Silentinum et Lacrimis


Chapter 1 — Prelude


Kanto Prefecture, 22:35.


Gorong-gorong itu terkesan tidak terawat dan bahkan sangat jarang dikunjungi sebelumnya. Sampah-sampah hasil limbah industri dan rumah tangga terkumpul di ujung parit yang mengeluarkan aroma busuk. Tikus got dalam jumlah yang tidak terkendali berlalu-lalang di sekitar gorong-gorong itu untuk mencari sedikit sisa makanan; mencicit keras setiap kali mendengar suara klakson dari mobil yang melintas di atas jembatan.

Hanya dengan melihat keadaan di luar gorong-gorong di mana sampah menumpuk seperti bukit saja sudah membuat para pejalan kaki enggan untuk sekadar melirik ke arah tempat itu. Sungguh bukan pemandangan yang sedap dipandang mata jika dibandingkan dengan gemerlapnya pusat kota malam itu. Pejalan kaki tersebut menganggap gorong-gorong itu hanya pantas bagi para gelandangan yang tidak mempunyai tempat tinggal.

Malam itu, gorong-gorong yang biasanya hanya terdengar suara dari para hewan kotor yang hidup di tempat tersebut agaknya berbeda dibandingkan malam sebelumnya. Terdengar suara keras mirip seperti pukulan dari arah bagian dalam gorong-gorong. Samar-samar, suara mirip pukulan itu diiringi oleh suara bentakan dan ringis kesakitan. Tidak ada yang bisa menduga apa yang tengah terjadi di dalam sana kecuali melihat dengan mata kepala sendiri.

Sekali lagi terdengar suara pukulan keras dari dalam sana. Air kotor yang mengalir dari parit menuju gorong-gorong tidak cukup keras untuk bisa meredam suara pukulan itu. Terlihat dua sosok pria bertubuh besar di dalam sana. Satu di antaranya tengah mengangkat tinggi-tinggi sebuah tongkat besi sementara pria yang lain terlihat sedang merokok dengan tubuh yang bersandar pada dinding batu; membuat kadar nikotin di udara semakin banyak setiap kali pria itu menghabiskan satu puntung rokok. Di dekat kedua pria itu, sesosok tubuh meringkuk di atas lantai gorong-gorong; meringis pelan dan mencoba menggelung diri saat pria pertama menghantamkan tongkat besi di tangan ke tubuh sosok itu.

Berkali-kali sampai darah mengalir deras dari kepala dan beberapa bagian tubuh sosok yang terbaring itu. Pria pertama, seorang pria berambut abu-abu gelap, menghantamkan ujung tongkat besi ke arah kepala sosok yang terbaring di lantai; membuat darah berwarna merah kental membasahi helaian rambut pirang sosok itu.

"... Berhentilah bermain-main dan habisi saja dia, Hidan. Kau membuang-buang waktuku di tempat ini," Kakuzu, pria kedua yang tengah merokok, berkata dengan nada suara enggan. Menginjak puntung rokok dengan ujung sepatu kulit mahalnya. Ia melirik sekilas ke arah sosok yang terbaring di lantai. Meludahi tubuh yang tidak berdaya itu sebelum melayangkan sebuah tendangan pada perut; tidak memedulikan geram protes dari Hidan.

Kakuzu memutar bosan kedua matanya saat mendengar racauan tidak jelas dari Hidan mengenai Dewa Jashin yang dipuja pria itu. Ia berlutut di samping sosok pirang yang sejak setengah jam lalu dipukuli tanpa henti oleh rekannya. Mengernyit melihat seberapa banyak darah yang melumuri kulit kecokelatan di hadapannya.

"Jika kau menyesali apa yang terjadi, aku sarankan kau menyalahkan dirimu sendiri. Menyusup ke dalam organisasi kami bukanlah keputusan yang baik, kau tahu?"

Kakuzu sedikit terkejut saat telinganya mendengar sosok di hadapannya mendecakkan lidah dan tertawa mengejek. Sungguh, pemuda di hadapannya mempunyai semangat hidup yang membuatnya heran. Tidak ada yang pernah selamat dipukuli Hidan selama ini dan tentu saja hal itu membuat rekannya tidak senang.

"Kau... kau yang akan menyesal sudah mencari masalah denganku, Sialan," umpat si pirang. Kakuzu melihat sepasang iris safir pemuda di hadapannya menatapnya dengan tatapan menantang. Baru saja ia ingin menyuruh Hidan untuk menghabisi pemuda di hadapannya, suara sirine terdengar di sekeliling gorong-gorong itu. Detik selanjutnya, Kakuzu mengumpat menyadari apa yang terjadi.

"Dia menjebak kita!" Hidan berteriak kepadanya sambil kembali memukul sosok si pirang dengan tongkat besi. Berkali-kali sampai pria itu tidak peduli apakah sudah menghancurkan wajah si pirang atau tidak. Dengan cepat Kakuzu menghentikan apa yang Hidan lalukan.

Mereka harus pergi dari tempat ini. Segera.

Sayangnya, suara desing peluru dan rasa perih saat timah panas menembus kaki kanannya membuat Kakuzu mengurungkan niat. Ia refleks meraih barreta yang terselip di balik ikat pinggangnya dan berniat menumbangkan pelaku penembakan sebelum seorang sniper menembak tangannya; membuat senjata api itu terlepas dari tangannya, terjatuh ke dalam parit yang kotor.

Semuanya berlangsung dengan cepat. Kakuzu mendengar Hidan mendesis marah saat sebuah peluru mengenai kaki pria itu. Ia dibuat tidak bisa melakukan apapun ketika melihat dua lusin polisi bersenjata lengkap menghambur ke dalam gorong-gorong dan menodongkan ujung senapan ke arah mereka. Tidak perlu waktu yang lama, Kakuzu segera menyadari bahwa saat ini kedua tangannya tengah diborgol dan digiring ke arah mobil polisi. Hal yang sama dialami juga oleh Hidan.

Kakuzu membenci keadaannya sekarang. Ia tidak pernah berharap ditangkap polisi seperti ini. Sungguh menyedihkan seorang pembunuh bayaran seperti dirinya akan segera mendekam di balik jeruji besi. Kakuzu tidak bisa menahan diri untuk tidak menggeram dan melayangkan tatapan tajam pada sosok yang membuatnya seperti sekarang.

"Ini sama sekali belum berakhir," Kakuzu mendesis dan menolak untuk memasuki mobil polisi saat menangkap sosok si pirang yang berdiri dengan dibantu oleh seorang polisi. Walau tidak mengakuinya, ia cukup puas dengan hasil kerja Hidan kepada sosok itu. "Mereka akan datang dan menghabisimu, Uzumaki. Kau tunggu saja."

Lambaian tangan dan pemuda Uzumaki itu adalah hal terakhir yang dilihat Kakuzu sebelum pintu baja berwarna hitam di hadapannya tertutup rapat; berharap jika sisa hidupnya tidak dihabiskan di penjara busuk berukuran sempit.

Tidak. Dirinya tidak pantas berada di tempat semacam itu.


NPA Building, 04:50

Hyuuga Neji tidak bisa tidak berteriak kepada tiga orang di ruangan yang sama dengannya; mencoreng image dirinya sendiri yang biasanya dikenal sebagai seorang polisi—di Departemen Organisasi Kriminal—yang tenang dan berkepala dingin. Sudah hampir tiga kali tangan pucatnya menggebrak meja di hadapannya. Sepasang iris lavender miliknya pun tidak berhenti melayangkan tatapan tajam pada ketiga warna negara asing di seberang meja.

"... Aku sungguh tidak mengerti apa yang ada di pikiranmu," Neji berkata yang sama untuk ke sekian kalinya. Matanya sempat melirik seorang opsir polisi yang berdiri di depan pintu masuk. Polisi itu juga bernasib sama dengan tiga agen lain di ruangan itu; mendapatkan tatapan tajam atas sikap gegabahnya.

Neji menghela napas panjang, menyandarkan diri pada dinding dengan tangan tersilang di depan dada. "Mengirimkan informasi yang salah ke Biro Kepolisian Kanto dan menggerakkan satu pleton pasukan polisi, kalian sudah benar-benar melakukan kesalahan besar."

"Kami perlu melakukannya sebelum Hidan dan Kakuzu pergi meninggalkan Jepang, kau tahu?"

Neji mendesis marah atas komentar pemuda berambut pirang cerah di seberang meja, tidak mengacuhkan kernyitan dari rekan di sebelah kiri si pirang.

"Kurasa aku perlu mengingatkanmu satu hal, Uzumaki." Neji menekankan suaranya pada kata terakhir; masih tidak melepaskan pandangan dari sepasang iris safir milik pemuda itu. Ia menumpukan tubuh pada tangan dan mencondongkan diri ke arah ketika sosok di seberang meja. "Ini adalah Jepang dan polisi-polisi yang kaukerahkan untuk menangkap Kakuzu dan Hidan adalah anak buahku—mereka berada di bawah komando dariku. Kau tidak sedang berada di Amerika dan bisa dengan mudah memerintah kepolisian di tempat ini. FBI seperti kalian tidak mempunyai yuridiksi di sini, ingat?"

Si pirang terdiam, begitu juga kedua rekan pemuda itu.

Selama beberapa saat, Neji mengamati ketiga orang di hadapannya. Ia bisa melihat Uzumaki berniat mengatakan sesuatu namun seorang pria berkulit pucat sudah terlebih dahulu menahan Uzumaki untuk berbicara lebih jauh. Neji berterimakasih dalam diam. Ia tidak berniat untuk kehilangan kendali dirinya di hadapan ketiga agen FBI di hadapannya. Ia masih mempunyai urusan lain yang lebih penting dan urusan tersebut bisa saja akan menghancurkan karirnya di kepolisian karena tindakan tidak bertanggung jawab dari Uzumaki.

Bayangkan, di saat dirinya tengah menikmati istirahatnya semalam, ia dibangunkan oleh telepon yang menanyakan mengapa tiba-tiba saja dirinya menerjunkan satu pleton pasukan khusus kepolisian untuk pergi ke Prefektur Kanto. Tentu saja Neji tidak tahu apapun. Ia bahkan tidak ingat jika malam itu dirinya akan memimpin operasi. Ia cukup terkejut saat tahu bahwa tiga agen FBI yang ditugaskan mengadakan penyelidikan di Jepang berada di balik semua kekacauan ini.

Dan Neji tidak merasa senang atas hal itu walau mereka sudah berhasil menangkap dua buronan yang paling dicari sekalipun.

"... Kami tahu kesalahan kami, Hyuuga-san," Haruno Sakura, rekan si pirang, angkat bicara dalam bahasa Jepang yang fasih. "Tapi kami perlu melakukan hal itu. Nyawa Naruto berada di dalam bahaya jika kami tidak segera mengirimkan bantuan. Lagi pula, bukankah operasi... err, ilegal ini tidak sepenuhnya sia-sia? Kita berhasil menangkap Hidan dan Kakuzu."

Tentu. Neji tidak bisa menyangkal keberhasilan operasi ilegal itu. Dua buronan polisi di sepertiga negara di dunia kini berada di balik jeruji di lantai yang sama dengannya berada sekarang. Ia juga tidak akan menyangkal kerja keras dari Uzumaki Naruto yang menyamar untuk menangkap kedua pembunuh bayaran itu berhasil. Hanya saja, pria bermarga Hyuuga itu tidak bisa membenarkan apa yang telah dilakukan Uzumaki.

Ketiga agen FBI tersebut sudah bisa dikatakan menyalahi aturan yang ada di negara ini. Dan Neji, bukanlah polisi yang suka peraturan itu dilanggar.

"Aku akan menghubungi atasan kalian di Washington," Neji pada akhirnya berkata; tidak mengacuhkan tatapan tidak suka dari ketiga agen FBI di seberang meja. "Apa yang kalian lakukan sudah melanggar yuridiksi kepolisian Jepang. Aku tidak bisa berbuat apapun selain membicarakan hal ini kepada Mr. Hatake. Aku mungkin tidak mempunyai kekuasaan untuk meminta kalian menghentikan penyelidikan. Tapi aku bisa memutuskan semua akses kalian terhadap fasilitas yang diberikan atasanku selama kalian berada di Jepang. Untuk sementara—sampai aku membicarakan pelanggaran ini kepada atasan kalian—tidak ada satu pun yang boleh terlibat dalam interogasi Kakuzu dan Hidan."

"You can't do that, Hyuuga."

Seringai tipis tersungging di wajah pucat Neji saat mendengar geram kekesalan dari Uzumaki.

"Oh, aku bisa melakukannya," Neji berujar, mengabaikan ketiga agen federal itu. "Dan kali ini aku akan memastikan hal tersebut. Ini adalah konsekuensi dari perbuatan kalian di departemenku."


NPA Building — 1st Floor, 07:45

Uzumaki Naruto tidak pernah merasa sekesal ini kepada sosok Hyuuga Neji. Dengan geraman pelan, ia memukulkan kepalan tangannya pada meja kayu dan berhasil menarik perhatian beberapa petugas di tempat itu. Bagaimana bisa pria tanpa alis itu memutuskan bahwa ia dan timnya tidak boleh ikut menginterogasi Kakuzu dan Hidan? Merekalah yang telah berhasil membawa kedua pembunuh bayaran itu ke sini, damnit! Kedua ikan besar itu adalah hasil tanggkapan timnya! Dan sekarang, bisa-bisanya pria itu melarangnya untuk terlibat!

Sayang, kemarahan Naruto hanya bisa dilampiaskan sejenak saat geraman kesalnya segera digantikan oleh ringis kesakitan setelah Sakura menyentuhkan ujung jemari ke pelipisnya. Naruto meringis dengan dengan kedua mata yang tertutup. Ia juga kembali merasakan nyeri pada perutnya. Sungguh, Hidan benar-benar ingin menghancurkan semua tulangnya. Dokter yang sempat memeriksanya bahkan mengatakan salah satu tulang rusuknya retak akibat pukulan tongkat besi dari pria itu.

"Kau beruntung Hidan hanya memukul beberapa bagian tubuhmu, Dickless. Tidak tahu apa yang akan terjadi jika sampai 'benda kebanggaanmu' juga dihancurkan pria itu."

Naruto kembali mendesis atas komentar vulgar yang diberikan Sai. Pria berkulit pucat itu tidak memperlihatkan ekspresi apapun saat menatapnya. Sai terdiam di seberang meja dengan dagu yang tertumpu pada tangan yang terlipat. Sesekali pria berambut hitam itu mengerling ke arah Sakura. Mencoba menahan senyum setelah mengamati apa yang dilakukan wanita berambut merah jambu itu.

"You look like a mummy, Naruto."

"Dengan semua perban yang melilit wajahnya? Aku mungkin akan heran jika dia tidak terlihat seperti mumi."

Naruto berusaha mengabaikan ejekan dari kedua rekan timnya. Hanya saja, saat kedua matanya menangkap bayangannya yang terpantul dari dinding kaca hitam di sampingnya, Naruto tidak bisa menahan diri untuk tidak mengerang.

Terlihat perban putih hampir menutupi kepala dan lehernya. Di beberapa bagian perban tersebut, masih terlihat sisa darah yang mengalir dari luka di kepala si pirang. Sudut bibir pemuda berumur dua puluh tiga tahun itu sedikit robek akibat terhantam ujung tongkat besi milik Hidan semalam. Sebuah bekas luka memanjang juga terlihat terukir di pipi kanan Naruto; terlihat belum kering sama sekali.

Ia benar-benar tampak berantakan apalagi dengan kaos abu-abu pucat yang penuh dengan darahnya.

"Aku ingin kau tidak membasahi luka di wajah dan kepalamu, Naruto." Suara Sakura menyadarkannya. Ia mendongakkan kepala dan mengerutkan kening ke arah wanita itu. "Kau mendengarku. Aku tidak mau luka-luka di tubuhmu terbuka, membusuk dan kemudian terkena infeksi. Aku akan mengganti perban ini lagi nanti malam."

Naruto menganggukkan kepala singkat; tidak ingin mengomentari apa yang dikatakan Sakura. Ia sudah cukup beruntung rekan satu timnya tidak mengatakan apapun mengenai apa yang terjadi di ruangan pria Hyuuga barusan. Tidak. Sudah cukup sudah ia mendengar komentar pedas yang dilontarkan Hyuuga Neji kepada mereka.

Memang, apa yang telah dilakukan mereka—dengan menggerakkan pasukan polisi Jepang—adalah hal yang tidak seharusnya mereka lakukan. Entah berapa peraturan yang telah dilanggarnya karena keputusan tersebut, hanya Hyuuga yang tahu. Naruto hanya tahu bahwa keputusannya mengeluarkan perintah palsu atas nama Hyuuga Neji bisa membuatnya diberhentikan dari Kepolisian Jepang.

Beruntung, dirinya adalah agen federal Amerika Serikat. Yuridiksi Hyuuga Neji tidak berlaku untuknya. Setidaknya sampai keputusan dari atasannya di Washington sampai kepada mereka.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Sai bertanya saat Sakura dan dirinya tidak mengatakan apapun. Dengan sedikit tidak yakin, sepasang iris safirnya melirik ke arah Sakura; mendapati wanita itu tengah berkutat dengan laptop di atas meja. Jemari wanita itu menari dengan cepat di atas keyboard dengan kedua mata yang tidak berhenti menatap layar benda elektronik tersebut.

Selama beberapa saat, Sakura tidak mengatakan apapun sebelum dua menit kemudian menghela napas panjang dan mengumpat mengenai sikap Hyuuga Neji.

"Kita hanya bisa menunggu, tentu saja," Sakura berujar sembari memijat kening. Sempat menatapnya dan Sai secara bergantian. "Hyuuga Neji sudah jelas-jelas mengatakan kita tidak bisa terlibat dalam interogasi Kakuzu dan Hidan sebelum berbicara dengan Kakashi. Well, aku tidak melihat opsi lain selain menuruti apa yang dikatakan pria itu dan menunggu. Kau tidak ingin kepolisian Jepang menyulitkan kita nanti, bukan?"

Pertanyaan Sakura itu ditujukan untuknya. Naruto tahu hal tersebut. Dalam diam, ia menganggukkan kepala. Mereka sudah cukup beruntung Hyuuga Neji tidak melarang mereka muncul di gedung ini. Setidaknya tidak ada salahnya untuk melakukan apa yang dikatakan pria itu. Naruto juga tahu jika Kakashi pasti akan melakukan sesuatu. Atasannya cukup bisa diandalkan jika tidak sedang sibuk berkutat dengan buku-buku porno milik pria itu.

Lagi pula, ada hal yang masih bisa dilakukan Naruto selain menunggu kabar dari Kakashi.

Perlahan, sudut pemuda pirang itu terangkat dan membuat alis kedua rekannya bertaut. Baik Sai dan Sakura sangat mengenal Naruto. Mereka berdua tahu apa arti di balik senyuman yang diperlihatkan Naruto sekarang.

"Jangan katakan padaku jika kau sedang merencanakan sesuatu yang idiot lagi, Dickless," Sai bergumam disertai dengan helaan napas. "Dan jangan mencoba mengatakan kalau apapun yang ada di pikiranmu bukanlah sesuatu yang besar. Kau mengatakan hal yang sama sebelum menyuruhku untuk membobol sistem keamanan gedung ini, kau tahu?"

Tentu saja Naruto tahu apa yang dikatakan Sai. Dengan cepat, ia menggelengkan kepala yang merogoh sesuatu dari balik saku celananya. Meletakkan sebuah kepingan CD di atas meja dan mencondongkan tubuh sebelum berbisik. Sudut matanya sempat teredar ke sekeliling atrium di gedung Agensi Kepolisian Nasional Jepang; berharap tidak menemukan polisi yang mungkin ditugaskan untuk mengawasi mereka.

"Apa ini?" Sai bertanya.

"Aku mendapatkannya dari tas Kakuzu sebelum salah satu polisi menyerahkan tas itu kepada Ibiki." Naruto dengan cepat mengangkat tangan saat Sakura ingin mengatakan sesuatu. "Aku tahu seharusnya aku tidak mengambilnya mengingat ini bisa dikatakan sebuah pelanggaran. Tapi jangan khawatir. Tidak ada yang melihatku mengambilnya. Kau hanya perlu memecahkan kode untuk membuka file-file yang ada di dalam sini. Hal itu sangat mudah bagimu, bukan?"

"Dan apa yang ada di dalamnya, Naruto? Kau hanya akan semakin membahayakan posisi kita jika tidak ada apapun di dalamnya, kau tahu?"

Si pirang mengedikkan bahu, menyandarkan tubuh pada sandaran kursi dengan kedua tangan yang terlipat di belakang kepalanya.

"Aku tahu jika apapun yang ada di dalam CD tersebut adalah sesuatu yang penting," kata Naruto. "Setidaknya bagi Kakuzu. Lagi pula, coba pikirkan. Apapun yang ada di dalam sana tidak akan diproteksi dengan kode yang rumit—yang bahkan aku sendiri tidak bisa membukanya—jika bukan sesuatu yang penting. Look, tidak ada salahnya untuk mencoba."

Naruto bersyukur Sakura atau Sai tidak mengatakan apapun. Senyum puas tersungging di wajahnya saat Sai perlahan meraih laptop milik Sakura dan berkutat dengan kepingan CD yang diberikan Naruto barusan.

Pekerjaan ini sangat cocok untuk pria berkulit pucat itu. Naruto tentu saja mengetahuinya. Sai adalah seorang hacker dan cracker yang bekerja di balik layar atas perintah FBI sebelum bergabung dengan timnya. Membobol sistem keamanan ataupun jaringan informasi adalah pekerjaan yang sudah biasa dilakukan Sai selama ini. Bukan hal yang sulit dilakukan oleh pria itu untuk membuka sebuah file yang diproteksi.

Dan benar saja, setelah sepuluh menit lebih berkutat dengan kode-kode biner yang terpampang di layar laptop, terdengar Sai mendesah pelan. Selama beberapa saat, Sai terlihat memerhatikan apa yang baru saja didapatkan. Naruto berniat menanyakan apa arti ekspresi yang diperlihatkan Sai sekarang sebelum rekan kerjanya dengan cepat memutar benda elektronik itu sehingga ia bisa melihat hasil pekerjaan itu. Kening Naruto berkerut sebelum kedua matanya melebar.

"Apa yang kita dapatkan?"

"Sepertinya kita mengetahui di mana 'dia' berada." Sai menjawab pertanyaan Sakura sebelum Naruto melakukannya; menuai pekik terkejut dari wanita berambut merah jambu tersebut. Naruto tidak perlu mendongakkan kepala untuk mengetahui jika saat ini Sakura tengah menatapnya. Tidak. Ia sudah bisa memastikan hal itu. Sakura akan selalu menatapnya dengan sorot mata yang sama sejak lima tahun terakhir jika mereka membicarakan orang itu.

Orang yang selama lima tahun ini tidak diketahui keberadaannya oleh Naruto. Orang yang selama ini dicarinya bahkan sampai ke ujung dunia. Orang yang keberadaannya selalu berada di pikiran Naruto.

"Sasuke," bisik pemuda pirang itu sembari menatap gambar seorang pemuda berkulit pucat yang terpampang di layar di hadapannya.


NPA Building — 5th Floor, 22:15

Gedung National Police Agency (NPA) sungguh sangat berbeda dibandingkan dengan gedung FBI. Polisi yang berada di tempat ini tidaklah sebanyak petugas-petugas di kantor polisi wilayah. Hanya terlihat beberapa petugas jaga di pintu masuk utama dan beberapa petugas lain yang berpatroli hanya di lantai bawah. Selebihnya, hanya terlihat keheningan di tempat itu.

Langkah kaki beratnya terdengar jelas di lantai tempatnya berpijak. Ia tidak mau repot-repot meredam decit yang timbul dari sol sepatunya yang bergesekan dengan lantai marmer di tempat itu. Kalaupun ada yang mendengar, bukan masalah besar untuknya. Ia bukanlah orang yang akan lari tunggang langgang hanya karena menemukan beberapa petugas polisi di tempat itu. Malah sebaliknya, ia berpikir jika petugas polisi yang mungkin akan ditemuinyalah yang akan bertemu nasib buruk malam ini.

Sosok berpakaian serba hitam itu menghentikan langkah kakinya setelah telinganya menangkap suara percakapan di ujung koridor tidak jauh darinya. Dengan perlahan, menempelkan tubuhnya pada dinding. Kepalanya sedikit terjulur untuk melihat berapa petugas polisi yang berada di sana.

Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi apapun saat menyadari hanya ada dua orang polisi Jepang berdiri di depan pintu; terlihat sibuk bercakap-cakap dan tidak menyadari keberadaannya.

Tangannya yang berbalut sarung tangan berwarna senada dengan pakaiannya terulur ke arah punggungnya. Menarik sebuah revolver—lengkap dengan peredam—sebelum mengacungkan senjata api itu ke arah dua polisi satu.

Hanya perlu dua tembakan singkat yang tepat mengenai dada untuk merobohkan dua polisi tadi.

Tidak perlu ada kekerasan. Tidak perlu ada alarm yang berbunyi.

Sosok itu kembali melangkahkan kakinya menyusuri sisa koridor. Berhenti di depan sebuah pintu berwarna biru pucat. Ia menyarungkan kembali revolver miliknya di pinggang, mengeluarkan kunci yang diambilnya dari petugas keamanan. Terdengar bunyi 'klik' pelan saat pintu di hadapannya terbuka.

Ruangan yang dimasukinya mempunyai penerangan yang minim—hanya berasal dari sebuah lampu neon kecil di tengah-tengah ruangan dan sebuah lampu pijar yang dipasang di balik sebuah sel tidak jauh dari pintu masuk. Ia berjalan mendekati sel besi tersebut. Wajahnya pasif setelah menangkap sosok yang duduk di tempat tidur sederhana yang menempel di salah satu dinding. Sosok itu terlihat menundukkan kepala dengan kaki yang disilangkan; terlihat seperti sudah menyadari kedatangannya. Tentu saja. Hal seperti ini sudah diduga Kakuzu akan terjadi.

"Aku tidak salah menduga mendengar suara tembakan di luar sana. Kau datang untuk mengeluarkanku, bukan? Cepatlah, aku sudah bosan berada di sini."

"Di mana Hidan?" sosok berpakaian serba gelap itu bertanya. Ia mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan Kakuzu.

Terdengar Kakuzu mendecakkan lidah. "Entahlah," kata pria bercadar itu. "Morino Ibiki membawanya sejak tadi sore. Mungkin dikurung di sel yang berbeda. Bagaimanapun juga, mereka sepertinya takut mengurung dua pembunuh bayaran di sel yang sama. Sudahlah. Kita bisa mencari Hidan setelah kau mengeluarkanku dari sini."

Terlihat Kakuzu menegakkan tubuhnya dengan enggan. Sembari membersihkan sisa debu yang menempel di jas, pria itu berjalan mendekati pintu keluar sel. Keningnya berkerut saat sosok di hadapannya tidak juga terlihat mengeluarkan kunci sel tersebut. Kedua matanya melebar saat menyadari sosok berpakaian serba hitam itu kini tengah mengarahkan ujung revolver ke arah dadanya. Sepasang iris gelap sosok tersebut terpaku sesaat kepadanya.

Terasa sangat lama bagi Kakuzu saat sosok itu menarik ujung pelatuk. Ya. Sangat lama. Walau demikian, ia yang terlalu terkejut atas apa yang dilakukan sosok itu tidak bisa melakukan apapun. Kakuzu terdiam di tempat sampai bunyi tembakan yang sedikit teredam menggema di ruangan sempit itu—mengarah ke dadanya, menembus permukaan kulitnya dan menyisakan rasa panas dan perih.

Dan tidak lama kemudian, tubuh tidak bernyawa Kakuzu merosot di dinding yang dingin. Sebuah peluru berhasil melubangi dadanya; menghentikan kinerja jantung pria itu hanya dalam hitungan detik.

End of Chapter 1 — Prelude


Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.


[a/n]: terlalu banyak menonton film crime dan suspense membuat saya nekat mempublish fan fiksi ini, orz. Saya perlu sedikit refreshing dari fan fiksi saya yang lain #dibantai terima kasih sudah menyempatkan membaca, minna-san~! Wanna review?