FF DraRry

The Wind Contractor

Title : The Wind Contractor

Summary : setahun setelah perang besar berlalu, Draco Malfoy menghilang dari dunia sihir tanpa jejak sedikit pun. 3 tahun kemudian, suatu kejadian yang aneh memaksa Harry agar mencari pewaris Malfoy itu. Namun, ia terkejut ketika menemukan pemuda itu bisa mengendalikan angin dan seorang anak yang berumur 6 tahun terlihat persis sepertinya.

Genre : fantasy, romance, (gak pandai nentuin genre)

Cast : DMHP, RWHG, etc.

Rating : untuk saat ini T

Warning : boys love, A little bit ooc, garing, alur cerita agak membosankan, gaje, many typo(s), saat perang besar kedua, fred memang meninggal namun Severus Snape tidak meninggal. Beliau selamat. Remus dan Sirius juga selamat.

Disclaimer : Harry Potter hanya milik bu J.K Rowling tercinta. Tapi plot cerita ini milikku. Buk, minta izin minjam ya…XD XD XD

o.O.o

Part 5

"selamat datang kembali, Yang Mulia"

Draco mengangguk singkat tanpa menjawab sapaan dari Knurla¸salah satu Elf yang di tugaskan melayaninya dan terus saja berjalan memasuki kamarnya. Kamar ini dulu adalah milik Arden ketika dia masih menjadi Raja dan ketika tanggung jawabnya itu jatuh pada Draco, Arden menyuruh pemuda berambut pirang platina itu untuk menggunakan kamarnya.

Jujur saja, kamar itu adalah kamar terindah yang pernah Draco lihat. Kamar itu 3 kali lebih besar di bandingkan kamarnya di Malfoy Manor dengan tempat tidur berukuran Kingsize di sudut kamar yang kasurnya terbuat dari bulu Phoenix. Sejak zaman dahulu, Kaum Elf selalu menganggap Phoenix adalah burung keberuntungan yang melambangkan kekuasaan, keabadian dan kekayaan. Dengan siklus hidup yang tidak pernah habis, Phoenix benar-benar di anggap sebagai keberuntungan disini, di BroceLiande. Karena itu untuk membuat kasur ini membutuhkan waktu bertahun-tahun karena mereka memunguti bulu phoenix yang rontok, bukan mencabutinya satu persatu. Hal yang menurut Draco menyusahkan.

Draco membaringkan tubuhnya perlahan. Matanya menatap layang langit-langit kamar yang berukiran pola-pola rune kuno dan beberapa pentacle sihir. Pikirannya melayang pada kejadian di rumah Potter tadi. Ia sama sekali tak menyangka ada orang tuanya disana. Ia tidak pernah membayangkan ayahnya akan bersikap seramah itu pada Rivalnya, orang yang menolak uluran tangannya 10 tahun yang lalu. Ayahnya memperlakukan Potter seolah pemuda itu bagian dari Keluarganya. Hal yang membuat Draco sedikit mengernyit.

Sejak ia membuat kontrak, ia tidak pernah berharap akan bertemu lagi dengan keluarganya. Bertemu lagi dengan kedua orang tuanya hanya akan membuatnya mempertanyakan sekali lagi keputusannya dan ia tidak ingin hatinya rapuh. Ia sudah memutuskan mengambil jalan ini. Disini tidak ada yang memperlakukannya bagaikan sampah. Walau tidak seluruh Elf menyukainya tapi ia tahu, ia punya tempat disini. Ada orang yang akan mendengarkannya disini. Ia punya kekuasaan mutlak disini.

Tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia merindukan orang tuanya. Ayahnya yang tegas dan selalu menomor satukan darah dan keluarga. Ibunya yang sangat menyayanginya. Dan bertemu dengan mereka sekali lagi membuat hati Draco sedikit menghangat.

Draco tersentak ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

"mohon maaf, yang mulia. Tapi dewan memanggil anda."

"beritahu mereka aku akan datang 10 menit lagi."

"baik,yang mulia."

Ah, ini benar-benar akan menjadi hari yang panjang.

o.O.o

Sementara itu di Grimmauld Place, Harry masih belum bisa mencerna apa yang terjadi tadi sepenuhnya. Sudah sejam berlalu semenjak si kecil Eragon kembali ke dunianya bersama mantan Pangeran Slytherin yang kebetulan adalah rivalnya sewaktu di hogwarts dulu.

Terlalu banyak informasi dan sekarang aku kebingungan, pikirnya.

"Harry,"

Harry menoleh dan melihat Narcissa tersenyum padanya. Wanita itu mengulurkan segelas coklat hangat pada Harry. "ini untukmu. Wajahmu tertekuk dari tadi, Harry."

Harry tersenyum simpul. "terima kasih, Aunt Cissy."

Narcissa membalas senyum Harry dan duduk di samping pemuda itu.

"uncle luce?"

"dia sedang di perpustakaan." Jawab Narcissa.

Harry mengangguk mengerti. Lucius selalu ke perpustakaan black setiap kali dia ke sini. Apalagi semenjak Harry menyuruh nya untuk menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri, pria itu sepertinya selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat sakral itu. walau hubungan Sirius dan Lucius tidak terlalu baik, tapi mereka juga tidak akan saling membunuh. Setidaknya selama Harry masih hidup dan ada untuk memisahkan mereka saat mereka sudah hampir melewati batas.

"Aunty, Aku.. minta maaf." Bisik Harry pelan.

"hmm?" alis Narcissa terangkat sebelah. "kenapa, son?"

Harry menggeleng pelan. "hmm.. hanya saja, aku merasa aku ikut ambil bagian dalam hal ini. Aku membuat Draco membuat kontrak entah apa itu."

Narcissa mengulurkan tangannya dan mengacak pelan rambut pemuda di sampingnya itu. "itu bukan salahmu, Harry. Itu salah kami yang membesarkan nya seperti itu. sejak dahulu keluarga Malfoy memang mempunyai harga diri yang tinggi. Kami tidak bisa menunjukkan kelemahan, kecuali pada keluarga atau orang yang kami anggap keluarga. Dan kami sudah menganggapmu salah satu Malfoy, jadi jangan menyalahkan dirimu. "

"tapii.."

"sejak dulu, Draco memang seperti itu. dia memang tidak ingin kalah dari siapapun. Dia selalu ingin berada di puncak, seperti para Pria Malfoy yang lain. Lucius juga seperti itu. Dan hal yang terjadi memang pasti melukai harga dirinya. Hanya saja Draco tidak bisa merespon dengan baik dan memutuskan untuk mencari kekuatan, mencari tempat yang akan mengakuinya." Narcissa tersenyum. "seperti Lucius. Lucius juga begitu dan mungkin karena itu aku jatuh cinta padanya. Dia selalu berusaha lebih keras dari siapapun, berusaha tampak keras dan tak terkalahkan walau di hadapan semua orang, dia tampak seperti bajingan manja yang hanya memanfaatkan nama keluarganya tapi dibalik topengnya, lucius adalah orang yang paling mencintai dan paling ingin melindungi keluarganya. Orang yang seperti itu membuatmu ingin merengkuhnya kan? Yah, ayah dan anak tidak akan terlalu jauh perbedaannya. Lucius tau itu. dia hanya perlu menerimanya. Sejak dahulu, Malfoy bukanlah keluarga Normal. Kami menjadi Pureblood juga karena ada alasannya."

Harry menatap Narcissa yang sekarang tersenyum lembut. Perlahan senyum itu menular padanya. "aunty benar-benar mencintai Uncle Lucius ya.."

"Tentu saja. Kalau tidak bagaimana aku bisa tahan menghadapi mood nya yang seperti itu. tapi justru itulah bagian manisnya, Harry. Harry, jika kau benar-benar mencintai seseorang kau akan tahu bagaimana rasanya. Memiliki seseorang sebagai pusat dunia mu itu tidak buruk, Harry."

"hmm.."

"boleh tanya satu hal, son?"

"apa itu Aunty?"

"aku tidak ingin mencampuri urusanmu tapi bagaimana dengan Gadis Weasley? Kau dulu bersamanya kan? Setidaknya begitulah yang ku dengar dari Draco."

"ah, Ginny? Entahlah, Aunty. Aku tidak tahu. Hubungan kami sudah lama berakhir"

"dan kau tidak merasa kehilangannya."

"terkadang. Tapi kurasa itu hanya karena aku sudah mulai terbiasa. Satu-satunya hubunganku yang serius hanyalah bersamanya."

Narcissa tersenyum. "aku hanya berharap kau bisa bahagia, Harry."

"terima kasih, Aunty." Harry mengangkat gelasnya dan menghisap pelan coklat panasnya.

o.O.o

Arden berjalan pelan melewati barisan Elf yang menunduk Hormat padanya setiap kali ia melewati mereka hingga ia mencapai ujung lorong yang entah kenapa rasanya jadi lebih panjang semenjak terakhir kali ia mengunjunginya.

Arden menatap datar pintu kokoh di hadapannya, menarik nafasnya pelan dan membuka buku itu pelan. Serentak, seluruh mata langsung tertuju padanya. Elf itu tersenyum menawan.

"Yang Mulia Raja Agung." Seluruh Elf yang berada di ruangan itu berdiri dan membungkuk hormat padanya. "semoga bintang menerangi langkahmu dan membimbingmu dengan kebijakan."

Arden mengangkat tangannya, menyuruh mereka kembali berdiri tegak, Lalu melalui pandangan matanya ia menelusuri ruangan itu. Pandangannya terhenti pada seorang Elf perempuan yang menatapnya dengan nafsu membunuh.

"Arya." Bisiknya.

Arya, Elf yang tampilan luarnya tampak berusia 10 tahun itu mengernyit. "arden." Bisik gadis kecil itu dengan nada berbahaya. Ia melambai tangan pada Elf lain yang berada di ruangan itu, menyuruh mereka keluar. Setelah itu, ia kembali menghadap Arden. "Kalau kau membuat Eragon dalam bahaya, aku tidak akan pernah memaafkanmu." Katanya dingin.

"Eragon tidak apa-apa, Arya sayang."

"cih. Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Hanya saja Arden, kau membuat Seraph benar-benar marah di dalam sini. Dia menganggapmu lalai. Yah, untung saja dia masih tertidur. 'Kami satu kesatuan, seharusnya dia sedikit memikirkanku ketika membuat keputusan. Dasar lelaki menyebalkan'Itu yang dia bilang. Sekarang, kembali kan eragon.." perintah Arya.

"baiklah, tapi setelah itu, kau harus membangunkan Seraph."

Arya mengangguk, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Arden yang tubuhnya mulai berpijar hingga berubah sepenuhnya kembali menjadi Eragon yang menatap Arya Scafina sambil tersenyum. "kau seharusnya tidak bersikap sekasar itu pada Arden."

"dia yang memulainya. Bagaimana kabarmu?" Arya mengulurkan tangannya dan memeluk pelan anak yang lebih muda 100 tahun darinya itu.

"aku baik, aku bertemu seorang pria menarik bernama Harry Potter. Oh Arya. Dia baik sekali."

"syukurlah." Arya tersenyum manis dan melepaskan pelukannya.

Eragon balas tersenyum dan mengacak pelan rambut Arya. "tapi Draco tidak begitu senang soal itu."

"tinggalkan saja pemuda suram seperti Draco. kau sudah makan? Aku akan menyuruh Peri Rumah untuk membawakanmu sesuatu."

Eragon menggeleng. "aku sudah makan, Arya. "

"hm, sayang sekali." Mendadak Arya tersentak. Dia menarik nafas dalam-dalam. "Seraph terbangun. Aku pergi dulu." Arya tersenyum sebelum tubuhnya perlahan berpijar. Sedikit demi sedikit tubuhnya berubah menjadi seukuran orang dewasa.

Kini di hadapan Eragon berdiri seorang Elf wanita cantik yang menatapnya dengan kesal. Eragon hanya membalas tatapan elf dihadapannya dengan senyum memaklumi. Ia tau setelah ini Arden akan mengalami masa sulit.

"Eragon sayang.." Elf di hadapannya tersenyum pelan. "bisa aku bertemu Arden?"

Eragon mengangguk. "tentu saja, yang Mulia Seraph" jawabnya. Ia memejamkan mata dan detik berikutnya Arden sudah berdiri menggantikannya. Pria itu tersenyum menatap Seraph.

"jangan pasang wajah tersenyummu itu. kau jadi semakin menyebalkan." Balas Seraph dingin.

"kau menyukai wajahku yang seperti ini."

"senyummu itu tidak tulus."

"walau begitu kau tetap mencintaiku."

"kau tahu aku membencimu, Arden."

Arden hanya mengangkat bahu. "kau tidak memelukku?"

Seraph menggeram dan dalam sekejap, ia meraih Arden dan melemparkannya ke dinding. Arden menghantam dinding dengan keras, membuat dinding yang di hantamnya bergetar sebelum perlahan rubuh. "huh.."

"aduduhh.. seleramu seperti biasa, Seraph.. terlalu kejam." Kata Arden. Pria itu mengusap punggungnya. Ia yakin Seraph telah mematahkan beberapa tulang punggung Eragon. ia meluruskan punggungnya dan dalam sekejap rasa sakit yang tadi dirasakannya menghilang.

"aku bahkan belum selesai, Arden sayang."

Kembali, ia meraih Arden dan berniat melemparnya kembali ke dinding sebelah yang masih utuh. Namun, sebelum itu terjadi, dengan cepat Arden melingkarkan tangannya di leher Elf wanita itu. "Maaf, Seraph." Bisiknya.

Seraph terdiam.

"Maafkan aku." Arden menarik seraph hingga wanita itu jatuh ke pelukannya, lalu mengusap pelan rambut wanita itu.

"kau menakuti, Arden." Bisik Seraph pelan. "Bocah Malfoy itu bilang kalian menghilang di hutan. Aku takut.."

"iya. Aku tidak akan melakukannya lagi. Setidaknya tanpa memberitahumu."

"kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu sepenuhnya sekarang. Kalau kau bertemu penyihir atau makhluk sihir lain yang cukup kuat, aku.."

Arden tersenyum. "aku tidak apa-apa." Ia mengusap pelan pipi wanita itu sebelum mengecup sekilas bibirnya. "aku ingin berlama-lama memelukmu, tapi sepertinya hal itu tidak mungkin. Draco dan para dewan yang lain sedang dalam perjalanan kesini."

"jangan bilang kau sudah... "

Arden mengangguk. "ya, Sayang. Dan aku tahu, Eragon tidak akan suka ini. Walau begitu aku tidak akan mundur. Kaum Naga tidak akan bisa menentangku keinginanku kali ini. Kau akan disisiku hingga akhir kan?"

"ya, bodoh. Tentu saja." Jawab Seraph sambil membenamkan kepala dalam pelukan Arden.

o.O.o

"APA? TIDAK, ARDEN. KAU INGIN MEMBATALKAN KONTRAK?" Teriak Draco. sekejap, ia kehilangan kendali dirinya. Ia menarik nafas pelan sebelum melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih normal. "Tidak, Arden. Apa kau ingin membatalkan kontrak?"

"aku tidak bilang ingin membatalkan kontrak. Tapi untuk saat ini, itu yang harus kau lakukan, Draco. aku menulis lembaran pertama takdirmu."

Oke. Draco benar-benar tidak menyukai apa yang di dengarnya. Ia kembali ke dunia sihir? Apa Arden sudah kehilangan Akalnya?

"aku suka ekspresi marahmu itu, Draco. kau menarik. Tapi walaupun begitu, aku tetap ingin kau kembali kesana."

"kau membuangku?"

"tidak. Walau bagaimana pun kau raja bangsa ini sekarang dan kau raja yang cukup baik. Hanya saja, aku perlu kau untuk melakukan sesuatu disana."

"kau ingin aku menghancurkan mereka?"

"sekarang kau terdengar bodoh, Dray." Arden tersenyum simpul. Hahah, Draco memang benar-benar menarik, pikirnya.

"jadi apa yang kau ingin aku lakukan."

"temani Eragon." jawab Arden simpel. "Eragon ingin menjelajahi dunia sihir selama beberapa hari. Itu akan jadi pengalaman yang bagus baginya karena itu, kau harus menemaninya. Selain itu aku ingin kau menemui raja kurcaci. Aku ingin mereka membuatkanku sesuatu."

"kau merencakan sesuatu, Arden."

"tentu saja. Sekarang, keluar dari sini, Dray. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan para dewan." Kata Arden halus. "ah iya. Kau berangkat besok pagi.. bye, dray."

Draco mendengus pelan sebelum ia bangkit dari kursi yang didudukinya dan berjalan meninggalkan ruangan. Arden hanya menatap punggung pemuda itu tanpa mengatakan apa-apa.

"Yang Mulia. Apa kau yakin soal ini?" Varlian, salah satu anggota dewan menatap Arden dengan pandangan Ragu. "kenapa mengirimnya ke Raczax?"

Arden tersenyum. "ada suatu hal yang ingin ku diskusikan bersama kalian. Aku tidak yakin kalian akan setuju soal ini karena walau bagaimana pun ini menyangkut darah kita ..."

o.O.o

"HARRY. KAU TIDAK BOHONG KAN? ELF? MAHKLUK SIHIR TERKUAT YANG MENGUASAI KEEMPAT ELEMEN ALAM?"

"hermione. Suaramu terlalu besar."

"ah.. Maaf." Hermione menarik nafas panjang. "Elf yang itu kan Harry?" lanjutnya dengan suara yang lebih kecil.

Harry mengangguk. "ya, Elf yang itu, Hermione. Makhluk sihir yang jarang memperlihatkan diri hingga di anggap sebagai legenda oleh kebanyakan penyihir."

"aku tidak menyangka Keluarga Malfoy punya hubungan serumit itu dengan Elf." Kata Hermione. Gadis itu menghirup pelan cappucino di gelasnya lalu kemudian kembali menghadap Harry. "terlebih lagi sampai membuat kontrak.."

"huh, untuk tuan muda yang manja dan haus kekuasaan seperti si Ferret hal itu sudah bisa di tebak kan? Dia menjual dirinya pada Elf." Dengus Ron. "sekarang dia tak lebih dari boneka mereka. Ayah dan anak sama saja."

"Ron." Tegur Hermione.

"apa? Itu benar kan?" Pemuda berambut merah itu tergelak. "Malfoy hanya akan jadi pelayan mereka."

"dia raja, Ron." Ujar Harry.

Sontak, Ron terbatuk. "raja? Si ferret itu? gak mungkin. Dia hanya membual." Mendadak, wajah pemuda itu tampak pucat.

"itu benar, Ron. Eragon yang bilang sendiri padaku." Harry menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"bagaimana mungkin si sialan itu bisa jadi Raja, Harry? Oke, Dark Lord baru akan muncul." Desah Ron dengan nada dramatis.

"tapi Malfoy bilang dia tidak ingin jadi Dark Lord baru. Dia bilang dia punya mainan yang lebih asyik." Kata Harry.

"Harry, jujur saja, aku iri padamu. Aku juga ingin bertemu Elf. Apa benar mereka seindah yang di gambarkan di 'makhluk sihir langka yang hanya dianggap legenda'"

"well, aku tidak tahu apa yang di gambarkan di buku itu, 'Mione. Tapi ya, Elf memang makhluk yang indah."

"aku ingin bertemu salah satu dari merekaa.." Hermione menatap Harry dengan mata berkaca-kaca.

"kau sudah bertemu Eragon Kemarin malam." Jawab Harry.

"tapi aku tidak melihat dengan jelas. Eragon memang indah. Tapi dia terlalu mirip Malfoy. Walau ya, Malfoy juga cakep sih. Di Hogwarts dulu, dia adalah murid lelaki terhot. Walau kepribadiannya tidak."

"Hermione, jangan memuji si ferret sialan itu di depanku." Teriak Ron frustasi.

"aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dia itu pangeran Slytherin, Ron. Kalau saja kepribadiannya tidak seburuk itu.. " desah Hermione sambil menggelengkan kepalanya. "benar-benar sayang sekali."

"OHHH... apa salahku? Dia itu Malfoy, Hermione. MALFOY."

"aku tau dia Malfoy, Ron."

"kalau begitu jangan memujinya."

"kau tahu ron? Yang baik dari Malfoy itu hanya wajahnya. Seluruh murid wanita bilang begitu. Lavender Brown saja tergila-gila pada Malfoy sejak kelas dua. Kalau saja Malfoy bukan Death Eater.."

"ah Hermione... Harry.. hentikan Hermione."

"tapi Ron. Malfoy memang tampan."

Serentak kedua pasang mata milik Hermione dan Ron menatap Harry dengan menyelidik.

"Harry.. kau.."

"hei.. jangan menatapku seperti itu. aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

"aaahhh kiamat benar-benar sudah dekat.." Ron menjambak rambutnya frustasi. Ia membenamkan mukanya ke meja. "oh Merlin. Semoga mereka berdua secepatnya kembali ke jalan yang benar."

Hermione hanya mengangkat bahu melihat tingkah Ron yang terkadang terlalu berlebihan terhadap segala sesuatu. "Harry. Tapi kenapa aku mendapat kesan seolah-olah Eragon sengaja muncul di hadapanmu? Di saat yang benar-benar pas. Hari itu, kau sedang mencari Malfoy kan?"

Harry tersentak. Yaa, bila di pikir-pikir lagi, itu terlalu kebetulan. ia dibebankan tugas oleh Kingsley untuk menemukan Draco Malfoy. Dan jrengg.. Eragon muncul di hadapannya. Membimbingnya langsung ke Bloody Malfoy itu. sementara, dalam 3 tahun terakhir, tidak ada yang menemukannya. Tidak ada yang pernah melihat Bloody Malfoy itu.

"ah, Hermione! Jangan menakuti Harry. Kau bisa lihat mukanya memucat seperti itu. aku yakin itu kebetulan. Kau tahu kan kalau Harry itu memang selalu terlibat dengan Hal-hal yang tidak biasa. Lagi pula bukan berarti Harry akan kembali bertemu mereka. Ya kan?"

"hm.. benar juga."

"bukan benar juga. Tapi memang pasti seperti itu. kebetulan. Cuma kebetulan."

"iya. Lagipula tidak mungkin aku akan bertemu lagi dengan mereka." Harry tersenyum. Tapi entah kenapa jauh di sudut hatinya, ia merasa sedikit kesepian karena hal itu. Membayangkan ia tidak akan bertemu lagi dengan si kecil, Eragon.

"Harry?"

"ah?" Harry tersentak dan menoleh menatap Hermione.

"kau mendadak bengong. Tidak ada yang kau sembunyikan kan?"

Harry menggeleng, berusaha mengusir pikiran aneh dan rasa kesepian yang tiba-tiba muncul pada dirinya. "tentu saja tidak ada, 'Mione." Jawabnya.

"sudahlah, 'Mione. Jangan mendesak Harry lagi." Tukas Ron. "ah iya Harry. Ginny akan kembali besok. Jadi mau makan malam di Burrow? Sudah lama sekali semenjak terakhir kali kau berkunjung. Mum juga sudah rindu sekali padamu."

"Makan malam? Di burrow? Tapi.."

"ayolah Harry.. sudah lama kau tidak kesana kan? Aku yakin semuanya akan senang melihatmu. Sejak awal tahun kau sama sekali belum ada ke sana. Dan sekarang sudah 3 bulan berlalu sejak itu."

Sebenarnya, Harry ingin sekali memenuhi ajakan Ron. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menginjakkan kakinya disana. Dan jujur saja, ia merindukan masakan Mrs. Weasley. Tapi mengingat apa yang sudah di lakukannya pada keluarga itu..

"Harry, jangan bilang kau masih merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Fred.." Kata Ron dengan nada berbahaya. "sudah 3 tahun sejak itu, mate." Tambahnya pelan.

Harry menggigit bibir bawahnya. Jujur saja, ia bingung harus menjawab apa. Ia tahu, kalau ia menjawab jujur, ia akan melukai hati sahabatnya ini.

"Harry, apa yang terjadi bukan salahmu. Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang. Jadi, sudah saatnya kau memaafkan dirimu sendiri." Kata Ron. "kami tidak pernah menyalahkanmu. George juga tidak pernah menyalahkanmu. Jadi, untuk apa kau masih menyalahkan dirimu sendiri?"

Harry terdiam.

"kau harus datang ke Burrow, Harry. Mungkin dengan ini kau bisa kembali membetulkan hubunganmu dengan Ginny. Ia merindukanmu, mate. Kami ingin kau bahagia. Datang ke burrow, oke?"

Harry yang merasa sudah tak ada gunanya untuk berdebat, mengangguk. "ya. aku akan datang ke sana."

"bagus. Dengan begini semua senang." Ron tersenyum lebar.

o.O.o

"pagi Harry.." sapa Remus ketika pria serigala itu melihat Harry turun dari tangga. Harry yang kelihatannya baru saja bangun menguap lebar dan mengangguk membalas sapaan Remus.

"pagi, Remus. Sirius mana?" balas Harry sambil mengusap matanya.

"masih tidur. Kau bangun terlalu pagi, Harry. Bukankah kau hari ini tidak ada kegiatan Auror?"

"hari ini aku mau melapor pada Kingsley." Jawab Harry sambil berjalan menghampiri Remus yang berdiri di depan sepen. "hmm.. wangi sekali. Kau masak apa?"

"hanya memasak telur dan memanggang roti. Kau ingin sarapan dulu?"

"aku ingin kopi."

"baiklah."

Sementara Remus membuatkan kopi untuknya, Harry menyandarkan kepalanya di meja dapur. Tadi malam ia bergadang untuk membuat laporan untuk Kingsley hingga larut malam, jadi sekarang ia masih merasa mengantuk.

"Harry, ini kopinya." Ujar Remus sambil meletakkan segelas kopi di hadapan Harry.

"terima kasih. Ah iya mana Kreacher?"

"peri rumah itu sedang sibuk di Hogwarts. Nanti malam Yuley Ball, jadi sudah pasti para Elf akan sibuk."

"ah iya, aku lupa." Harry meminum kopinya perlahan. Seketika kafein menyegarkan otaknya. "hmm.. kopi buatanmu memang yang terbaik, Remus."

Pria itu tertawa. "kau selalu mengatakan itu pada siapapun yang membuatkanmu kopi, Harry."

"ah benarkah? Kalau begitu kopimu yang no 1."

"dasar." Remus mengacak-acak rambut Harry.

Harry hanya menyeringai menatap Remus yang sudah di anggapnya salah satu orang tuanya itu. yah, secara teknis Remus lebih seperti ibunya. Apalagi karena hubungan Sirius dan Remus yang memang serius.

"yosh. Karena sekarang semangatku sudah bangkit lagi, aku akan ke atas dan mandi. Setelah itu sarapan dan ke kementrian. Terima kasih kopi nya, Remus."

"sama-sama, Harry."

Harry menaiki tangga dan langsung berjalan ke kamarnya. Dengan cepat, ia menanggalkan seluruh pakaiannya dan melemparkannya ke sudut kamar mandi. Berjalan memasuki shower dan berdiri di bawahnya. Memejamkan matanya dan menikmati air yang mengalir ke tubuhnya.

Hari ini akan jadi hari yang cukup sibuk. Ia harus menghabiskan paginya di kementrian, memberikan laporannya pada Kingsley, mengecek mejanya dan melihat pengumuman. Terlebih lagi ia harus memeriksa jaringan Floo kantornya dan juga memeriksa laporan kasus. Dengan banyaknya hal yang harus di lakukannya, mungkin hingga siang ia masih harus berada di sana. Ah iya, nanti malam ia juga harus ke Burrow.

Harry menarik nafasnya pelan. Dari seluruh aktivitasnya, ia merasa yang terakhirlah yang paling susah. Tapi semakin di pikirkannya ia mulai merasa kalau mungkin Ron benar, sudah waktunya ia memaafkan dirinya sendiri.

o.O.o

Harry menatap tumpukan laporan yang baru saja selesai di periksanya. Sebagai salah Auror terbaik kerajaan Britania, terkadang ketika Kingsley, ketua departemennya yang juga kebetulan adalah Perdana Menteri Sihir, memiliki laporan menumpuk dan tidak memiliki cukup waktu untuk menanganinya tidak jarang laporan-laporan itu dialih tugaskan kepadanya atau kepada Ron, sahabatnya. seperti yang terjadi saat ini.

Namun, untung saja laporan kali ini tidak memakan waktu yang begitu lama untuk memeriksanya. Kebanyakan hanya laporan dari para Auror yang bertugas berpatroli mengelilingi perbatasan dan kasus-kasus kecil seperti pencurian Kuali.

Saat ini inggris sudah kembali memasuki masa damai. Tentu saja karena tidak begitu banyak lagi Death Eater yang berkeliaran di luar jeruji besi. Dan kelihatannya sudah banyak dari mereka yang bertobat karena sudah setahun berlalu sejak terakhir kali terdengar berita Death Eater beraksi.

Jujur saja, ia mencintai keadaan damai ini. Hanya saja, keadaan ini terkadang membuatnya merasa bosan setengah mati. Ia lebih menyukai pekerjaan lapangan dari pada berada di balik meja seperti ini.

Kryuuukk

Perhatiannya teralihkan oleh suara perutnya. Ia melambaikan tongkat sekilas sambil menggunakan mantra tempus untuk mengetahui jam berapa sekarang. 12:27. Sudah jam makan siang. Pantas saja perutnya kelaparan.

Ia bangkit dari kursinya, meraih jubah Aurornya dan menyampirkannya ke pundak. Sudah waktunya ia mencari makan. Dan diagon Aley sepertinya adalah pilihan yang baik.

Siang itu, Diagon aley tampak ramai. Mungkin karena sekarang sedang jam makan siang sehingga jalan-jalan tampak padat. Beberapa cafe sihir tampak penuh. Apalagi yang dekat dengan kementrian.

Dengan cepat Harry berjalan menembus kerumunan yang seperti biasa, ketika melihatnya lewat segera meminggir dan menyapanya dengan nada ramah yang tentu saja di balasnya dengan ramah pula.

Siang ini Harry berniat makan di tempat favoritnya. Biasanya ia kesana bersama Ron dan Hermione. Tapi karena hari ini keduanya sibuk jadi terpaksalah ia sendiri. Yah, ini juga bukan pertama kalinya ia makan sendirian.

Langkahnya terhenti ketika ia merasa kakinya di peluk seseorang. Ia melirik dan melihat orang yang paling tak di sangkanya akan bertemu lagi, Eragon yang tersenyum kearahnya dengan senyum lebarnya. "Harry.." Teriak anak kecil itu senang.

"Eragon." ada nada heran di suara Harry. "kenapa bisa?"

"aku melihatmu dari jendela penginapan dan berlari kesini. Aku merindukanmu, Harry."

Harry membungkuk dan menggendong Eragon yang segera melingkarkan tangannya ke leher Harry. "kau sendiri?"

"tidak. Itu Draco."

Harry menoleh ke arah yang di tunjuk Eragon dan melihat Draco, dengan gaya angkuhnya menatap Harry dengan pandangan Kesal. "cih." Dengus pemuda pirang itu. "Eragon. jangan berlari keluar tiba-tiba begitu."

"Malfoy." Sapa Harry.

"tidak usah bersikap sok baik padaku, Potter."

"aku hanya berusaha bersikap ramah disini, Malfoy." Balas Harry. Kemudian, pemuda berambut acak-acakan itu mengalihkan pandangannya kembali ke Eragon yang berada di pelukannya. "apa yang kau lakukan disini anak manis? Bukankah kemarin kau sudah kembali ke BroceLiande?"

Eragon memonyongkan bibirnya. "hmmm.. Jalan-jalan." Jawabnya. "Arden menyuruh Draco menghadap Raja Kurcaci. Jadi aku ikut. Aku mau bertemu Harry lagi." Jawabnya sambil tersenyum lebar.

"hmm benarkah?" Harry mentoel(?)hidung Eragon pelan.

Eragon mengangguk.

"itu tidak benar, Potter. Kami sama sekali tak ada rencana bertemu dengan kepala pitakmu itu." sela Draco.

"tidak ada yang bertanya padamu, Malfoy." Balas Harry cuek.

"kau ingin kemana Harry?"

"hmm.. makan siang. Kau sudah makan siang, Eragon?"

Eragon menggeleng. "Draco tidak mau memberiku makan." Jawabnya sambil mendengus pelan.

"hei. Jangan mengarang hal keji seperti itu." Protes Draco. namun sayang, tidak ada yang memperdulikannya.

"mau ikut aku makan hm?"

Eragon mengangguk dengan semangat. "hmm.. tapi aku ingin makan salad."

"salad?"

"ya. salad"

"baiklah yang mulia. Ayo kita makan salad." Kata Harry sambil menggelitik pelan perut Eragon yang terkikik geli. Kemudian Harry menoleh pada Draco. "kau ikut juga?"

"ya." jawab Draco dengan nada ogah-ogahan. "aku tidak bisa meninggalkannya."

"baiklah." Harry tersenyum. "ayo pergi makan."

"kau terdengar seperti mengajakku kencan, Potter."

"dalam mimpimu, Malfoy."

o.O.o

Entah karena ia berjalan bersama seorang Malfoy atau karena ia menggendong seorang anak, Harry merasa pandangan setiap orang mengarah padanya ketika ia berjalan memasuki Kanari, Cafe di Diagon Aley yang setahun ini menjadi favoritnya. Dengan lagak tak perduli, ia berjalan ke arah pojokan, tempat dimana biasanya ia, Ron dan Hermione duduk.

Harry mendudukkan Eragon di sampingnya. Draco segera mengambil tempat di hadapan pemuda berambut acak-acakan itu. Draco melepas jubah yang di pakainya dan meletakkannya di bangku sebelahnya. Kini Harry bisa melihat Tunik Perak yang di kenakannya dengan jelas. Tunik perak yang tampak pas di badan Draco Bloody Malfoy.

"hoii."

Eh? Harry tersentak. Ia tak sadar bahwa tangan pemuda yang di perhatikannya sejak tadi itu mengulurkan tangan ke arahnya. "apa?"

"jubahmu."

"ah iya." Harry bangkit dari tempat duduknya dan melepaskan jubahnya lalu menyerahkannya pada Draco.

"huh, terlalu sibuk memperhatikanku hingga lupa diri seperti itu, Potter?" kata Draco dengan alis terangkat sebelah. Jujur saja, ia tampak mempesona jika saja mulutnya tidak menyebalkan.

"kau bermimpi, Malfoy? Aku hanya sedang memikirkan sesuatu." Balasnya. Ia ingin melanjutkan kata-katanya namun terhenti ketika ia melihat Casey, Pelayan di cafe ini menghampirinya.

"hai, Harry." Gadis itu mengedipkan matanya pada Harry dengan Genit. Harry hanya tersenyum maklum melihatnya. "kau membawa seorang Pria tampan kesini. Maukah kau perkenalkan padaku."

"hai Casey. Ini Draco Malfoy. Malfoy, ini Casey."

"Malfoy? Keluarga sampah itu?" mata Casey tampak membesar.

Dalam kejapan mata, Draco yang tadi duduk di hadapan Harry berpindah ke Hadapan Casey. Ia mencengkeram kerah baju yang di pakai gadis itu. matanya tampak menyala. "siapa yang kau sebut keluarga sampah, Manusia?" katanya dengan nada berbahaya. Udara di sekitar Draco memanas, merespon kemarahannya.

Dalam sekejap, seluruh pengunjung cafe tersebut terdiam. Mereka semua menatap Draco dengan pandangan yang sulit di terjemahkan.

"aaa.. aku.." seketika Casey tampak gugup. Ia tampak mengecil di hadapan Draco yang menjulang tinggi di hadapannya.

"jaga mulutmu, manusia." Desis Draco.

"Malfoy," Harry bangkit dan menyentuh bahu Draco pelan. "kau menakutinya."

"menjauh dariku, Potter. Kau tidak ingin tercabik kan?" desis Draco. angin di sekitar Draco tampak mulai berputar.

"Draco." Eragon yang sedari tadi hanya melihat, bangkit. Ia mengangkat tangannya dan dalam sekejap, angin di sekitar tubuh Draco menghilang. "kendalikan Amarahmu. Kau tidak boleh membiarkan dewan menguasaimu."

Draco melepaskan cengkramannnya, membuang muka, dan kembali duduk di kursinya sambil mengutuk dengan bahasa yang tak di pahami Harry.

Eragon mengalihkan perhatiannya kepada casey yang terlihat mengkerut ketakutan. Ia menatap gadis itu dengan tatapan berbahaya. "Manusia. Draco memang tidak bisa menghancurkanmu karena ia masih terikat larangan. Tapi aku bisa melenyapkanmu jadi debu. Jangan mengatakan hal jelek tentang keluarga Malfoy atau aku, Eragon Shadeslayer, Wakil Raja Agung Arden Mizuard Shadeslayer akan menghancurkanmu. Siapa yang menghina Keluarga Raja ke 19 kerajaan Elf Li-ion tidak pantas hidup. Ku peringatkan, berurusan dengan bangsa Elf tidak mudah." Desis Eragon. kemudian ia kembali menatap Harry yang terlihat cengo dan tersenyum manis. "Harry." Anak kecil itu melompat ke pelukan Harry yang dengan sigap menangkapnya. "kapan aku bisa memesan?" ujarnya dengan nada polos.

Harry menelan ludah. Ia tersenyum gugup dan menatap casey. "Casey, bisakah kami memesan sekarang?"

"ah.. iya.. tentu.. tentu saja, Harry." Balas gadis itu. ia bangkit dengan cepat. "mau pesan apa?" harry bisa mendengar suara gadis itu yang bergetar.

"Aku mau Broccoli salad." Jawab Eragon. "kalau Draco Egg salad sandwich, please."

"kalau begitu aku Fried Chicken and mashed Potatoes please."

"baiklah. Harap di tunggu ya." balas Casey sebelum dia menghilang.

Harry menarik nafas pelan. Jujur saja, ia tidak begitu mengerti apa yang terjadi tadi, tapi hal itu membuatnya berfikir ulang tentang beberapa hal.

"Harry?"

"hmm?" harry mengalihkan pandangannya pada Eragon yang tampak menatapnya dengan cemas.

"Harry, apa aku membuatmu takut? Maafkan aku. Aku tidak bermaksud. Hanya saja, Aku tidak bisa membiarkan Draco mengamuk. Lagipula tidak seharusnya keluarga Raja di lecehkan seperti itu. walau keluarga Raja itu manusia."

Harry menatap Eragon. sepertinya sikap diamnya sudah membuat anak kecil di hadapannya khawatir. Walau yah bukan anak kecil dalam artian sebenarnya sih,,

"kau tidak membuatku takut kok, Eragon." Harry mengelus kepala Eragon pelan.

"hmm baguslah.." Eragon tersenyum.

Beberapa menit kemudian, Pesanan mereka datang. mereka makan dengan tenang. Yah, hanya Draco yang tenang. Pemuda itu tidak mengatakan apapun sejak kejadian tadi. Ia hanya memakan sandwich nya dengan tenang.

Tentu saja, Harry tidak betah dengan aksi diam dari mantan musuhnya itu. sesekali ia melirik ke arah Draco dengan pandangan ingin tahu. Ya, ia ingin tahu apa yang saat ini ada di pikiran anak tunggal keluarga Malfoy itu.

Tanpa di sadarinya, tangannya terulur menyentuh tangan Draco. ia baru menyadarinya setelah pemuda di hadapannya menatapnya ingin tahu. "ada apa Potter?"

Dengan cepat, Harry menggeleng. "bukan apa-apa. Ah iya.." seketika ia teringat hal yang bagus. "ku dengar kau ingin menghadap Raja Kurcaci. Jadi selama kau disana, bagaimana kalau kau menitipkan Eragon padaku?"

"tidak." Jawab Draco tegas. "aku tidak ingin berhubungan dalam bentuk apapun denganmu." Jawab Draco dingin.

"ayolah Dray. Aku tidak ingin menghabiskan dua hari di dalam kamar. Aku tidak ingin ke tempat Raczax. Terakhir kali aku kesana, dia mencoba menjodohkanku dengan putrinya." Kata Eragon berusaha membujuk.

Draco menggeleng. "tetap tidak."

"Dray.."

"tidak, Yang Mulia."

"Dray, Ini perintah." Seketika nada Eragon berubah.

Draco mendesah. "tolong mengertilah, Eragon."

"tidak mau." Anak lelaki itu memonyongkan bibirnya. Pokoknya, aku ingin menginap di rumah Harry dua hari ini. Kau bisa meminta Angin mengantarkanmu ke Raczax."

Draco mendesah. "baiklah. Aku kalah. Dua hari lagi, kau akan ku jemput."

"bagus. Aku sayang Draco." Eragon tertawa kecil. "Harry. Aku akan bersamamu dua hari ini.."

"hahah syukurlah." Harry balas tersenyum.

"dasar.." seulas senyum muncul di bibir Draco.

"tapi Dray, " mendadak nada suara Eragon berubah. "karena aku tidak ikut. Kau harus membawa salah satu pelayanmu. Kau tau kau belum bisa menggunakan kekuatanmu dengan sempurna. Kau juga masih berada dalam larangan. Aku tidak bisa membahayakan dirimu. Letholas akan ikut bersamamu."

"Letholas?"

"ya."

"baiklah."

Eragon tersenyum senang. "ah makanan disini enak sekali, Harry."

Harry tersenyum mendengarnya. "iya. Ini tempat favoritku." Balasnya lugas.

"Harry, setelah ini apa yang ingin kau lakukan?" tanya Eragon sambil menyuapkan Sendok terakhir Broccoli saladnya.

"pekerjaanku hari ini sudah selesai. Jadi yah, mungkin nanti malam, aku akan ke Burrow."

"kau ke Burrow, Potter?"

"hmm, iya. Sudah lama." Jawab Harry. "lagipula, Ginny pulang hari ini."

"ah Wesselete."

"jangan memanggilnya seperti itu, Malfoy. Namanya Ginny Weasley."

"Ya ya. pacarmu itu."

"dia bukan pacarku."

"oh iya? Bukankah kau tergila-gila dengan Wesselete itu?"

"kami sudah berakhir, Malfoy."

"hah..yah, siapa juga yang tahan dengan mahkluk menyebalkan yang selalu ingin tahu sepertimu potter. Pasti kau menstalk nya seperti yang dulu kau lakukan padaku di tahun ke 6."

"aku tidak menstalknya. Dan aku juga tidak menstalkmu."

"oh iya? Kau mengendap-endap seperti tikus di belakangku potter. Kau tahu, kau bisa saja termakan ular."

"aku bukan tikus, Ferret sialan."

"siapa yang kau panggil ferret, kepala pitak?"

"huh, kukira aku akan bisa berteman denganmu, Malfoy."

"kau yang memulainya, Potter. Aku hanya bersikap ramah."

"ramah? Menyebalkan begitu."

"itu daya tarikku, Potter. Kau tidak tahu itu?"

"di dalam mimpi, Malfoy."

"Harry?" tiba-tiba ada suara yang menginterupsi adu mulut Mereka. Harry menoleh dan melihat Ginny. Gadis itu menatapnnya dengan pandangan tak terbaca.

"Ginny.. apa yang kau lakukan disini?"

o.O.o

To Be Continued

Maaafff.. T.T

Padahal aku sudah janji akan berusaha memposting cerita ini tiap minggu. Tapi laptop mendadak error, dan aku belum punya duit lebih untuk memperbaikinya.

Lanjutan ini di usahain cepat deh. Jadi gimana menurut kalian? Review donk u.u