KyuHyun berkali-kali mengganti channel TV dengan tidak sabar.
Malam ini adalah pertama kalinya Henry tidur dan serumah dengan Siwon. Ia tak bisa berhenti memikirkan semua itu. Acara TV yang ditontonnya tak juga bisa mengalihkan perhatiannya untuk tidak mengkhawatirkan Henry. Tubuh yang tengah berguling-guling di sofa itu bangun dan meraih segelas cokelat hangat yang tadi dibuatnya untuk menenangkan pikirannya. Ia baru saja meneguk cokelatnya saat mendengar bel apartemennya yang dibunyikan dengan tidak sabar. Tanpa meletakkan gelas cokelat hangat di tangannya KyuHyun berjalan ke arah pintu. Suara bel di depan terus berbunyi tidak sabar. KyuHyun menyumpah-nyumpah dalam hati saat berusaha membuka pintu dengan tangannya yang sedang tidak memegang cangkir.
"Bisakah kau sa—bar?"
KyuHyun terpaku. Matanya terbelalak menatap sosok yang kini berdiri di depan pintu apartemennya.
"Boleh aku tidur di sini malam ini?"
.
.
.
.
.
.
"Kau mau ke mana?" Biner bulan sabit itu mengekor sosok berkulit pucat yang tengah menenteng bantal dan selimut sembari berjalan ke arah pintu.
"Tidur." KyuHyun menjawab tanpa menoleh ke arah lelaki yang menurutnya baru saja melempar pertanyaan terbodoh sepanjang masa. Memangnya apa yang ingin KyuHyun lakukan dengan bantal dan selimut di tangan? Pergi ke pub? Berenang?
"Kau mau tidur di luar?" Retoris. "Kurasa tempat tidurmu cukup untuk berdua."
Langkah KyuHyun terpaku di tengah pintu. Ia memutar kepalanya dan menemukan YeSung yang tengah berdiri dengan tangan terlipat di dadanya. Senyum bermain di wajah manis lelaki itu. "Tidurlah di sini. Denganku."
"Kau yakin?"
YeSung mengangguk. Ia berbalik dan mulai membaringkan dirinya di atas bed dengan bed cover berwarna jade itu.
KyuHyun mengangkat kepalanya, masa bodoh, dan kembali memasuki kamarnya untuk menerima tawaran YeSung agar tidur seranjang dengan lelaki itu.
"Jangan berpikir macam-macam. Aku tahu tubuhmu tidak tahan dengan udara dingin. Lagipula, kita dulu sudah sering melakukannya, bukan?"
"Kau lebih sering melakukannya dengan Siwon."
"Apa?"
"Tidur bersama."
KyuHyun menjatuhkan tubuhnya di sisi kanan ranjang dan berbaring dengan memunggungi YeSung. Mulai memejamkan matanya dan berharap tubuhnya tidak meledak karena kini dadanya berdetak terlalu kencang.
"Siwon tidak pernah mau berada dalam satu ruangan untuk waktu yang lama berdua denganku."
.
.
.
.
.
.
"Apa ini?" Itu adalah komentar pertama seorang YeSung Choi begitu ia telah duduk manis di meja makan keesokan harinya. Suasana hangat dari udara musim semi menyapa mereka dari jendela yang terbuka. Jarum pendek jam baru saja bergerak ke angka delapan, sementara jarum panjangnya memilih menunjuk angka dua.
"Telur."
"Kau jelas-jelas butuh seorang istri," sindir YeSung sarkastis begitu melihat benda yang katanya telur dengan bentuk yang aneh di piringnya.
"Aku butuh partner bottom—yang bisa memasak."
"Ya, ya, terserah kaulah." YeSung memutar bola matanya bosan dan mulai menyuapkan irisan kecil telur ke mulutnya. 'Semoga rasanya lebih baik daripada bentuknya,' ucap YeSung dalam hati.
Ia lupa jika kemampuan memasak KyuHyun begitu buruk. Seharusnya, ia saja yang membuat sarapan. Dulu—saat mereka masih bersama tugasnyalah untuk memasak. YeSung akan memasak sementara KyuHyun akan menunggunya—dengan tidak sabar. Karena KyuHyun memilih menikmati hidangan lain, memilih 'menikmati' YeSung-nya. Melupakan masakan dan memilih untuk berbagi desah serta erangan. Memanaskan dapur mereka yang sudah panas.
Sial, hanya dengan membayangkan bagaimana KyuHyun menggodanya hingga akhirnya ia jatuh di atas meja, bagaimana lumatan dan lidah KyuHyun yang bermain di sepanjang garis tubuhnya mampu membuat sesuatu di selatan miliknya mendadak menegang.
"Kebiasaan!"
YeSung tersadar dari imajinasi bodohnya. Apakah KyuHyun menyadari wajahnya yang memerah karena bayangan masalalu mereka?
"Apa?" tanyanya bodoh.
KyuHyun mendekat. Wajah pemuda itu hanya berjarak beberapa senti dari wajah bodoh YeSung. "Kenapa setiap makan kau selalu belepotan?"
Lidah basah KyuHyun jatuh tepat di sudut bibir YeSung, menjilat remah telur yang tersisa. YeSung mengejap. Dalam lipatan waktu yang bergerak, KyuHyun telah menarik wajahnya menjauh. Meninggalkan YeSung Choi dengan rona semerah tomat di musim panen di wajahnya.
.
.
.
.
.
"Angkat teleponmu." KyuHyun mendesis pada pemuda yang tengah berbaring menelungkup di sofanya.
"Biarlah. Toh itu hanya Siwon," tolak YeSung acuh.
Ponsel berwarna hitam itu telah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, tapi tidak ada niat baik dari sang pemilik untuk mengangkat atau mengubahnya menjadi silent mode—jika ia tidak berniat untuk menjawab panggilan dari suaminya itu.
"Apa dia tahu kalau kau ada di sini?" KyuHyun yang tengah bermain game, mem-pause game-nya dan menatap YeSung dengan pandangan bertanya.
"Tidak."
Hening. Waktu bergerak.
"Kupikir Siwon akan sangat kehilangan sosok yang 'sangat dicintainya' dan biasa ia sentuh setiap saat."
"Berhentilah berkata kepadaku dengan nada menyindir seperti itu."
"Tersinggung, eh?"
"Walau kami menikah, Siwon tidak pernah melakukan apa-apa padaku."
Ingatan KyuHyun mendadak melayang saat mereka tidur bersama semalam. Kata-kata YeSung yang lebih seperti igauan kembali muncul di kepalanya.
"Siwon tidak pernah mau berada dalam satu ruangan untuk waktu yang lama berdua denganku."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya KyuHyun hati-hati. Ia bisa mendengar YeSung mendengus keras sebelum menjawab pertanyaannya.
"Biar kutunjukkan padamu apa yang Siwon tidak pernah lakukan padaku." YeSung bangkit dari posisi tengkurapnya dan mendekat ke arah KyuHyun.
Alis kanan pemuda bermarga Cho itu terangkat tinggi. "Apa?"
YeSung masih tak menjawab. Ia menjatuhkan tubuhnya di pangkuan KyuHyun, membuat pemuda bersurai ikal itu membelalakkan matanya.
"Siwon tidak pernah melakukan ini." Wajah itu mendekat. KyuHyun terkesiap ketika bibir milik YeSung jatuh dan menyentuh bibirnya lembut. Memulai sebuah ciuman intim. KyuHyun bereaksi. Tangannya bergerak meraih pinggang YeSung. Memaksa tubuh itu merapat dan membuat ciuman itu berjalan panjang dan lama. Sebuah perasaan dan getar aneh tercipta dari pertarungan dan geliat lidah mereka. Sudah lama—sangat lama sejak terakhir mereka melakukan ini.
Tapi, KyuHyun harus memasang wajah kesal begitu YeSung menarik wajahnya menjauh dan menghentikan ciuman mereka dengan tiba-tiba.
"Siwon juga tak pernah melakukan ini." Tangan berjemari mungil itu bergerak menelusup ke dalam kaus yang KyuHyun kenakan. Mengusap perut hingga dada rata dengan dua tonjolan di balik untaian benang berwarna crimson yang menutupi tubuh atas KyuHyun.
Ciuman kembali berlanjut.
Lidah bertemu lidah. Saling membelit. Saling menularkan perasaan aneh saat saliva mereka bersatu. KyuHyun dengan perasaan sakitnya atas pengkhianatan YeSung dan YeSung dengan perasaan kecewa atas semua yang terjadi dalam hidupnya. Lidah mereka berusaha saling mendominasi didorong perasaaan yang berkecamuk dalam diri mereka masing-masing.
Tangan KyuHyun tak ingin kalah. Bergerak menelusup dan mengelus punggung YeSung. Tubuh itu merapat. Napas mereka beradu, hangat.
Dan kelegaan yang aneh menelusup dalam bilik hati KyuHyun saat ia merasa bahwa YeSung masih sama seperti dulu. YeSung-nya yang sedikit agresif dan bereaksi atas semua sentuhannya.
YeSung tak menolak ketika KyuHyun bergerak lebih jauh. Tangan pemuda itu jatuh ke dadanya dan mulai melepas kancing kemejanya.
.
.
.
.
.
.
KyuHyun masih berusaha mengatur napasnya. Pakaiannya masih lengkap sementara YeSung yang sudah shirtless kini bangkit meninggalkan pangkuan KyuHyun untuk mendekat ke arah jendela. Pemuda itu memandang suasana pagi di bawah langit Seoul dari balik jendela lantai tiga belas tempat mereka berada sekarang.
Kebekuan kembali menelusup, mencoba bersaing dengan suara AC di ruangan.
"Siwon sakit."
KyuHyun menelengkan kepalanya. Ia menatap punggung YeSung. Berharap pemuda itu segera melanjutkan kalimatnya. "Kau harus menyelamatkan adikmu."
"Apa maksudmu?"
YeSung diam. Pemuda itu memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat dan memandang KyuHyun. Ia membagi berat tubuhnya dengan bingkai jendela berwarna platinum di belakangnya. YeSung menyeringai—benar-benar menyeringai. Dan untuk sesaat KyuHyun tersadar bahwa mereka sesama pria. "Aku bertaruh, sebentar lagi kau akan sama sakitnya dengan Siwon."
"Bicaralah yang jelas!"
'BRAK!'
Keduanya sontak menoleh ke arah pintu, tempat suara berasal.
"Hei! Apa-apaan ini?"
KyuHyun bangkit dan berjalan ke arah sosok yang baru saja mendobrak pintunya dengan kurang ajar.
Choi Siwon berdiri di tengah pintu dan menatap KyuHyun tajam. Wajah pria itu tak terbaca.
"Sepertinya memiliki dua suami membuat sopan-santunmu menghilang, Choi!"
'Buagh!'
KyuHyun terhuyung. Tinju Siwon jatuh sempurna di pipi kanannya. Ia tak sempat menghindar. Perih. KyuHyun berpikir jika pipinya memar—atau bibirnya sobek. Tapi, ia belum sempat kembali bersuara ketika Siwon lebih dulu berkata dengan nada rendah berbahaya di depannya.
"Berani-beraninya kau menculik YeSung-ku, Bangsat!"
"Eh?"
KyuHyun meluruskan tubuhnya. Ia tak mengerti. Tapi ketika netranya menemukan biner YeSung yang masih bersandar pada jendela—seolah kehadiran Siwon tak berarti apa-apa, lagi-lagi pemuda itu hanya menyeringai. KyuHyun mendecih. Choi Siwon benar-benar sakit!
.
.
.
.
.
.
YeSung tak menolak ketika Siwon menariknya keluar dari apartemen KyuHyun dengan kasar. Bahkan pria bermarga sama dengannya itu tidak memberi kesempatan pada YeSung untuk mengenakan kembali kemejanya. Sehingga ia harus turun ke lantai dasar hanya dengan celana panjang yang membalut tubuh bagian bawahnya, membiarkan tubuh shirtless-nya terekspos dengan sempurna. Beruntung KyuHyun tidak membuat kissmark saat mereka bercumbu tadi.
Sementara itu, sepeninggal YeSung dan Siwon, KyuHyun yang masih butuh waktu agar tersadar untuk beberapa linimasa segera meraih smartphone-nya dan tergesa menghubungi Henry. Ia tak bisa berpikir lagi. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan adik tirinya itu.
Panggilan pertama, ke dua, dan ke tiga, tidak terjawab.
KyuHyun semakin khawatir. Panggilan ke empat dan KyuHyun nyaris melompat begitu Henry menjawab panggilannya.
"Mochi!"
Tapi, suara Henry di seberang menghilangkan senyum di wajah KyuHyun dengan seketika.
"Hyung...to-tolong..."
.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG...