Gedung-gedung berbentuk aneh, menjulang tinggi hingga ke langit yang tengah menangis. Kaca-kaca besar dengan berbagai ukuran dan juga bentuk menempel di dinding-dinding gedung, mengingatkannya akan hewan dengan beribu mata di sekujur tubuhnya. Langit terus menangis, membasahi jubah yang ia kenakan, juga makhluk hidup yang tengah ia sembunyikan di dalam dekapannya. Ia masih merasa pusing, tak terbiasa dengan perpindahan ruang yang baru saja ia lakukan.
Tembok merah yang terbuat dari bata adalah penyangganya, dan dengan segala kekuatan yang tersisa ia pun memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Sakit rasanya, hancur tulangnya. Itulah yang ia rasakan. Tulangnya bagaikan diremuk-remuk, digenggam oleh sebuah tangan raksasa. Dagingnya seperti terbakar di dalam sebuah pembakaran, selagi tubuhnya terasa berat, dililit oleh sulur-sulur gaya yang disebut gravitasi. Setidaknya ia tidak mengalami kesulitan pernapasan yang disebabkan oleh banyaknya polusi udara.
Ia merasakan gerakan, dan dengan susah payah ia pun melepaskan balutan kain yang menyingkap tubuh dari seorang bayi. Seorang bayi yang saat ini tengah ia dekap, yang beberapa jam sebelumnya ia rebut dari tangan para penjaga dan perawatnya. Penjaga, bukan orang tua. Ia tak merasa bersalah. Tak pernah ia merasa bersalah, karena ia yakin bahwa tindakannya adalah demi kebaikan bersama. Kebaikan bagi dirinya dan juga nyawa yang telah dikorbankan demi peperangan dan politik serta kegilaan seorang ilmuwan.
Dengan ketetapan di dalam pikiran— dan juga hatinya—ia pun beranjak pergi, menunjukan dirinya pada muka dunia yang asing. Sosoknya muncul dalam rupa yang unik bagi pandangan orang awam, bagi pandangan para pejalan kaki yang didominasi oleh pekerja kantoran yang mengenakan setelan lengkap dengan dasi dan rambut yang disisir sedemikian rupa rapinya. Mereka semua mengenakan payung, dengan berbagai warna dan motif, selagi dirinya tidak. Mereka semua mengenakan setelan, jeans, t-shirt dan kemeja, selagi ia mengenakan jubah kumuh yang tampak mau hancur, dan sebuah tank top hitam yang tidak sesuai dengan keadaan cuaca hujan di akhir musim gugur. Sebuah masker untuk bernafas tergantung di lehernya, membuatnya tampak seperti seorang pekerja konstruksi. Beberapa dari mereka memandang dengan pandangan aneh, membisikan kalimat-kalimat yang mereka pikir tak bisa ia dengar.
"Pengemis kumuh," bisik salah satu dari mereka. Namun ia mengabaikannya, karena itu bukanlah bahasanya, bukan bahasa yang selama ini telah ia hirup bagai udara dan telan bagai santapan. Sebaliknya, kata-kata itu terdengar aneh di dalam telinganya yang peka. Ia terus berjalan, dengan segala kesusahan yang ia miliki, selagi para pejalan kaki memilih untuk menghindar dari tubuhnya yang kumuh dan kotor. Sesekali ia akan memeriksa bayi yang berada di dekapannya, lalu bernafas lega ketika bayi itu menggeliat hidup.
Ia terus berjalan, menyelusuri kota asing yang tak pernah ia ketahui, berjalan melalui spanduk-spanduk besar dengan berbagai macam gambar dan tulisan berwarna-warni, berjalan melewati para manusia. Melihat bentuk tubuh mereka, mengingatkannya akan kampung halaman. Mereka adalah manusia, sama seperti dirinya, planet ini jugalah bumi, sama seperti planet tempatnya tinggal. Namun, tak bisa dipungkiri kalau sosok misterius itu merasa tak nyaman. Berbagai jenis kendaraan besi dengan kecepatan tinggi yang berlalu lalang di jalan, udara yang segar —berbeda sekali dengan udara tercemar yang selalu ia hirup, banyaknya gedung tinggi pencakar langit dengan jendela-jendela besar bagaikan mata yang hidup, juga pilihan pakaian para penghuninya. Terlalu banyak perbedaan, tapi juga terlalu banyak persamaan. Sayang, ia mungkin takkan bertahan untuk menemukan persamaan itu.
Sosok misterius itu terus berjalan —entah apa tujuannya, selagi butiran pasir terus berjatuhan dari tangannya yang retak. Pastilah pasir itu akan menggerogotinya, namun ia tak peduli. Terus dan terus berjalan, di tengah-tengah dinginnya hujan pada musim gugur.
Retakan di atas kulitnya mulai menyebar, bagaikan sulur tumbuhan yang terus merayap ke atas, dan pria itu menyadari betapa lemah tubuhnya telah menjadi. Tak ada waktu lagi, ia harus segera menemukan tempat perlindungan, setidaknya bukan untuk dirinya —karena toh ia juga akan mati tak lama lagi—tetapi bagi bayi yang ia dekap. Pastilah bayi itu tak bisa bertahan lebih lama lagi, dengan angin dingin yang terus menerpa serta air yang terus mendera. Ia menggigit bibirnya, cukup keras untuk bisa melukainya. Namun, bukan cairan pemberi kehidupan yang mengalir dari lukanya, melainkan butiran pasir dalam kuantitas banyak. Ia tersedak, dan lalu terbatuk. Pasir-pasir itu keluar dari mulutnya, namun rasa pahit yang ia rasakan tak pernah hilang. Ketika itulah, ketika ia menengadah, ia melihat sebuah bangunan, berdiri sendirian di atas sebuah bukit kecil. Benang-benang tak kasat mata menarik tubuhnya untuk mendaki, menuju bangunan di puncak bukit itu, dan ia pun mematuhinya.
Sampailah ia di puncak, setelah perjalanan yang terasa lama. Retakan itu sudah mencapai ke lehernya, mengintip melalui kerah pakaiannya. Ia pun mendapatkan pandangan yang lebih jelas terhadap bangunan itu.
Bangunan itu tampak berbeda dengan bagunan-bangunan lain yang ia lewati sebelumnya. Bangunan yang tidak terlalu tinggi, namun luas. Bangunan yang berdiri seorang diri ditengah-tengah kerumunan pepohonan, dengan sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga. Bangunan itu mengingatkannya akan rumah, dan walau ia tak bisa membaca tulisan 'Sanctuary orphanage' yang tertera di atas sebuah papan kayu di hadapan bangunan itu, ia tahu kalau itu adalah tempat yang tepat. Mendesah lega, ia melihat dalam dekapannya, menuju sang bayi yang tengah tertidur.
'Sebentar lagi kau akan selamat,' bisiknya menggunakan sebuah bahasa, sebuah dialek yang takkan pernah terdengar di hadapan para orang awam, sebuah pesan dari dunia yang berbeda. Ia melangkah maju, dan ketika itulah dunia di sekelilingnya berputar.
Ia terjatuh, dan sekarang tubuhnya dilapisi oleh lumpur dari tanah yang becek. Ia tak tahu apa yang menyebabkannya terjatuh, mungkin ia tersandung batu. Ia mencoba untuk berdiri, hanya untuk menemukan kalau ia tak bisa. Bingung, lelah dan juga kedinginan, sosok misterius itu memandang ke belakang, alis tebalnya mengkerut dalam rupa kekesalan di wajahnya. Namun, raut itu tak bertahan lama. Kekesalan berubah menjadi ekspresi horor dan takut. Jantungnya melonjak keras di dalam rusuk, sebelum organ itu seolah-olah terhenti, tak bergerak karena lelah.
Sosok itu bisa melihat sepatunya, lusuh dan kotor oleh tanah. Namun, ia tak bisa menemukan kemana kaki beserta dagingnya berada. Lubang sepatu itu seakan-akan menganga, menghinanya dengan banyaknya butiran pasir basah yang terkumpul disekitarnya. Bagian dari celananya seakan mengempis, kaki, tulang beserta otot menghilang menjadi debu. Ia tak merasakan sakit, syukurnya, tapi ia tahu kalau transformasi itu tengah terjadi dengan cepat, amat cepat melebihi waktu hidup bangsanya yang lama.
Suatu determinasi muncul di dalam hatinya, di dalam benaknya, bahwa ia harus bergegas, bahwa anak itu sajalah yang harus selamat. Ia mengalihkan pandangan, dan dengan tenaga terakhir yang ia miliki, ia pun menyeret tubuhnya maju, sama seperti seekor buaya di atas darat. Retakan itu datang dengan teramat cepat, telah menyebar hingga ke kakinya yang lain, dan sekarang telah mencari jalan cepat menuju ke atas. Tak lama lagi ia akan menghilang. Ia tahu kalau ia takkan bisa menang melawan waktu, melawan perubahan tubuhnya, mengingat bangunan itu masih sepuluh hingga lima belas meter jauhnya.
Pikirannya bekerja dengan cepat, memaksa neuron-neuron di otaknya untuk bekerja dua kali lipat. Tangannya ia rabakan ke depan, dan ia mendapatkan sebuah batu. Hanya sebuah kerikil, dan dengan keputus asaan, ia melemparkan kerikil itu. Jauh, sangat jauh hingga menghantam tembok bangunan tersebut, tepat di bawah jendela. Terdiam sejenak, dan menyadari apa yang baru saja terjadi, ia mengambil kerikil lain, dan kali ini melemparkannya ke arah yang sama seperti sebelumnya. Meleset. Ia terus melanjutkan, lagi dan lagi, hingga ia merasakan pinggangnya menghilang menjadi pasir. Ia memukul permukaan tanah, mengepalkan jemari-jemarinya, seraya serpihan tanah kotor masuk ke dalam sela-sela kukunya.
Kali ini ia mengambil batu yang lain, lalu melempar, dan ia menyaksikan seraya batu itu terbang. Tinggi dan jauh, dan ia memejamkan matanya, menyerah dan berdoa…
Suara kaca pecah itu mengagetkan Elizaveta yang tengah berada di dapur. Bertanya-tanya tentang apa yang baru saja terjadi di dalam benaknya, sang Mother dari Sanctuary Orphanage itu segera meletakkan piring yang tengah ia cuci, mengelap tangannya menggunakan secarik kain, sebelum berjalan keluar dari dapur. Anak-anak yang lain seperti Katyusha dan juga Natalia mengikutinya dari belakang seperti seekor anak ayam.
Berdoa, dan mengharapkan supaya hal yang terburuk tidak terjadi, sang Mother pun membuka pintu yang menghubungkan salah satu lorong panjang di dalam panti asuhan tersebut dengan ruang rekreasi. Jelas, hal pertama yang ia lihat adalah jendela yang sudah pecah serta sebuah batu yang terletak tidak jauh dari pecahan-pecahan kaca itu berada. Anak-anaknya hanya berdiri mengelilingi batu tersebut, tak ada yang berani mendekati apalagi menyentuh. Tak lama berlalu, Gilbert, suaminya pun tiba.
"Astaga, apa yang terjadi di sini!" tanya Gilbert, eskpresi wajahnya berubah-ubah.
Sebuah suara di antara kerumunan anak-anak itu pun menjawab, "Father! Bukan kami pelakunya!"
Suara yang lain pun ikut menyahut, "Iya! Mendadak batu itu masuk begitu saja, lalu memecahkan jendelanya!"
Anak-anak yang lain pun menyahutkan hal yang serupa, dan tak lama telah terbentuklah suatu paduan suara atas pembelaan para anak-anak.
"Anak-anak, Mother percaya dengan perkataan kalian, Father juga, karena itu kalian tenanglah," Elizaveta coba berbicara. Suara risih anak-anak pun menghilang perlahan-lahan. Ketika suasana kembali hening, ia pun melanjutkan.
"Sekarang, apa diantara kalian ada yang terluka?" Anak-anak itu menggelengkan kepalanya, dan Elizaveta tersenyum mendengar reaksi mereka. "Bagus. Kalau begitu semuanya ayo kembali ke kamar masing-masing, atau pindah ke ruangan lain. Mother mau membersihkan serpihan kaca yang pecah."
Anak-anak pun keluar secara perlahan-lahan. Ada yang berjalan selagi bergumam kesal, dan ada juga yang saling berbisik dengan anak-anak yang lain, bertanya-tanya tentang kejadian yang baru saja terjadi. Elizaveta hanya mendesah, namun senyuman tetap tak menghilang dari wajah mudanya. Syukurlah mereka semua tidak ada yang terluka.
Ia baru saja akan berjalan ke luar, hendak mencari pengki dan sapu, ketika Gilbert memanggilnya.
"Liz, sebaiknya kau ke sini sebentar…"
Elizaveta yang kebingungan mengubah haluannya, dan berjalan menuju tempat suaminya berada. Gilbert tengah berdiri di depan jendela yang pecah, air hujan yang deras terus masuk melalui lubang sebesar bola bisbol itu.
"Ada apa Gil?" Bertanya-tanya tentang apa yang tengah Gilbert perhatikan dibalik pemandangan penuh kabut dan hujan deras itu, Elizaveta pun melakukan hal yang sama.
"Lihat itu, sepertinya ada sesuatu di sana. Tapi mataku tak bisa melihatnya dengan jelas."
Elizaveta memincingkan matanya. Tak ada yang bisa ia lihat di sana terkecuali untuk air yang mengucur deras serta kabut yang menutupi pemandangan. Elizaveta baru saja akan berbalik, kembali ke tujuan awalnya, yaitu mengambil peci dan juga sapu, ketika ia melihat sesuatu yang bergerak di tengah-tengah pemandangan berair itu.
"Gil, sepertinya aku akan melihatnya sesuatu. Aku akan pergi melihat!"
"Eh, tunggu, Liz-!" Sebelum Gilbert sempat memanggil istrinya kembali, wanita itu sudah menghilang, berlari meninggalkan ruangan, dan juga meninggalkan Gilbert yang kebingungan dan khawatir.
Elizaveta berjalan cepat mengitari lorong panti asuhan yang mencakup sebagai rumahnya tersebut. Ia tak tahu apa yang ia lakukan, namun ia yakin kalau ada sesuatu yang tengah memanggilnya, menarik hatinya untuk berjalan membuka pintu halaman, dan berjalan ke luar di tengah-tengah hujan yang deras. Sesuatu itu jugalah yang membuatnya menghiraukan hujan deras yang mengguyur kuyup tubuhnya, juga yang membuatnya lupa untuk mengenakan sepatu atau pun alas kaki lain. Mungkinlah sesuatu itu adalah sebuah insting, ataukah sebuah intuisi yang muncul secara tiba-tiba dan menarik benang-benang di hatinya? Elizaveta tak tahu, ia mau pun juga Gilbert tak mampu mengerti. Namun, kakinya terus berlari di tengah-tengah hujan yang deras, hingga membawanya kehadapan sebuah tumpukan pakaian.
Tak ada apa-apa disekitar pakaian-pakaian itu, hanya ada pasir putih basah yang tampak menyerupai tubuh seorang manusia. Ia tidak mau tahu apa yang sudah terjadi, ia pun tak ingin berususan dengan siapa pun yang mengalami musibah tersebut. Elizaveta hanya tahu, kalau ia harus mencari sesuatu. Sesuatu yang tertangkap tengah bergerak di dalam penglihatan matanya, di dalam retinanya tidak beberapa menit yang lalu.
Sesuatu itu bergerak-gerak lagi, tertutupi oleh tumpukan pakaian. Elizaveta memungutnya, dan entah mengapa ia tidak terkejut untuk menemukan seorang bayi, basah kuyup dan kedinginan, berada di sana. Ia menggendongnya, dan ia menyadari kalau bayi itu tengah menangis, suaranya yang terlalu kecil dan lemah nyaris tak tertangkap oleh indera pendengarannya. Namun ia tetap merasakannya, bagaimana bayi itu kedinginan dan ketakutan, bagaimana ia membutuhkan kehangantan dan kasih sayang.
Dengan demikian Elizaveta pun membawa kembali bayi itu ke dalam panti asuhan, dimana Gilbert tengah menunggu mereka…
Disclaimer : Hetalia (c) Himaruya Hidekazu
Kenapa disclaimernya di bawah? Saya pun tak tahu. Tapi saya berasa jelek kalo di atas, jadi saya taro bawah #eh. Um anyway, maafkan kegajeannya. Waktu nulis lagi terserang Author's Block parah. Anyway, cerita ini masih Prologue, jadi tolong dimaklumi bila banyak hal yang membingungkan.
Bila ada kesalahan, hal-hal yang ingin ditanyakan, silahkan pencet tombol review di bawah, atau PM juga gapapa~
Thanks for reading :D
