Tidak seperti biasanya rumah menjadi sepi, Rise tidur siang, Hinata sibuk di ruang kerjanya sedangkan Chiyo membersihkan halaman belakang. Sasuke pun telah pergi. Tetapi berapa lamakah? Lelaki itu pergi tanpa ada satu pun masalah disini terselesaikan di antara mereka. Dalam waktu beberapa hari, Sasuke mampu menyelamatkan hidupnya, mengetahui bahwa Rise adalah darah dagingnya, dan memberikan Hinata kekhawatiran yang besar akan keselamatan Rise.
Selama bertahun-tahun setelah kejadian pahit tersebut, Hinata yakin dirinya tak akan bertemu lagi dengan iblis penakluk itu, dan tidak akan ada ketakutan akan kehilangan Rise dari pangkuannya. Namun pada kenyataannya, perkiraan Hinata salah total. Sasuke datang dengan membawa ketakutan yang terbesar untuk hidupnya. Ia takut, sangat takut, Sasuke mungkin akan melakukan sesuatu hal yang mengerikan.
Tetapi, apakah perasaannya kepada Sasuke hanyalah ketakutan? Entahlah, namun Hinata pun tak yakin akan hal itu.
.
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto.
Warning : AU, Typo, DLDR.
Terinspirasi dari novel karya : Beverly Barton.
.
.
Pikiran untuk membunuh pria yang pernah ia cintai, atau paling tidak ia kira ia cintai, membuat dadanya terasa sesak. Ia terlahir untuk menyembuhkan bukan membinasakan. Tetapi ia juga terlahir sebagai seorang Heiress Hyuuga. Darah para pemimpin wanita mengalir di pembuluh darahnya.
Hinata memandang ke atas perapian dan mengamati samurai Heiress Himeko, samurai yang pernah digunakan dalam peperangan melawan Uchiha. Leluhur Hinata itu juga seorang penyembuh yang telah menggunakan kekuatannya untuk kebaikan. Tetapi ketika terpanggil untuk membela klannya, dia bertempur bersama suaminya. Samurai emas bertatahkan permata itu belum pernah dipindahkan dari tempatnya selama dua abad.
Dan hanya keturunan dari Himeko yang dapat menggunakannya dan menggambilnya dari dinding. Hinata tahu samurai itu miliknya dan merasakan bahwa suatu hari nanti ia akan menggunakannya. Tetapi ia tak pernah berpikir akan menggunakannya untuk membunuh ayah anaknya.
.
.
.
.
.
Ketika Sasuke telah sampai di rumah Itachi, tujuh ratus meter dari kompleks istananya sendiri, Istri Itachi yang bernama Ino menemuinya di pintu dan memberikan hormat. Wanita itu mengantarnya ke ruang utama yang besar dan terbuka di rumah mereka yang anggun. Sesuai intruksi, Itachi telah mengumpulkan para anggota Dewan Agung yang di percayai tanpa keraguan. Ketika Sasuke memasuki ruangan, setiap orang berdiri dan membungkuk memberi hormat.
Bagi Sasuke, Itachi dan Ino sudah sama dekatnya seperti saudara laki-laki dan perempuan tercinta. Dan Sasuke hanya menghormati sedikit orang seperti ia menghormati penasihat Homura dan Koharu. Ia dengan cepat mengamati orang-orang lain yang hadir seperti Suigetsu, Juugo, Izuna, Gaara, Temari dan Kankurou. Tapi ia tak melihat Karin. Tidak diragukan lagi, Karin telah bergabung dengan Danzo.
Sasuke menatap langsung Itachi. "Apa yang bisa kau temukan, Aniki?"
"Danzo menghasut Karin agar bergabung dengannya, dan akan memberikan kedudukan yang tinggi apabila Danzo nanti menjadi pemimpin klan. Tidak ada keraguan lagi, Karin bekerja sama dengan Danzo untuk melawanmu," Ucap Itachi.
Sasuke mengangguk dan tak terkejut atas apa yang di ucapkan saudaranya, Itach berpaling kepada Shikamaru yang membungkuk sebelum berbicara kepada Sasuke. "Meskipun kami belum mempunyai bukti yang nyata, tapi kami tahu bahwa Danzo mengirim pasukan untuk membunuhmu. Dan kami setuju kejahatan ini tidak bisa di biarkan tak terhukum."
"Tidak akan," Sasuke meyakinkan mereka.
"Mereka semua akan dibereskan," Sasuke memberitahu saudaranya.
"Kapan?" Juugo bertanya.
"Secepatnya," Jawab Sasuke.
Juugo menunduk, menunjukkan penghormatan. Lalu Itachi memandang Temari yang melangkah maju, membungkuk memberi penghormatan kepada Sasuke. "Tuanku, pamanmu tidak hanya mengirim Kabuto untuk membunuh Heiress Hinata, tetapi juga memerintahkan serangan kepada saudara lainnya seperti Neji sang pemimpin Hyuuga dan Hanabi sang peramal Hyuuga."
Temari menunggu respon Sasuke atas laporannya namun Sasuke tetap diam. Kemudian ia pun melanjutkan, "Semua usahanya gagal. Market terbesar yang dimiliki Neji seluruhnya hancur terbakar dan Neji tetap selamat. Dan Hanabi, ia selamat. Ternyata Sai membunuh temannya yang mirip dengan Hanabi. Dan kini Hanabi bersembunyi."
"Dasar keparat, kenapa dia begitu bodoh," Suara Sasuke bergema seperti gemuruh petir. "Tindakan Danzo hanya akan mengumumkan kepada klan Hyuuga bahwa Uchiha akan mengadakan perang kembali setelah dua ratus tahun yang lalu. Dan hanya perlu beberapa waktu Hyuuga akan mengetahui ini, siapa yang menyerang mereka."
Itachi meletakkan tangannya keatas bahu Sasuke, "Aku takut Danzo akan berencana menyerang Hyuuga jauh lebih cepat dari perkiraan kita semua."
"Kita belum siap," Ujar Sasuke. "Dan kita tidak bisa memenangkan peperangan ini jika kita melawan mereka sekarang."
"Danzo percaya kita sudah siap," kata Homura. "Dia tidak berencana menunggu sampai kau memutuskan kita sudah cukup kuat untuk melawan Hyuuga. Dan dia akan menyerang saat ia memutuskan."
"Kapan ?" Sasuke bertanya.
"Kami tidak tahu. Tetapi kami percaya tidak akan lama lagi. Mungkin dalam beberapa bulan atau lebih cepat," Jawab Homura.
"Dia memang memancingku untuk berbuat kasar. Dan dia juga telah meracuni orang lain dengan kegilaannya." Ucap Sasuke.
"Apa yang akan kita lakukan?" Tanya Koharu. "Jika kau menangkap Danzo maka pengikutnya akan menyerang dan menimbulkan perpecahan pada klan Uchiha. Bila kau melakukan itu maka kita tidak akan bisa merahasiakan keadaan kita pada Hyuuga. Tetapi bila kau memilih pergi berperang melawan Hyuuga bersama Danzo, aku melihat akhir dari klan Kita."
Sasuke berjalan menuju Koharu yang sudah tua renta termakan usia, mengenggam kedua tangannya dan bicara dengan rasa hormat seperti anak berbicara kepada ibunya yang sudah tua. "Kau wanita kamu yang paling arif. Pengelihatanmu membawa kebaikan kepada kami. Dua pilihan yang tersedia bagiku tampaknya sama-sama membawa kehancuran bagi Uchiha."
Mempererat genggamannya pada tangan Sasuke, Koharu memejamkan mata. Tubuhnya bergetar dari kepala sampai ujung kaki. Sasuke mencoba menarik diri, tetapi wanita tua tersebut berpegangan kuat kepadanya. "Hari-hari klan Uchiha sedang mencapai akhir."
Sasuke menyentak lepas genggaman tersebut. Koharu membuka mata. "Kau punya pilihan sulit untuk dibuat, tuanku. Apa pun yang kau putuskan, kami hamba-hambamu yang setia, akan mematuhi perintahmu."
Sasuke tidak yakin, tetapi ia merasa Koharu mengetahui tentang Rise.
.
.
.
.
.
Pertemuan telah selesai. Semuanya telah bubar. Dan tinggal Sasuke berserta Itachi. Itachi menatap saudaranya. Baru kali ini ia melihat Sasuke menampakkan ekspresi seperti itu. Seperti kebingungan.
"Daijobuka, Otouto?" Itachi bertanya.
"Hyuuga Hinata memiliki seorang anak perempuan, seorang puteri berumur 7 tahun."
Itachi menatap penuh tanda tanya pada Sasuke.
"Dan dia adalah darah dagingku, yang terjadi pada saat delapan tahun yang lalu."
Itachi pun tersadar. "Anak itu anakmu!" ia terkesiap. "Dia berdarah campuran, setengah Uchiha dan setengah Hyuuga?"
"Ya." Sasuke melekatkan tatapannya pada sang kakak.
"Puteriku memiliki kekuatan yang tak tertandingi. Dan bisa menjadi senjata kita untuk mengalahkan Hyuuga."
"Atau dia bisa menjadi penyebab kehancuran klan kita," Tambah Itachi.
.
.
.
.
.
Danzo mempersilahkan Sai masuk kerumahnya dan menuangkan segelas minuman untuk pengikutnya. Meskipun tak sabar ingin mendengar apa yang telah didapatkan oleh detektif Uchiha yang cerdas ini tentang Hyuuga Hinata, ia akan menjadi tuan rumah yang baik agar Sai tetap menjadi pengikut setianya. Ia pun mengharapkan berita baik, terungkapnya rahasia agar dapat melawan Sasuke.
"Silahkan duduk dan bersantailah," Ucap Danzo.
"Terima kasih, tuanku." Tangan Sai agak bergetar saat ia mengangkat gelas yang berisi Whisky dan terkesiap saat minuman keras itu masuk meluncur ketenggorokannya. Sai pun duduk seperti yang diperintahkan oleh Danzo.
Berharap untuk membuat pria itu nyaman, Danzo duduk didepannya, berusaha sebaik mungkin untuk tidak kelihatan bersemangat. "Aku senang kau sudah bekerja begitu cepat mengumpulkan laporan tentang Hyuuga Hinata."
Sai menyesap Whisky untuk kedua kalinya, lalu meletakkan gelas. "Didunia luar, sedikit yang di ketahui tentang dia. Dia jarang meninggalkan Hokkaido, kecuali bila ada kasus-kasus darurat didaerah sekitar tempat itu."
"Itu sudah ada dalam perkiraanku, dia pelindung rumah induk di Hokkaido."
Sai mengangguk. "Dia memiliki seorang puteri."
"Kau bilang puterinya?" Danzo terkesiap.
"Ya, tuanku."
"Hyuuga Hinata mempunyai anak?"
"Ya, tuanku. Seorang anak berumur tujuh tahun."
"Dan suaminya?"
"Aku tidak menemukan keterangan apapun tentang suaminya, itupun jika dia memiliki suami," Ucap Sai.
"Apa kau bermaksud mengatakan bahwa anak itu anak diluar nikah?"
"Tampaknya begitu."
"Apakah kau mengetahui ia melahirkan dimana? Atau siapa teman dekatnya?"
"Tidak ada, tuanku. Hinata tidak melahirkan dirumah sakit manapun. Dan tidak ada catatan tentang anak itu."
"Aku ingin kau gali lebih dalam tentang anak itu."
Sai mengangguk.
"Apa kau bisa mendekskripsikan ciri-ciri anak itu?" Tanya Danzo.
"Tidak. Tetapi aku bisa mencarinya jika kau mau, tuanku."
"Ya, carilah semua tentang anak itu. Dan beritahu aku lebih cepat."
"Baiklah, tuanku."
"Sekarang kau boleh pergi."
Sai mengangguk dan keluar dari rumah Danzo.
Danzo pun mendapatkan firasat buruk tentang anak itu. Ada apa ini? perasaan apa ini? Pikirnya.
.
.
.
.
.
Hinata merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Kemudian melihat jam yang berdentang didinding kamarnya. 'Pukul 22.30' Pikirnya.
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi.
"Moshi-moshi." Ujar Hinata.
"Moshi-moshi Hinata. Kau tak apa-apa?"
"Hanabi?"
"Ya. Aku."
"Da-Daijobuka?"
"Ya, tak perlu panik. Aku masih utuh dan aman."
"A-Aman dari apa?"
"Neji tidak memberitahumu ya?"
"Ha-Hari ini dia menelponku pagi-pagi sekali, tetapi tidak menyebutkanmu."
"Waktu itu dia belum menerima kabar dariku."
Hinata memejamkan matanya dan berkonsentrasi, mengarahkan kekuatannya. Ia berusaha untuk selalu menggunakan kekuatan-kekuatannya yang lebih kecil. Seperti kemampuannya merasakan kondisi fisik dan emosi orang lain dari jarak jauh, hanya bila perlu.
"Si-Siapa yang kau takuti?" tanya Hinata.
"Astaga, aku harap kau tak melakukan itu terhadapku. Kau menyelidiki pikiranku padahal aku tidak mengizinkannya."
"Ka-Kau menelponku. Bukan aku yang menelponmu." Ujar Hinata mengingatkan.
"Kau benar. Aku minta maaf. Aku di Lviv, tinggal dengan temanku. Neji tahu tempatku berada. Sebenarnya dia mengirimku kesini. Kau tahu, semalam ada yang membunuh temanku."
"A-Apa kau perlu datang ke Hokkaido?" tanya Hinata.
"Astaga! Itu tidak perlu. Aku baik-baik saja disini."
"Apa belakangan ini kau mendapatkan pengelihatan aneh?"
Hanabi tertawa gugup, "Neji menanyakan hal yang sama tetapi aku tidak tahu. Aku bingung."
"Pulanglah." Kata Hinata.
"Tidak, aku akan tinggal disini beberapa hari lalu kita lihat nanti."
"Ba-Baiklah, Hanabi berhati-hatilah. Demi, amannya saja."
"Pasti."
Hanabi pun menutup teleponnya. Dan Hinata kembali hanyut dalam lamunannya. Kemudian gagang telepon terlepas dari tangannya saat mendengar jeritan puterinya.
"Kaasan!"
Jantung Hinata berhenti berdetak mendengar teriakan ketakutan Rise. Ia melompat bangun, menarik gagang pintu kamarnya kemudian berlari menuju kamar Rise. Dan ia melihat Chiyo yang sedang menenangkan Rise. Tetapi Rise melawan Chiyo.
"Kaasan!"
Hinata berusaha mendekat dan menenangkan anaknya. "Tidak apa sayang, Kaasan disini bersamamu."
Rise bergelayut pada Hinata, tubuh kecilnya gemetar tak terkendali.
"Apa kau bermimpi buruk?" Tanya Hinata.
"Ini lebih dari mimpi buruk Kaasan." Rise merengek dalam pangkuan Hinata sambil memeluknya dengan erat. Hinata pun mencoba merapikan rambut lurus panjang Rise, ia menyadari bahwa puterinya bermandikan keringat.
"Tousan dalam bahaya," Ucap Rise. "Kita harus menolongnya."
Hinata terkejut, apakah puterinya hanya mengada-ada? Ia pun bertukar pandang dengan Chiyo. "Itu pasti hanya mimpi buruk. Ayahmu akan baik-baik saja, sayang," Hinata mencoba untuk menenangkan Rise.
Rise menggeleng dengan cepat, "Tidak Kaasan. Aku melihat seorang lelaki yang sudah tua merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Ayahku. Kumohon Kaasan hubungi Tousan. Aku sangat menghawatirkannya." Mata Rise pun berkaca-kaca.
Hinata terpaku. Apakah sebegitu besarnya cinta Rise kepada Sasuke? Apakah kelak Rise akan lebih memilih Sasuke dibanding dirinya? Hinata bertaruh ia tak akan sanggup kenyataan tersebut.
Rise menengadah pada Hinata yang tengah diam, "Kaasan, bolehkah aku menghubungi Ayahku sekarang?"
"Ya, boleh." Kali ini Hinata tidak ragu untuk mengabulkan permintaan malaikat kecilnya.
Rise memejamkan mata dan berkonsentrasi untuk melakukan Telepati. Selagi Rise sibuk berkonsentrasi, Hinata mengenggam tangan Rise dan menjalin hubungan dengan pikiran putrinya, berbagi kesadarannya.
Tousan?
Tidak ada jawaban.
Tousan, apa kau bisa mendengarkan aku?
Hening.
Tousan?
Hening.
Rise membuka matanya dan menatap Hinata. "Dia tidak menjawabku. Bahkan dia tidak membiarkan aku masuk kedalam pikirannya."
Hinata merasakan amarah Rise akan memuncak kembali. Ia pun meremas tangan Rise. "Kita akan mencoba bersama-sama."
Senyum Rise pun mengembang di pipinya. Dan itu senyum Sasuke. Dan Hinata tahu bahwa gadis kecil ini mewarisi mulut ayahnya.
Setelah Rise memejamkan matanya, Hinata pun melakukan hal serupa.
Tou-san.
Sasuke.
.
.
.
.
.
Sasuke duduk sendiri ditempat tidurnya, tidak ada waktu baginya untuk istirahat, otaknya penuh dengan pikiran-pikiran mengenai rapat dewan rahasia tadi. Harus ada cara menghentikan kegilaan Danzo tanpa menjerumuskan klan Uchiha dalam perang saudara. Karena telah memakan waktu yang lama untuk menggabungkan seluruh pasukan Uchiha yang pernah terpencar akibat perang beratus tahun yang lalu. Dan sejauh pengetahuan dunia manusia, Sasuke adalah seorang pengusaha kaya.
Tousan.
Sasuke.
Sial, apa-apaan ini?
Ia mendengar suara Rise. Dan suara Hinata.
Tousan, tolong jawab aku! Aku harus memperingatkanmu.
Hentikan sekarang! Sasuke mengirim pesan mental dengan kekuatan kasar, cukup mengejutkan Hinata tanpa mencelakai Rise. Kalau kau harus menghubungiku, telepon aku di ponselku. Ia menyebutkan beberapa digit angka, sekali. Lalu, menggunakan seluruh kekuatannya, ia memblokir Rise dan Hinata sepenuhnya.
Pada saat Sasuke mengulurkan tangan mengambil ponselnya tergeletak di meja persegi dekat pintu yang mengarah ke balkon lantai dua, telepon itu sudah bergetar.
Ia langsung menjawab, "Ya?"
"Sa-Sasuke, Rise bersikeras berbicara denganmu." Ucap Hinata.
"Kau tidak pernah boleh mengizinkannya menghubungiku lewat telepati lagi. Kau mengerti?"
"A-Ano, aku tak mengerti," Kata Hinata. "Je-Jelaskan padaku."
Sasuke mendengus kesal. Ia pemimpin Uciha. Ia tidak perlu menjelaskan apa pun pada siapa pun.
"Aku punya musuh."
"Musuh dengan kemampuan menerima pesan-pesan telepati?"
Bagaimana Sasuke harus menjawab? Tidak menyampaikan seluruh kebenaran selalu jadi keputusan yang baik. "Ya. Aku punya paman. Kami dulu adalah partner bisnis. Sekarang kami musuh bebuyutan."
"Ja-Jadi ia pria jahat yang Rise yakini hendak me-membunuhmu."
Sasuke mendengar Rise berkata, "Kaasan, biarkan aku berbicara padanya."
"Ri-Rise ingin bicara denganmu."
Suara yang di dengar Sasuke selanjutnya adalah suara Rise. "Tousan?"
"Ya, Rise."
"Dia sangat membencimu Tousan. Dia hendak membunuhmu. Tetapi aku takkan membiarkannya. Kaasan dan aku akan membantumu."
Meskipun merasa kagum pada anak hasil kencan semalamnya dengan Hyuuga Hinata, Sasuke tidak tahan untuk tersenyum khasnya memikirkan bagaimana Hinata pasti membenci kenyataan bahwa Rise bersekutu dengannya. Dengan ayah putrinya, sang Dranir Uchiha.
Tetapi pada kenyataannya, Hinata belum mengetahui bahwa dirinya adalah Dranir Uchiha, tidak tahu bahwa klan Uchiha sekali lagi telah menjadi sekuat dan sebanyak klan Hyuuga.
"Rise, aku tidak ingin kau mencemaskanku. Aku tahu siapa orang itu, dan aku bisa melawannya sendiri. Aku tak butuh kau untuk membantuku."
"Kau akan memerlukanku, Tousan. Kau akan memerlukanku."
"Berikan teleponnya pada ibumu." Kata Sasuke.
"Berhati-hatilah." Rise memperingatkan.
"Sa-Sasuke?" Apa itu? Apakah ada kesan cemas di suara Hinata? Pasti tidak. Wanita itu sangat membencinya.
"Jangan biarkan Rise menghubungiku lagi."
"Ba-Bagaimana jika aku tak bisa menghentikannya?"
"Bujuk dia."
"Mu-Mungkin jika kau menghubunginya sesekali _"
"Aku kira kau ingin aku keluar dari hidupnya. Apa kau sudah berubah pikiran?" Sasuke menyunggingkan bibirnya.
"Ti-Tidak tidak, aku belum berubah pikiran," Hinata mencoba mempertegas ucapannya. "Te-Tetapi Rise tidak bersedia membiarkanmu pergi, da-dan aku tak ingin dia kesal terus menerus."
Permainan macam apa yang di mainkan Hinata saat ini, pikir Sasuke. Bersikap plin-plan? Mengusirnya. Meminta dirinya kembali. Lalu jangan melihat Rise lagi tetapi malah menyuruhnya menelpon Rise sesekali.
"Beritahu Rise aku akan menelponnya segera."
"Ba-Baiklah. Da-Dan Sasuke _"
"Hn?"
"Ka-Kau tahu bagaimana perasaanku."
"Hn, Aku Uchiha dan kau Hyuuga. Kita musuh abadi."
"Be-Benar. Aku Cuma mau memastikan Ki-Kita saling mengerti."
"Hn, tidurlah yang nyenyak Hinata. Dan bermimpilah tentangku." Ujar Sasuke menggoda sebelum ia mengakhiri panggilan.
.
.
.
.
.
Ini sudah hari keempat Sasuke berada di tempat persembunyian klannya. Ia menyusuri pantai bersama saudaranya Itachi yang selalu setia bersamanya.
"Mungkin itu hanya jebakan." Tebak Itachi.
"Tujuannya apa? Bila itu benar mengapa Hinata ingin aku percaya bahwa Rise beradu kekuatan Supranatural dengan Danzo?"
"Memancingmu kembali ke persembunyian mereka?"
"Apa alasannya? Wanita itu membenciku dan jelas-jelas tidak ingin aku berada dekat dengan Rise."
"Maafkan aku karena bertanya, tetapi apa kau benar-benar yakin bahwa Rise adalah putrimu? Tidakkah mungkin bahwa _"
"Dia anakku." Sasuke meyakini fakta tersebut seperti ia yakin bahwa esok hari matahari akan terbit di timur.
Flashback ON.
Sasuke sedang asyik berkutik dengan laptopnya untuk mengerjakan beberapa urusan bisnisnya. Walaupun ia seorang Dranir, tetapi ia tetap memiliki tanggung jawab terhadap bisnis yang sedang ia jalani.
Saat ia sedang sibuk dengan urusannya, tiba-tiba saja handphonenya berdering.
"Hn?"
"Mo-Moshi-moshi Sasuke, Rise dalam bahaya," Suara Hinata terdengar ketakutan di sebrang sana. Entah apa yang telah terjadi, tapi jika ini menyangkut tentang masalah anaknya maka ia tak akan tinggal diam.
"Hn, apa yang terjadi?" sekalipun Sasuke sedikit cemas namun ia tetap menyembunyikannya. Bertingkah seolah-olah ini adalah suatu hal yang tak perlu ditakutkan.
"A-Ada seseorang sedang mencoba menghubungi Rise melalu telepati. Ia me-mencoba untuk menghancurkan selubung perlindunganku yang aku pasang pada Rise."
"Lalu?"
"Ia juga mencoba masuk kedalam pikiran Rise, te-tentu saja Rise tak mengizinkannya. Alhasil Rise mendapatkan serangan mental. U-Untungnya tidak parah, a-aku takut itu ulah pa-pamanmu." Tiba-tiba saja suara Hinata terdengar mencicit.
Jantung Sasuke berdetak. Tidak! Bagaimana bisa keparat Danzo mengetahui tentang Rise? Ternyata Danzo tak bermain-main untuk menjatuhkannya.
"Hn, tak perlu khawatir selagi Rise dapat menutup pikirannya dan tidak mencoba berbicara pada Danzo maka semuanya akan baik-baik saja. Sebagai seorang ibu kau pun harus lebih memperhatikannya."
"Cho-Chotto matte, A-apakah kau berpikir aku lalai?" Nada Hinata berbicara naik satu Oktaf.
"Hn, tentu saja. Baiklah, kurasa pembicaraan ini cukup sampai disini. Pekerjaanku menumpuk."
Flashback OFF.
"Jika Danzo bisa menduga bahwa Rise adalah anakmu maka ia pasti akan mencoba untuk membunuhnya," Ujar Itachi. "Dan tidak ada orang yang akan menghentikannya atau menghakiminya karena dia hanya mematuhi maklumat kuno untuk membunuh semua anak yang berdarah campuran."
"Hn, dan aku akan mengadakan pertemuan dewan hari ini. Hanya mereka yang setia padaku. Dan aku akan mengumumkan bahwa aku sudah menganulir maklumat itu. Cukup dengan tanda tanganku dan disaksikan dua anggota dewan, aku punya kuasa untuk menganulir maklumat apapun."
"Dewan akan mempertanyakan kenapa _"
"Aku Dranir. Aku tidak wajib memberi jawaban apapun pada siapapun, bahkan sekalipun itu adalah Dewan Agung."
.
.
.
.
To Be Continued.
A/N : Ga perlu berbasa basi disana sini, saya minta maaf atas keterlambatan memposting chapter ini. Mungkin sudah satu tahun lebih saya tidak memposting fic ini. Dan itu resmi kesalahan dan tidak adanya tanggung jawab saya sebagai Author *bungkuk-bungkuk*. Saya telah memasuki masa kuliah, dan ini adalah hari libur yang saya sempatkan untuk memposting chapter 4 The Dark. Saya masih mengharapkan para Reader dan Silent Reader menyempatkan diri membaca dan memberi 'Review' atas kekurangan dan perbaikan yang harus saya perhatikan pada chapter mendatang. Buntunya ide selalu menghantui saya dan mengeliling pikiran saya, jadi mohon pengertiannya. Terima kasih kepada Reader yang memberikan perhatiannya lewat Review yang berharga, tapi saya belum sempat membalas satu persatu. Dan semoga hal tersebut tidak mengurangi niat anda untuk mengkritik dan memberi perbaikan kepada saya
Tunggu chapter berikutnya (^o^)
Mind to RnR?
Just clik 'Review'