sebelah mata.
"Hal seperti tidak akan pernah terjadi lagi," desis Sasuke. Napas pemuda itu terdengar menderu. "Kau dengar aku, Uzumaki? Dan kuharap ini adalah terakhir kalinya aku melihatmu. Aku tidak akan segan-segan menembak kepalamu jika kita bertemu lagi."
Kedua matanya melihat Sasuke yang perlahan berdiri. Ia yang ingin mencegah pemuda itu untuk pergi hanya bisa membeku di tempat ketika Sasuke menarik pelatuk pada pistol dan berhasil mengenai lantai kayu di ujung kakinya. Naruto menggeretakkan gigi dengan kedua tangan yang terkepal erat.
"Apa yang akan kaulakukan setelah keluar dari tempat ini, Sasuke?" Naruto bertanya setelah melihat pemuda itu berjalan ke arah pintu apartemen. "Membunuh seperti apa yang kaulakukan kepada Danzō? Atau kembali ke tempat Orochimaru dan melakukan apa yang diperintahkan ular sialan itu?"
Sasuke yang ketika itu hendak membuka pintu mendadak terdiam dan memutarkan tubuh, menatapnya dengan dingin. "Kau ingin tahu apa yang akan kulakukan, Uzumaki?" tanya Sasuke. "Aku akan menghancurkan negara ini sama seperti apa yang telah mereka lakukan pada keluargaku."
Mendengar hal itu, Naruto terpaku di tempat dan tidak mampu mengatakan apapun. Ia bahkan tidak melakukan sesuatu ketika Sasuke pergi dan menghilang di balik pintu.
Apa yang dimaksudkan Sasuke? Menghancurkan negara ini? Menghancurkan... Jepang?
Sasuke's apartment, 06;23.
Ia sama sekali tidak mempercayai dirinya sendiri yang begitu mudah ditipu oleh orang yang sudah dikiranya mati. Bagaimana mungkin dengan bodohnya ia seperti buta dan tidak menyadari bahwa sosok Kurama Kyuubi tidak lain adalah Uzumaki Naruto—sosok yang sudah menjadi masa lalunya? Bagaimana mungkin jika selama ini ia sang Uzumaki berada di dekatnya tanpa ia sadari? Bagaimana bisa—
Sasuke menggeram pelan dan hampir saja memukul cermin di hadapannya dengan tangan. Sepasang oniksnya berkilat marah ketika mengingat konfrontasinya dengan si pirang beberapa jam lalu. Ia masih bisa merasakan amarah yang bergemuruh di dalam dirinya hanya dengan mengingat wajah orang itu. Ia bahkan tidak memedulikan ekspresi kekecewaan yang dilihatnya dari sepasang iris merah tersebut.
Persetan dengan Kurama Kyuubi. Persetan dengan Uzumaki Naruto. Ia tidak akan pernah memaafkan pemuda itu karena telah membuatnya kembali terjebak dengan masa lalunya; membuatnya kembali mengingat bahwa perasaan kecewa dan frustasi karena kematian sang Uzumaki hanya sia-sia. Pemuda itu bahkan masih hidup dan tampak baik-baik saja.
Pemilik sepasang iris gelap itu mengepalkan telapak tangan di kedua sisi tubuhnya. Pandangannya kini tertuju kepada robekan di sudut bibirnya yang masih menyisakan sedikit darah segar. Dengan geram, ia menggosokkan telapak tangannya pada luka tersebut sembari berusaha mengenyahkan bayangan ketika bibirnya bersentuhan dengan bibir si pirang.
Tapi, sekeras apapun ia melakukan hal itu, bayangan dari apa yang terjadi sebelum ini malah semakin menyeruak di dalam kepalanya.
Sentuhan pada bibirnya...
Aroma tubuh Naruto yang tercium olehnya...
Atau sensasi aneh ketika tubuhnya merapat pada tubuh si pirang...
Semua ingatan itu cukup mampu membuat kepalanya terasa pusing. Ia juga merasakan jika deru napasnya semakin berat dan pendek. Berkali-kali ia harus berusaha menahan diri untuk tidak keluar dari apartemennya dan kembali ke tempat Naruto; melanjutkan apa yang tertunda sebelum dirinya menjauhkan diri dari sosok itu.
Oh, Kami-sama, ia tidak yakin jika bisa menahan diri jika berada di ruangan yang sama dengan Naruto. Ia tidak mempercayai bahwa topeng yang selama ini ia pasang di depan semua orang akan bertahan jika pemuda itu berada di dekatnya.
Desis pelan meluncur dari bibir sang Uchiha ketika kembali teringat dengan sosok si pirang. Kedua tangannya yang kini berada di atas wastafel mencengkeram dengan erat pinggiran perabotan dari keramik itu sebelum menangkupkan telapak tangan di bawah keran air yang terbuka dan berkali-kali membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia yang tidak lagi memedulikan tetesan air yang membasahi pakaiannya bergegas berjalan ke luar kamar mandi. Sambil berusaha mengenyahkan bayangan mengenai pembicaraannya dengan Naruto, ia memasukkan semua barang-barangnya yang ada di apartemen ke dalam sebuah tas ransel.
Ia tidak bisa tinggal di tempat ini lagi. Pemikiran mengenai kemungkinan Kabuto mulai bicara pada polisi membuatnya ingin mencari tempat tinggal yang baru. Ia tidak bisa mengambil resiko tetap berada di sini lebih lama lagi.
Hanya perlu setengah jam baginya untuk membersihkan apartemen tersebut. Ia bahkan sempat membersihkan sidik jarinya yang tertinggal di tempat itu sebelum berjalan meninggalkan gedung itu melalui pintu belakang. Ia hampir saja menaiki sebuah bus jika seseorang tidak menahan pergelangan tangannya. Sasuke berusaha untuk tidak memperlihatkan ekspresi apapun ketika merasakan sebuah benda keras menekan pinggangnya.
"Percayalah. Menembakmu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan."
Suara seorang wanita yang berbisik tepat di samping telinganya membuat Sasuke terdiam di tempat. Ia tidak mengatakan apapun ketika wanita itu menyuruhnya untuk tetap berjalan ke sebuah mobil berwarna hitam yang diparkirkan tidak jauh darinya. Dalam diam, ia memasuki mobil tersebut sementara wanita itu mengikuti di belakang. Dan ketika mobil tersebut mulai berjalan, Sasuke tidak lagi merasakan pistol ditekan pada pinggangnya.
"Senang akhirnya aku punya kesempatan untuk bertemu langsung denganmu, Uchiha-kun."
Sepasang oniksnya bertemu pandang dengan sepasang iris kecokelatan. Masih dengan ekspresi pasifnya, ia mengamati wanita yang duduk di sampingnya dengan kaki disilangkan. Ekspresi wajah wanita itu sama sepertinya tapi Sasuke bisa menduga jika wanita berambut kebiruan dengan hiasan rambut dari kertas itu bukanlah wanita biasa.
"Aku Konan."
Sasuke memilih untuk tidak menjabat tangan yang terulur ke arahnya. Menyadari hal itu, Konan segera menarik tangan dan mengaitkan di pangkuan. Sasuke sama sekali tidak mempunyai ide apapun siapa wanita di sampingnya.
"Apa yang kauinginkan dariku?" Sasuke akhirnya angkat bicara setelah Konan terlihat tidak juga ingin mengatakan sesuatu.
"Kami sudah mendengar banyak tentangmu, Uchiha-kun." Sasuke hanya menaikkan sebelah alis atas kata-kata wanita di sampingnya. "Dan apa kau tahu kalau kami tertarik dengan bakatmu?"
"Kami, huh?"
Konan menyunggingkan senyum tipis di wajahnya. "Apa kau pernah mendengar mengenai 'Akatsuki'?"
Tentu saja Sasuke pernah mendengar nama itu sebelumnya. Beberapa kali ia mendengar Orochimaru menyebutkan nama itu di depannya dan Kabuto. Di dunia bawah pun nama 'Akatsuki' bukanlah nama baru. Organisasi itu bahkan sudah ada sejak dulu walaupun hanya beberapa orang yang tahu apa sesungguhnya 'arti' di balik nama tersebut. Sayangnya, Sasuke tidak begitu tahu. Ia hanya pernah mendengar bahwa Akatsuki adalah organisasi yang berada di balik beberapa kejahatan di masa lalu sebelum eksistensi organisasi itu sempat tidak terdengar selama satu dekade terakhir.
"Kurasa kau pernah mendengarnya," Konan berujar pelan dengan pandangan yang lurus ke arah jalan raya di depan sana. "Pimpinanku ingin merekrutmu menjadi salah satu bagian dari kami. Kuharap kau mau menerima tawaran itu mengingat kau sama sekali tidak punya pilihan."
"Siapa yang mengatakan aku tidak punya pilihan? Aku—"
"Kau tidak punya pilihan apapun selain bergabung dengan Akatsuki jika ingin menghancurkan Jepang, Uchiha-kun," Konan memotong terlebih dahulu. "Orochimaru tidak bisa lagi memenuhi kesepakatan kecil kalian karena tengah bersembunyi dari polisi. Kabuto? Dia berada di balik jeruji besi dan tidak akan keluar dalam waktu dekat. Kami sudah mendengar semua hal mengenai dirimu—mengenai keinginanmu untuk membalas dendam atas kematian keluargamu. Kami bahkan sudah mendengar bahwa kau ingin menghancurkan negara ini."
Sasuke hanya memandang wanita di sampingnya dalam diam. Ia tahu apa yang dikatakan Konan ada benarnya. Ia tidak mungkin bisa memenuhi keinginan itu hanya seorang diri. Sebelum polisi-polisi Jepang itu mencari Orochimaru, ia yakin jika bisa membalaskan dendam keluarganya dengan bantuan dari laki-laki itu. Tapi sekarang? Sasuke tidak yakin bisa melakukannya sendiri. Jepang adalah negara yang besar. Hanya akan berakhir seperti bunuh diri dengan berusaha melawan sebuah negara tanpa bantuan apapun.
"Tidak ada ruginya bekerja sama dengan kami." Wanita berambut kebiruan itu mengerling ke arahnya. "Kita bisa menghancurkan negara ini dengan kekuatan bersama. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Lagi pula, bukan hanya itu yang akan kami tawarkan padamu."
Pemuda Uchiha itu kembali menaikkan sebelah alis kala Konan mencondongkan tubuh ke arahnya dan berbisik di telinganya dengan nada sedikit sensual.
"Kami bisa memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi sembilan belas tahun yang lalu. Apa yang sebenarnya terjadi kepada Uchiha Fugaku, ayahmu, Uchiha-kun. Sesuatu yang bahkan selama ini tidak diketahui olah siapapun. Sesuatu yang sanggup untuk menghancurkan negara ini hingga tidak bersisa."
Alcatraz Island, San Fransisco Bay, 14;12.
Akasuna Sasori nampak duduk diam di dalam selnya yang berada terpisah dengan sel-sel tahanan lain. Kedua tangannya tersilang di depan dada. Ia terlihat tenang tidak seperti tahanan-tahanan lain yang bertingkah layaknya hewan di alam bebas. Ia bahkan tidak bereaksi ketika terdengar perkelahian para tahanan beberapa sel dari tempatnya. Hal seperti ini bukanlah pertama kali ditemuinya. Ia yang berada hampir tiga tahun di penjara ini sudah sering melihat perkelahian antar para tahanan. Ia bahkan pernah membuat seorang tahanan yang berukuran tiga kali tubuhnya hampir mati karena sudah membuatnya kesal.
Laki-laki berambut merah bata itu mendecakkan lidah kala mendengar suara nyaring dari tongkat petugas penjaga penjara yang berbenturan dengan jeruji besi. Petugas penjara di tempat ini baru akan bertindak jika perkelahian itu menimbulkan keributan besar. Jika tidak, petugas penjara hanya akan membiarkannya. Mereka bahkan tidak melakukan apapun ketika para tahanan memasang taruhan mengenai siapa yang akan menang.
Penjara Alcatraz bukanlah tempat yang pantas untuk orang seperti dirinya. Ia adalah laki-laki yang selama ini hidup di tempat mewah dan bisa melakukan apapun sesuka hatinya. Dan terkurung di penjara di tengah-tengah lautan seperti ini bukanlah suatu hal yang diharapkannya. Ia ingin segera keluar dari tempat ini dan menghirup udara bebas seperti tiga tahun lalu. Mungkin berdagang di Segitiga Emas akan menjadi hal pertama yang dilakukannya setelah keluar dari tempat terkutuk ini.
"Kau terlihat bosan, pretty boy."
Lewat sudut matanya, Sasori mendapati seorang laki-laki bertubuh kekar tengah menyandarkan tubuh pada jeruji penjara di seberang selnya. Laki-laki berkumis itu menjilat bibir ketika mengamatinya. Sasori hanya memutar bosan kedua mata sebelum beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati pintu sel. Ia bisa melihat jelas kedua mata hitam laki-laki itu terus menerus mengamati setiap gerakannya.
"Well, apa yang bisa kaulakukan untuk membuatku tidak merasa bosan lagi, big boy?"
"Apapun yang kauinginkan. Aku bahkan bisa menghangatkan tempat tidurmu, mungkin?"
Sasori tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak tertawa. Laki-laki berkumis itu sungguh mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Menghangatkan tempat tidurnya? Sasori kembali tertawa. Ia tidak memedulikan geram pelan yang didengarnya dari laki-laki itu.
Sang pematung itu menyilangkan kedua tangan di depan dada dan menatap laki-laki bertubuh besar itu dengan tatapan dinginnya. Tidak jauh darinya, petugas penjara melakukan patroli sembari memukulkan tongkat untuk membuat para tahanan berhenti untuk berteriak. Dan ketika petugas penjara itu berjalan di depan selnya dan kemudian berhenti, Sasori hanya diam. Ekspresi wajahnya tetap datar saat mendapati petugas penjara itu menyodorkan secarik kertas kepadanya.
Sasori sama sekali tidak bisa menyembunyikan senyum puas di wajahnya setelah membaca tulisan pada kertas tersebut.
Mengabaikan laki-laki berkumis yang memandangnya dengan tertarik setelah melihat kertas itu, Sasori berjalan memasuki selnya. Ia mendudukkan diri di atas tempat tidur dan memejamkan mata; tidak mengacuhkan panggilan dari laki-laki berkumis. Ia bahkan tidak bergerak dari tempatnya sepanjang sisa hari.
Ia hanya perlu menunggu beberapa jam lagi sebelum menemui kebebasannya.
Dan ketika telinganya menangkap suara menyerupai ledakan menjelang tengah malam, barulah Sasori beranjak dari tempat tidurnya.
Laki-laki berambut merah bata itu tidak terlihat panik atau terkejut ketika suara ledakan kembali terdengar dengan suara sirine yang meraung di seluruh penjuru pulau. Kedua matanya terlihat pasif mengamati setiap petugas penjara nampak berusaha menguasai keadaan. Tidak lama setelah dua ledakan kembali terdengar, suara rentetan peluru yang ditembakkan menggema di dalam penjara. Di antara semua kekacauan yang terdengar di penjara itu, samar-samar Sasori bisa melihat siapa yang tengah berdiri di depan pintu penjara dengan senapan api di tangan.
"Sasori-danna!"
Sosok laki-laki berambut pirang panjang itu berseru ketika melihat keberadaan dirinya dan dengan cepat berusaha membuka pintu sel. Sasori hanya bisa menggeram pelan ketika si pirang dengan segera melemparkan tubuh ke arahnya dan memeluknya erat sebelum mengatakan bahwa mereka harus segera pergi dari tempat ini.
"Apakah kau senang bisa keluar dari tempat ini, un?" Deidara berkata sembari menyodorkan sebuah pistol semi otomatis kepadanya. Tidak jauh darinya, suara tembakan dari penjaga penjara dan orang-orang yang dibawa Deidara masih terdengar. "Danna?"
"Hn. Ayo pergi."
Deidara menganggukkan kepala dan berjalan dengan cepat. Sasori baru saja ingin mengikuti langkah laki-laki parlente itu sebelum mendengar laki-laki berkumis yang menghuni sel penjara di depan bekas selnya mengatakan bahwa ia harus mengeluarkan laki-laki itu. Sasori menyunggingkan senyum mencemooh pada sosok tersebut, menodongkan pistol miliknya tepat ke arah kepala.
Dan hanya perlu dua detik bagi Sasori untuk menarik pelatuk pada pistol di tangannya dan menghabisi nyawa laki-laki itu.
End of Chapter 12 — Separation
Author's rants: Stupid Sasuke... stupid Sasuke... #flipstable #salah oke, jangan bunuh saya karena membuat hubungan Sasuke dan Naruto menjadi seperti itu. Mereka berdua perlu berputus asa dulu dengan perasaan mereka masing-masing baru bisa bersama. Haha... saya tidak bisa mencegah untuk tidak membuat plot seperti itu di sini. Dan sepertinya menjadi kebiasaan jika proyek MC dari saya akan berakhir dengan plot yang kompleks, orz.
Jadi, sementara saya menguraikan benang kusut dari plot bunny di kepala (halah), review-nya masih saya tunggu, ya? ;)
As usual, many thanks for my beloved reviewer: namikaze shira, UzumakiKagari, AnindyaCahya, Twingwing RuRaKe, kurama. red99, Earl Louisia vi Duivel, Gunchan CacuNalu Polepel, Azusa TheBadGirl, sherry dark jewel, Rin Miharu-Uzu, and Artemisaish.