Summary :

Demi mengejar Kakashi Hatake, Sakura rela menjadi guru SMA di sekolah yang sama. Namun nyatanya menjadi guru sama sekali tidak mudah. Terutama jika ada seorang Namikaze Naruto sebagai muridnya.

.

.

Di ruangan kepala sekolah Konoha High School, Sakura Haruno menatap Tsunade yang sedang duduk di bangku mejanya. Wanita berambut pirang itu sedang merapikan beberapa map yang dia pegang. Salah satunya dia berikan ke Sakura, keponakannya yang sudah berdiri tegap dengan wajah serius.

"Kau tinggal menandatangani ini, dan selamat, kau sudah resmi menjadi guru baru di sini." Katanya, lalu ia sodorkan sebuah pena.

Wajah Sakura langsung berseri-seri. "Benarkah? Jadi... dengan ini aku sudah menjadi seorang guru freelancer?"

"Hm... tapi kau belum benar-benar lulus—masih ada satu tahap penilaian yang akan kau lewati nanti." Bibir Tsunade yang terpoles lipstick itu tersenyum. "Jangan sia-siakan kepercayaanku padamu, ya?"

Wanita berumur 20 tahun itu tersenyum manis. "Tentu saja, Tsunade-basan!"

Sakura lantas menorehkan tanda tangannya dengan suka cita. Untung saja Tsunade Senju—sang kepala sekolah—adalah tantenya, jadi dia pun dengan mudah mendapatkan perkerjaan tersebut. Ah, tapi jangan salah menilai dulu. Sebenarnya Sakura mau bekerja di sekolah ini bukan karena ingin mencari sumber penghasilan, ataupun gemar mengajar. Ia cuma ingin bertemu dengan Kakashi Hatake, seorang guru yang pernah membuatnya merasakan cinta pada pandangan pertama.

Dulu saat Sakura kuliah, ia ingat sekali saat Kakashi datang ke ruangannya dan mengaku sebagai asisten dosen untuk sementara waktu. Dan di detik itulah feromon Kakashi membuat Sakura terkontaminasi. Ia deg-degan, salah tingkah, dan nge-fly ke mana-mana selayaknya anak perempuan yang baru saja beranjak remaja.

Namun, berhubung Kakashi hanya menjadi asisten peganti, guru berambut perak jabrik itu lama-lama menghilang, tak lagi datang. Dan setelah Sakura mencari info ke sana-sini, ia baru tau kalau Kakashi adalah seorang pengajar tetap di SMA yang dibina oleh tantenya sendiri, Konoha High School.

Karena itu, sekarang Sakura sudah ada di sini, di tempat Kakashi berada. Ia datang sebagai guru baru dan mempunyai misi untuk membuat Kakashi juga jatuh cinta balik kepadanya. Itu harus berhasil!

"Nah, ruanganmu berada di lantai 4, Sakura. Silahkan kalau mau lihat-lihat, tapi lebih baik pulang, ini sudah sore."

Sakura mengangguk sebentar dan langsung menerima sebuah kunci loker dari Tsunade. "Oke, tapi sebelumnya aku mau menaruh peralatanku dulu ke loker guru di atas."

"Baiklah."

.

.

.

DEAR TEACHER

"Dear Teacher" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Naruto Namikaze x Sakura Haruno]

Romance, Drama, Friendship

AU, OOC, Typos, etc.

.

.

FIRST. Guru Baru

.

.

Setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, Sakura menghela nafasnya dalam-dalam. Ia perhatikan langit jingga keunguan yang tampak jelas di balik jendela koridor. Dia sunggingkan sebuah senyuman untuk menyapa malam, lalu ia berjalan menuju tangga yang akan menghubungkannya ke lantai empat, ke ruang guru. Dalam hati ia cuma berharap bisa duduk di sebelah meja Kakashi.

Cklek.

Sakura meraih daun pintu dan menggesernya supaya terbuka. Pemandangan berupa meja-meja kosong yang terjejer rapi di depannya terlihat, walau tak begitu jelas akibat ruangan gelap yang remang-remang. Sakura merambatkan tangannya ke dinding untuk menekan saklar.

Ctik.

"Hei, siapa yang menyalakan lampu?"

Kalimat tadi membuat Sakura berbalik dan memandang ke sekeliling. Tentu ia kaget. Saat jam sudah menunjukan pukul enam sore, di mana sekolah sudah bubar, dan ruangan terlihat kosong, tau-tau ada suara yang muncul di sudut ruangan. Menelan ludah, wanita beriris emerald itu mengernyit sebentar dan berjalan mendekati asal suara. Berhubung meja tiap guru di fasilitasi sebuah pembatas yang cukup tinggi, Sakura terpaksa memeriksa meja satu per satu.

Lalu saat dia sampai ke meja yang berlabel nama 'Kakashi', di situlah Sakura dapat mendengar suara decitan bangku. Jantungnya berdegup kencang. Siapa tau itu Kakashi, kan? Sakura mendekat. Dia datangilah meja tersebut.

Srek!

Seorang siswa berambut pirang memunculkan wujudnya. Dirinya masih duduk di kursi, kedua telinganya ditutupi oleh sebuah head set besar. Melihat Sakura, segeralah ia—yang bisa disebut Naruto—mengangkat salah satu sisi head set-nya. Bersama sebatang rokok yang terselip di bibir, ia tertawa pelan.

"Ah, kukira kau Tsunade-baachan..."

Dia kembalikan tubuhnya ke posisi semula, menghadap ke layar komputer, melanjutkan game online-nya. Sakura menganga. Masalahnya saat ini yang ada di depannya adalah seorang murid, kan? Tapi kenapa dengan santainya ia memainkan game di komputer ruangan guru. Merokok, pula. Apa itu tidak salah?

Tak bisa membiarkannya, Sakura menyentak kepalanya keras-keras. "Hei, kau! Jangan merokok di sini!"

Naruto meliriknya ulang. Mata safir bulatnya mengerjap pelan, tangannya mengambil rokok tersebut dari bibirnya. "Eh? Iya, ya? Tidak, tuh. Aku tidak merokok."

Sakura menggeram. Sudah ketahuan begini masih saja mengelak. "Lihat ini!" Dipukulnya tangan Naruto sampai putung itu terjatuh ke lantai. "Itu juga!" Kali ini ditunjuknya pula sebuah asbak—yang dipenuhi oleh abu—di meja Kakashi.

"Yang itu bekas Kakashi-sensei—"

"Tidak mungkin, Kakashi pasti sudah pulang! Sekarang, cepat kau bereskan semuanya!"

"Aku ke sini tuh cuma mau main di komputer Kakashi-sensei. Tapi kenapa kau seenaknya datang dan mengganguku?" Dia pandangi sosok Sakura dengan tatapan sinis. "Terlebihnya lagi, aku aja tidak kenal kau siapa."

"Dengar, ya..." Ditepuknya rambut jabrik Naruto sampai beberapa poni pirang itu menjatuhi keningnya. "Aku ini guru barumu, jadi jangan bertindak tidak sopan padaku."

Salah satu alis Naruto naik sebelah. "Kau sendiri yang tidak sopan padaku. Lihat tanganmu ini."

"Karena kau masih anak kecil." Sakura mengacak-acak rambut Naruto.

Raut wajahnya berubah. "Apaan sih? Aku tidak suka dianggap anak kecil."

"Kau memang anak kecil, akuilah itu."

"Kau juga masih kecil. Tubuhku lebih besar dibanding dirimu."

"Meski begitu aku sudah 20 tahun." Sakura menaikan salah satu sudut bibirnya. Sepertinya di perdebatan kecil ini dia yang menang.

"Aku 18; kita cuma beda 2 tahun." Ditepisnya perlahan tangan Sakura, dan tanpa mengeluarkan ekspresi, Naruto berjalan keluar ruangan guru.

Sakura inginnya memanggil murid itu, namun apa daya kalau ia tidak tau namanya? Dilihatnya meja Kakashi yang masih berantakan. Sakura menghela nafas, sepertinya dia harus membersihkan meja tersebut. Siapa tau jika ia asal tinggal, nanti malah dia yang malah dituduh memberantaki meja Kakashi?

.

.

~zo : dear teacher~

.

.

Keesokan paginya, Sakura bangun 30 menit lebih awal dari biasanya. Tentu karena ia sudah sangat siap menjalani hari pertamanya sebagai guru. Dengan seragam pengajar yang melekat erat di tubuhnya, dia membawa map yang berisikan materi-materi semester ganjil yang akan dia ajarkan ke angkatan kelas 12.

Tepat di jam 06.30, Sakura sudah sampai ke ruang guru di lantai 4. Dia menaruh barang-barangnya di loker, mengisi absensi, lalu barulah ia duduk dengan anggun di mejanya sendiri. Saat itu Sakura baru sadar kalau mejanya berhadapan dengan meja Kakashi. Meski bukan bersebelahan, tak apalah. Setidaknya ia bisa memperhatikan wajah Kakashi dari depan.

Tapi sayangnya sekarang Kakashi belum datang.

Di sela lamunannya, ada seorang guru yang menyapa. Dia bernama Kurenai Yuuhi, guru bahasa asing. "Sakura-san, kau terlihat semangat sekali..."

"Iya, ini hari pertamaku. Jadi aku harus semangat dong."

Kurenai tertawa kecil. "Kelas pertama yang akan kau ajar itu 12-A, ya?"

"Hm. Tempat anak-anak terpintar di angkatan 12 ini, kan?"

"Benar..." Jelasnya. "Kelas 12-A selalu tenang, tidak ada yang pernah ribut. Kau pasti betah mengajarnya."

"Iya, tapi aku juga akan mengajar kelas 12-B dan 12-C." Sakura tersenyum gugup. "Itu kelas reguler. Sepertinya akan lumayan sulit."

Kurenai mengangguk. "Yang penting, selamat datang di sekolah ini dan selamat berusaha."

"Terima kasih..."

Usai pembicaraan singkat tadi, Kurenai kembali ke mejanya yang terletak jauh di ujung sana. Sakura mengulum senyum, ia baru teringat fokus utamanya, Kakashi Hatake. Sakura menyempatkan diri agar sedikit mengadah, memeriksa meja apa Kakashi sudah ada di mejanya atau belum. Namun tetap, mejanya masih kosong. Sakura menghela nafas panjang-panjang. Mungkin ia harus menunggu. Waktu menjadi asisten dosen sementara saja ia paling sering terlambat.

Eh, tapi apa Kakashi baik-baik saja? Apa jangan-jangan dia sakit?—Sakura sudah panik sendiri.

Waktu terus berjalan dan ini sudah jam 7.15, bahkan bel masuk sudah berdering sejak 15 menit yang lalu. Akhirnya ada bunyi kecil dari pintu yang terbuka. Sakura menoleh pelan dan ternyata benar dugaannya. Itu Kakashi. Sesosok guru berbadan tegap berjalan memasuki ruangan. Rambut peraknya berdiri ke atas, poni acak-acakannya menutupi salah satu mata sayunya. Tak lupa dengan sebuah masker putih khas orang sakit yang sedari dulu terus menempel di wajahnya.

Sakura menelan ludah. Ia senang—teramat sangat senang. Kedua matanya terbuka dan pipinya sontak memerah. Cepat-cepat ia ambil cermin dan mengaca, merapikan penampilannya, lalu menjauhkan sederet peralatan make up-nya sesaat Kakashi akan berjalan melewati belakangnya. Sakura ingin tampil senatural mungkin di depan pria berusia 30 tahunan itu.

Sesaat Kakashi sudah duduk di depannya, Sakura melihat ke arahnya. Baru saja Sakura akan menyapa Kakashi, sebuah deringan bel kedua di jam 07.30 mengacaukan rencananya.

"Ini sudah waktunya mengajar. Cepat ambil bukumu, Kakashi." Iruka, guru yang ada di sebelah Kakashi, menasihati. Kakashi menguap sebentar kemudian berdiri dengan buku di tangan.

Sakura mengerucutkan bibir. Rencana untuk menyapa Kakashi gagal.

.

.

~zo : dear teacher~

.

.

Jam 9.30 lewat beberapa menit, Sakura sedang berhadapan dengan pintu kelas 12-A—destinasi pertamanya untuk mengajar. Ada setitik rasa gugup dan cemas yang ia rasakan, tapi bulat-bulat ia menelannya. Ia harus berani. Semenit di tempatnya berpijak, akhirnya Sakura meyakinkan diri membuka pintu. Ia harus menciptakan kesan yang baik di sini.

Saat Sakura masuk, siswa-siswi yang sebelumnya masih mengobrol langsung terfokus ke orang yang ada di depan kelas. Kebanyakan dari mereka kebingungan saat melihatnya ada seorang gadis muda yang menduduki bangku meja guru.

"Selamat pagi, anak-anak. Aku adalah guru biologi baru yang akan mengajar kalian. Namaku Sakura Haruno. Kalian bisa memanggilku Haruno-sensei." Ucapnya. Terdengarlah bisik-bisik kecil dari penghuni kelas.

Seseorang mengangkat tangannya, tanda ia akan bertanya. "Haruno-sensei umurnya berapa?"

Sebelum Sakura menjawab, ada teman sebangku yang keburu menyenggolnya. "Tidak sopan jika kau bertanya seperti itu, bodoh!"

"Aa, aku kan cuma bertanyaa..."

Sakura tertawa kecil. "Tidak apa. Aku 20 tahun."

Siswa-siswa berdecak kagum. Pandangannya tampak berbinar. Melihatnya, Sakura tersenyum lebar. Belum lima menit saja ia sudah punya penggemar baru. Tapi maaf, sayangnya dia cuma ingin menjadi milik Kakashi Hatake seorang.

"Ada pertanyaan lain sebelum kita memulai pelajaran?" Sakura membuka sesi tanya jawab. Seharusnya ia hanya menggunakan waktu 5-10 menit, tapi saking banyaknya yang bertanya, akhirnya 30 menit pun terlewat begitu saja. "Baiklah, kita mulai pelajarannya, ya?" Kata Sakura sembari membuka buku paketnya sendiri, disusul siswa-siswi yang lain.

Ditulisnya sebuah judul materi yang akan ia bahas ke white board. "Bukalah halaman 120. Di sana dituliskan bahwa struktur—"

Cklek.

Kalimat Sakura terhenti. Didapatinya pintu kelas yang terbuka yang menghadirkan dua siswa yang masuk ke dalam kelas. Dia adalah dua orang yang dikenal dengan nama Sasuke Uchiha dan Naruto Namikaze. Di saat sapphire milik Naruto dan emerald-nya berpapasan, Sakura terperangah saat melihatnya ada di kelas 12-A ini. Aturannya kan orang urakan seperti Naruto adalah tipe siswa yang tidak menaruh minatnya di pelajaran? Tapi kenapa dia masuk di kelas unggulan seperti ini?

Berbeda dari Naruto, Sasuke terlebih dulu mendatangi Sakura. Ia serahkan surat izin yang berisi alasan mengapa ia bisa terlambat. Sementara itu Naruto langsung duduk di bangkunya yang berada di deretan belakang.

"Oh, kalian habis dari kegiatan OSIS, ya?" Dia tatapi murid tampan bermata onyx yang berdiri di hadapannya. "Kalau begitu silahkan duduk. Aku baru mau mulai mengajar."

Sasuke mengangguk dan berjalan menuju sebuah bangku yang ditempati oleh siswa bernama Chouji. Seakan sudah mengerti, Chouji mengemasi barang-barangnya dan pindah ke bangku lain, sehingga Sasuke dapat menempatinya. Tentu semua orang sudah tau kebiasan Sasuke yang ini; ia selalu ingin duduk di sebelah Hinata Hyuuga, pacarnya.

Setelah keadaan lebih tenang, Sakura kembali membuka suara. "Baiklah, bagi yang baru datang silahkan buka halaman 120. Aku akan menjelaskan tentang—"

"Hei, tunggu. Kau benar-benar guru di kelas ini?" Lagi-lagi ada yang menganggunya membuka pelajaran. Sakura memutar tubuh dan melihat sinis Naruto yang ada di deretan belakang. Pemuda itu tersenyum. "Siapa namamu?"

Tidak di kelas, tidak luar kelas. Orang itu tetap menyebalkan.

"Tidak baik menyela pembicaraan guru."

"Aku tidak peduli." Ia memutar bola matanya. "Aku Naruto Namikaze. Kau?"

"Namikaze-san, aku peringatkan kau untuk—"

"Aku tidak tanya itu, Sensei." Sambungnya lagi dengan pekenanan nada. "Yang kutanya, siapa namamu?"

Kesal, akhirnya Sakura memilih untuk mengalah. "Namaku Sakura Haruno. Guru baru."

Naruto nyengir. "Nama yang bagus, Sakura-chan. Panggil aku Naruto. Naruto-kun juga boleh."

Sakura mendelik. Tidak disangka-sangka Naruto memanggil nama kecilnya. Apalagi dengan embel-embel 'chan' di belakangnya. Itu benar-benar tidak sopan. Huh, memangnya mereka berteman?

"Jangan panggil aku dengan sebutan tadi."

Naruto tersenyum manis. "Memangnya ada apa dengan sebutan Sakura-chan, eh?"

"Aku ini gurumu! Panggil 'Haruno-sensei'!"

"Okee, Sakura-chan-sensei." Naruto tidak mau kalah.

Frustasi, Sakura memijat keningnya yang sedikit berdenyut. Lawannya memang hanya satu, tapi entah kenapa dampaknya bisa sampai membuatnya pusing seperti ini. Jadi sebelum Naruto ulang mengeluarkan suara, Sakura segera menunjuknya. "Kau, maju ke depan. Jika kau tidak bisa menjawab pertanyaanku, kau harus keluar."

Naruto mendengus meremehkan. "Hh, mudah bagiku."

Dengan merutuk di dalam hati, Sakura menghadap ke white board. Besar-besar ia tuliskan lima pertanyaan yang baginya cukup sulit untuk murid kelas 12 sepertinya. Tapi Naruto tetap berjalan ke depan tanpa takut. Dia ambil spidol dari tangan Sakura dan membuka tutupnya, lalu memperhatikan papan tulis.

"Hmmm... apa, ya?" Bersama muka memelas, Naruto berbalik ke belakang. "Eh, yang mengerti tolong kasih tau dong!"

Sakura sebenarnya senang melihat Naruto yang kesusahan. Tapi entah kenapa gaya Naruto membuatnya berpikir; apa jangan-jangan Naruto cuma berpura-pura tidak tau? Kalau tidak tau tanpa usaha, kenapa dia masuk kelas unggulan coba? Sudah dua kali Sakura bertanya-tanya.

"Eh?" Tapi pemikiran tadi mendadak tertepis saat ada bau aneh yang menguar dari tubuh Naruto yang kini dekat dengannya. Ia pun mendekatkan hidungnya dan mengendus pelan. "Kau bau rokok—lagi."

"Hm?" Naruto menoleh. Dia angkat kedua tangannya ibarat pelaku yang baru tertangkap polisi. "Aku tidak membawa rokok. Kalau tidak percaya, cek aja."

Kepercayaan diri Naruto—atas dirinya yang tak bersalah—awalnya membuat Sakura berniat tak acuh dan menyuruhnya untuk fokus ke pelajaran. Tapi karena ada sebuah kotak yang tercetak jelas di saku jasnya, dengan cepat Sakura mengambil benda tersebut. Dan benar saja, itu bungkusan rokok.

Sakura menggeram kesal. "Kau bilang kau tidak membawa rokok? Lalu ini apa? Pokoknya saat jam istirahat, kau temui aku di ruang guru."

.

.

~zo : dear teacher~

.

.

Di hari ini Sakura telah mengajar dua kelas, 12-A dan 12-B. Jika dihitung, ia mengajar dua jam pelajaran biologi tiap kelas, jadi total waktu mengajarnya adalah empat jam. Ditambah belasan menit dari memarahi Naruto yang tak jera-jera.

Memang rasanya itu cuma sebentar dibandingkan guru-guru lain yang lebih senior, tapi kenapa Sakura merasa dirinya sangat capek, ya? Kerongkongannya pun kering sampai batuk saja sakit. Apa mungkin karena ia yang terlalu bersemangat memarahi Naruto? Salah sendiri, bukannya menyesal, Naruto malah senyum-senyum saat ia ceramahi. Ditambah pria itu sempat menggodanya. Betul-betul murid yang menyebalkan.

Menghela nafas pasrah, Sakura meminum air mineral dari gelas dan dispenser yang ada di ruang guru. Usainya, Sakura mendesah lega dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Sakura menyentuhkan lagi bibirnya ke gelas, berniat minum, tapi ketika ia melihat jam dinding, ia keburu terbelalak.

Ini pukul 12.29, waktu para guru beristirahat. Mungkin sekarang Kakashi ada di kantin. Agar bisa makan di meja yang sama, cepat-cepat Sakura mengambil dompet berwarna merahnya dan bergegas ke lantai satu. Dan benar saja, di meja kantin khusus guru, terlihat Kakashi yang sedang memakan yakiniku-nya. Ya walaupun daging-dagingnya sudah hampir habis sih.

Sakura putuskan untuk memesan makanan yang cepat diambil; tiga buah ekado dan empat tamago sushi. Setelah makanan itu tertata di piring yang beralaskan nampan, Sakura berjalan cepat ke meja yang kini mulai sepi itu.

Tepat di jam 12.42, Sakura duduk di sebelah Kakashi. Sedihnya, Kakashi baru selesai makan dan tengah mengelap bibirnya dengan tisu. Sakura meringis. Ia merutuk habis dirinya yang datang terlambat. Tapi di satu sisi dia juga bersyukur, dia bisa melihat wajah tampan Kakashi dari jarak sedekat ini.

Merasa diperhatikan oleh Sakura, Kakashi menoleh dan balas menatapnya. Sakura nyaris ingin berpaling, menyembunyikan pipinya yang merona, kalau saja Kakashi tidak tersenyum lembut.

"Kau guru baru itu, kan?"

Suara Kakashi mengalun lembut di telinganya, dan nyaris membuat Sakura melayang saking senangnya karena Kakashi-lah yang duluan mengajaknya berbicara. Malu-malu Sakura menjawab. "Iya..."

"Bagaimana kesan awal mengajar di sekolah ini?"

"A-Aa! Seru!" Sekuat tenaga Sakura membalas tatapan mata Kakashi. "Muridnya juga baik-baik." Sekilas Sakura membuang bayangan siswa menyebalkan seperti Naruto di pikirannya. Di depan Kakashi dia tidak boleh terlihat mengeluh tentang apapun.

"Baguslah..." Kakashi mengangguk singkat. "Aku salut padamu."

Pembicaraan mereka terhenti sesaat. Kakashi tidak lagi mengajukan pertanyaan dan hal itu membuat Sakura pusing. Kira-kira topik simpel apa lagi yang bisa membuat mereka mengobrol lagi, ya?

Sambil memainkan irisan sushi di piringnya dengan sumpit, Sakura memaksakan diri membuka suara. "Enn, maaf sebelumnya, tapi kenapa kau tau aku guru baru?"

"Tentu. Di samping jadi pengajar biologi, aku sering diberi tugas untuk menilai langsung cara mengajar tiap guru baru di sekolah ini. Karena itu sebelumnya Senju-san telah memberitahuku."

"Eh? Maksudnya 'menilai langsung' itu apa?"

"Entah di hari yang keberapa, saat kau mengajar, aku akan datang tiba-tiba ke kelasmu dan menilai caramu mengajar. Jadi aku bisa melaporkan ke kepala sekolah, apakah kau pantas atau tidak menjadi guru di sini."

"Begitu, ya?" Sakura malah deg-degan saat membayangkan dirinya harus mengajar di depan Kakashi. Dia pasti akan gugup setengah mati.

"Ah, kita belum kenalan, kan? Aku Hatake Kakashi. Guru biologi kelas 10." Tak lama, Kakashi berdiri. "Berhubung ada tugas yang belum kuselesaikan, aku duluan ke ruang guru, ya?"

Sakura mengangguk. Sekarang ia baru sadar dirinya cuma sendirian di meja panjang ini. Karenanya Sakura mempercepat kegiatan makan siangnya sambil sesekali memperhatikan murid-murid di meja lain yang ramai. Kadang ia senyum-senyum akibat memikirkan obrolan pertamanya dengan Kakashi.

"Hei, Sakura-chan."

Sontak suara tadi memecahkan lamunannya. Sakura segera menoleh ke samping, tepat ke asal suara tadi. Terlihatlah seorang Naruto Namikaze yang duduk di sampingnya. Pria itu memandangnya penuh dengan tatapan curiga.

"Kenapa tadi senyum sendiri sih? Menyeramkan sekali. Kau gila, ya?"

Mendecak kesal, Sakura buang muka. "Bukan urusanmu."

"Aku kan cuma bertanya."

"Sudahlah, sana pergi. Lagi pula ini kawasan guru, tidak boleh ada murid yang duduk di sini."

Naruto memasang wajah sebalnya. "Aku tidak suka kalau ada orang yang menyuruhku seenaknya."

Sakura memilih untuk tak acuh. Daripada ujung-ujungnya mereka saling nyolot-nyolotan dan berujung perdebatan, kan? Sakura mempercepat kegiatan makannya dengan cara melahap bulat-bulat satu ekado. Ia kunyah sembari memalingkan wajahnya dari Naruto.

Naruto yang sadar dirinya tidak ditanggapi pun mendengus. Ingin cari perhatian, ia ambil sushi Sakura dan memakannya. Tapi bukannya kesal, Sakura malah senang Naruto membantunya menghabiskan makan siang, sehingga sesudah ini ia bisa pergi dari kantin, meninggalkan Naruto.

Naruto menyerah. Capek tak dihiraukan, pria itu balas memunggungi Sakura. Sakura sempat lega, tapi masalahnya Naruto malah mengambil sebuah putung rokok dan pemantik untuk menyalakannya. Bebauan tembakau tercium, Sakura mendelik dan memukul kepalanya. Perasaan tadi ia sudah menyita rokok dan pemantik Naruto.

"Dari mana kau mendapatkan rokok lagi, hah!?"

"Rokok ini?" Dengan tenang Naruto menunjukan rokoknya yang baru ia hirup seperenamnya. "Aku beli lagilah."

"Matikan rokokmu!"

"Tidak."

"Cepat matikan sekarang juga! Ini kawasan sekolah!"

"Tidak mau." Naruto menjulurkan lidahnya, semakin membuat Sakura naik darah.

"Matikan, atau kau akan kusiram air!" Diangkatnya sebotol air putih yang masih terisi setengahnya.

"Eh? Iya deh!" Naruto tertawa senang, tapi lain dengan Sakura yang sungguhan emosi. Sebab ia tau bahwa Naruto cuma sedang mempermainkannya. "Tapi ada syarat. Aku akan matikan rokok ini kalau kau mau bercerita kepadaku." Naruto tersenyum dan memindahkan putung rokok ke selipan tangannya. "Kenapa kau mau menjadi guru di sini?"

Sakura menjawab cepat. "Aku ingin memperpintar anak-anak generasi penerus sepertimu, karena itulah aku jadi guru." Bohongnya sambil menatap sinis ke Naruto. "Puas? Sekarang cepat matikan rokok baumu itu!"

Naruto menggeleng. "Aku tau perbedaan orang bohong dan jujur..."

"Aku jujur, bodoh!"

Melihat wajah Sakura yang sudah mulai tidak santai, Naruto menghela nafas. Ia sundutkan ujung rokoknya ke meja kayu milik kantin. Sakura berdesis mengerikan. "Ah! Ini meja kantin! Kau jangan asal merusak properti sekolah!"

"Makanya jawab yang benar." Setelah membuang rokok yang tadi dia matikan, Naruto kembali mengambil putung rokok baru dan menyalakannya. Sakura hanya bisa berdesis menyabarkan diri.

"Baiklah, akan kujelaskan..." Sakura menyerah. "Aku ke sini untuk mengejar seseorang."

Alis Naruto mengenyit. "Mengejar siapa? Murid? Jangan bilang kau ke sini untuk mengejarku—"

"Jangan narsis! Aku tidak mungkin mengejar murid menyebalkan sepertimu! Lagi pula aku suka lelaki dewasa!"

"Heh, dewasa?" Naruto mendengus sembari mengeluarkan sebagian asap rokok dari hidungnya. "Memangnya siapa? Kakashi-sensei?" Tebaknya asal.

"I-Iya." Langsung ketahuan, Sakura gugup seketika. Pipinya dilapisi semburat merah.

"Kakashi-sensei tidak terlalu dewasa, tau. Dia sering terlambat datang ke kelas."

"Yang penting dia bukan bocah tengil sepertimu."

"Kakashi-sensei juga perokok—perokok berat, tentunya."

"Pria dewasa seperti Kakashi pastinya memang merokok. Itu tidak apa, habisnya dia makin keren sih kalau dibayangkan sedang menghisap nikotin." Itulah yang diucapkan oleh Sakura. Sebuah kalimat pembelaan. Dan Naruto tidak suka mendengar jawaban tadi.

"Terus kenapa di saat aku merokok kau malah marah?"

"Karena kau masih kecil. Sudah kubilang dari dulu, kan? Dan sepertinya kau tidak tau ya kalau rokok itu punya zat-zat yang—"

"Aku sudah 18 tahun!" Tatapan sengit Naruto mengenai Sakura. Tak lupa nadanya yang juga meninggi. "Ingat, aku tidak suka dianggap anak kecil!"

"Tapi kau kan memang anak kecil, mau bagaimana lagi?"

Brakh!

Mendadak Naruto memukul meja. Tidak terlalu kencang, tapi hal itu sanggup membisukan Sakura yang dari tadi berbicara. Dia amati Naruto yang menekuk wajah. Alisnya bertautan dan kedua tangannya terkepal. "Aku bukan anak kecil! Bahkan aku bisa membuatmu tidak menyukai Kakashi lagi dan berbalik menyukaiku!"

Ia pun mematikan rokoknya yang masih menyala ke piring makanan Sakura, lantas berdiri. Sebelum ia benar-benar pergi, ia pastikan dulu untuk menatap iris berkrolofil Sakura dengan tatapan sinisnya.

"Akan kubuat kau menyukai anak kecil sepertiku, Sakura..."

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Author's Note :

Ah, ini sebenernya fict dadakan loh. Tapi untungnya aku lagi lumayan mood ngetik dan akhirnya jadilah fict ini dalem tiga hari haha. Dan tenang aja, ini cuma twoshot (kalo ada ilham nempel lagi paling mentok threeshot). Berhubung udah masuk bulan puasa, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalani, ya? Mohon maaf lahir dan batin! :)

.

.

For Sabaku Tema-chan :

Hai, Tema-chan! Apa kabar? Aku buat fict ini buat hadiah ulang tahunmu di 2 Juli kemaren loh.Maaf ya hadiahnya telat. Oh, ya,ini bisa dibilang hadiah perpisahan juga. Habis sedih sih pas tau kamu mau pindah. Kita ngga bisa ketemu lagi dong di sekolah hiks hiks. Tapi moga aja dengan ini—sebagai hadiah kenang-kenangan—kamu jadi ngga lupa tentang aku dan SMA kita tercinta #ea.

Dan sekedar bocoran,sifat Narutodi sini kuambil dari gayanya seseorang cowok angkatan kita. Temen SMP-mu loh (silahkan tebak sendiri). Kalo sifat Sakura, aku ngambil 30%-nya dari guru bahasa inggris. Nama samarannya adalah Ms F(berhubung pas pelajaran Inggris aku ngantuk berat, makanya aku sempet-sempetin buat kerangka cerita untuk chap depan fict ini heheh).

Untung aja aku ngga terinspirasi dari guru mandarin kita haghaghag xD *ditampol Tema-chan*

Semoga kamu suka hadiah kecil dariku...:)

.

.

Next Chap :

"Apa sepulang sekolah mau main ke rumahku?"

"Hei, lepaskan..."

"Kau tidak tau apa-apa tentang kedewasaanku, ataupun kedewasaan Kakashi-sensei. Aku mau jawaban yang lain."

"Lalu kalau misalnya saat guru asisten pengganti di universitasmu adalah aku, apa kau akan jatuh cinta padaku?"

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU