Sakura masih belum melupakan pengalamannya di kereta berhantu yang dinaikinya semalam bersama Naruto.

Kepalanya masih mengingat orang-orang di kereta, wajah mereka pucat, tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan. Lalu erangan dan lenguhan kesakitan yang menggema dalam kereta. Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran tersebut dari benaknya.

Memang sudah banyak hantu yang dilihatnya selama ini semenjak ia bertemu Naruto. Dan jujur saja, ia tetap saja merasa ketakutan luar biasa tiap kali melihat mereka. Tapi entah kenapa, ia tak mau berpisah dari pemuda itu. Bahkan ia selalu merasa aman setiap kali pemuda itu di sampingnya.

Apakah aku banyak berubah karenanya? Padahal dulu aku sama sekali tidak mempercayai keberadaan hantu... Tapi kenapa dengan Naruto, aku...

"Sakura-chan," panggil Naruto—menyadarkan Sakura dari pikirannya, "Kita sudah sampai."

UNCOMMON CASE OF UZUMAKI NARUTO

Disclaimer: Bukan milik saya, milik mutlak Masashi Kishimoto

Warning: OOC, OC, AU, typos, slow plot, unscary scene (becuz this is supernatural fic btw._.a)

Chapter 11: Towards the Bridge of Separation

Sakura berdiri tepat di sebuah jalan besar tak beraspal yang terbagi menjadi 2 jalan kecil. Di kanan kiri terhampar luas sawah dan perkebunan pribadi milik masyarakat di sana dengan beberapa kakashi—orang-orangan sawah—didirikan di sekitar beberapa petak. Sebuah papan yang disangga oleh kayu bertuliskan 'Uzu no Kuni' terpasang di tengah-tengah jalan yang bercabang.

Pepohonan berdiri bergerombol di sekitar jalan dan Sakura menyadari dirinya sedang terpesona dengan pemandangan di sana.

"Wow... sudah lama sekali aku tidak pernah mengunjungi daerah pedesaan seperti ini..." kata Sakura takjub. "Jauh dari daerah perkotaan... Dan udaranya masih segar..." gadis itu merentangkan tangannya dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.

"Sebenarnya tidak jauh dari sini ada beberapa kota kecil. Dulu aku bersekolah di salah satu kota itu," cerita Naruto. Pemuda itu memimpin perjalanan mereka. Barulah setelah mereka melewati beberapa petak kebun dan rumah, Naruto menunjuk pada sebuah rumah dari kayu bergaya asli jepang dengan sebuah kebun kecil di belakangnya. "Ini rumahku... yang dulu."

Sakura merasa sedikit tersentak mendengar ucapan Naruto yang terdengar sedikit ragu. Dari nadanya yang berat, Sakura tahu bahwa Naruto juga tidak ingin berpisah dengannya. Sakura buru-buru mengusap matanya dan mengikuti Naruto dari belakang.

Tangan Naruto berhenti di daun pintu dan menghela napas panjang, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membunyikan bel listrik. "T-Tadaima..."

Tidak butuh waktu lama untuk seseorang membukakan pintu. Seorang gadis berambut merah dan berkacamata muncul dari dalam rumah, "Naruto! Akhirnya kau pulang juga!" kegembiraan tergambar jelas di wajah gadis itu. Naruto hanya tersenyum saat gadis itu memeluknya erat-erat. "Aku sudah lama menunggu kepulanganmu tahu!"

"Sekarang aku sudah pulang, kan?"

Sakura tidak berkata apa-apa melihat pemandangan tersebut dan merasakan pipinya menggembung dengan tak senang. Siapa gadis itu?

"Oh, ya, Karin. Perkenalkan, ini Sakura. Dia temanku saat di Tokyo," kata Naruto saat gadis bernama Karin itu melepaskan pelukannya. "Sakura-chan, dia ini sepupuku. Namanya Karin."

Tiba-tiba Sakura salah tingkah. Tentu saja ini sepupunya! Bukankah Naruto sering bercerita bahwa dia memiliki seorang sepupu perempuan? Kenapa ia malah cemburu pada sepupu Naruto? "E-eh, s-salam kenal! Senang bertemu denganmu!" Sakura membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.

Karin mengangkat kedua alisnya, "Ternyata di Tokyo kau mendapatkan pacar, ya? Kurasa dia cantik juga."

Naruto dan Sakura sama-sama memerah dan menyahut di saat yang bersamaan, "K-kami tidak pacaran!", "Sebenarnya sih aku sedang mengincarnya..."

Karin hanya mendengus menahan tawa, "Ya sudahlah kalau begitu. Mari masuk. Biar aku bawakan barang-barang kalian."

"Eh tidak usah! Terima kasih!" tolak Sakura cepat-cepat.

"Lalu, Karin, di mana Iruka?"

"Ah, Iruka-san sedang ada di halaman belakang. Sepertinya sedang mengecek keadaan kebun."

"Hmm, padahal sekarang cuacanya sedang dingin sekali," Naruto terdiam sejenak. "Hei, bagaimana dengan keadaannya? Apa kata dokter?"

Karin tersenyum lemah, "Terkadang kalau sehabis bangun pagi, dia kelihatan pucat sekali. Pergelangan tangan dan kakinya pun sering membengkak. Dan baru-baru ini, aku menemukannya pingsan saat kami membereskan gudang." Tiba-tiba air mata mengucur dari kedua mata Karin, "A-aku senang sekali melihat kau datang lagi. A-aku khawatir aku tidak akan dapat merawat Iruka-san sendirian. Dan kupikir, dia akan sedikit membaik kalau kau tinggal di sini lagi."

"Aku mengerti, Karin. Maafkan aku sudah bersikap egois dengan meninggalkan kalian," Naruto merengkuh bahu sepupunya itu.

Sakura mengamati keduanya dengan wajah sedih. Tetapi buru-buru ia menggeleng, 'Tidak. Aku tidak boleh begini. Naruto memiliki keluarga yang sesungguhnya di sini. Inilah tempat yang seharusnya menjadi keberadaan Naruto.'

Setelah menaruh barang di kamar masing-masing (Sakura tidur di dalam satu kamar yang sama dengan Karin), mereka berjalan menuju halaman belakang. Di pinggiran beranda duduk seorang pria berkimono dan mengenakan baju penghangat. Begitu ia mendengar suara orang mendekat di belakangnya, pria itu menoleh, "Karin, apa kau membawa tamu—" wajahnya berubah terkejut, "Naruto!"

"Iruka!" Naruto menghampiri walinya tersebut dan memeluknya erat, "Maafkan aku meninggalkan kalian! Aku tak mengira keadaanmu akan semakin memburuk setelah aku pergi dari sini..."

"Kau bilang apa, Naruto? Kesehatanku memang sudah memburuk bahkan sebelum kau pergi," Iruka tersenyum lembut, membuat Naruto teringat akan ayahnya untuk sesaat. "Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini?"

Naruto terkekeh pelan, "Ehm, aku... Aku akan tinggal lagi di sini... Kurasa aku sudah cukup lama berada di Tokyo..."

"Kau tidak datang ke sini karena Karin yang memintamu, kan?" Iruka menatap ke arah Karin yang memberinya cengiran gugup. "Tidak, sungguh Naruto, jika kau memang ingin melanjutkan pendidikanmu di Tokyo, kurasa itu lebih baik. Kau tidak perlu kembali ke sini sampai kau menyelesaikan sekolahmu."

"Tidak. Aku memang benar-benar ingin tinggal di sini lagi. Kurasa tidak adil meninggalkan kalian berdua sendirian di desa. Apalagi Karin juga berhak mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Tokyo," tukas Naruto cepat.

"Hmm... begitu, ya? Baiklah... tapi sebenarnya aku senang sekali bisa melihatmu tinggal di sini lagi, Naruto," Iruka kembali tersenyum. Matanya kemudian menangkap bayangan Sakura yang berdiri di belakang Karin dengan sikap canggung. "Lalu... Gadis yang di sana itu...?"

"Umm, dia gadis yang sudah banyak membantuku selama berada di Tokyo. Dia juga tahu dengan 'kelebihan' yang aku miliki," Naruto mengangkat kedua tangannya seperti memberikan isyarat. "Dan namanya Haruno Sakura..."

"Pacarmu?"

Wajah Sakura memerah, "A-ano... Aku teman sekelas Naruto juga tetangganya saat di Tokyo! B-bukan pacarnya, kok!" Naruto langsung memasang wajah cemberut saat Sakura mengatakannya, "K-kalau boleh, aku akan merepotkan Iruka-san selama beberapa hari ini..."

Iruka mengangkat kedua alisnya, "Hoo..." lalu ia kembali tersenyum, "Kalau begitu aku ucapkan terima kasih karena kau telah banyak membantu Naruto. Kuharap dia tidak merepotkan. Dan aku senang bisa menerima tamu setelah sekian lama."

"Kalau begitu mungkin lebih baik aku menyiapkan makan siang," kata Karin mengakhiri jeda di akhir ucapan Iruka.

Sakura menolehkan kepalanya pada Karin, "Aku akan ikut membantumu!" keduanya berbelok menuju dapur meninggalkan Iruka dan Naruto di beranda belakang.

"Dia cantik juga, gadis yang bernama Sakura itu. Kau pandai memilih juga."

Naruto menggaruk bagian belakang kepalanya dengan sikap malu-malu, "E-eh? Benarkah begitu? Apakah ketahuan sekali dari wajahku kalau aku menyukai Sakura-chan, ya? Rasanya aku hanya mengatakannya pada Karin..."

"Kau banyak tersenyum kalau melihatnya. Kurasa itu cukup menunjukkan perasaanmu padanya," Iruka terdiam sesaat, "Lalu... apakah kau sudah mengatakan perasaanmu padanya? Kau sudah bilang padanya bahwa kau tidak akan tinggal lagi di Tokyo, kan?"

Pemuda blonde di sebelahnya hanya menghela napas panjang dan tersenyum lesu, "Justru itu yang sedang kupikirkan."

XXX

"Jadi bagaimana kau bisa tahu kalau Naruto mempunyai kemampuan melihat orang mati?"

Sakura berhenti memotong negi untuk menoleh ke arah Karin, "Ah. Saat itu dia membantu tetangga kami yang rumahnya diganggu oleh roh seorang wanita yang dulu pernah tinggal di sana. Berkat Naruto, keluarga yang sekarang tinggal di dalamnya sudah tidak diganggu lagi. Yah, dia berbicara dengan roh wanita itu... dan, poof! Wanita itu tidak pernah muncul lagi!"

"Jadi, apakah kau bisa melihat hantu?"

Sakura menggeleng, "Awalnya tidak, tapi sepertinya kalau bersama Naruto aku jadi bisa melihat mereka."

Karin membetulkan letak kacamatanya dan ia mendekatkan wajahnya ke Sakura, "Apakah kau merasa terganggu karena kemampuannya? Apakah kau tidak merasa takut melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh kau lihat?"

"U-umm... Yah, pertamanya aku sama sekali tidak percaya ada hantu dan sejenisnya, lalu tiba-tiba Naruto muncul dan dia seperti magnet bagi para hantu," Sakura menggaruk pipinya dengan sikap canggung, "Kau tahu, di mana dia berada maka pasti di sana setidaknya ada hantu—maksudku, memang orang-orang mati berada di sekitar kita. Tapi aku sama sekali tidak merasa takut, sudah terbiasa kurasa."

"Kalau begitu sepertinya dia juga bercerita bahwa aku juga bisa melihat hantu..." kata Karin, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri daripada berbicara pada Sakura. Lalu gadis berambut merah itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum jahil pada gadis berambut pink yang sedang memotong negi, "Apakah jangan-jangan kau juga menyukainya?"

Wajah Sakura memerah, "Aduh, kenapa semua orang selalu berkata seperti itu, sih?"

Karin terkekeh geli yang membuat wajah Sakura semakin memerah. Dari cara gadis itu tertawa Sakura jadi teringat akan Naruto. Sesaat gadis berambut pink itu merasa lega bahwa Karin merupakan orang yang sangat mudah untuk diajak berteman. Apa karena cewek ini sepupu Naruto?

"Dari wajahmu kelihatan. Baguslah kalau kalian saling menyukai, setidaknya bukan berarti perasaan Naruto bertepuk sebelah tangan. Selama dia tinggal di sini, aku hampir tidak pernah melihatnya bersama cewek lain. Kenapa kalian tidak pacaran saja?" tanya Karin dengan wajah penasaran.

Sakura tersenyum kecil, sedikit malu-malu, "Entahlah. Aku... Aku tidak berani mengungkapkan perasaanku."

Karin diam sejenak dan mulai bercerita, "Sebenarnya aku senang sekali kalau Naruto menyukai gadis yang benar-benar mau mengerti akan dirinya. Selama ini anak-anak selalu menjauhi kami, sama sekali tidak mau berteman dengan kami karena kemampuan yang kami miliki—bahkan orang-orang pun melihat kami sebagai orang aneh," gadis berambut merah itu kembali pada pekerjaan memasaknya, "Lalu saat Iruka-san memutuskan untuk menjadi wali kami, aku dan Naruto sepakat untuk merahasiakan kemampuan kami pada orang-orang, meski pada akhirnya si baka itu yang malah menyebarluaskan kemampuannya sendiri. Orang-orang akhirnya kembali menjau-"

Sakura memotong dengan cepat, "Tapi di Tokyo banyak orang-orang yang tidak seperti itu, kok! Justru karena kemampuan Naruto melihat hantu, mereka jadi banyak tertolong! Dan-dan... dan... Mereka sangat berterima kasih pada Naruto!" Yah, meski anak-anak di sekolah sepertinya tidak mengetahui kemampuan melihat hantu yang dimiliki Naruto. Bahkan aku tak yakin Ino tahu bahwa Naruto bisa melihat hantu meski dia sudah dua kali mengalami hal mengerikan. Apa salahnya aku bilang begitu?

"Begitukah?" Karin mengangkat alisnya, "Syukurlah kalau begitu." Kembali jeda untuk beberapa saat sampai akhirnya gadis berkacamata itu kembali berkata, "Kuharap kau bisa segera memberitahukan perasaanmu yang sebenarnya pada Naruto, sebelum kalian berpisah. Aku tak ingin... Kau terus bersikap seperti gadis yang mempermainkan perasaan Naruto."

Sakura tersentak mendengar ucapan Karin, membuat gadis berambut pink itu menghentikan gerakan memotongnya. Ucapan Karin sesaat di telinganya terdengar begitu kasar, tapi entah kenapa, Sakura merasakan dadanya berdenyut tak nyaman dan ia harus mengakui ia menyetujui ucapan Karin. Tetapi ia tak mengatakan apa-apa, hanya kembali melanjutkan pekerjaannya yang terhentikan sesaat tadi.

XXX

Bahkan setelah makan siang, ucapan Karin masih terngiang di telinganya.

Apakah aku benar-benar mempermainkan perasaan Naruto? Tapi aku benar-benar menyukainya...

Sakura menarik napas panjang, Kenapa bisa begitu berat hanya untuk mengakui bahwa aku menyukainya? Padahal aku hanya punya waktu sebentar untuk bersama Naruto...

Sakura menggeleng keras-keras. Ia memutuskan untuk memeriksa isi tasnya, sebelum akhirnya beranjak keluar dari kamar Karin dan bergerak menuju pintu depan rumah.

"Kau mau ke mana, Sakura-chan?"

Suara milik Naruto membuat Sakura menoleh, "O-oh. Aku hanya ingin keluar sebentar untuk membeli. Aku lupa membawa peralatan mandi..."

"Memangnya kau tahu di mana harus membelinya?"

"Yah, aku dengar dari Karin bahwa ada supermarket tidak jauh dari sini."

"Oh, ya? Apakah kau tahu di mana letaknya dengan tepat? Lalu bagaimana kalau di jalan kau bertemu dengan hantu jahat? Di desaku ini banyak penampakan makhluk aneh bahkan di siang hari."

Sakura memasang wajah kesal dan memalingkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya, "Baiklah. Kau menang. Jadi apa kau mau mengantarku ke sana?"

Naruto menyeringai puas, "Dengan senang hati!"

Mereka berdua keluar dari pekarangan rumah dan melihat beberapa orang berhenti untuk menoleh ke arah dua orang seperti orang asing yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Sakura penasaran, mengapa orang-orang yang merupakan tetangga Naruto bahkan melihat ke arah pemuda itu seolah-olah ia adalah orang asing? Meski ada beberapa orang memberi salam pada Naruto dan berbasa basi dengan mengatakan bahwa ia senang melihat Naruto kembali, Sakura tetap tidak bisa menyangkal bahwa apa yang diucapkan oleh Karin benar.

-bahkan orang-orang pun melihat kami sebagai orang aneh—

Sakura tidak menyadari bahwa sedari tadi ia hanya berdiam-diaman dengan Naruto sampai akhirnya mereka tiba di tempat yang dituju. Pemuda itu mengikuti Sakura ke dalam supermarket dan untuk sebentar Sakura melupakan ucapan Karin.

"Hei, kau mau melihat-lihat daerah sini tidak?"

Sakura menoleh saat pemuda itu bertanya padanya dan mengangguk, "Kurasa boleh juga. Lagi pula, sepertinya berjalan-jalan di tempat seperti ini cukup menyenangkan, meski kau bilang bahwa desamu ini banyak hantunya."

Naruto menyeringai geli, "Yah, tapi tenang saja, rumahku tidak berhantu, kok. Paling hanya hantu bertamu. Oh, ya, sepertinya ada seorang paman yang sedang memperhatikanmu."

Sakura memukul lengan Naruto dengan gemas.

Keduanya berjalan berlawanan arah dengan jalan pulang. Melewati sebuah jalan kecil berbatu-batu kecil yang masih belum dilapisi oleh aspal, Naruto mengajak Sakura menuju barisan pepohonan Sakura yang masih gundul dan melewati sebuah bukit hijau dengan beberapa deretan rumah mungil di sekitarnya. Naruto menunjuk pada sebuah bangunan tinggi berukuran kecil di atas bukit.

"Dulu saat SD aku dan Karin bersekolah di sana," tukasnya dengan bangga, "Bangunannya sudah tua, sepertinya dibangun saat perang masih berlangsung. Dulu di sana pernah ada cerita Aka dan Ao Hanten menghantui toilet perempuan. Hantu itu bertanya pada kita, 'Apakah kau ingin memakai jubah berwarna merah atau jubah yang berwarna biru?' kalau kau menjawab yang merah, maka punggungmu akan dicabik seperti menggunakan jubah merah."

"Kalau menjawab yang biru?"

"Maka dia akan menggantungmu sehingga menghentikan aliran darah pada tubuhmu dan membuat tubuhmu berwarna biru."

Sakura meringis, "Ih, sama saja. Tidak ada jawaban yang benar."

Kemudian mereka melewati sebuah sumur tua di ujung perbukitan dan Naruto menceritakan pada Sakura bagaimana ada hantu seorang wanita keluar dari dalam sana untuk menarik pejalan kaki yang mabuk pada tengah malam ke dalam ujung sumur. Saat mereka melewati sumur tersebut, Sakura secara refleks memegang bahu Naruto dan mengekor di belakangnya.

Meski ia ketakutan, ia tak ingin Naruto berhenti menceritakan cerita hantu padanya. Karena ini yang terakhir kalinya ia bercerita seperti ini padaku, pikirnya getir.

Mereka akhirnya sampai pada sebuah jembatan kayu dengan penyangga dari beton. Di bawahnya, mengalir sungai yang warna airnya masih bersih. Sakura tertegun melihat ke dalam aliran sungai tersebut, sampai ia mendengar Naruto kembali bercerita pada Sakura mengenai Mori Hikiko.

"Masa kau tidak tahu? Itu lho, hantu anak hikikomori yang meninggal bunuh diri karena disiksa oleh kedua orang tua dan teman-temannya. Katanya dia suka muncul di atas jembatan atau lorong gelap sambil membawa sebuah boneka," Naruto menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang menggambarkan penampilan hantu yang diceritakannya, "Kalau ada anak SD yang menyapa atau menegurnya, maka dia akan menoleh dan membunuh anak tersebut. Ya, dengan memutilasi tubuhnya. Oh, ya, Sakura, sepertinya aku melihat sesuatu di belakangmu—"

Sakura melonjak kaget dan menoleh dengan wajah ketakutan, "T-ti—"

"Aku hanya bercanda, hehe," Naruto terkekeh geli.

Sakura memukul lengannya dengan sebal, "Kau jahat!"

"Gomen, gomen! Jangan marah padaku, onegai?"

"Hmf," gadis berambut pink itu kini memasang wajah pura-pura kesal, "Baiklah, kumaafkan."

Gadis itu menoleh ke arah Naruto dan memperhatikan bahwa pemuda itu termenung memandang ke depan, "Dulu sekali, aku tidak pernah berani bercerita pada orang lain bahwa aku bisa melihat orang-orang mati dan berbicara dengan mereka. Semua orang akan menganggap bahwa aku berbohong, aneh, atau gila."

Tangan Sakura bergerak untuk memegang tangan pemuda itu, bermaksud untuk memintanya diam, tapi Naruto kembali melanjutkan, "Untungnya aku bertemu denganmu, Sakura-chan. Kau mau mempercayaiku dan sama sekali tidak mau beranjak dariku setelah mengetahui diriku yang sesungguhnya. Biasanya orang-orang akan langsung menjauh begitu aku bercerita soal hantu pada mereka."

"Mereka orang-orang bodoh," kata Sakura. "Mereka sama sekali tidak mau melihatmu sebagai orang yang unik. Maksudku, bukankah itu suatu kelebihan bisa berbicara dengan orang-orang mati? Meski mungkin bagiku itu menyeramkan, tapi melihat hantu adalah suatu kelebihan. Dan dengan kemampuanmu itu, kau sudah membantu banyak orang, Naruto. Bahkan Ino mungkin akan mengekormu setiap saat kalau kau memberitahunya terang-terangan soal kemampuanmu itu. Dia kan sangat menyukai hal-hal berbau mistis dan sebagainya!" gadis itu terengah-engah begitu ia selesai mengatakannya.

Naruto mengangkat kedua alisnya dengan kaget mendengar ucapan Sakura, dan tersenyum, "...Terima kasih, Sakura—chan."

Senyuman tipis membalas senyuman di wajah pemuda itu, "Tidak, itu memang benar." Mata gadis itu kini beralih pada sebuah pohon besar, Sakaki, yang berdiri tegak di ujung jembatan satunya. "Itu kan sakaki?"

Mata Naruto ikut menoleh ke arah yang dimaksud oleh Sakura, "Ah, ya. Di dekat jembatan ada sebuah kuil dan juga tempat persembahan. Di desa ini juga ada sebuah cerita, katanya setiap malam pada bulan terakhir musim dingin menjelang musim semi, para orang-orang mati melewati jembatan ini ke dunia orang-orang yang masih hidup saat mereka tertidur."

"Benarkah? Lalu apa yang orang-orang mati ini lakukan?" tanya Sakura penasaran sekaligus sedikit tertarik.

"Mereka akan mengunjungi keluarga dan kerabat mereka yang masih hidup. Dan katanya, kalau ada sampai manusia yang masih hidup tanpa sengaja menyeberangi jembatan itu, dia akan selamanya bergabung dengan para orang-orang mati."

Sakura bergidik ngeri, "Ooh… sudahlah. Lebih baik kita pulang saja, Naruto." Gadis itu memutar tubuhnya untuk beranjak pulang saat sebuah tangan yang lebih besar menahan tangannya. Sakura berhenti untuk menoleh pada sosok yang menahannya pergi, "Naruto? Ada apa?"

"Sakura-chan… a-aku…" Naruto menatap Sakura dengan tatapan sedikit memohon, "Ini terakhir kalinya kita bisa berduaan seperti ini. Jadi, kumohon, Sakura-chan… Beritahu aku…" pemuda itu menarik napas dalam-dalam, seolah-olah mengumpulkan keberaniannya sedikit demi sedikit untuk mengatakan suatu hal yang sangat penting dan sulit baginya. "Bagaimana—bagaimana… perasaanmu padaku? Aku serius. Aku serius selalu menyukaimu semenjak pertama kali kita bertemu. Tapi bagaimana denganmu sendiri?"

"…eh?"

Pertanyaan itu membuat Sakura bingung sekaligus tersipu untuk beberapa saat. Dia hanya terdiam memandangi Naruto. Untuk pertama kalinya pemuda itu bertanya langsung padanya. Bagaimana dia harus menjawab? Sakura merasakan mulutnya kering selama beberapa detik dan jantungnya berdegup kencang, seeperti dia baru saja melakukan lari jauh tanpa berhenti sedikit pun.

"A-aku… kau…"

Bagaimana aku harus menjawabnya?

Kau sudah mengubahku, Naruto. Kau sudah menjadi tetanggaku, sahabatku, saudara laki-lakiku. Bahkan kau lebih dari itu semua. Tapi aku harus mengatakan apa?

Apakah egois bahwa aku ingin memintamu untuk terus bersamaku sampai seterusnya?

Tapi Sakura tidak mengatakan apa-apa dan hanya tersenyum kecil, senyum yang dipaksakan. "Kita harus segera kembali. Kita sudah terlalu lama pergi, Naruto. Lagipula, perasaanku padamu tidak terlalu penting."

Sebersit rasa kecewa hinggap di wajah Naruto—membuat Sakura tiba-tiba menyesal dengan apa yang telah dikatakannya. Yang pasti, seharusnya ia tak berkata demikian. Pemuda blonde di hadapannya hanya tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan gerakan kasar.

"Benar. Tidak penting. Kenapa aku menanyakannya, ya?" Naruto berjalan mendahului Sakura.

Gadis berambut pink itu mengekor di belakang pemuda blonde di depannya, "N-Naruto?" tangannya bergerak untuk menyentuh bahu pemuda itu, tapi sebuah sentakan menghentikannya.

"Kita pulang. Sekarang."

Suara pemuda itu terdengar marah di telinga Sakura. Perasaan bersalah kini menyelimuti Sakura. Apa yang sudah dikatakannya barusan? Apakah Naruto marah padanya?

Yang pastinya, Naruto sama sekali tidak mengajaknya berbicara selama mereka dalam perjalanan pulang.

XXX

"Kau dan Naruto sedang ada masalah?"

Sakura nyaris menjatuhkan piring-piring yang selesai ia cuci, tetapi gadis itu hanya diam saja. Karin semakin penasaran untuk menanyainya.

"Ketahuan sekali, lho. Saat makan malam tadi kau dan Naruto sama sekali diam. Berbeda dengan makan siang. Sebenarnya ada apa, sih, dengan kalian berdua? Apakah ini—ada hubungannya dengan perkataanku siang tadi?"

"Sama sekali tidak, Karin!" teriak Sakura sedikit kesal akhirnya. Begitu ia sadar dengan apa yang dilakukannya, gadis itu memerah, "Gomen… aku tidak bermaksud—"

"Tidak masalah. Aku juga sudah biasa membentak, jadi tidak masalah kalau aku kena bentak juga," kata Karin setengah bercanda. Tapi wajahnya berubah serius, "Kalau begitu ceritalah padaku. Ini menyangkut Naruto juga. Baru kali ini aku melihatnya semarah ini—b-bukan maksudku membuatmu semakin merasa bersalah!" Karin berubah panik saat ia melihat wajah Sakura berubah masam.

"Soalnya ini pertama kalinya ia marah padaku. Bagaimana ini? Dia kelihatan marah sekali… p-padahal besok aku sudah harus pulang…"

Karin mengibaskan tangannya dengan sikap santai, "Tenang saja, toh ini Naruto yang marah. Paling besok dia sudah seperti biasa."

Sakura mengerutkan dahinya, "Oh, ya?"

Karin mengangkat bahu, "Entah. Jangan terlalu dikhawatirkan, oke?"

Sakura mengangguk lemah dan berjalan keluar dari dapur. Ia menemukan dirinya dan Naruto saling berpandangan, tapi kemudian dengan cepat pemuda itu mengalihkan wajahnya. Sakura mengikuti pemuda itu tanpa ia sadari, memanggil namanya, tapi Naruto tidak menoleh. Sakura memutuskan untuk menyerah ketika pemuda itu menutup pintu kamar Iruka tepat di depan wajah Sakura.

Apakah dia akan terus seperti ini padaku sampai besok, mendiamiku?

Sakura tidak dapat berpura-pura bahwa Naruto memang sama sekali tidak memedulikannya semalaman itu.

Seandainya saja aku mau jujur pada perasaanku sendiri

XXX

Malamnya Sakura mendapati dirinya hanya bolak-balik mencari posisi tidur yang nyaman. Beberapa kali ia berusaha menutup kedua matanya, tetapi tetap saja tidur tidak dapat mencakup dirinya saat ini. Wajah Naruto yang terlihat marah terus terbayang di pikirannya. Suaranya yang terdengar marah dan kecewa terus terngiang di telinganya. Naruto yang mendiaminya selalu menancap dalam otaknya. Bagaimana ia bisa tertidur kalau semua itu terus mengganggunya semalaman itu?

Bodoh sekali aku ini. Kenapa aku tidak minta maaf saja padanya? Dengan begitu semua akan selesai, kan?

Tapi apa akan semudah itu?

Tiba-tiba Sakura ragu.

Tangannya bergerak mengusap wajahnya, dan Sakura merasakan sesuatu yang basah meresap dari sana. Sakura menyadari dirinya menangis.

Ia sama sekali tidak ingin berpisah dengan Naruto seperti ini.

Tidak saat pemuda itu marah dengannya.

Sakura mencubit dirinya sendiri, berusaha mengontrol suara isakannya—berharap agar Karin tidak terbangun di sebelahnya dan mendapatinya menangis. Sebaliknya ia mendengar suara dengkuran halus dari gadis berambut merah yang telah terlelap itu.

Juga suara napas berat di sebelah kamar mereka, napas berat yang langsung ditebaknya milik Iruka. Napas berat itu teratur, tetapi terdengar seperti suara mesin tua yang sudah lama tidak dinyalakan. Berat, dan terdengar sangat lemah. Sakura meringis saat suara tersebut berubah menjadi suara batuk pelan. Rasa iba menyelimuti dadanya. Iruka benar-benar membutuhkan Naruto saat ini. Tidak mungkin Karin merawat wali mereka sendirian, tidak saat dirinya juga butuh bersekolah dan kehidupan normal seperti remaja seusia mereka yang lainnya.

Sakura mulai terlelap saat sebuah bayangan bergerak tepat dari balik dinding. Bayangan pria setinggi tubuh Naruto dengan rambut jabrik—dan Sakura memang mengira bahwa bayangan tersebut adalah Naruto. Sakura menggeser pintu untuk melihat dengan lebih jelas. Kalau itu memang Naruto, kenapa ia tidak mendengar suara pintu digeser buka? Dan lagi kamar mereka bersebelahan.

Sakura menoleh ke sekitarnya dan mendapati koridor kosong.

'Apa aku hanya berhalusinasi?' pikirnya bingung.

Lalu terdengar suara langkah melintasi ujung koridor, dan refleks Sakura melemparkan pandangannya ke ujung koridor. Tetap tidak ada siapa pun.

"Suara tikus. Ya, pasti suara tikus, atau mungkin aku sebenarnya sedang bermimpi atau sleepwalking," kata Sakura pada dirinya sendiri. Dadanya mulai berdegup kencang karena ketakutan.

Ia berjalan kembali ke futonnya saat kembali terdengar suara langkah kaki diikuti suara gemerisik daun kering yang terinjak. Sakura terkesiap mendengarnya. Apa ada pencuri masuk ke dalam sini? Gadis itu memberanikan dirinya untuk menggeser jendela agar terbuka sedikit dan mengintip.

Seorang pria berambut blonde dan berjaket gelap sedang berdiri memunggunginya di dekat halaman luar. Awalnya Sakura mengiranya sebagai Naruto, tapi saat ia memperhatikannya dengan lebih jelaas, pria itu lebih tinggi dan bertubuh lebih tegap daripada pemuda yang dikenalnya. Pria itu sempat menoleh sedikit seolah-olah menyadari bahwa Sakura tengah memperhatikannya sebelum akhirnya beranjak pergi.

Ia sebenarnya juga ingin membangunkan Karin tapi gadis itu sudah terlelap mengenai apa yang dilihatnya. Dengan kaki yang gemetaran, Sakura berjalan untuk mengambil jaketnya dan berjalan keluar dari kamar. Sebentar ia menoleh ke kamar di sebelahnya, bermaksud menceritakannya pada Naruto jika ia tidak bisa membangunkan Karin. Kini perasaan bersalah yang menghentikannya untuk melakukannya.

Lagipula ia hanya akan keluar sebentar lalu kembali setelah memastikan tidak ada apa-apa. Saat akan melakukan hal ini, Sakura jadi setuju akan sebuah kalimat yang menyatakan, 'Rasa penasaran akan mengalahkan rasa takut dalam dirimu.'

Sakura memutar kunci pintu ke arah yang berlawanan dan menggeser buka pintu. Ia berdiri di luar rumah selama beberapa saat, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Saat ia berbalik, ia melompat kaget dan menjerit.

Seorang wanita berambut merah panjang berdiri di belakangnya, tepat di depan pintu masuk. Wanita itu mengenakan sweater berwarna krem dengan warna merah menodai dari bagian leher hingga dekat bagian tulang rusuk—cocok dengan rambut merah menyala yang menjuntai pada sweater. Sosok wanita itu hanya menunduk, menutupi wajahnya, tapi kemudian kepalanya bergerak dengan gerakan yang sangat tidak normal dan terpatah-patah.

Sakura langsung bereaksi dengan berlari menjauh dari hantu mengerikan tersebut sambil menjerit ketakutan. Ia berhenti setelah memperkirakan bahwa wanita itu tidak mengejarnya.

"Aduh, bagaimana ini… aku berlari tanpa mengunci pintu! Apa jangan-jangan wanita itu masih ada di sana? Tapi bagaimana kalau ada orang masuk?" tanya Sakura pada dirinya sendiri dan memaki-maki dirinya yang bisa sepenakut ini sambil berjalan kembali ke rumah Naruto.

Jalanan di sekitarnya sepi dan lampu-lampu penerangan hanya berasal dari lampu jalanan. Rumah-rumah yang berdiri di sekitarnya tampak mengerikan dalam kegelapan, seolah-olah siap menerkamnya. Sakura memeluk dirinya sendiri saat merasakan angin dingin bertiup ke arahnya.

"Lho…" gumamnya dengan gigi yang bergemeletuk, "Rasanya tadi aku lewat ke arah yang benar. Tapi kenapa tiba-tiba aku bisa ada di sini?" ia memperhatikan sekitarnya dan bukannya mendapati arah pulang, melainkan sebuah tempat yang tidak dikenalnya. Tempat itu pun sepi. Sakura meringkuh ketakutan saat sebuah suara aneh bersahut-sahutan dalam malam.

Kemudian sebuah cahaya berwarna oranye mengalihkan perhatiannya, memperlihatkan seseorang sedang berjalan tidak jauh darinya sambil membawa senter atau mungkin lampu penerangan lainnya. Sakura bersyukur dalam hati, "Sumimasen! Anu, aku tersesat…"

Orang tersebut tidak menyahut, hanya berjalan tenang menjauhi gadis berambut pink itu. Sakura berlari mengejarnya. "Tunggu, aku tersesat! Hei, apa kau mendengarku—"

Sakura kembali memperhatikan sekitarnya dan mendapati dirinya berdiri di tengah jembatan. Umm, sepertinya aku semakin jauh dari rumah… Dilihatnya kembali orang yang dikejarnya. Sekarang pria itu berdiri di ujung jembatan satu lagi dengan kepala yang tertoleh ke arahnya. Sakura langsung menyusulnya saat tiba-tiba saja orang itu menyeringai mengerikan.

Bulu kuduknya langsung meremang dan Sakura merasakan hal bahaya melingkupinya. Orang yang berdiri di hadapannya kini mengarahkan cahaya lampu ke wajah gadis itu sambil menyeringai, "Kau memanggilku?"

Sakura menjerit begitu ia melihat bahwa orang di hadapannya sama sekali tidak memiliki mata ataupun hidung, hanya mulut yang menyeringai dengan barisan gigi seperti ikan hiu. Gadis itu berbalik mundur, tapi bukan jembatan yang barusan dilaluinya, melainkan sebuah desa lain yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.

Tangan orang itu berusaha meraihnya, dan Sakura tidak mau memilih kecuali berlari menjauhi makhluk mengerikan di belakangnya. Makhluk itu mengejarnya dengan gerakan yang terpatah-patah. Sakura masuk ke dalam sebuah taman bermain dan bersembunyi di antara semak-semak. Ia menahan napasnya saat mendengar suara lenguhan aneh dari orang yang mengejarnya. Jantungnya terasa akan meledak saat orang itu berjalan melewati tempat persembunyiannya sebelum akhirnya berbalik pergi.

Setelah beberapa lama dan mengira bahwa keadaan sudah berubah aman, Sakura berdiri dari tempat persembunyiannya. Seorang anak perempuan berdiri di hadapanya. Sekilas Sakura tidak dapat melihat wajahnya karena kegelapan malam, tapi dirinya merasa ketakutan saat ia mendengar anak itu dengan suara riang dan serak berseru, "Lihat, aku menemukan sesuatu!"

Sakura mempersiapkan dirinya untuk kembali berlari, tapi beberapa orang anak kecil langsung mengerubunginya.

"Dia terlihat berbeda, sama sekali tidak terlihat seperti kita."

"Apa yang dilakukannya di sini? Bersembunyi?"

Anak-anak tersebut memandang ke arahnya, tapi Sakura tahu dari cahaya bulan bahwa anak-anak tersebut tidak memiliki mata di rongga mata mereka, hanya darah segar yang terus mengucur dari sana. Dan suara tawa aneh mereka, seperti suara orang yang tercekik.

Sakura kembali berlari, merasakan ketakutan menyelimuti dirinya. Dimana ini? Aku di mana?

Ia menabrak seorang nenek yang berjalan melewati taman bermain. Sakura secara refleks segera meminta maaf, dan nenek itu mengangkat kepalanya—menunjukkan wajahnya yang polos dan hanya berupa kulit pucat tanpa mata, hidung, dan mulut.

"Kenapa terburu-buru sekali, nak?"

Ia terus berlari dengan ketakutan dan merasakan dadanya terbakar. Tapi ia tidak bisa berhenti. Ia tidak tahu apa yang orang-orang aneh ini—atau tepatnya para hantu ini—akan lakukan padanya. Sakura teringat akan ucapan Naruto padanya siang tadi.

kalau ada sampai manusia yang masih hidup tanpa sengaja menyeberangi jembatan itu, dia akan selamanya bergabung dengan para orang-orang mati…

Tidak mungkin kan?

Sakura akhirnya berhenti berlari sambil mendapati sekitarnya tidak ada seorang pun berkeliaran selain dirinya. Tapi tetap saja ia sama sekali tidak aman dengan berada di tempat yang sama sekali tidak diketahuinya. Apalagi kalau benar bahwa ia berada di dunia orang mati. Bagaimana ia kembali ke dunianya?

Matanya kini mengitari pemandangan di hadapannya. Rumah-rumah di sekitarnya tampak normal jika saja dari cahaya bulan ia tidak melihat bayangan-bayangan aneh di balik jendela dan suara-suara aneh—bukan suara manusia maupun hewan malam. Kabut pun mulai bermunculan saat cahaya bulan mulai tertutupi oleh awan gelap sambil membawa udara dingin.

Gadis itu mulai ketakutan.

Tapi Sakura bangkit saat ia melihat pria yang dilihatnya di rumah Naruto berjalan melewatinya. Pria itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya dan Sakura merasa bahwa dirinya pernah melihat pria itu sebelum-sebelumnya. Tanpa sadar Sakura mengikuti pria itu dan tangannya terangkat ke arahnya, memintanya untuk berhenti. Pria itu membawanya melewati barisan rumah bergaya jepang dan sebuah lahan perkebunan. Sekumpulan orang-orang tidak berwajah berjalan berpapasan dengan keduanya, tapi Sakura tidak merasa takut—justru ia merasa aman dengan keberadaan pria itu—bahkan mereka juga seperti tidak menyadari keberadaannya.

Pria itu membawa Sakura ke sebuah tempat di dekat kuil, di mana banyak orang-orang dengan penampilan mengerikan berkumpul di sana. Sakura menghentikan langkahnya sesaat, ragu untuk memasuki tempat tersebut. Tapi ia mengumpulkan keberaniannya untuk terus mengikuti pria itu.

Di dalam sana ia bisa melihat orang-orang yang dulunya pernah hidup berlalu lalang di sekitarnya. Masing-masing penampilan mereka menceritakan bagaimana nyawa mereka direnggut. Seorang pria dengan kepala yang bengkok secara janggal, seorang wanita dengan tali melilit lehernya, anak-anak kecil yang berlarian dengan tubuh berlumuran darah, bahkan ada beberapa orang yang berkeliaran dengan penampilan lebih mengerikan—dengan tubuh hancur yang memperlihat organ dalam mereka. Para hantu yang tidak memiliki wajah menandakan bahwa mereka dulunya pernah hidup dan meninggal karena alasan yang alami.

Sakura seperti merasa dalam sebuah festival musim panas yang selalu dikunjunginya setiap tahun, hanya saja isinya para orang-orang yang telah mati—juga orang-orang jaman dahulu yang pernah mati karena wabah dan perang.

Gadis itu tiba-tiba bingung harus merasa ketakutan atau takjub.

Suara kembang api meletup-letup di langit membuatnya teralih. Sakura mendongakkan kepalanya melihat puluhan jenis kembang api dinyalakan di atas kepalanya. Ia teringat bahwa musim panas yang lalu ia dan Naruto juga menyaksikan kembang api bersama-sama setelah menjalani adu nyali. Saat itu si pemuda blonde seperti hendak mengatakan sesuatu padanya, tapi ucapannya terhalang oleh suara kembang api.

Kira-kira apa yang ingin Naruto katakan padaku saat itu, ya?

"Mungkinkah…" Sakura merasakan air mata menetes dari kedua matanya. "Duh, lagi-lagi aku malah menangis. Menyebalkan. Selalu saja…" gadis itu terisak.

Beberapa orang menoleh ke arahnya dan menatapnya, tapi hanya mengacuhkannya begitu saja. Saat gadis itu berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah lebih banyak, ia baru menyadari bahwa pria yang diikutinya sudah tidak ada. Sakura melemparkan pandangannya ke segala arah, dan hanya menjumpai sekelompok makhluk mengerikan yang hanya dilihat dari mimpi buruknya. Hanya ada dirinya, terjebak dalam orang-orang mati.

Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan.

Jika saja ada Naruto di sini, pasti pemuda itu akan melindunginya. Kenyataannya, ia hanya sendirian di sini. Mungkin ia benar-benar terjebak dalam dunia orang mati.

"Naruto…" bisiknya.

Badannya terombang-ambing terbawa keramaian. Meski ia berusaha menutup mata, Sakura bisa merasakan wajah-wajah orang yang sudah mati berputar dalam kepalanya. Mereka semua tertawa di telinganya. Kedua tangannya pun tidak bisa mengurangi suara tersebut dari kepalanya meski ia gunakan untuk menutup kedua telinganya.

Suara tawa itu semakin mengeras dengan suara debuman drum mirip taiko. Dan tiba-tiba kerumunan orang mati itu berhenti berlalu lalang di sekitarnya bersamaan dengan suara dentuman yang lain. Kemudian mereka menggerakkan tubuh masing-masing dengan cara yang tidak wajar, seirama dengan dentuman taiko. Ada yang berpasang-pasangan, dan ada pula yang sendirian ataupun membentuk kelompok untuk menunjukkan gerakan mereka masing-masing mengikuti irama.

Sakura teringat akan ucapan Naruto pada suatu hari padanya.

Para orang-orang mati ini menarikan Macabre, Dance of the Death—tarian kematian. Dan sekarang gadis ini benar-benar menyaksikannya di depan matanya.

Sakura berusaha melarikan dirinya, tapi sulit untuknya melepaskan diri dari kerumunan orang yang sedang menari dan memenuhi hampir seluruh tempat—apalagi mereka adalah orang-orang mati. Saat sebuah celah terlihat untuknya, gadis itu berlari dengan menyelipkan tubuhnya di antara kerumunan orang-orang mati yang tengah menari. Jantungnya ikut berdegup bersamaan dengan dentuman taiko yang semakin lama semakin cepat iramanya—bersamaan dengan semakin cepatnya para orang mati ini menari di sekitarnya.

Meski pada awalnya orang-orang mati ini menarikan tarian dengan gerakan-gerakan tak wajar, seiringan dengan dentuman taiko yang semakin cepat, tarian mereka berubah menjadi semakin brutal dan mengerikan. Mereka saling menghantam dan mencabik tubuh satu sama lain seolah-olah mereka tidak pernah merasakan rasa sakit. Sakura menjerit tertahan saat ceceran darah muncrat ke arahnya disertai potongan kasar yang berupa daging atau organ sejenisnya.

Ia berhasil pergi dari kerumunan yang semakin menggila itu saat sebuah tangan tidak berdaging menjerat dan menarik tangannya dengan kasar.

Sakura menjerit kaget sekaligus ketakutan saat sebuah wajah seorang pria yang sudah menjadi setengah tengkorak menatapnya, "Kau mau ke mana? Kita harus menyelesaikan tariannya sebelum pergi."

Sakura meronta dan menarik tangan itu sekeras yang ia bisa—hingga akhirnya ia berhasil melepaskan tangan itu dari tangannya—dengan ikut melepaskan tangan pria tersebut. Ia berlari menuju kuil dengan kecepatan maksimal yang mampu ia gunakan. Sakura menoleh ke belakangnya dan melihat beberapa gerombolan orang mati ikut mengejarnya.

"Mimpi… ini mimpi…" ujar Sakura pada dirinya sendiri.

Apa dia tidak akan bertemu dengan keluarganya lagi? Dengan Ino dan teman-temannya?

Juga dengan Naruto?

Sakura hampir kehabisan napas saat ia melihat pria yang diikutinya sekeluarnya dari rumah Naruto melintas tepat di hadapannya. Sakura mengarahkan tangannya pada pria itu, tapi pria itu sama sekali tidak menoleh, hanya berjalan—melayang—tepat di hadapannya.

Pria itu membawanya ke bagian belakang kuil di mana ia melihat sebuah pohon Sakaki yang dilingkarkan dengan jimat berdiri kokoh. Para orang mati (pengecualian jika pria yang diikutinya bisa dikatakan sebagai orang mati) sudah tidak berada di belakangnya sekarang ini. Dia sudah aman.

Sekarang Sakura mengamati pria itu. Ia berambut blonde jabrik—mengingatkannya akan Naruto dan Sakura benar-benar nyaris mengiranya sebagai Naruto yang sudah dewasa. Sakura menyentuh pundak pria itu dan melihatnya berbalik.

Pria itu… Sakura sering melihatnya di rumah Naruto. Di dalam sebuah foto.

Sebuah bayangan bergerak dan refleks Sakura bergerak mengikutinya. Ia melihat wanita berambut merah yang dilihatnya berdiri di depan pintu rumah Naruto.

Rambut merah mirip dengan Karin.

Mereka berdua adalah orang tua Naruto, Sakura baru menyadarinya.

"Kalian…"

Wanita berambut merah panjang maju dan mendorong Sakura ke pohon Sakaki dan sebuah tangan menyambut Sakura dari dalam Sakaki itu. Sakura menjerit.

XXX

"SAKURA-CHAN!"

Sakura mengerjapkan matanya. "N-Naruto?" begitu ia sadar, ia sudah berada di pangkuan pemuda itu. Ia melihat sekelilingnya, dan ia menyadari bahwa ia masih belum menyeberangi ujung jembatan yang satu lagi. Dilihatnya di belakang Naruto, beberapa orang pria mengayunkan-ayunkan senter ke sekitar mereka sebelum akhirnya menoleh ke arah keduanya.

"Aku menemukannya, Ojii-san!" seru Naruto pada seorang pria tua. Pemuda itu kini mengarahkan pandangannya sepenuhnya pada Sakura—wajahnya penuh kekhawatiran dan Sakura bisa mendengar suara napasnya yang terengah-engah. Ia memeluk gadis itu, "Waktu aku mendengar suara jeritanmu, aku langsung terbangun… tapi begitu aku menemukan pintu depan terbuka dan kau tidak berada di manapun, aku bergegas mencarimu dengan meminta bantuan para pria yang sedang bertugas jaga malam… Aku mengkhawatirkanmu, Sakura-chan… sebenarnya apa yang kau lakukan… membahayakan dirimu sendiri…"

Sakura merasakan matanya mulai basah, suaranya terbata-bata, "Maafkan aku… aku melihat pria aneh masuk ke dalam rumah dan tanpa sadar—meski ketakutan—aku malah mengikutinya…" sesaat dirinya merasa lega, Naruto tidak tampak terlihat marah lagi padanya—tapi di lain sisi merasa bersalah telah mengkhawatirkan pemuda itu.

"Untung saja Iruka tidak terbangun karena hal ini, kalau ia mengetahuinya, bisa-bisa ia semakin sakit parah," Naruto melihat ekspresi bersalah di wajah Sakura dan menghela napas panjang, "Karin menunggui Iruka saat ini. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Kalau begitu, kita pulang?"

Sakura mengangguk lemah—masih lemas dengan mimpi buruk yang baru dialaminya tadi. Tapi, apakah yang dilihatnya itu benar-benar mimpi? Sakura masih bisa merasakan pemandangan mengerikan tadi di depannya. Memang pemandangan yang tadi dilihatnya bukanlah mimpi, karena sekarang ini matanya menangkap bayangan-bayangan gelap menyerupai sekumpulan orang sedang berdiri di ujung jembatan lainnya.

Tangan Naruto yang daru tadi menyangganya kini berubah tegang. Saat melihat ekspresi di wajah pemuda itu, Sakura menyadari bahwa Naruto juga melihat apa yang dilihatnya.

"Lihat itu!" seru seorang pria sambil menunjuk ke arah jembatan.

"Siapa mereka?"

Orang-orang tersebut berjalan menyeberangi jembatan, melewati Naruto, Sakura, juga para pria yang tadinya ikut mencari Sakura. Sambil membantu Sakura berdiri, dengan takjub Naruto melihat orang-orang tersebut berjalan—atau lebih tepatnya melayang—melewatinya. Bahkan pria-pria di sampingnya juga tampak takjub sekaligus merasa ngeri dengan apa yang mereka lihat.

"Ternyata rumor itu benar," bisik pemuda itu. "Para orang mati melewati jembatan ini… bahkan mereka juga bisa melihatnya sendiri—bukan hanya kita," ia menunjuk pada para pria yang masih dengan mulut menganga menatap kejadian di depan mereka. Seorang pria bertubuh gemuk—Sakura mengenalinya sebagai tetangga Naruto yang memiliki kedai ramen—mengarahkan tangannya pada seseorang di antaranya dan memekik kaget saat tangannya menembus tubuh orang tersebut.

"Naruto."

Naruto dan Sakura berbalik untuk melihat seorang pria dan wanita berdiri di belakang mereka.

"Okaa-chan, Otou-san…"

Wanita berambut merah yang tadi dilihat Sakura dengan penampilan mengerikan kini bertransformasi menjadi seorang wanita cantik. Sedangkan pria berambut blonde yang tadi diikuti oleh Sakura sama sekali tidak berubah, hanya saja sekarang gadis itu bisa melihat penampilannya dengan lebih jelas. Naruto benar-benar mewarisi penampilan ayahnya.

"Ternyata kau benar-benar sudah besar sekarang, Naruto! Tunggu, kau bisa melihat kami?"

Dan juga mewarisi sikap ibunya—mungkin?

Naruto memandangi orang tuanya dengan tidak percaya. "Kalian benar-benar ada di sini…" pemuda itu berjalan mendekati keduanya.

Kedua orangtuanya mengulurkan tangan mereka masing-masing ke putra mereka, seperti hendak mengelus kepala pemuda itu kemudian memeluknya. Awalnya pemuda itu mengira tangan mereka akan menembusnya, tapi justru ia bisa merasakan kehangatan sentuhan ayah dan ibunya.

"Jadi, apa setiap tahun kalian selalu datang ke sini?"

"Entahlah, kami hanya bisa mengingat bahwa sepertinya kami selalu mendatangimu setiap malam, melihatmu tertidur. Lalu tiba-tiba saja kau sudah sebesar ini," ujar Kushina sambil mengusap kepala Naruto dengan penuh kelembutan. Lalu wanita itu beralih pada Sakura, "Aku benar-benar minta maaf sudah membuatmu ketakutan tadi. Aku tidak mengira kau bisa melihatku."

Sakura menundukkan kepalanya dengan sungkan, "Aku juga tidak sempat mengira kau ibu dari Naruto. Aku benar-benar penakut sekali…"

"Gadis ini sampai masuk ke dalam dunia kami dan tersesat di dalam sana. Kalau saja aku tidak membimbingnya keluar dari sini, mungkin dia akan menjadi salah satu dari kami," kali ini Minato—ayah Naruto—yang berkata demikian.

"Eh? Kau masuk ke dunia orang mati?!" seru Naruto terkejut. "Kau tidak apa-apa, Sakura-chan?!"

"Aku tidak apa-apa, tenang saja! Awalnya saat melihat ibumu, aku berlari ketakutan—ehm gomen," gadis itu melihat ke arah Kushina yang hanya tersenyum menatapnya, "—meninggalkan rumahmu dan tiba-tiba saja aku tersesat. Lalu aku melihat ada seorang pria dan mengikutinya hingga menyeberangi jembatan. Tahu-tahu saja aku sudah berada di tempat yang tidak kukenal. Untung saja ayahmu menolongku saat di sana… aku mengikutinya menuju belakang sebuah kuil—dan di dekat sebuah sakaki, tiba-tiba saja tanganmu muncul dan aku sudah berada bersamamu!"

Naruto memeluk kembali Sakura begitu gadis itu selesai bercerita—membuat gadis itu terkejut. "N-Naruto! Apa yang kau lakukan di depan orang tuamu—jangan memelukku seperti ini!" gadis itu meronta tapi dekapan Naruto semakin kuat.

"Apa boleh buat, aku sangat mengkhawatirkanmu…" bisik pemuda itu, "Aku tidak bisa kehilangan orang yang kusayang lebih banyak lagi. Aku juga minta maaf, sudah bersikap buruk padamu tadi siang…"

Sakura mengernyit sedih. Itu sama sekali bukan kesalahanmu, tapi kesalahanku.

Terdengar suara batuk—lebih tepatnya dehaman—dari kedua orang tua Naruto yang membuat kedua remaja itu memerah. "Jadi, apa gadis itu pacarmu, Naruto? Kau sama sekali belum mengenalkannya pada kami." Kushina memandangi Sakura dengan wajah penasaran, tapi senyuman jahil bertengger di wajahnya—persis seperti Naruto saat pemuda itu melakukannya.

"Dia Haruno Sakura. Pokoknya dia adalah gadis yang sangat berarti untukku," kata pemuda itu dengan bangga sambil mendekap bahu Sakura—membuat gadis itu memerah. "Dan Sakura-chan, mereka adalah orang tuaku."

Sakura membungkuk hormat gugup.

"Setidaknya kau sudah menemukan orang yang sangat berarti untukmu, tentu saja selain teman-teman dan keluargamu," kata Minato. "Nah, Kushina, sepertinya waktu kita sudah habis."

Kumpulan orang-orang mati kini kembali berjalan di antara mereka—pergi menuju ujung jembatan yang satu lagi—pulang ke tempat asal mereka yang sebenarnya.

"Whoaa, lihat, orang-orang ini kembali menyeberangi sungai," seru seorang pria. "Ini benar-benar bukan mimpi, kan?"

Naruto menatap kedua orang tuanya, "Aku senang sekali bisa melihat kalian sekali lagi. Dan aku sangat berterima kasih, bisa terlahir dari kalian. Dengan kemampuan melihat yang kalian turunkan padaku, aku sudah banyak bertemu dengan banyak orang dan juga Sakura-chan. Aku sangat bersyukur karena banyak dari mereka yang mau menerima dan mengakui kemampuanku ini."

Kushina meneteskan air mata, "Kukira sepeninggalnya kami, kau akan membenci kemampuanmu itu. Tapi kami bahagia sekali bahwa kau pada akhirnya mengatakan bahwa kau senang telah menjadi orang dengan kemampuan 'spesial'."

"Aku menyayangi kalian," kata Naruto sambil tersenyum, sambil mendekap kedua orang tuanya. Tapi ia hanya merasakan udara dingin meresap ke dalam tubuhnya saat mendekap mereka.

"Kami juga," balas Minato, tampak enggan melepaskan putranya.

Ia dan istrinya membalikkan tubuh mereka menuju jembatan dan menghilang bersamaan dengan bayangan gelap yang menutupi sebagian jembatan. Sakura menatap wajah Naruto saat itu—melihat tidak ada kesedihan di wajahnya, melainkan ekspresi bahagia. Tanpa ia sadari, gadis itu menggenggam tangan Naruto yang lebih besar darinya. Udara dingin yang sebelumnya menyelimutinya kini berubah hangat.

"Mereka menghilang."

"Kau juga melihatnya, kan? Istriku yang sudah mati, saudara-saudaraku dan juga orang tuaku, aku melihat mereka."

"Berarti ini semua bukan mimpi. Rumor bahwa jembatan itu merupakan jembatan antara dunia orang mati dan dunia kita itu benar-benar nyata."

"Baiklah, para oji-san maupun ojii-san semuanya!" seru Naruto pada para pria yang mulai ribut membicarakan hal yang telah mereka lihat, "Aku sangat berterima kasih pada kalian yang bersedia membantuku mencari temanku ini. Dan karena sekarang sudah pukul 2 lewat—sepertinya—mungkin lebih baik untuk kita kembali ke rumah masing-masing dan tidur."

Para pria itu berpencar pulang ke rumah masing-masing setelah Naruto berterima kasih pada mereka satu persatu. Setelah mereka semua pulang, barulah ia beralih pada Sakura, "Ayo, Sakura-chan."

Sakura menarik lengan Naruto—memintanya untuk berhenti—dan menatap sepasang safir milik pemuda itu. "Naruto, aku…" Aku harus mengatakannya sekarang juga, jika aku tidak ingin menyesalinya, "Aku juga sebenarnya…"

"Sakura-chan?"

Sakura tidak sempat melanjutkan ucapannya karena ia sudah ambruk duluan—kelelahan dan mengantuk—dan ambruk tepat di pelukan Naruto.

XXX

Keesokannya gadis itu mendapati dirinya bangun kesiangan dan hanya satu setengah jam dari waktu keberangkatannya menuju Tokyo. Dengan panik dan terburu-buru, gadis itu langsung bergegas mandi dan membereskan keperluannya. Karin sempat memanggilnya untuk mengajaknya sarapan, tapi gadis itu menyadari bahwa ia akan terlambat apabila menyempatkan diri untuk sarapan.

"Kau terburu-buru sekali. Sarapanlah dulu. Sarapan kan tidak sampai 10 menit," gerutu gadis berkacamata itu padanya. Untung saja pagi itu Karin tidak bertanya soal dirinya yang menghilang dari rumah kemarin malam.

"Maafkan aku, tapi pukul 11 keretaku akan berangkat. Apalagi seharusnya sekarang sudah bukan waktunya sarapan, kan…" Sakura berhenti membereskan tasnya, "Di mana Naruto dan Iruka-san?"

"Mereka ada di kebun. Sepertinya sedang mengobrol."

"Oh, begitu," kata Sakura pelan.

"Kau tahu," Karin menoleh padanya, "Semalam aku bermimpi indah. Aku bermimpi bertemu dengan kedua orang tuaku. Mereka duduk di tempat tidurku dan mengajakku bicara. Mimpi yang aneh sekali bukan?"

Sakura tersenyum, "Sepertinya bukan mimpi. Bukankah di desamu ini ada cerita mengenai jembatan antara dunia orang mati dan dunia kita?"

Karin terdiam sejenak, terlihat berpikir sebelum kemudian matanya terbelalak lebar, "Oh—jangan bilang kalau… Astaga! Benarkah? Bagaimana kau bisa tahu?"

"Semalam," ucapan Sakura langsung membuat Karin kembali diam—seolah-olah gadis itu sudah menceritakan semua yang dialaminya semalam.

Karin memeluk gadis berambut pink itu, membuatnya kaget sekaligus bingung, "Aku berterima kasih padamu atas semuanya, sungguh-sungguh berterima kasih karena kau sudah mengantar Naruto ke sini. Aku juga sangat senang bisa bertemu denganmu. Aku jadi merasa kita sudah berteman lama, meski kita baru beberapa hari bertemu. Naruto pasti akan sedih sekali kalau harus berpisah denganmu."

"Kuharap dia tidak akan bersedih," ujar Sakura. "Dan aku juga, sangat senang bisa bertemu denganmu dan Iruka-san. Kuharap keadaan Iruka-san akan semakin membaik nantinya."

Karin mengangguk, "Oh, ya, karena kau tidak sarapan, aku membawakanmu bekal. Bagaimana?"

XXX

Sakura tidak sempat mengobrol dengan Naruto selama di rumah Iruka setelah ia terbangun pagi itu. Tapi ia merasa senang karena pada akhirnya ia memiliki kesempatan berduaan dengan Naruto. Pemuda itu yang mengantarnya ke stasiun atas permintaan Iruka. ("Setidaknya Sakura harus memilik seorang pria yang bersedia mengantarnya ke stasiun. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya? Tenang saja, Karin akan menemaniku di sini.")

"Jadi, kau akan pulang."

"Ya."

Keduanya terdiam. Dalam keheningan tersebut Sakura memaki dirinya sendiri. Kenapa sekarang semua keberaniannya untuk berbicara dengan Naruto menguap begitu saja? Sekarang adalah kesempatan terakhirnya mengungkapkan perasaannya pada Naruto.

Sambil menarik napas, Sakura berkata, "Bicaralah. Seperti biasa."

"Huh?"

"Aku…" gadis itu menundukkan kepalanya saat Naruto menatapnya dengan penasaran, "Ini adalah hari terakhir kita bersama. Dan… aku ingin sekali mendengarmu berbicara. Apa saja… soal hantu yang kau lihat saat ini misalnya…"

Naruto menggaruk pipinya dengan bingung, "Tapi bukankah kau selalu kesal kalau aku bercerita soal hantu di saat seperti ini?"

"Justru karena itulah, mungkin aku tidak akan mendengarmu berbicara seperti biasanya lagi. Kumohon—onegai?"

Pemuda bermabut blonde itu menatap Sakura dengan heran sekaligus bingung, tapi kemudian ia berkata, "Saat ini aku tidak melihat begitu banyak hantu berkeliaran di sini… aku hanya melihat ada seorang nenek sedang duduk di kursi panjang kosong di sana. Lalu ada anak kecil—"

Naruto terus bercerita pada Sakura sampai tanpa terasa mereka sudah tiba di stasiun. Pemuda itu mengantar Sakura hingga peron di mana kereta yang menjemput gadis itu akan berhenti. Matanya sebentar merayap ke arah Sakura, dan tiba-tiba perasaannya berubah tidak nyaman. Ia merasa waktu yang dihabiskannya bersama Sakura seperti hanya bermenit-menit lamanya. Dan sekarang pemuda itu akan melihat Sakura pergi menaiki kereta menuju Tokyo—meninggalkannya. Atau lebih tepatnya, Naruto yang pergi meninggalkan gadis itu.

Perasaan bersalah memuncak di hatinya. Ia menyesal mendiami Sakura kemarin setelah gadis itu mengalihkan pembicaraan mengenai perasaan masing-masing. Di lain sisi ia merasa khawatir apabila gadis itu hanya menganggapnya sebagai teman biasa, bukan sebagai orang 'spesial'. Naruto menyadari bahwa dirinya selalu berharap bahwa suatu saat Sakura akan berbalik menyukainya dan tersenyum masam memikirkannya.

Suara mesin menderu menandakan bahwa ada kereta yang mendekat.

"Dan sekarang," kata Naruto pelan, "Sampai di sini saja. Kau akan pulang. Sampaikan salamku pada oji-san dan oba-san, Sasuke—Teme—dan Hinata-neechan, dan juga teman-teman di sekolah."

"Tentunya. Mereka pasti akan sangat merindukanmu," Sakura tersenyum begitu samar, sehingga membuat Naruto penasaran apakah gadis itu benar-benar tersenyum padanya. Aku juga.

"Yah, soal itu… kita kan mempunyai email dan nomor telepon masing-masing. Mungkin aku juga harus mencoba membuat twitter. Ah, ya, aku juga punya kabar baik. Kata Karin, mungkin dalam beberapa bulan, Iruka akan dioperasi."

"Jadi, kau akan kembali lagi ke Tokyo?" tanya Sakura penuh harap.

"Kuharap begitu," Naruto menyeringai lebar. Suara kereta kian mendekat diikuti suara pengumuman akan keberangkatan kereta menuju Tokyo. Beberapa saat kemudian kereta berhenti dan sebuah pintu terbuka tepat di depan keduanya. "Itu keretamu. Kuharap kali ini kau benar-benar menaiki kereta yang benar—"

Ucapannya terpotong saat ia bibirnya menyentuh bibir Sakura. Gadis itu berjinjit di hadapannya sambil menarik syal yang melilit di lehernya—berusaha menyeimbangkan ketinggian mereka saat mereka berciuman. Naruto membelalakkan matanya dengan kaget. Ia bisa merasakan wajahnya memerah. Semoga saja tidak ada orang yang melihat mereka berciuman harapnya.

"Sakura-chan?"

"Sebenarnya aku juga ingin bilang sebelumnya," kata Sakura dengan mata berkaca-kaca, "Bahwa aku juga menyukaimu. Terima kasih banyak sudah bersedia menjadi temanku dan banyak membantuku selama ini—juga membantu yang lainnya. Aku memang takut pada hantu pada awal pertama kali mempercayai keberadaan mereka, tetapi kau selalu melindungiku. Karena ada dirimu, aku jadi merasa aman. Kuharap, kita akan—" suara gadis itu pecah, "—bertemu lagi suatu saat nanti…"

Kali ini giliran Naruto yang mengecup bibir Sakura dengan lembut, "Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan kembali ke Tokyo. Mungkin dengan Iruka dan Karin."

Sakura mendekap pemuda itu, "Berjanjilah."

Keduanya saling melepaskan diri dengan enggan begitu penumpang terakhir memasuki kereta. Sakura memasuki gerbong dengan mata tetap tertuju pada pemuda itu. Begitu pintu menutup, tangannya menyangga kaca pintu dan wajahnya tertuju pada Naruto. Peluit kereta berbunyi dan kereta mulai meluncur meninggalkan stasiun.

Dilihatnya Naruto melambaikan tangannya sambil berlari kecil mengikuti kereta.

"Sakura-chan, aku berjanji, suatu saat nanti aku akan kembali ke Tokyo! Tunggulah!"

"Lebih baik kau benar-benar melakukannya, baka! Atau aku sendiri yang akan mendatangimu!"

Naruto terlihat semakin jauh. Hingga akhirnya gadis itu hanya bisa melihat pemuda itu berupa titik kecil di stasiun. Tangannya langsung bergerak untuk menghapus matanya yang basah.

Tidak, Naruto sudah berjanji padaku. Aku pasti akan bertemu dengannya lagi nanti.

Sakura berjalan meninggalkan pintu kereta dan pergi menuju tempat duduknya. Tempat duduknya hanya ditempati oleh seorang wanita muda—dan dengan ramah wanita itu mempersilahkannya duduk. Sambil menghela napas, Sakura duduk di atas kursinya saat ponselnya berbunyi menandakan email masuk. Dari Naruto.

"Eh?"

Oh ya, Sakura-chan, isi email itu, aku lupa memberitahumu, kalau aku melihat ada anak kecil di sebelahmu saat kau naik kereta tadi. Aku harap kau tidak diikuti oleh anak itu—ttebayo! Selamat menikmati perjalanannya.

Tiba-tiba tengkuknya meremang saat ia selesai membaca email dari Naruto. Gadis itu menoleh ke sebelahnya dan langsung menjerit, "NARUTO-BAKA! KALAU KITA BERTEMU LAGI AKU AKAN MENGHAJARMU!"

(That's the end of the story)

note: sakaki itu pohon suci yang dilingkarkan banyak kertas jimat dan semacamnya, biasanya terletak di kuil dan dijadikan persembahan. Maaf kalau sebelumnya saya tidak kasih tau ;_;

a/n: maaf dengan update yang sangat lama. Saya awalnya berniat mau menyelesaikan fanfic ini waktu libur puasa karena saya nggak pulkam, tapi ternyata… sayalemesbangetpasmaulanjutininific *plok* Dan saya baru nyadar kalau ternyata fic ini jadi sedikit kecepatan alurnya. Maafkan saya dengan endingnya Q_Q entah kenapa malah bikin endingnya hampir mirip fic satu lagi "Of Loves and Dreams" OTL. Sepertinya saya juga banyak melakukan typo di chapter ini... tapi saya ga bisa ngecek semuanya... T.T

Dan akhirnya adegan penampakan hantunya saya ubah jadi cerita hantu biasa. Maaf bagi pecinta cerita horor, saya lebih suka kalau plot untuk chapter terakhir seperti ini, jadi, ya sudahlah. *plakplak* Buat Macabre, Dance of The Death, itu saya dapat referensinya dari novel The Graveyard Book dan cerita horor Poe.

Terima kasih buat yang sudah mengikuti fanfic ini sampai akhir. Maafkan saya tidak bisa membalas semua review kalian TT_TT saya guling-gulingan kalau baca review kalian dan senang bisa mendapat review sebanyak ini… untuk pertama kalinya… *sniff* Juga minal aidzin wal faidzin semuanya, maafin saya yang telat update *eh*

Flame, kritik, saran, semuanya yang dalam bentuk review saya tunggu!