Miiiinnnaaa... udah lama saia ga datang membawa cerita yang satu ini, semoga reader semua masih ingat ya... XD ini adalah chap terakhir, kemarin sempet pengen ditamatin di chap 7, tapi berubah pikiran, hehehe... saia mau ucapin makasih banyak buat Hitsugaya Bintang Zaoldyeck, Luchia Hiruma, Hyou Hyouichiffer, Yuuzu Kitaharu, SugarlessGum99, Iwel Sabaku, Nana-chan love naruto, Kuro Nami, Kiyone Hiruma, Yuuki-abcd, TheMostMysteriousGirl, Hiruma Hana, Aika Licht Youichi, Animea Lover Ya-ha, V1992aither, dan Tsurarara, yang menyempatkan diri buat mereview, semuanya sudah dibales lewat PM ya, dan buat yang ga log in,
Guest: ah, aku juga padamu... hahaha... makasih udah review,
Cha: nyahahaha... ini ya, endingnya.. semoga cukup happy^^
Nn: itu... sepengetahuan saia, orang Jepang memang gitu mengeje huruf R, coba denger kalo Haderu lagi ngamuk, dia ga cadel sama sekali :v #digorokhaderu iya, ga apa-apa, makasih udah review XD
Vita: Haderu lembut? Ahaha... *merinding* aku suuukkaaa lagu itu . tadinya mau aku kasih juga still lovin you, tapi itu ceritanya ga cocok... senengnya ada temen Jealer~ XD nyahahaha... pokoknya semua lagu dia enak buat dimakan (?) jadi tetap cintai Jealkb ya XDd hohoho.. makasih banyak...
Hana: makasih banyak^^ mamo sama siapa.. lihat yang ini ya, kekekeke
Febby: keren? Ahahaha... makasih^^
Oke... ga usah lama-lama lagi, segera kita mulai chap terakhir dari Kimi no Kioku~
Disclaimer: Riichiro Inagaki & Yusuke Murata
Story: Mayou Fietry
Pair: Mamori Anezaki, Youichi Hiruma, Takeru Yamato
Rated: T
Genre: Romance, drama
Warning: AU, OOC, typo, gaje, ide pasaran, abal, kayak sinetron, dan segala keburukan lainnya yang bisa bikin keracunan..
.
.
.
"Selama ini, sehari pun aku tidak pernah melupakanmu, Youichi"/ "Saat bersamaku, apa kau juga selalu mengingatnya?"/ "Takeru dan Youichi itu berbeda, kalian tidak bisa dibandingkan."/ "Tidak apa, Mamori, aku akan menunggu…"/ "Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi meninggalkannya atau memaksanya ikut denganku sementara hatinya ada pada orang lain? Keduanya sama-sama menyakitkan."
KIMI NO KIOKU
Chapter 6
Malam masih sangat panjang, dan Mamori belum mau memejamkan matanya untuk istirahat, hari ini ia terlalu bahagia, ia bahkan tidak menginginkan semuanya berakhir. Gadis itu membelai pelan sebuah foto yang ia pegangi sejak tadi, bibirnya yang cantik mengulum senyum yang begitu manis.
"Jadi, kau selamat dan masih hidup, terima kasih, Kami-sama," ia bergumam pelan.
Drrrtt… Drrrttt….
Mamori segera meraih handphonenya yang bergetar pelan lalu melihat layarnya sekilas. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak ia kenal.
"Moshi-moshi?" sapa Mamori pelan.
"Yo, Mamori Monster Sus sialan," jawab sebuah suara husky di seberang telepon.
"Mou… Youichi, jadi kau sudah ingat panggilanmu padaku ya," Mamori menggelembungkan pipinya mendengar suara itu, dan sekarang pria di seberang telepon sedang terkekeh senang. "Mau apa kau meneleponku malam-malam begini?"
"Aku cuma berfikir kau belum tidur dan sedang memikirkanku, makanya aku menghubungimu, dan ternyata benar 'kan?"
"Pede sekali kau, siapa yang sedang memikirkanmu… kau dapat dari mana nomor handphoneku?"
"Pertanyaan sialan seperti itu sudah pasti kau tahu jawabannya 'kan? Kalau kau benar-benar mengenalku di masa lalu… kekekekeke."
Mamori menghela napas pelan. "Youichi, benarkah? Benarkah kau ingat aku? Bukan sekedar pura-pura ingat, 'kan?" Mamori yakin, Hiruma menyadari suaranya yang mulai bergetar, terbukti sekarang pria itu terdiam.
"Aku ingat, sedikit," jawab Hiruma pelan. "Aku ingat kau, aku ingat tentang perpisahan sialan kita, juga kecelakaan menyebalkan dulu, aku ingat sedikit."
"Youichi, apa kau mau… menemaniku pergi besok?" tanya Mamori mengalihkan pembicaraan.
"Iya," jawab Hiruma pelan.
"Terima kasih, aku merindukanmu, Youichi,"
Hiruma menghela napas panjang sambil mengamati bintang lewat jendela besar kamarnya. "Kau masih menghitung bintang sialan?"
Mamori mengulum senyum, "Kau selalu menggangguku, waktu tidak ada kau, menghitung bintang jadi tidak menarik karena tidak ada yang mengganggu,"
"Ayo hitung jumlah bintang sialan yang terlihat di jendela sialanmu, Monster sialan,"
Mamori bangun dari tempat tidur dan berjalan ke arah jendela, memandangi hamparan bintang musim panas yang begitu indah.
"Apa yang kau lihat?" tanya Hiruma saat Mamori hanya diam.
"Ribuan bintang, masih seperti dulu, kau sendiri, apa yang kau lihat?"
"Aku melihatmu," jawab Hiruma yang saat ini tengah menatap jauh keluar jendelanya. "Tidur sana, Monster sialan."
"Tadi menyuruhku menghitung bintang!" protes Mamori mendengar perintah Hiruma. "Dasar labil!"
"Kekekeke... jadi kau mau melakukannya? Dasar bodoh, tidur sana."
Mamori menggelembungkan pipinya, ia tidak bisa membalas."Iya, oyasuminasai, Youichi." Akhirnya ia mengalah.
"Hm,"
Mamori memeluk handphonenya saat sambungan terputus, sebuah senyum yang lebih manis terukir di bibirnya.
.
.
Mamori melirik arloji di pergelangan tangannya sekali lagi, sudah hampir satu jam ia berdiri di sini, menunggu sahabat lamanya yang belum juga datang. Pria itu tidak mungkin terlambat, masih ada sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan, tapi Mamori merasa lama sekali, jelas saja, gadis cantik ini datang sejam lebih awal.
"Sedang apa?"
"Menunggu―" Mamori menghentikan kalimatnya dan langsung menoleh ke asal suara saat menyadari suara yang bertanya padanya itu milik orang yang ia tunggu sejak tadi. Matanya menyipit melihat Hiruma yang duduk santai di bangku taman sambil membuat balon dari permen karet dalam mulutnya.
Pria itu menaikan sebelah alis sebagai respon tatapan Mamori. "Yo!" sapanya saat balon permen karetnya pecah.
"Sejak kapan kau di situ?! Aku menunggumu dari tadi!" protes Mamori sambil berjalan menghampiri Hiruma.
"Sejak tadi,"
"Kau tetap menyebalkan."
Hiruma menyeringai kecil lalu bangun dari tempat duduknya. "Ayo, kita mau pergi kemana?"
Mamori menggelembungkan pipinya dan tidak menjawab pertanyaan Hiruma, ia ngambek.
"Hoooii…..!" Hiruma mencubit dua pipi Mamori dengan keras. "Kau masih seperti anak-anak."
"Habisnya kau menyebalkan!"
"Kekekekeke…. Tidak ada yang menyuruhmu datang satu jam lebih awal." Balas Hiruma. Ia lalu merangkul Mamori lalu mulai melangkah ke pemberhentian bus. "Mau kemana? Kau yang mengajakku kencan, jadi kau yang harus tentukan tujuan kita."
Mamori langsung saja melepaskan tangan Hiruma dari pundaknya. "Ini bukan ajakan kencan!" sangkal Mamori.
"Ya, ya, terserah kau saja, yang penting sekarang kita mau kemana?"
"Uhm…" Mamori berfikir sejenak. "Kiyomizu-dera?"
Hiruma menghentikan langkahnya sebentar lalu menatap Mamori lekat. "Kuil?"
"Tidak mau ya sudah," jawab Mamori cuek sambil berjalan mendahului Hiruma.
Pria itu merengut melihat punggung Mamori yang mulai menjauh. "Apa-apaan Monster bodoh itu," gerutunya pelan kemudian menyusul langkah Mamori.
Keduanya naik ke bis yang menuju kuil Kiyomizu-dera, tempat yang sangat Mamori sukai, dulu saat masih SMP, ia sering datang ke kuil itu bersama Hiruma. Minum air suci dari pancuran, berdoa pada dewa cinta, sampai melakukan hal konyol seperti mengikat jari kelingking dengan benang merah. Mamori terkikik pelan mengingatnya.
"Otak sialanmu waras, Monster sialan?" tanya Hiruma sambil menatap Mamori aneh.
"Mou! Tentu saja waras, aku cuma ingat waktu kita sering ke sana dulu."
Hiruma tidak membalas, ia hanya mengalihkan pandangan lalu tersenyum kecut, ia baru mengingat beberapa kejadian di masa lalunya.
"Kau mau main tidak?"
"Hm?" Hiruma melirik Mamori dengan pandangan malas. "Aku sudah besar, tidak berminat main,"
"Tidak menyenangkan." Mamori merengut. "Kalau begitu ceritakan apa saja yang terjadi padamu sewaktu amnesia, dan bagaimana caranya kau ingat?"
"Bukannya Mata Merah sialan itu sudah cerita padamu?"
"Aku mau mendengarnya darimu." Mamori menjawab dengan nada final.
Hiruma menghela napas malas, dia mau mulai bercerita dari mana? Hiruma sendiri juga bingung apa yang harus ia ceritakan. "Kau mau tahu tentang apa, Monster sialan?"
"Hm… bagaimana ceritanya kau jadi vokalis? Aku tidak pernah menyangka kau bisa bernyanyi sebagus itu,"
Tepat saat Mamori menghentikan ucapannya, bus yang mereka tumpangi berhenti di halte Kiyomizu-michi, Hiruma dan Mamori langsung turun. Dari halte, mereka harus berjalan kaki di jalanan menanjak selama dua puluh menit untuk mencapai Kiyomizu-dera.
Hiruma memejamkan matanya sebentar, sebagai Hagito, ini pertama kalinya Hiruma datang kemari, dan dia merasa sangat tidak asing dengan tempat ini. Sepertinya Hiruma mulai ingat dengan tempat mereka berada sekarang.
"Kau belum jawab." Mamori menyikut Hiruma dan membuat pikiran pria itu kembali ke dunia nyata.
"Kau selalu saja ingin tahu urusan orang lain." Gerutu Hiruma. "Setahun setelah aku keluar dari rumah sakit, Mata Merah sialan dan teman-temannya membuat band konyol, tapi mereka tidak punya vokalis, jadi dia menawariku,"
"Kau 'kan bukan tipe seperti itu,"
"Jangan menyela. Diam dan dengarkan saja. Aku juga awalnya menolak, tapi setelah kupikir, dengan muncul dipublik, mungkin akan ada yang mengenaliku. Dan ternyata benar 'kan? Kau mengenaliku." Hiruma menyeringai lalu mempercepat langkahnya mendahului Mamori.
Mamori sendiri tersenyum pahit mendengar jawaban Hiruma. Dia mengerti, maksud Hiruma yang waktu itu hilang ingatan, pasti berharap keluarganya melihat, mengenali Hiruma, lalu membawanya pulang dan membantu mengembalikan ingatan. Sampai sekarang pun, Hiruma mungkin masih berharap begitu.
"Youichi-kun bodoh, tunggu aku!" Mamori berteriak sambil berlari menyusul Hiruma yang sudah jauh. Tapi pria itu malah ikut berlari padahal mendengar suara Mamori yang menyuruhnya menunggu. "MOU!" Mamori berteriak sambil mempercepat larinya.
Mamori menubruk punggung Hiruma hingga pria itu terhuyung karena terkejut. Tapi Mamori malah tertawa mengejek dan gentian berlari meninggalkan Hiruma.
"Kalau kau mau berlari terus, sampai di atas kau bisa pingsan. Dan aku tidak mau repot-repot menyeretmu kalau sampai itu terjadi." Hiruma menghentikan langkahnya sebentar. Ia tidak ingat kapan terakhir kali kemari, tapi entah kenapa ia sadar seberapa jauh jarak dari tempat mereka berdiri sampai ke kuil. Pria itu tersenyum sangat tipis sebelum mengejar Mamori.
Kiyomizu-dera adalah kuil yang luar biasa indah. Begitu tiba di depan, Mamori langsung merantangkan tangan dan menghirup nafas dalam-dalam. "Aku sangat merindukan tempat ini…." Ujarnya seraya tersenyum manis. Kuil yang berada di kaki bukit itu tampak begitu kokoh meski hanya ditopang dengan kayu yang sudah berusia ratusan tahun. "Masih tetap seperti dulu, benar 'kan, Youichi?"
"Aku tidak begitu ingat," jawab Hiruma singkat. "Tapi di sini 'kan kau memaksa mengikat jari kelingking dengan benang merah sialan? Supaya apa pun yang terjadi, kita tidak terpisah?"
Mamori tersenyum kecil. Tindakannya dulu memang terkesan konyol. Itu karena dia belum mengerti apa maksudnya benang merah. "Aku senang kau ingat, meski kita salah paham soal arti benang merah itu, tapi kita membuktikannya 'kan sekarang?" ia tersenyum ceria lalu menggandeng Hiruma masuk gerbang kuil.
Di sana pemandangan luar biasa indah. Taman tradisional Jepang, air mancur dengan tiga pancuran yang dipercaya berkhasiat, juga remaja-remaja yang datang dengan mengenakan yukata, karena sekarang masih musim panas.
"Kau tidak pakai yukata sialan? Dulu kau sangat suka memakainya kalau ke kuil."
"Kau pasti akan mengataiku lambat, sama seperti dulu." Jawab Mamori dingin. "Kau mau masuk, atau minum dulu?" Mamori mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk air mancur.
"Kau mau minum air dari sana?" Hiruma menaikkan sebelah alisnya.
"Tentu saja." Mamori langsung menyeret Hiruma menuju air mancur. Ada tiga pancuran yang punya khasiat berbeda. Yang pertama adalah panjang umur, kedua jodoh, dan ketiga, kesuksesan. Tapi meminum ketiganya dianggap serakah.
"Aku tidak percaya sama hal-hal sialan seperti itu." Ungkap Hiruma.
"Tapi aku percaya," Mamori mengambil cangkir yang disediakan di dekat pancuran lalu mengambil air di pancuran kedua.
Hiruma mengernyit. Mamori menginginkan jodoh?
Gadis itu tersenyum kearah Hiruma setelah menghabiskan setengah air dalam cangkirnya. "Sesekali, kau perlu meminta pada Tuhan,"
Hiruma memandangi tiga pancuran itu. "Panjang umur? Aku sudah diberikan umur panjang waktu selamat dari kecelakaan, kesuksesan? Aku juga sudah sukses sekarang, dan jodoh sialan. Aku sendiri yang menentukan siapa jodohku." Hiruma meraih tangan Mamori yang masih memegang cangkir dan meminum sisa air dalam cangkir tersebut.
Gadis itu terkejut dengan perlakuan Hiruma yang tiba-tiba. Apa lagi kata-kata pria itu, tidak seperti Hiruma yang dulu.
"Youichi," panggil Mamori pelan.
"Hm?" Hiruma merespon singkat sambil melepaskan tangan Mamori setelah meminum habis air suci itu.
"Apa yang kau lakukan?"
"Kau menyuruhku minum air sialan itu 'kan? Aku melakukan apa yang kau suruh,"
"Tapi, apa maksudmu….?" Mamori bingung sendiri dengan apa yang ingin ia tanyakan. "Lupakan saja,"
"Ayo naik." Hiruma berjalan mendahului Mamori tanpa peduli. Membuat gadis itu merengut lalu meletakkan cangkir yang ia pegang ke tempat semula sebelum berlari menyusul Hiruma.
Keduanya masuk ke kuil dan langsung ke lantai utama yang menjorok di kaki bukit. Dari sana bisa terlihat kota Kyoto di kejauhan, dan pemandangan indah terhampar di depan mereka. Sayang ini masih musim panas, jadi mereka tidak bisa menikmati sakura atau momiji yang biasanya menghiasi seisi taman.
Puas menikmati pemandangan dari atas, Mamori menyeret Hiruma ke ruang pemujaan, di sini mereka berdoa pada Dewa Asmara, sebenarnya hanya Mamori yang berdoa, Hiruma cuma memperhatikannya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Lalu pria itu mengatupkan tangan dan memejamkan mata saat Mamori meliriknya sedikit. Entah kenapa dia jadi sedikit gugup di sini.
Mamori menggandeng tangan Hiruma saat keluar dari kuil dan berjalan di sepanjang Higashiyama District yang menawarkan berbagai jenis makanan. "Tidak ada yang jual cream puff…." Keluh Mamori dengan wajah memelas.
"Mana ada yang jual makanan sialan menjijikan seperti itu." Hiruma menanggapi.
Mamori merengut. "Kapan kau akan menyadari kalau cream puff itu enak?"
"Kekekekeke… tidak akan, Monster jelek sialan, bahkan saat aku hilang ingatan, makanan sialan itu tetap terasa tidak enak."
"Payah!" Mamori memukul lengan Hiruma dengan gemas, tapi tidak melepaskan pegangannya, seolah pria ini akan pergi lagi kalau dia melepakan tangannya.
Biar bagaimana pun, Mamori tidak ingin kehilangan Hiruma lagi, setelah menemukannya, sudah pasti tidak ingin ditinggal lagi 'kan? Begitu juga Mamori, dia tidak mau Hiruma menghilang lagi. Dia menginginkan pria itu tetap bersamanya seperti dulu.
Mamori memilin lengan kaos panjang yang dipakai Hiruma sambil memperhatikan jalanan sekitar. Higashiyama benar-benar seperti Jepang tempo dulu, toko-toko dengan bangunan tradisional menawarkan ratusan jenis souvenir, juga makanan. Mamori ingat, dulu ia dan Hiruma akan masuk kesetiap toko makanan lalu mencicipi samplenya, tanpa membeli satu jenis pun, dan mereka cukup kenyang dengan memasuki puluhan toko di sana.
"Ingatanku sedikit-sedikit makin bertambah," gumam Hiruma.
Mamori tersenyum kecil. "Syukurlah," ungkapnya tulus.
"Jadi, sekarang kita mau kemana?"
"Hm?" Mamori melirik Hiruma dengan sudut matanya. "Makan siang?" ia menawarkan. Lalu tanpa menunggu jawaban Hiruma, gadis itu sudah menyeret Hiruma ke sebuah restoran di sana.
Kebanyakan restoran di Higashiyama bertema Jepang tradisional, dengan pencahayaan yang ramang-remang, dekorasi khas jaman dulu, serta alunan shamisen yang lembut, membuat perasan menjadi nyaman.
Mamori tersenyum dengan restoran pilihannya. "Di sini kelihatan menyenangkan 'kan?" ia meminta pendapat Hiruma.
"Lumayan juga," Hiruma menanggapi seadanya sambil mencari tempat.
Satu lagi yang membuat tempat ini begitu nyaman, di sini tidak menggunakan meja, tapi bilik. Jadi setiap pengunjung merasa privasinya terjaga.
"Di sana," Hiruma menunjuk satu bilik yang kosong. Mereka berdua duduk di atas lantai beralas tatami dan dipisahkan meja kecil. Setelah mencatat pesanan dan memberikannya pada pelayan, mereka berdua mendadak diam.
Mamori terus memperhatikan wajah Hiruma. Seolah meneliti apa pria di depannya itu benar-benar Youichi-nya atau bukan.
"Kenapa melihatku seperti itu, cewek sialan?" tanya Hiruma sambil menggulung lengan kaosnya hingga siku.
Mamori tersenyum kecil lalu mengalihkan pandangan. "Tidak kok, hanya senang saja kau kembali. Aku jadi merasa… entahlah, seandainya saja aku tidak pergi, mungkin semuanya tidak akan seperti ini,"
"Kekekeke… cewek bodoh. Kalau punya waktu buat menyesali masa lalu, lebih baik kau pakai waktu sialanmu buat berfikir ke depan, dan memperbaiki semuanya." Jawab Hiruma sembari memamerkan deretan gigi runcingnya.
Lagi-lagi Mamori tersenyum, ia menggeleng pelan. "Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi."
"Kau meracau." Hiruma menepuk pelan kepala Mamori dengan tangannya. Ia tidak suka melihat Mamori yang lembek seperti itu.
"Jangan pergi lagi, Youichi," ucap Mamori tanpa memperdulikan kata-kata Hiruma sebelumnya.
"Aku tidak pernah pergi, cewek jelek. Kau yang meninggalkanku." Tuduh Hiruma.
"Uhm," Mamori mengangguk lemah. Tapi kemudian ia mencoba tersenyum. "Yah, apa pun yang terjadi, aku sudah kembali, jadi ayo kita rayakan."
Hiruma tidak sempat menjawab karena pelayan sudah datang dan meletakkan pesanan mereka di meja. Mamori mengucapkan terima kasih lalu mengangkat gelasnya.
"Untuk ingatanmu dan kepulanganku, ayo bersulang."
"Aku malas melakukan hal sialan seperti itu." Jawab Hiruma kemudian mulai menyantap makanannya, tidak memperdulikan Mamori yang tengah menggelembungkan pipinya karena kesal. "Kalau kau tidak mau makan bagianmu, aku akan menghabiskannya."
"Dasar rakus!" ejek Mamori kemudian mulai makan.
Sudah lama sekali ia tidak menikmati makan siang yang damai bersama Hiruma seperti ini. Dulu, semuanya begitu menyenangkan. Hanya ada dirinya dan Hiruma, penuh dengan kebahagiaan, meski pun sering bertengkar, hari-hari bersama Hiruma tetaplah yang terbaik.
"Jadi, sejauh apa hubunganmu dengan Rambut Liar sialan itu?" tanya Hiruma mengembalikan pikiran Mamori ke dunia nyata.
"Eh? Rambut Liar? Panggilan jelek macam apa itu?!"
"Kau tinggal menjawabnya, tidak usah protes."
Mamori lagi-lagi menggelembungkan pipinya karena kesal. "Kau itu sedah dewasa, Youichi. Sebaiknya kau perbaiki sifatmu, jangan selalu bilang sialan!" Mamori menasihati.
"Kau juga sudah dewasa, bukan, kau sudah tua, sebaiknya kau tidak cerewet dan bertingkah kekanakan," balas Hiruma kemudian terkekeh puas. "Kau belum menjawab pertanyaanku."
Gadis itu diam sambil memainkan sumpitnya, tiba-tiba saja hatinya jadi tidak nyaman, entah perasaan apa itu. "Aku… dan Takeru, bertunangan." Jawabnya pelan.
"Dulu, seperti apa hubungan kita? Apa cuma seperti ini?" tanya Hiruma serius.
Mamori lagi-lagi terdiam, ia menggeleng lemah. "Aku tidak tahu, Youichi, kita tidak pernah terikat, tapi… kau mengerti maksudku 'kan? Bagi kita, ikatan bukan suatu hal yang penting."
Kali ini giliran Hiruma yang diam mendengar jawaban Mamori. Jadi, firasatnya memang benar. Ia dan Mamori bukan sekedar teman kecil, mereka bukan sahabat, tapi lebih jauh dari itu, mereka saling mencintai. Pria itu menatap Mamori yang masih belum melanjutkan makannya, ia merasa sejak ingatannya kembali, rasa itu juga kembali. Tapi, sekarang cewek di depannya itu sudah berpaling, dia sudah bersama orang lain.
"Youichi?" panggil Mamori saat merasa Hiruma seperti melamun.
Pria itu kembali ke alam nyata kemudian menatap tegas Mamori. "Habiskan makanan sialan itu. Setelah ini kita ke sekolah sialan, aku tidak mau fotoku tetap di sana sementara aku masih hidup."
Mamori tidak bisa menahan senyum mendengar kata-kata Hiruma. "Baiklah tuan, setidaknya beri tahu dunia kau masih hidup." Ia melahap suapan terakhirnya kemudian meminum sedikit green tea yang ia pesan.
"Kau yang traktir."
"Uhhuuk!"
"Kekekekeke…." Hiruma malah tertawa puas melihat Mamori tersedak karena kata-katanya barusan. "Apa kau sebegitu miskin, Monster sialan?" ledeknya dengan tawa bahagia.
"Kau itu menyebalkan!"
.
.
Hiruma dan Mamori menatap monumen peringatan kecil di SMA Deimon. Mamori tersenyum tipis sambil membelai foto Hiruma yang terpajang manis di sana. Sebelumnya, mereka mampir ke ruang guru untuk memberikan kabar baik kalau Hiruma selamat dalam kecelakaan itu. Meski entah kenapa wajah guru-guru itu malah berubah horor saat melihat personel band papan atas sekelas Akuma, adalah murid mereka yang menyeramkan, yang mungkin bagi mereka, dunia lebih damai tanpa Hiruma.
"Orang-orang sialan itu takut pada Hiruma tapi tidak takut pada Hagito. Dasar aneh." Gerutu Hiruma sembari memperhatikan sekelilingnya.
Mamori tertawa kecil mendengar suara Hiruma. Ia menoleh dan menatap pria itu sambil tetap tersenyum manis. "Jelas mereka lebih takut pada Hiruma, kau 'kan dulu sangat kejam, suka menindas orang lain, tidak punya belas kasihan, tukang bikin onar, menyebalkan, dan kau selalu mengancam orang lain dengan akuma techou."
"Akuma techou?" Hiruma memiringkan kepalanya mendengar kata terakhir Mamori. Sepertinya ia sangat tidak asing dengan nama itu. "Maksudmu buku sialan ini?" ia mengeluarkan buku keramat hitam itu dari saku celananya.
"Kau masih menyimpannya?!" Mamori memekik melihat benda laknat itu. Ia pikir buku itu lenyap saat Hiruma kecelakaan, ternyata sang setan masih menyimpannya.
"Tentu saja, kekekeke… jadi buku sialan itu fungsinya buat mengancam orang lain? Menarik." Hiruma membuka halaman-halaman kosong akuma techou.
Sudah lama ia bertanya-tanya tentang buku yang tidak pernah jauh darinya itu, sampulnya hitam dengan beberapa kertas pembatas yang mencuat dari sembarang halaman, serta index yang menampilkan nama-nama orang yang bahkan Hiruma merasa tidak kenal.
"Tapi dimana bahan ancama―" pria itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia terlalu jenius untuk mengetahui dimana ia menyimpan bahan ancaman yang katanya tertulis rapih di buku itu. Setan itu menyeringai sangat seram. "Kekekeke…. Aku ingat semua isi buku sialan ini. Aku harus berterimakasih padamu karena sudah mengingatkan." Pria itu merangkul bahu Mamori lalu mengembalikan buku keramat miliknya ke saku.
"Kau cepat sekali ingat kalau urusan kejahatan. Dasar." Mamori menyikut rusuk Hiruma dengan keras sementara pria itu tetap terkekeh senang.
Hiruma melepaskan tangannya dari Mamori lalu mengeluarkan flame thrower yang entah ia simpan di mana. Pria itu memecahkan kaca tempat fotonya terpajang dengan body senjatanya, lalu membakar namanya yang tertera di baris paling akhir daftar nama korban meninggal.
"Kau harus bertanggung jawab, Youichi! Jangan merusak seenaknya!" protes Mamori yang shock melihat tingkah Hiruma.
"Kau diam saja. Ayo pergi." Pria itu menarik tangan Mamori meninggalkan sekolah.
"Kau ini jahat sekali! Itu 'kan untuk memperingati teman-teman kita!" Mamori masih saja protes, tapi sepertinya Hiruma sangat malas menanggapi.
"Kubilang kau diam saja, dasar perempuan cerewet. Nanti aku akan suruh orang sialan membereskannya."
Mamori menggelembungkan pipinya mendengar jawaban Hiruma. "Dari dulu kau selalu seperti itu, memanfaatkan orang lain." Ia menggerutu kesal. Tapi sekali lagi, Hiruma tidak menanggapinya.
.
.
Mamori membisu sepanjang perjalanan menuju rumahnya, ia sebenarnya tidak ingin hari ini berakhir. Tapi mana mungkin, sekarang matahari sudah mulai kembali ke peraduannya dan si setan menyebalkan ini sudah memaksanya pulang.
"Arigatou ne, Youichi-kun," ucap Mamori pelan saat ia melihat rumahnya sudah dekat. "Kau sudah menyempatkan waktu untuk pergi denganku, padahal 'kan kau pasti sibuk dengan pekerjaan."
Hiruma mengamati wajah Mamori dengan tampang datar. Gadis itu tampak sedikit gugup, entah apa sebabnya, tapi dia tampak menggigit bibir bawahnya, bahkan dia tidak menatap Hiruma saat bicara.
"Aku harap kita bisa sering bertemu, ya..." Mamori menggaruk pipinya dengan kikuk.
"Kau gugup karena ini kencan pertama kita setelah tujuh tahun, heh? Kekekeke..." Hiruma malah menggodanya, membuat teman kecilnya itu merengut sebal lalu memukul lengan Hiruma keras.
Mamori sudah siap meninggalkan pria itu kalau saja Hiruma tidak menahan tangannya, menghempaskan tubuh mungil gadis itu ke dinding yang menjadi pagar rumahnya, lalu dengan cepat mencium bibirnya.
Mamori hampir menjerit karena perlakuan tiba-tiba Hiruma, reflek ia mendorong dada pria itu, meski tidak berpengaruh apa pun. Hiruma membelai lembut pipinya, lewat ciuman itu Hiruma seolah mengungkapkan kerinduan dan kesedihannya selama ini.
Tanpa sadar Mamori memejamkan matanya dan membalas perlakuan Hiruma. Ia tahu, yang Hiruma rasakan sama sepertinya, bahkan mungkin Mamori lebih merindukannya dari yang Hiruma rasakan.
Tapi mendadak bayangan lain muncul dalam kepala Mamori, membuat gadis itu kembali melakukan penolakan, ia mendorong dada Hiruma lebih kuat, membuat pria itu mau tidak mau mengakhiri tindakannya.
"Kenapa?" tanya Hiruma parau.
Mamori terdiam. Ia ragu mengatakannya, mungkin saja ini akan menyakiti Hiruma. "Aku... aku punya tunangan, Youichi," Mamori mengusap dada bidang Hiruma dengan tangan kirinya, ia bisa melihat dengan jelas cincin itu melingkari jari manisnya. "Gomenasai," ia menunduk dan air matanya mulai menetes.
"Masuklah." Kata Hiruma datar. Ia menepis tangan Mamori kemudian memutar tubuhnya membelakangi gadis yang kini tengah menatapnya itu. "Masuk, atau aku akan berbuat yang lebih jahat dari itu?!" ancamnya.
Mamori mengangguk, ia menghapus air matanya lalu membungkuk. "Terima kasih untuk hari ini," ucapnya sebelum melangkah masuk.
Tapi baru selangkah memasuki pagar rumahnya, Mamori terhenti, yang ada di hadapannya sekarang ini adalah orang yang sangat tidak ingin ia temui.
"Takeru-kun, kau sudah lama?" tanya Mamori kikuk.
Pria tampan itu mengangguk. "Aku mencoba menghubungimu seharian ini tapi tidak bisa, karena khawatir, aku kemari, dan ibumu bilang kau pergi dengan Hiruma."
"Gomenasai," ucap Mamori pelan. Ia menunduk, bingung dengan apa yang seharusnya ia katakan sekarang. Apa pria ini melihatnya dengan Hiruma tadi? Apa dia sadar kalau tunangannya ini baru saja berciuman dengan pria lain?
"Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan Yamato mau tidak mau membuatnya mengangkat wajah, menatap pria itu. Yamato terlihat berbeda malam ini.
"Kau..."
"Aku melihatnya." Potong Yamato seolah tahu apa yang ingin Mamori katakan. "Aku mendengar suara Hiruma tadi, jadi aku putuskan untuk menemui kalian di luar, dan aku melihatnya."
Lagi-lagi Mamori menundukan wajahnya mendengar jawaban Yamato. Ia mengambil nafas dalam-dalam, dia harus menghadapinya, Mamori sudah dewasa dan dia tidak seharusnya lari dari permasalahan.
"Maafkan aku, Takeru-kun, aku benar-benar bukan pacar yang baik ya..." ucap Mamori pelan. "Maaf aku mengecewakanmu," ia membungkukkan tubuhnya dalam-dalam sebagai permintaan maaf.
Yamato tidak bergeming. Ia hanya menatap Mamori lekat-lekat.
Mamori menegakkan tubuhnya lagi kemudian menatap Yamato. "Aku bukan wanita yang baik buat Takeru," gadis itu mencoba tersenyum. "Gomenasai, Takeru-kun, aku—"
"Kau mau kembali padanya?" Yamato memotong ucapan Mamori.
Mamori menggeleng cepat.
"Kau tahu, sejak dulu aku sudah menyadarinya, waktu aku memutuskan untuk menemanimu, aku berusaha untuk menghapus semua kesedihanmu, aku ingin melihat Mamori tersenyum tulus. Tapi aku tahu, aku tidak bisa melakukannya, aku tidak bisa menggantikan dia, aku tidak bisa mengobati perasaanmu karena kehilangan dia. Dan saat kembali kemari, saat kau mengatakan dia masih hidup, aku sudah tahu, mungkin kau akan kembali padanya, mungkin aku akan kehilanganmu, tapi—"
"Maaf, Takeru-kun, kau sampai berfikiran seperti itu, tapi untuk sekarang ini, aku hanya ingin sendiri. Aku ingin menetralkan hatiku, aku sudah cukup menyakiti kalian berdua. Aku minta maaf, aku benar-benar egois." Mamori kembali membungkuk sebelum ia berlari masuk ke rumahnya.
Gadis itu menutup pintu dengan cepat sebelum air matanya terjatuh. Ia memukul kepalanya beberapa kali, merutuki tingkah lakunya. "Mamori bodoh, kenapa jadi seperti ini...?" rutuknya pelan. Ia melangkah menuju kamarnya di atas, mengabaikan orang tua yang menatapnya bingung dari ruang tv.
"Mamori." Panggil Mami Anezaki sembari mengikuti putrinya.
Mamori menghentikan langkah lalu menoleh pada ibunya yang tampak cemas. Meski ia mati-matian menahan air mata, ibunya akan selalu tahu apa yang sedang ia rasakan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Mami.
Mamori menggelengkan kepala pelan sebagai jawaban. "Aku, putus dengan Takeru," jawabnya pelan. "Maaf, bu."
"Takeru? Lalu Youichi? Bukankah kau bilang dia mau makan malam bersama kita? Mana dia?"
"Dia pulang, mungkin makan malamnya kapan-kapan." Mamori mencoba tersenyum.
Mami memicingkan matanya menatap Mamori, seolah tengah mencari kebohongan di mata putrinya. "Youichi juga terlibat dalam masalahmu dengan Takeru?"
"Tidak kok, aku hanya ingin sendiri. Kalau aku bersama salah satu dari mereka, aku merasa aku ini jahat, makanya sekarang lebih baik aku sendiri,"
"Jadi, kau memang punya perasaan khusus pada Youichi? Bukankah kau bilang Takeru itu bukan pelarian?" Mami menyentuh pipi putrinya dengan penuh kelembutan.
"Makanya aku memutuskan untuk sendiri," Mamori tersenyum kecil.
Ibunya ini, meski tidak mengatakan rentetan nasihat, tapi rasanya hati Mamori jadi jauh lebih baik saat melihat wajahnya. Sentuhan wanita ini penuh dukungan dan memberikan ketenangan. Mamori menjatuhkan dirinya dalam pelukan sang ibu, menangis seperti saat ia masih kecil dulu.
"Maaf, ibu, semuanya jadi seperti ini."
"Tidak apa-apa, lagi pula kau masih muda. Takeru atau Youichi, kalau salah satu dari mereka adalah jodohmu, kalian pasti bersama."
Mamori mengangguk. "Setelah ini aku akan minta maaf pada mereka berdua." Ia melepaskan pelukannya lalu melanjutkan langkah ke kamarnya.
Benar, hatinya sekarang ini bercabang, satu sisi Mamori tidak ingin kehilangan Hiruma lagi, tujuh tahun bukan waktu yang sebentar, dia tidak ingin membiarkan Hiruma pergi lagi. Tapi, itu berarti dia menyakiti Yamato, tunangan yang selama ini menemaninya. Mana mungkin dia terus melangkah dengannya sementara dalam hatinya ada orang lain, dan mana mungkin Mamori meninggalkannya untuk kembali pada Hiruma.
"Haah..." Mamori menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ia benar-benar lelah, tidak menyangka kalau semuanya malah jadi seperti ini. "Gomen ne, Takeru-kun, Youichi-kun," gumam Mamori.
Gadis itu berharap, keputusannya malam ini adalah yang terbaik. Mamori menggosok matanya, air mata itu tidak bisa berhenti mengalir, rasanya ia sangat berdosa pada Hiruma dan Yamato. Seandainya, dia tidak pergi ke Amerika, dia tidak akan bertemu Yamato, bahkan mungkin kecelakaan itu akan dialami mereka berdua, dia akan selamanya bersama Hiruma.
Atau jika Hiruma benar-benar meninggal dalam kecelakaan itu, berarti dia akan tetap bersama Yamato. "Tidak!" Mamori memekik, menolak pemikiran konyol yang melintas di kepalanya. "Semuanya akan baik-baik saja, aku hanya butuh waktu." Mamori menguatkan dirinya sendiri, ia terus mengucapkan kalimat penenang untuk dirinya sendiri sampai akhirnya ia terlelap.
.
.
.
Suasana Tokyo Dome luar biasa ramai sore ini. Karena beberapa jam lagi, Akuma akan tampil dan mengguncang tempat ini. Dari poster-poster yang mengiklankan konser sore ini, mereka akan memperkenalkan vokalis baru setalah berita pengunduran diri Hagito Arata minggu lalu. Dan ribuan fans band beraliran rock itu kini sangat penasaran dengan pengganti sosok idola mereka itu.
"Ah, Takeru-kun belum datang," gumam Mamori sembari melihat lagi angka kecil di sudut kanan atas ponselnya.
"Sabar Mamo-nee... kau ini sepertinya kangen sekali ya padanya?" Suzuna menaikan antena cinta di kepalanya sambil tersenyum senang.
Mamori menatap Suzuna dengan wajah cemberut. "Aku 'kan sudah cerita kalau kami putus." Ungkapnya.
Gadis itu menerawang, tidak terasa, sekarang sudah hampir tiga bulan sejak malam itu, dan mereka belum bertemu lagi. Mamori hanya menghubungi Yamato untuk meminta maaf, beruntung Yamato tidak terlalu mempermasalahkannya, atau dia tidak mau membahasnya. Mamori tahu, dia sudah sangat jahat menyakiti pria baik seperti Yamato. Tapi tentu saja, jalan terbaik adalah berpisah, karena Mamori tidak ingin lebih menyakitinya lagi.
"Itu Yamato-san," kata Sena membuyarkan lamunan Mamori.
"Yaaa... kau terlambat! Bisa-bisa kita tidak kebagian tempat paling depan!" amuk Suzuna.
"Gomen, tadi macet, kau seperti tidak tahu Tokyo saja," jawab Yamato beralasan. Ia melirik Mamori yang tersenyum canggung padanya.
"Huuh... ya sudah. Ayo Sena, kita masuk." Suzuna menggandeng Sena masuk lebih dulu meninggalkan Yamato dan Mamori.
Dua orang itu saling pandang dengan canggung sebelum akhirnya melangkah bersama menyusul Suzuna dan Sena. Mereka mendapat tempat yang tidak begitu jauh dari panggung, cukup strategis untuk melihat aksi Akuma yang akan tampil setengah jam lagi.
Tiga puluh menit rasanya lama sekali menunggu band itu keluar, Mamori dan teman-temannya bahkan sudah kehabisan bahan obrolan untuk menunggu acara dimulai. Sampai akhirnya, seluruh panggung menjadi gelap, dan sebuah petikan gitar yang merdu mengalun membuka acara.
"Konbanwa, minna-san?!" teriak sang gitaris berambut merah Akaba dari atas panggung.
Seluruh penonton menjawab sapaan itu dengan jeritan yang memekakkan telinga.
"Fuuh, irama yang penuh semangat," Akaba membuka kaca matanya dan berhasil membuat semua gadis kembali menjerit senang. "Seperti yang kami umumkan minggu lalu, Hagito Arata resmi keluar dari Akuma." Lanjutnya.
Pria bermata merah itu berhenti sebentar, ia memperhatikan sekeliling sementara personel lainnya memasuki panggung, tentu saja disambut oleh jeritan fans mereka.
"Malam ini, kami akan memperkenalkan vokalis yang menggantikan tempat Hagito. Dia seorang pria yang secara ajaib selamat dari maut, Hiruma Youichi!"
"Ehh?"
"Hiru-ma?"
"HIIIIEEE...!" jeritan Sena terdengar paling kencang dari yang lain. Seketika badan pria berambut coklat itu membeku.
Dari balik panggung yang gelap, seorang pria muncul sambil memamerkan seringainya yang tampan. "Konbanwa," sapanya saat lampu spot menyorot padanya, suaranya yang husky membuat semua penonton membisu.
"KKYYYAAAA... HAGITO-KUN!"
Jeritan itu makin keras begitu sang pria menampakkan diri.
"Hiruma Youichi." Koreksi si pria. "Jadi, siap untuk melompat?!"
Suara musik yang keras mulai terdengar dan semua penonton ikut melompat seirama lagu yang dibawakan Hiruma. Benar, Hiruma ingin tetap ingin menjadi Hagito bersama orang-orang baik yang telah merawatnya saat ia hilang ingatan. Meski seperti setan, Hiruma tidak bisa meninggalkan orang-orang seperti Musashi dan Akaba begitu saja, juga teman-teman yang lainnya. Mereka sudah menjadi bagian juga dalam kehidupan Hiruma.
Di bagian penonton, Mamori yang melihatnya tersenyum tipis, ia tidak pernah menyangka Hiruma akan melakukan hal seperti itu. Benar-benar bukan seperti dirinya.
Yamato menepuk pelan puncak kepala Mamori, membuat gadis itu menoleh kearahnya, keduanya tersenyum tipis sebelum kembali menikmati konser bersama yang lain.
"Setelah ini kau mau menemuinya?" tanya Yamato pelan.
"Iya, sebentar saja." Mamori tersenyum kecil. Ia menoleh sekali lagi pada Yamato. "Arigatou ne," ucap Mamori pelan.
Yamato membalasnya dengan sebuah senyuman kecil. "Aku masih punya kesempatan, 'kan?"
Mamori tidak bisa menahan tawanya mendengar pertanyaan Yamato yang terang-terangan, gadis cantik itu menutup mulutnya agar tidak mengganggu penonton yang lain. Ia mengangguk sambil tersenyum geli. "Tidak kok," ungkapnya. "Itu pun kalau kau masih menerima orang yang sudah menyakitimu ini."
"Bodoh," Yamato menjitak pelan kepala Mamori sambil tersenyum. "Dia memperhatikan kita." Lanjutnya kemudian kembali fokus pada konser.
Lagi-lagi Mamori tersenyum kemudian mengikuti arah pandangan Yamato. Ia menatap pria berambut pirang di atas panggung yang terlihat luar biasa, Mamori merasa dadanya bergemuruh, entah karena irama musik yang terlalu keras, atau memang sesuatu yang lain, Mamori tidak tahu pasti, yang pasti ia sangat menikmati konser malam ini.
Setelah pertunjukan memukau itu selesai, Mamori pamit pada teman-temannya untuk pergi lebih dulu. Sebelum konser dimulai tadi, ia sudah janjian dengan Hiruma akan menemuinya seusai acara, maka sekarang ia menunggu pria itu di pintu keluar Tokyo Dome.
Mamori mengusap kedua lengannya menahan dingin, udara malam sudah mulai menusuk karena sebentar lagi akan memasuki musim gugur. Mata biru gadis itu menerawang, sekali lagi ia berfikir, tidak terasa, sekarang sudah hampir tiga bulan sejak pertemuannya dengan Hiruma, sudah hampir tiga bulan sejak keputusannya malam itu pada Yamato, sudah hampir tiga bulan juga mereka tidak bertemu.
"Arigatou, Hagito—iie, Hiruma-san,"
Mamori menoleh saat mendengar suara beberapa gadis tidak begitu jauh darinya. Senyumnya mengembang melihat Hiruma tengah berfoto bersama beberapa fansnya yang kebanyakan perempuan. Mamori merasa senang, setidaknya, Hiruma sekarang tidak ditakuti lagi. Ia mengalihkan pandangan memandangi sekelilingnya yang terlihat indah.
"Kau sudah lama, Monster jelek sialan?" tanya Hiruma sambil menepuk kepala Mamori, membuat gadis itu menoleh dan langsung cemberut.
"Jangan memanggilku seperti itu," ucap Mamori. "Dan menjauhlah, kau bau." Protesnya sambil mendorong dada Hiruma agar menjauhinya, meski usahanya sia-sia.
Pria itu malah terkekeh pelan melihat Mamori. "Jadi, mau apa kau mengajakku bertemu? Mau memberikan undangan pernikahan dengan si Rambut Liar sialan itu?"
"Tidak," jawab Mamori singkat. "Kami berpisah," ia menundukkan wajahnya, memperhatikan sepatunya. Ia sangat tahu saat ini Hiruma tengah menatapnya dengan galak.
"Keh, kau mau kembali padaku makanya berpisah dengan orang itu?" Hiruma mendekatkan wajahnya pada Mamori sembari menyeringai, mencoba menggoda teman kecilnya ini.
"Pede sekali kau!" Mamori menyikut pinggang Hiruma dengan keras, membuat pria itu sedikit tersentak.
"Sialan kau," umpat Hiruma yang dibalas juluran lidah oleh Mamori.
"Aku sedang ingin sendiri, You, aku jahat sekali padanya."
"Lalu... Bagaimana dengan kita?" tanya Hiruma datar, terdengar seolah tidak berminat.
"Kita juga... hanya bisa seperti ini, Youichi. Kita tidak bisa seperti dulu, semuanya sekarang sudah berubah."
Hiruma mendengus mendengar pernyataan Mamori. Kemudian merangkul gadis itu dengan cepat. "Siapa yang memutuskan seperti itu? Tidak ada yang berubah, jelek. Bagiku, waktu berhenti tujuh tahun lalu, dan selama itu, tidak ada yang berubah."
Mamori juga merasa seperti itu, waktu bagi mereka berdua memang berhenti sejak tujuh tahun lalu. "Gomen, Youichi."
Hiruma terdiam, ia menatap pria berambut coklat yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan wajah sedih. Setan itu menyeringai kecil. "Tidak perlu menatap kami seperti itu. Kemari kau, Rambut Liar sialan."
Mamori tersentak sebelum melepaskan tangan Hiruma di bahunya, ia ikut menatap pria itu. Takeru Yamato. Lagi-lagi Mamori merasa bersalah padanya.
"Kekekeke... berhenti menunjukkan wajah jelek seperti itu, Rambut Liar sialan. Aku tidak akan merebutnya di belakangmu. Kalau aku harus mengambilnya darimu, aku akan melakukannya secara terang-terangan." Hiruma memasukkan permen karet mint dalam mulutnya sambil tetap menyeringai kecil pada Yamato.
Yamato malah tersenyum kecil mendengar kalimat tantangan dari Hiruma. Ia melangkah mendekati mereka berdua. "Yah, aku juga tidak akan kalah darimu, Hiruma. Kalau kau mengajakku bertarung buat mendapatkan Mamori, aku yakin, aku pemenangnya."
"Heii! Apa maksud kalian berdua?! Enak saja! Memangnya aku barang!" protes Mamori. Tapi sepertinya dua pria itu tidak mendengarkannya sama sekali. Mereka masih saling melemparkan pandangan membunuh, seperti tidak menganggap Mamori yang ada di sana.
"Kekekeke... Dasar Rambut Liar sialan keras kepala. Kau tidak mungkin mengalahkanku. Tapi, karena kau sudah menemaninya selama aku tidak ada, aku akan berbaik hati padamu. Ayo, kutraktir kau minum." Hiruma tiba-tiba saja melangkah menjauhi Yamato dan Mamori.
"Aku bagaimana?!" tanya Mamori.
"Kau bayar sendiri," jawab Hiruma cuek.
Mamori merengut. Sementara Yamato malah tertawa. "Dia tidak terlalu buruk," ujarnya sebelum melangkah mengikuti Hiruma.
"Kalian berdua ini..."
Mau tidak mau Mamori juga akhirnya mengikuti dua pria itu. Ia jalan sendiri di belakang sementara Hiruma dan Yamato sudah terlibat pembicaraan yang sepertinya menarik. Diam-diam gadis itu tersenyum, ia senang sekali melihat dua orang itu akur, suatu hal yang tidak terfikirkan olehnya.
"Tunggu aku!" Mamori menyela pembicaraan mereka sembari mengimbangi langkah pria-pria itu dengan menempati tempat di antara mereka. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya.
"Rahasia." Jawab Hiruma dan Yamato kompak.
"MOU!" Mamori menjerit kesal, sementara dua pria itu malah tertawa—menertawakannya.
Tapi, meskipun kesal, malam ini terasa begitu istimewa bagi Mamori. Ia tidak takut lagi menyakiti Hiruma dan Yamato, dengan seperti ini, mereka bisa berjalan bersama, meski ia tahu, kebersamaan seperti ini tidak akan bertahan selamanya. Setidaknya Mamori harap semua ini bisa bertahan lama.
OWARI
THE END
TAMAT
Terima kasih banyak buat suami beserta pacar-pacarku Jealkb yang selalu nemenin waktu ngetik... #ciuminsatusatu
Dan makasih banyak juga reader yang selalu setia mengikuti ini... aku baru sadar kalo fic ini udah terbengkalai selama enam bulan... huhuhu
Jadi seperti itulah akhirnya, minna... gomen kalau ternyata chap ini mengecewakan dan banyak kekurangan ya... #bungkukbungkuk
Jangan lupa review dan sampai jumpa di cerita berikutnya~ jangan lupa baca Liburan ke Neraka, Deai no Chikara, serta fic collab sama Luchia Hiruma Devil Love Triangle dan Pre Wedding..
Arigatou gozaimasu...