SM SCHOOL

© BluePrince14

Declaimer:

Super Junior isn't Mine.

Cast:

Member's Super Junior in their western name;

Leeteuk as Dennis. Heechul as Casey. Hankyung as Joshua. Kangin as Jordan. Yesung as Jerome. Shindong as Mathew. Sungmin as Vincent. Eunhyuk as Spencer. Donghae as Aiden. Siwon as Andrew. Ryeowook as Nathan. Kibum as Bryan. Kyuhyun as Marcus.

Genre:

Fantasy/Romance

Warning:

Alternate Universe, Out of Characters, Miss Typo(s), YAOI/BL, Badplot and Descript, Crack Pair!

DON'T LIKE DON'T READ!

.

Summary:

Sejak kapan mangsa dan pemangsa bisa hidup damai bersama? Vampire dan manusia? Itu sama saja mengantarkan nyawa! "Aku mau pergi dari sini!"

—o0o—

Chapter I

New Life, Another World.

—o0o—

Berjalan sendirian di tempat ini bukanlah menjadi pilihan yang paling baik yang akan ia pilih. Jujur, ia akan lebih memilih terkurung di kamarnya tanpa makanan selama seminggu jika dibanding mesti berada di sini. Sendirian. Tepat tengah malam seperti saat ini.

Meski tempat ini mewah dengan segala ornamen kuno tapi artistik di tiap sudut—yang membuatnya merasa di berabad-abad sebelum teknologi ditemukan. Dia, orang ini, bisa merasakan aura aneh yang menguar dari gedung berlabel sekolah ini. Perasaannya benar-benar tak enak, tapi kakinya terus melangkah. Dinding sepanjang koridor ini dipenuhi potret potret bangsawan, yang entah hanya perasaannya saja atau bukan, mengawasi tiap langkahnya dengan mata tajam mereka. Dan yang lebih mengerikan lagi, ia seperti berhalusinasi melihat mereka mendelik marah padanya. Menyeramkan.

Itu hanya potret... Itu hanya potret...

Tenang... Tenang...

Merapalkan kalimat itu berulang kali bagai mantra dalam hati, ia berusaha mengatur degup jantungnya tak menentu. Melangkah terus dengan kecepatan tak biasa di atas karpet merah yang tergelar di sepanjang lantai koridor itu.

Ia memang sudah merasa aneh dengan tempat ini sejak awal. Saat ia pertama kali melihatnya beberapa waktu lalu. Tempat berlabel 'sekolah' ini lebih mirip—dan pantas disebut—kastil tua. Yang membuatnya langsung teringat salah satu cerita tentang penyihir dan hal lain semacam itu.Kastil tinggi bercat kusam dengan gerbang menjulang—apalagi dilatarbelakangi langit malam yang tertutupi awan mendung saat ia melihatnya tadi—sama sekali tak mencerminkan kata 'sekolah' itu sendiri.

Sebelum benar-benar masuk ke tempat ini, ia sempat meminta orangtuanya untuk menghentikan niat mereka menyekolahkannya di tempat ini lewat telepon, namun tentu saja sama sekali tak mereka dengar. Ia yakin, dan tahu betul, alasan sesungguhnya adalah karena semuanya telah diurus; mulai dari biaya, seragam, buku-buku dan sebagainya. Jadi tak mungkin untuknya meminta pindah ke sekolah lain begitu saja.

Aneh. Diantara banyaknya sekolah kenapa orang tuanya memilih sekolah menyeramkan ini? 'Mereka pasti sudah gila!' itulah yang dipikirkannya. Tapi dia tak bisa menolak—ia masih terlalu takut pada kemarahan Dad dan omelan Mum-nya. Lagipula, ia tak ingin jadi anak pembangkan. Tidak bisa.

Tapi bukan itu masalahnya sekarang.

Yang ia pikirkan sekarang adalah bagimana ia menjalani hidupnya ke depan. Karena ia akan bersekolah dan yang harus ia sesali berasrama di tempat ini selama satu setengah tahun ke depan. Apa jadinya dia? Sehari di sini saja sudah tak kerasaan apalagi dua ta—

Sreeeet

—apa itu?

Sosoknya berbalik cepat. Ia merasakan sesuatu berkelebat di belakangnya tadi. Ia semakin mengeratkan pegangannya pada pegangan koper saat sadar tidak ada orang di sana. …Hanya desing angin, mungkin?

"Halo?" panggilnya. Tapi tak ada yang menyahutnya. Yang ia dengar hanyalah gaungan suaranya sendiri yang menggema di koridor itu. Oke. Perasaannya semakin tak enak. Bulu kuduknya mulai berdiri semua sekarang. Merasa memang tak ada siapa-siapa—setelah memastikan sekali lagi, akhirnya dia berniat melanjutkan jalannya saja. Berada di sini dengan keadaan begini lebih lama akan sangat tidak baik untuk kesehatan jantung dan psikisnya.

Ia pun berbalik.

"Hai."

"WHOA!"

—dan langsung tersentak mundur beberapa langkah hingga tersandung kopernya sendiri saat melihat seseorang berdiri tepat di depannya. Menyapanya sambil tersenyum lebar dengan begitu santai. Dan tiba-tiba!

Darimana datangnya orang ini?!

Ia tak mendengar sesuatu seperti langkah kaki atau apapun di belakangnya tadi. Ia yakin. "S-siapa kau?" tanyanya dengan nada tercekat dan wajah pucat pasi karena perasaan takut. Terlalu kaget. Jantungnya masih berpacu—tapi orang itu malah terkekeh. Memangnya apa yang lucu?

"Oh, kau pasti anak baru itu ya?" sepertinya pemuda itu nampak berfikir, mengingat-ngingat sesuatu yang agaknya dia lupakan, "Ah! Aiden, right?" tanyanya kemudian dengan nada kegirangan sambil menjetikkan jarinya.

Sosok yang ditanya masih membeku—tapi mengangguk kecil sebagai respon, membuat sosok pemuda misterius yang tiba-tiba datang itu kelihatan begitu girang. Entah mungkin karena tebakannya tepat. Atau mungkin karena sesuatu yang lain? Tak tahu.

"Oh… iya," sosok itu mengulurkan tangannya sambil melempar senyum, senyum yang terlampau lebar. "Aku Spencer, omong-omong," katanya lagi memperkenalkan dirinya.

Meski ragu Aiden menyambut uluran tangan itu dan menyunggingkan senyum balik, yang ia yakin akan terlihat begitu kikuk. Tubuhnya kembali merinding kala merasa begitu dingin saat tangannya menyentuh tangan pemuda itu, "Aiden Lee," ujarnya, masih sedikit takut. Secepat kilat menarik tangannya lagi. Ia seperti baru saja menyentuh es batu!

"Kenapa datang malam-malam begini?" tanya sosok Spencer dengan alis mengerut tanda heran.

Aiden mengangkat bahu dan menggeleng tak tahu. "Ada kesalahan mungkin—entahlah. Aku datang sendiri ke sini dan mencari alamat yang diberikan Mum dan Dad tapi aku tak menemukannya setelah seharian mencari." Aiden melirik sosok di depannya dan bisa dengan jelas melihatnya menyeringai seakan tahu sesuatu yang tak ia ketahui. "Aku memutari kota ini sampai dua belas kali—kupikir. Tapi aku tak menemukan kastil ini. Dan saat aku menelpon Dad dan mengatakannya ia tak percaya."

Aiden yakin. Ia bisa melihat seringai di wajah pemuda di depannya itu semakin lebar. Namun entahlah. Mungkin itu hanya senyuman lebar tapi dia menganggapnya sebagai sebuah seringai? Oh, salahkan penerangan koridor ini yang hanya memanfaatkan cahaya dari obor-obor tua yang tertempel di dinding.

"Lalu?" tanya Spencer mengharapkan lanjutan cerita.

"Yah." balas Aiden, merasa aneh dengan dirinya sendiri karena bisa bicara panjang lebar dan akrab begini dengan orang asing yang baru ia temui lima menit lalu. "Dad memintaku mencarinya lagi. Meski tak yakin akhirnya kulakukan dan—"

"Kau menemukannya dan berada di sini denganku?" potong Spencer cepat mengakhiri cerita. Aiden mengangguk meng'iya'kan dan orang itu kembali tersenyum lebar.

Sementara Aiden mulai mengamati dirinya. Pemuda ini

—putih pucat, bahkan mungkin mendekati albino meski Aiden tak yakin (Ia belum pernah melihat orang Albino sebelumnya). Tubuhnya lebih tinggi dari Aiden dan lebih kurus. Ia mengenakan pakain berwarna hitam yang terlihat elegan. Aiden berfikir mungkin ini adalah seragam sekolah ini karena ia melihat sulaman 'SM'—yang merupakan nama sekolah ini ada di bagian dada kirinya. Terpasang dengan bentuk artistik dan menawan menggunakan benang emas. Rambutnya berwarna kecoklatan yang di potong pendek dengan poni yang dibuat melawan gravitasi. Wajahnya tampan, ia akui dan ia juga memiliki senyum yang lebar.

"Terpesona padaku, Aiden?" tanya Spencer dengan geli, begitu tiba-tiba karena Aiden langsung tersentak menjauh saat melihat wajah orang itu berada sangat dekat dengan wajahnya. Aiden mengerjap matanya lucu, "A-apa?" tanyanya teragagap saat sadar dengan pertanyaan barusan setelah diam sepersekian detik.

"Kau melihatku seakan-akan aku ini seorang artis," jelas Spencer sambil tertawa.

Mengerti dengan maksud itu, mau tak mau Aiden pun menunduk malu—membalas senyum tak enak setelah terlebih dahulu menggumamkan kata 'sorry' atas perlakuan tak sopannya tadi yang mengamati orang tanpa permisi seperti itu.

Aiden merasa pengap dan akhirnya dia memutuskan untuk melepas syal yang melilit lehernya sedari tadi—musim gugur sepertinya akan datang membuat anginnya begitu dingin—lalu mengikatkan syalnya pada pegangan koper. Ia sempat melirik dan entah itu hanya perasaannya saja atau memang kenyataan; ia melihat sosok Spencer tersentak dengan kegiatannya itu.

Aiden mengamati sosok itu lagi, merasa khawatir saat melihatnya mulai gelisah dan wajah pucatnya terlihat semakin pucat, dia seperti kekurangan darah. "Kau tak apa?" tanyanya mencoba mendekat. Tapi sosok itu malah mengangkat tangannya dan mundur beberapa langkah menjauhinya. Mengisyaratkan padanya untuk menjauh.

Aiden mulai merasakan sesuatu yang tidak beres saat ia melihat kepalan tangan Spencer yang mungkin saja bisa membuat kuku jarinya melukai tangannya sendiri—saking kuatnya kepalan tangan itu. Selain itu napasnya memburu cepat dan terputus putus. Dari wajahnya Aiden langsung berfikir bahwa ia terlihat seperti menahan sesuatu.

"Aku harus pergi—" kalimat itu diucapkan dengan mulut yang hampir terkatup sehingga sangat pelan dan bernada berat.

Wuuuuusssssh.

Aiden menggigil saat merasakan angin dari belakang menerpa tubuhnya entah berasal dari mana dan ia juga bisa melihat kepalan tangan pemuda di depannya semakin menguat.

Sebenarnya ada apa?

"Tap—"

"Berjalanlah terus mengikuti lorong ini lalu belok kanan," adalah kalimat terakhir yang diucapkan Spencer, dengan nada yang tak jauh berbeda dengan tadi sebelum ia berjalan pergi melewati Aiden yang terpaku karena sepertinya telinganya menangkap suara seperti gemeletuk gigi saat sosok itu melewatinya tadi.

Kenapa dia?

Aiden dilanda kebingungan luar biasa saat melihat perilaku pemuda itu. Apa dia berbuat kesalahan atau mengatakan sesuatu yang membuatnya tersinggung? Pikir Aiden. Tepat saat ia berbalik beberapa detik kemudian untuk bertanya apa yang salah—napasnya seketika tercekat. Karena sosok yang beberapa detik lalu melewatinya tadi kini tak ada. Padahal lorong ini panjang dan belokan masih jauh dari sana, di depan sana. Tak mungkin ia bisa secepat itu.

DEG

Jantungnya berpacu tak normal dan buluk kuduknya berdiri lagi. Lalu, atensinya tiba-tiba menangkap sesuatu berwana hitam bersayap terbang rendah menjauhinya di koridor itu—tempat yang mungkin seharusnya Spencer berada sekarang.

Aiden benar-benar ketakutan, pikiran-pikiran buruk seakan memenuhi kapasitas otaknya. Tanpa berfikir dua kali dia berbalik cepat dan berlari mengambil langkah sambil menarik kopernya dengan wajah pucat pasi—seakan baru saja melihat hantu. Atau memang hantu?

Apa itu tadi?

—o0o—

Lorong ini begitu panjang—bagai tanpa akhir untuk Aiden yang kini ketakutan dan ia menyesalinya. Ia melirik takut ke sekitarnya dengan ujung mata dan yang ia lihat hanyalah gerakan api di atas obor yang bergoyang-goyang tertiup angin. Napasnya memburu menghembuskan uap putih karena kelelahan tapi ketakuatan seakan memberinya kekuatan lebih untuk terus berjalan tanpa mengurangi kecepatannya. Dan ia bersyukur karena ujung lorong ini sudah ia lihat. Tepat di depan sana.

Ia berhenti, tepat di ujung lorong dengan dua belokan berbeda ke arah kanan dan kirinya. Pandangannya menatap dinding yang merupakan ujung lorong ini dengan takjub saat mendapati apa di depannya. "Ini…" gumamnya dengan nada tercekat, "…Pentagram."

Di dinding itu, terpahat sebuah gambar bintang terbalik di dalam sebuah lingkaran—seperti dibingkai oleh garis yang membentuk persegi dengan lingkaran lain di tiap ujung sisinya. Terlihat kusam dan berusia tua tapi tetap menawan dengan ukiran-ukiran antik dan simbol-simbol aneh yang membuatnya semakin artistik dan mengerikan di saat bersamaan.

Aiden menangkap ada ukiran lain di bawah lambang besar itu. Sebuah tulisan yang lagi-lagi diukir begitu cantik di dinding—bagai ditulis dengan tinta emas. Sebuah tulisan yang berbunyi;

"Kemurnian, kesetiaan dan darah adalah segalanya."

Oke. Aiden merinding mendengarkan ucapannya sendiri. Kalimat itu sepertinya punya makna tersendiri tapi Aiden tak ingin repot-repot memikirkannya lebih jauh lagi karena ia sudah sangat lelah dan butuh istirahat segera. Jadi ia memilih melanjutkan perjalanannya dengan memilih arah kanan—seperti apa yang dikatakan Spencer.

Wuuuuuusssh.

Lagi-lagi angin berhembus meski kali ini terasa begitu berbeda. Angin sejuklah yang berhembus saat Aiden mulai melangkah. Entah kenapa saat melewati koridor ini Aiden merasa nyaman—tidak seperti koridor yang tadi ia lewati. Auranya berbeda, ia pikir. Dan hal itu membuatnya agak santai sekarang, mengurangi sedikit keparnoannya yang sedari tadi meledak-ledak.

Di sepanjang koridor ini terdapat pintu-pintu berwarna coklat tua dengan ukiran dan papan-papan nomor di tiap pintu. Aiden merogoh mantelnya dan mengambil kunci yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi; sebuah kunci berwarna perak dengan gantungan ikan kecil dan angka 213 tertera di atasnya.

"207. 208. 209—" Aiden menyebutkan setiap angka di papan nomor tiap pintu sekedar menghindari dirinya mendengar suara-suara aneh yang tak diinginkan sambil berjalan terus dengan menyeret koper hingga akhirnya, "213!" Aiden menjerit kesenangan saat menemukan kamarnya. Ia benar-benar tak sabar untuk segera berbaring di ranjang dan menyambut alam mimpi. Seharian dikelilingi hal aneh dan menakutkan cukup membuatnya kelelahan. Apalagi setelah berlari seperti tadi.

Dengan cepat ia memasukan kunci ke lubang angin dan memutarnya hingga terdengar buka 'klek' pelan. Ia membuka pintu perlahan, melangkah masuk dan tak lupa mengunci kembali pintu.

Aiden mendongak untuk menatap ruangan yang akan menjadi kamarnya mulai sekarang begitu berbalik. Dan "Wow." adalah kata pertama yang lolos dari bibirnya.

Ruangan ini begitu luas. Ada empat ranjang dibuat berhadapan—dua-dua. Ia juga melihat dua meja nakas diapit oleh dua ranjang itu dan masing-masing meja belajar di sisi lain ranjang. Selain itu, terdapat lemari besar dengan empat pintu di pojok kiri, sementara satu pintu ada di sebrangnya dengan sebuah keset di depan pintu—sepertinya itu pintu kamar mandi.

Aiden melangkah masuk lebih jauh masih tak mengeluarkan suara—melihat teman sekamarnya tertidur. Ia menatap salah satu ranjang dengan heran. Ranjang ini dilengkapi kelambu! Astaga. Abad berapakah sekarang? Dia benar-benar merasa kembali ke masa berabad-abad yang lalu. Dia melihat kebawah kakinya dan ada karpet berudu berbentuk lingkaran yang begitu besar tengah ia injak. Semua perabotan di sini diukir dengan ukiran yang antik, unik, artistik dan sedikit aneh juga berlebihan menurut Aiden.

Apakah pemilik sekolah ini tukang ukir? Lihat! Bahkan langit-langit pun diukir sedemikian rupa! Ia juga bisa melihat ukiran-ukiran lain di beberapa tempat di dinding.

"Hei."

Aiden tersentak—sepertinya ia terlalu banyak melamun hingga tak sadar salah satu dari 'teman sekamar'nya itu terbangun dan menarik kelambu ranjangnya. Menatap ke arahnya.

"Ahhh… Sorry. Apa aku mengganggu?" kata Aiden kikuk. Meski terlihat mengantuk orang ini tersenyum pada Aiden dan itu membuatnya langsung dicap ramah olehnya.

"Tidak apa-apa. Kau Aiden 'kan? Kami sudah menunggumu sejak tadi. Kukira kau akan datang besok," jelasnya mulai bangkit dari ranjang dan menghampiri Aiden, berdiri di hadapannya. "Dennis," katanya sambil mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah. Aiden menerimanya dan menggumamkan namanya sebagai balasan.

Dennis berjalan ke arah salah satu ranjang dan menarik kelambunya. Ranjang paling kanan di samping—meski agak jauh dari pintu kamar mandi.

"Ini ranjangmu, dan kau bisa memasukkan baju-bajumu di lemari itu." Dennis menunjuk lemari berukuran cukup besar di pojok kiri ruangan, "Semua perabot dengan lebel namamu adalah milikmu," jelasnya lagi.

"Thanks."

Dennis tersenyum sebagai balasan, berjalan kembali ke ranjangnya yang bersebrangan dengan milik Aiden. "Kau bisa membereskan bawaanmu. Tapi kalau kau lelah sebaiknya kau tidur dan besok kami akan membantumu membereskannya, oke?" ia menguap, "—Oh, aku mengantuk. Aku tidur duluan tidak apa-apa, kan? Good night, Aiden."

Dan kelambu ranjang itupun diturunkan setelah Aiden berujar 'ok' dan 'good night' sebagai balasan.

Setelah puas memandang, Aiden memilih langsung tidur saat itu. Ia benar-benar kelelahan. Biarlah barang bawaannya di bereskan besok. Setelah menganti pakaiannya terlebih dahulu dengan piama. Sambil memeluk Nemo—boneka ikan badut berukuran cukup besar miliknya, matanya mulai terpejam.

"Nite, Nemo." adalah kalimat terakhirnya sebelum benar-benar menyambut mimpi.

—o0o—

Spencer melangkah masuk ke kamarnya dengan langkah tergesa sambil terus berusaha mengelap sudut bibirnya dengan punggung lengan—mengusap noda di sana. Ia benar-benar tak tahu apa yang ia lakukan beberapa jam yang lalu saat ia pergi meninggalkan kastil ini setelah ini bertemu dengan murid baru itu.

"Spencer, kau kenapa?" adalah pertanyaan yang menyambutnya begitu ia masuk ke ruangan itu. Pertanyaan yang dilontarkan salah satu dari tiga orang yang berada dalam ruangan itu, yang saat itu tengah melakukan kegiatan masing-masing.

Ruangan ini bercahaya temaram dari perapian dan beberapa lilin menyala dan itu seakan tak membantu membuat kulit keempat pemuda itu untuk terlihat lebih 'manusiawi'. Pucat.

Tak ada ranjang berkelambu dan meja belajar atau meja nakas di ruangan ini, hanya satu set sofa bergaya elegan dan beberapa bantal duduk berwarna merah. Seluruh ruangan luas ini dilapisi karpet, ada perapian yang menyala, lalu dua buah lemari berukuran sedang—yang satu pintunya terbuat dari kaca transparan dan berisi berpuluh-puluh botol wine atau apapun itu—dan sebuah rak buku penuh buku tua berukuran besar di pojok kanan samping perapian.

"Spencer?" tanya orang yang sama saat mengetahui Spencer malah mendesis dan tak menjawab pertanyaannya. Sprncer melepas jas seragamnya yang penuh noda darah dan melemparnya ke sembarangan arah.

"Hei!" dan itu berhasil membuat protesan salah satu dari mereka karena jasnya itu tepat terjatuh di wajahnya. Ketiga pasang mata di ruangan itu menatap Spencer—salah satu dari mereka memandang kesal.

"Jangan bilang kau baru membunuh manusia," tebak seseorang lain yang kini duduk nyaman di kursi duduk merah di salah satu pojok ruangan dengan sebuah buku terbuka di depannya. Meski ia mengucapkan kalimat itu dengan nada dingin, namun ia begitu tenang melanjutkan acara membacanya seakan tak terganggu.

Spencer mendesis. "Tentu saja tidak. Aku hanya berburu seekor kambing dan—yaks, aku tak suka itu," wajahnya terlihat kalau ia akan benar-benar muntah. Gumaman 'Baguslah' keluar dari orang yang tengah membaca buku sebagai respon. "Tapi aku hampir melakukannya kalau tak segera pergi tadi," jelas Spencer memulai ceritanya. Dia mendudukkan dirinya di lantai yang di lapisi karpet dan melanjutkan, "Aroma orang itu benar-benar menggiurkan," katanya dengan semangat. Sebenarnya mungkin hanya karena ia baru kali pertama mencium baunya.

Sosok yang pertama kali bertanya beranjak, sementara sosok yang sedari tadi diam mengerutkan kening dengan heran mendengar hal itu dan bertanya, "Siapa maksudmu?" dengan nada datar dan dingin. Masih setia dengan posisinya yang menyender ke sofa dengan tangan terlipat di dada. Tanpa melakukan hal apapun.

"Murid baru itu—Aiden."

Kali ini sepertinya sosok dengan buku itu benar-benar tertarik. Ia memang mendengar desas-desus tentang akan kedatangan murid baru beberapa hari lalu. Ia menutup bukunya dan menatap Spencer penuh perhatian seakan menunggu kelanjutan cerita meski wajahnya masih datar dan tak berekspresi.

"Kenapa memandangku begitu sih!" Spencer protes, sementara kedua makhluk lain hanya mendesah melihatnya pura-pura tak mengerti begitu.

"Ceritakan," sosok yang tadi beranjak kembali dengan wadah berisi air dan lap, mendudukkan diri di sisi Spencer, "Bagaimana kau bisa bertemu dengannya," terangnya lagi sambil mulai mengelap bekas-bekas darah yang mulai kering di wajah dan leher Spencer dengan handuk basah.

"Oh," balas Spencer mulai mengerti. "Sebenarnya aku tak sengaja melihatnya di koridor saat akan keluar kastil. Aku belum pernah melihatnya dan aku langsung beranggapan bahwa dia 'Aiden' murid baru yang katanya akan bersekolah di sini," Spencer memulai ceritanya, merasa risih juga dengan kegiatan sosok lain yang tengah membersihkan wajahnya. "Tidak usah, Vin." katanya, tapi tak didengarkan oleh sosok yang sebenarnya bernama Vincent itu.

"Aku ingin menakutinya, dan aku berhasil karena saat ia berbalik dia begitu terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba berada di depannya," Spencer tertawa terpingkal-pingkal, "Wajahnya lucu sekali saat ketakutan."

"Spencer, diam!" protes Vincent karena kegiatannya terganggu dengan kelakuan Spencer yang tertawa tak karuan.

Spencer menghentikan tawanya dengan sebal sambil mencibir temannya itu.

"Lalu?" tanya sosok yang masih memangku bukunya. Terdengar tak sabar. Tapi Spencer tetap bungkam sampai Vincent selesai dengan kegiatannya dan pergi lagi membawa lap dan wadah berisi air yang kini berwarna kemerahan agar tak usah mendapat omelan lagi.

"Lanjutkan," itu keluar dari sosok yang berada di sofa dengan nada memerintah.

"Ye… Pangeran Marcus," orang yang disebut pangeran Marcus itu memutar matanya bosan, sebelum kembali mendengarkan dengan seksama lanjutkan cerita Spencer, "Aku bertanya padanya kenapa bisa sampai malam-malam begini, dan dia menjawab karena ia tak bisa menemukan kastil ini."

"Alasan klasik." pria dengan buku berkomentar. "Katakan. Berapa kali ia mencari?"

Spencer menyeringai, "Ia bilang padaku dia telah mencari kastil ini sebanyak dua belas kali dan akhirnya menemukannya setelah sekali lagi mencari."

"Wow," adalah kata pertama yang keluar dari mulut Vincent saat mendengarnya, "Orang ini pasti sangat naif—"

"dan polos—" sambung Spencer, seringainya semakin lebar. "Atau bodoh." gumaman pria di sofa membuat seringai itu hilang sedetik, sebelum kembali lagi, "Ini bahkan melebihi rekor sebelumnya!"

Bryan hanya manggut-manggut. Sementara Marcus kembali terdiam tanpa ekspresi. Tapi sepertinya ada sebuah ketertarikan dalam diri mereka berdua dengan sosok murid baru ini.

"Satu-satunya alasan yang mungkin membuatnya menemukan kastil ini pastilah putus asa," komentar Spencer lagi sambil tertawa tawa kesetanan.

"Sepertinya begitu—sifat buruknya pasti tak cukup untuk membuatnya bisa melihat kastil ini," Vincent bicara dengan wajah yang nampak tengah berfikir atau mungkin membayangkan sesuatu, "Manusia unik."

Hening…

"Aroma?" Semua mata beralih pada Marcus saat suara itu terdengar, "Apa maksudmu dengan aromanya?" tanya Marcus lagi.

Merasa seperti baru mengingat sesuatu, Spencer langsung bangkit dan duduk kembali, "Aku memang masih bisa menahan aroma tubuhnya pada saat itu," katanya sambil mengingat-ngingat, "Tapi berbeda saat ia mulai melepas syalnya. Aromanya begitu menusuk langsung masuk ke indra penciumanku dan membuatku ingin sekali langsung menancapkan taringku di lehernya. Mungkin karena aku baru pertama kali bertemu dengannya?" Spencer mengangkat bahu, ragu dengan hipotesanya sendiri.

Semuanya terdiam melihat Spencer yang tiba-tiba begitu serius, menanti kelanjutannya.

"Anehnya dia tak takut—dia malah terlihat mengkhawatirkanku. Aku bilang aku harus pergi dan saat itulah angin berhembus dan membuat aromanya semakin tertangkap jelas. Aku menyuruhnya untuk terus berjalan di koridor lalu belok kanan—asrama White. Aku pergi setelah itu, cepat-cepat berubah menjadi kelelawar. Aku tahu dia berbalik dan begitu ketakutan saat itu, karena dia langsung berlari begitu cepat."

Bryan lagi-lagi mengangguk, "Dari ceritamu sepertinya anak baru ini tidak tahu jika sekolah ini bukan hanya untuk manusia."

Spencer mengangkat bahu tapi menjawab, "Mungkin iya."

"Kita akan buktikan ceritamu besok," suara dingin Marcus terdengar setelah hening lama. Spencer mengangguk saja, sementara rasa penasaran juga mulai muncul di benak Vincent.

"Aku ingin tahu bagaimana wajahnya."

Spencer langsung semangat lagi, "Dia tampan, ah, bukan—tapi manis," katanya sambil tersenyum.

Dan keheningan menyapa lagi. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua, masih ada beberapa jam sebelum kelas di mulai. Bryan mulai membuka bukunya lagi sementara Spencer dan Vincent mulai bermain catur di bawah. Marcus? Oh, dia masih betah di posisinya, setengah melamun.

Seperti apa sebenarnya 'Aiden' ini?

—o0o—

Tidur malam yang benar-benar singkat untuk Aiden. Rasanya baru sedetik tadi ia menyamankan dirinya di ranjang, bergelung nyaman dengan selimut tebal sambil memeluk Nemo, tapi sekarang dia sudah terpaksa untuk mengakhirinya mimpinya dan bersiap-siap masuk kelas di hari pertamanya sekolah. Meski terbangun dengan posisi terduduk di atas ranjang, jiwa Aiden nampak masih mengawang-ngawang entah kemana dan bagaimana. Matanya terbuka sedetik lalu tertutup perlahan—tubuhnya mengerjap dan matanya terbuka lagi lalu tertutup perlahan lagi, terus seperti itu sejak ia di bangunkan salah satu teman sekamarnya—yang kalo tidak salah bernama Joshua.

"Hoam…" Masih dengan posisi memeluk Nemo, Aiden menguap lebar-lebar sementara ketiga teman sekamarnya mungkin sekarang sedang mandi saat ia bahkan belum sepenuhnya sadar dari mimpi. Ia ingin menyusul yang lainnya ke kamar mandi dan bersiap masuk kelas—tapi dirinya benar-benar masih mengantuk. Salahkan ia yang tak bisa menemukan kastil ini lebih awal sehingga membuatnya sampai tengah malam lewat. Padahal 'kan biasanya, sebelum pukul sembilan pun dirinya sudah terlelap di ranjangnya setelah menghabiskan segelas susu sebelum tidur buatan sang Mum.

Ah, mengingat itu membuatnya jadi rindu rumah. Ia rindu suara ocehan sang Mum yang membangunkannya dan tepukan sang Dad di bahunya tiap pagi. Padahal baru sehari…

"Ah iya!" Aiden langsung terlonjak begitu tiba-tiba dan tergesa mengambil kopernya. Ia membuka isinya dan merogoh mencari sebuah benda yang adalah ponsel miliknya, menemukannya dengan cepat. Ia langsung mengetikkan sebuah pesan untuk Dad dan Mum-nya. Itu atas permintaan mereka, menghubungi atau paling tidak mengirim pesan saat ia sampai—yang ia lupakan kemarin malam.

'Aku sudah sampai dengan selamat sejak semalam, tak perlu cemas. Mum, Dad aku rindu kalian,'—kira-kira begitulah isi pesan itu. Ia segera mengklik 'send' tapi beberapa detik berikutnya ada laporan 'failed'. Ia mencobanya lagi hingga tiga kali dan semua hasil hasilnya sama; failed.

Aiden merengut heran sambil mencobanya terus dan terus. Alisnya mengerut heran. Kenapa tidak bi—

"Percuma saja kau menggunakan benda itu di sini," sahutan tiba-tiba dari arah pintu membuat Aiden sedikit tersentak—diam-diam dalam hati berfikir kenapa semua orang di sini gemar sekali membuatnya kaget seperti itu. Aiden melihat seseorang di sana, seorang pria atau mungkin wanita? Oh iya tak yakin. Karena wajahnya cantik.

"Lihat sinyalnya," sahut sosok itu lagi sambil berjalan menuju lemari, membuka salah satu pintu yang Aiden bisa melihat nama 'Casey' tertempel di depan pintu itu.

Dengan segera Aiden mengecek handphonenya, melihat sinyal—

"Tidak ada sinyal di sini?" tanya Aiden keheranan. Kenapa bisa?

"Begitulah," sahut sosok itu lagi, pendek. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan hal ini sehingga ia bisa sesantai itu. Berbeda dengan Aiden. Dia sunggung terkejut. Tidak ada sinyal handphone, berarti ia tidak bisa menghubungi orang tuanya, "Jangan bilang tidak ada TV? Radio? Internet?" tanyanya lagi, berharap mendapat jawaban yang merupakan sebuah gelengan.

Tapi pria ini malah mengangguk—menghapus harapannya, "Kau kira kau mau apa? Liburan?" tanyanya dengan nada sinis dan ekspresi aneh menatap wajah Aiden, memandangnya seakan-akan dia adalah makhluk luar angkasa yang langka.

Oke. Pria ini memang cantik tapi mulutnya benar-benar menyebalkan dan Aiden ingin melemparinya dengan sepatu—yang tentu saja tak ia lakukan. "Aku hanya bertanya." Aiden kesal.

"Dan aku hanya menjawab," balas Casey lagi. Dia melirik Aiden, dan senyum sinisnya kembali diperlihatkan. "Kau belum bersiap? Dasar pemalas," sindirnya.

Aiden ingin menangis sekarang!

Bukan. Bukan karena tersinggung dengan kalimat terakhir yang dilontarkan Casey. Ia ingin menangis karena ia tak bisa menghubungi orang tuanya sekarang. Tak ada sinyal di sini!

"Mum... Dad..." gumam Aiden begitu pelan sambil memeluk Nemo erat. Ia begitu merindukan mereka—dan mengetahui fakta ia tak bisa menghubungi mereka membuatnya sedih.

"Lebih baik kau bersiap, sarapan akan mulai lima menit lagi," ujar Casey yang telah siap dengan seragamnya. Kini berusaha merapikan rambutnya yang agak panjang menutupi bahu dengan jari-jarinya yang lentik di depan sebuah cermin yang ia pegang dengan sebelah tangannya yang lain. Benar-benar tipikal pria cantik.

Aiden meliriknya, mengamatinya—mengamati seragamnya, "Kenapa seragamnya warna putih? Kukira hitam," ucapnya refleks. Ia teringat pakaian Spencer kemarin malam. Modelnya sih sama dengan yang ia lihat dipakai Spencer semalam, dengan sulaman huruf 'SM' berukir artistik dengan benang emas di bagian dada kiri—tapi warnanya putih, bukan hitam.

"Jadi kau sudah tahu sekolah ini punya dua seragam?" tanya Casey yang sepertinya sudah selesai dengan kegiatannya. Cukup kaget.

Aiden menyerhit. "Dua seragam? Maksudnya?" Aiden benar-benar tak mengerti dengan semua itu. Apa mereka mengganti warna seragam mereka di hari tertentu? Atau bagaimana?

"Oh… rupanya kau tidak tahu," sahut Casey lagi, santai, "Dennis belum memberitahumu, eh?"

Beritahu apa mak—

"Astaga! Kau belum mandi?" Sosok Dennis muncul di balik pintu kamar mandi dengan seragam lengkap yang sudah rapi, "Kukira aku sudah menyuruh Joshua untuk membangunkanmu ta—"

"—Kulakukan kok." Sosok lain muncul, memotong. Ah, Joshua, pemuda yang tadi membangunkannya.

Tak tahu harus bagaimana lagi, Aiden hanya senyum-senyum setengah meringis. Salahkan dia yang terlalu banyak membuang-buang waktu dengan hal tak penting tadi. "Aku akan pergi mandi sekarang," katanya sambil menyimpan Nemo, melangkah turun dari ranjang, menuju kamar mandi.

"Itulah yang harus kau lakukan dari tadi," Casey berkomentar sinis.

"Iya… Iya…" katanya sambil membuka knop pintu dan menutup pintunya lagi setelah melangkah masuk. Satu kata;

"Wow."

Ia kembali dibuat tercengang dengan kamar mandi ini. Ini sangat bersih dan artistik—ia sampai bosan mengatakan kata yang satu ini. Di ruangan ini ada empat bilik dengan papan nama di masing-masing pintu. Di depan bilik masing-masing terdapat sebuah westafel dengan cermin besar menempel di dinding.

Belum sempat berlama-lama menikmati kemewahan kamar mandi ini suara Dennis kembali terdengar dari luar, "Aiden! Mandi! Jangan bengong!"

Uh. Kenapa Dennis tahu dia sedang terbengong? Apa dia juga punya pengalaman dengan ini sebelumnya? Sepertinya begitu…

"Aiden!"

"Iya!"

Dan Aiden langsung memilih masuk ke bilik berpapan nama 'Aiden' karena tak ingin mendapat lebih banyak teriakan lagi. Lama-lama ia bisa menganggap Dennis sebagai Mum-nya. Mereka sama—setidaknya dalam kebawelan.

—o0o—

Pemandangan yang langka, empat orang sekaligus murid Black datang ke Cafetarian yang biasanya tak menjadi salah satu dari list tempat yang akan mereka kunjungi. Mereka berdiri tak jauh dari pintu—tentu saja dengan pandangan aneh dan berbeda-beda dari murid-murid dengan pakaian White yang tengah sarapan di sana.

"Sepertinya bukan hal yang tepat kita menunggu di sini," Bryan bersuara setelah sekian lama diam, merasa risih dengan semua pandangan yang mengarah padanya—pada mereka. Tak sedikit dari mereka yang memandang jijik atau takut dan ekspresi lainnya. Ia juga bisa melihat beberapa siswa yang berbisik secara terang-terangan dengan suara yang sengaja dikeraskan. Benar-benar membuat risih.

Lain Bryan, lain dengan yang lain. Tak ada yang menyahut ucapannya. Spencer malah menebar senyum lebar ke mana-mana. Marcus diam bersandar ke dinding dengan tangan di saku, sementara Vincent berdiri tak jauh dari Marcus, tidur—tentu saja hanya menutup matanya—sambil berdiri.

"Hei—"

"Diamlah, Bryan." Suara itu mau tak mau membuat Bryan diam seketika. Itu suara Marcus, dan apa yang ia katakan harus selalu dipenuhi. Selalu seperti itu. Bryan mendesis.

Hening…

"Cepatlah kalian! Kita sudah kehabisan sepuluh menit waktu sarapan!"

Mereka datang…

Marcus yang pertama bereaksi. Tubuhnya yang tadi menyender ke dinding sekarang berdiri tegak.

Aroma itu… aroma yang dikatakan Spencer itu… bisa mereka rasakan dari sini. Vincent dan Spencer berpandangan—sama-sama mulai bernafas cepat. Bryan mengepalkan tangannya kuat, sementara Marcus tanpa mulai menancapkan kuku jarinya di dinding dengan sebelah tangannya.

"Tenanglah, Cas. Makanan itu takkan lari."

Mendekat… Semakin dekat…

"Apapun katamu, Joshua!"

Keempatnya menghirup udara dalam-dalam. Semakin merasakan sesuatu dalam aliran darah mereka memberontak—ingin lepas keluar.

"Cepat kalian ini, lambat seka—"

Langkah cepat Casey langsung terhenti saat ia melihat keempat orang yang sama sekali tak dia harapkan berdiri tak jauh dari pintu, terlihat menunggui seseorang dengan ekspresi aneh mereka. Dia mendesis mengerikan dan menatap mereka garang seakan mereka ini adalah musuh bebuyutannya yang paling berbahaya.

Joshua, Dennis dan Aiden pun seketika berhenti saat melihat Casey yang seakan membeku—padahal tadi sangat semangat begitu masuk cafetarian. Wajah mereka terlihat bingung untuk sepersekian detik sebelum menatap ke empat orang yang tak seharusnya berada di tempat ini. Joshua dan Dennis langsung mengerti, mereka mengatupkan bibirnya rapat-rapat dengan rahang mengeras. Sementara itu Aiden semakin bingung dengan semua situasi ini, tapi ia masih berani menyapa Spencer sambil melambaikan tangan.

"Hai, Spencer."

Tak ada sahutan—hanya lirikan tajam dari Casey dan Joshua yang ia dapat, membuatnya merinding. Ada apa ini?

Dennis maju, berdiri di depan Casey yang terlihat membuang mukanya dengan perasaan muak, "Ada kepentingan apa hingga para Black ini sudi datang kemari?" nadanya terdengar ramah dan ia mengatakannya sambil tersenyum, tapi Aiden bisa melihat tatapannya begitu tajam dan mengerikan. Apa ini Dennis?

"Well, kami hanya berkunjung."

Perhatian Aiden beralih ke orang berpakaian hitam yang menjawab dengan begitu tenang, meski begitu dia bisa merasakan kalau pria di depannya itu sama sekali tak sedang dalam keadaan tenang. Aiden merasa seseorang menatapnya tajam, salah satu dari mereka. Ia merinding lagi.

"Berhenti membual!" Casey mulai hilang kesabaran, wajahnya begitu merah saat ia mengatakan kalimat itu dengan nada tinggi. Joshua mencengkram tangannya mencegah melakukan hal bodoh, sementara ia membisikkan kata 'Tenanglah' ke telinga Casey yang tetap tampak tak bisa menahan amarahnya.

"Begitu?" Dennis kembali membuka suaranya, "Cepatlah pergi kalau kalian sudah selesai, kalau begitu." dan ia melengos menuju salah satu meja yang masih kosong, diikuti Casey yang dengan kasar menepis tangan Joshua yang sedari tadi mencoba mencegahnya, menatap mereka dengan pandangan jijik sebelum benar-benar pergi dengan Joshua yang mengikuti di belakangnya—tanpa berekspresi.

Sementara itu, Aiden masih terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Ia masih terbengong tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Ini—membingungkan!

Baru saja ia akan bertanya tapi, "Sp—"

Dia tak bisa menyelesaikan kalimatnya saat ia merasakan tubuhnya di dorong membentur dinding dengan cepat dan begitu keras, membuatnya meringis kesakitan sambil menutup matanya menahan sakit tiba-tiba. Ia kesusahan bernafas dan saat membuka matanya ia sadar seseorang tengah memegangi—mencekik—lehernya dengan begitu kuat.

Alarm bahaya berdenging di kepalanya! Siapa orang ini?!

"Marcus!" Bryan sontak berteriak. Berpuluh-puluh pasang mata terlonjak tak percaya dengan kejadian itu. Mendengar suara benturan begitu keras dan suara rintihan kesakitan. Mereka semua tercekat— "Aiden!" begitupun Casey, Dennis dan Joshua yang kini berdiri dari duduknya dengan wajah pucat pasi, memandang horor. Mereka kira Aiden mengikuti mereka tadi!

"T-tolong… Sia-papun tolong a-ku… khhh!" Aiden menjerit, meronta sekuat tenaga, mencoba menghentikan cekikan di lehernya menggunakan tangannya. Rasanya percuma, tangannya terasa kebas dan gemetaran. Ia takut. Sangat takut.

Aura semakin tegang. Mereka semua shock. Pucat pasi.

"Marcus! Hentikan!" Bryan lah satu-satunya orang yang berniat menghentikan sosok mengerikan Marcus yang menggila, ia mencoba dan yang ia dapat hanyalah dorongan berkekuatan besar yang membuatnya menabrak beberapa meja. "KYAAAA!" teriak beberapa gadis saat melihat Bryan terdorong ke meja mereka.

"St…o-p!" Aiden berfikir napasnya benar-benar akan segera habis, ia bisa merasakan air matanya meleleh begitu saja dari matanya. Ia kesusahan bernafas. Paru-parunya menjerit. Kepalanya pening, dan pandangannya mulai buram.

"P-lea…se…" itulah usaha terakhirnya. Pandangannya mulai menghitam, kepalanya serasa akan meledak meminta oksigen!

Mata Marcus menatap mata brown yang kini mengeluarkan air mata, dan entah kenapa—cekikkannya mengendur perlahan dan terlepas sepenuhnya membuat tubuh lemah Aiden terduduk di lantai bersandar di lantai. Aiden seperti mendapat hidupnya kembali, ia menghirup udara sebanyak yang ia bisa sambil memegangi lehernya yang terasa sakit. Bernapas cepat, wajahnya merah.

Sosok Marcus berjalan mundur dengan terhuyung—berdiri tak jauh darinya. Tampak kepayahan bernafas sama sepertinya. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya yang sedari tertunduk kini terangkat. Dan dengan jelas Aiden bisa melihat matanya yang semerah darah dan—

—taring.

DEG!

Alarm bahaya di kepalanya berbunyi semakin keras. Darahnya terpompa begitu cepat. Tubuhnya gemetaran hebat.

"Hentikan dia! Hentikan dia!"

LARI AIDEN! LARI! —jerit pikirannya. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Aiden yang masih dalam ketakutan merasakan tubuhnya terdorong lagi ke arah dinding dengan begitu keras—lebih keras dari yang pertama. "Ah!" Begitu menyakitinya hingga membuatnya menutup mata erat sambil menggigit bibir. Ia bisa merasakan tulang rusuknya berderik.

Aiden membuka matanya dan merasakan ketakutan berkali-kali lipat lebih besar saat wajah Marcus berada sangat dekat dengan wajahnya. Ia bisa melihat dengan jelas… sepasang mata merah darah itu— begitu mengerikan. Tatapannya kosong, begitu liar bagai binatang buas.

Lalu taring, taring yang ia perlihatkan semakin menambah ketakutannya.

Aiden merasakan lututnya lemas, bahkan mungkin takkan bisa menopang tubuhnya jikalau bahunya tak di dorong ke dinding.

"Spencer! Hentikan dia!" Bryan berteriak panik setelah bangkit dari tempatnya—beberapa pecahan dari piring pecah menancap di bagian atas tangan kirinya. Spencer berusaha menghentikan Marcus, tapi ini sulit karena sesuatu dalam pikirannya menjerit menyuruhnya melakukan hal lain.

"Marcus berhenti!"

Namun hasilnya sama saat Bryan mencoba—tubuhnya terlempar ke atas langit-langit dan mendarat di lantai dengan kekuatan besar. Membuat retakan di lantai itu.

"Aiden…" Casey hendak melangkah maju, tapi tangan Dennis menghalanginya. Casey menatapnya tapi yang ia lihat hanya Dennis yang menatap kosong dengan ekspresi khawatir, menggeleng pelan.

Bryan mencoba lagi dan yang dia dapatkan hanyalah dorongan yang lebih kuat bahkan sebelum ia bisa menyentuh sosok itu.

Marcus membauinya di leher, Aiden tahu itu. Dan itulah yang paling ia takutkan benar-benar terjadi saat ini. Karena melihat situasi seperti ini sepertinya ia tahu makhluk apakah sebenarnya sosok di depannya itu. Degup jantungnya berpacu dalam kecepatan tak normal, benar-benar cepat sehingga ia berfikir mungkin jantungnya akan meloncat keluar. Setiap senti tubuhnya merasakan ketakutan, bergetar—ketakutan itu mengalir bersama aliran darahnya.

Ia menutup mata, dengan air mata yang masih meleleh. Semakin deras.

Takut…

Takut…

Takut…

Mum, Dad.

Ia benar-benar berharap bahwa ini adalah lelucon. Hanya lelucon. Tapi ia tahu itu semua tak mungkin hanya sebuah lelucon. Ini semua terlalu nyata dan mengerikan untuk sekedar menjadi lelucon bagi si murid baru.

"Hmm…" Ia merasakan hembusan nafas itu, berhembus dingin di sekitar lehernya.

Semakin dekat…

Semakin dekat…

Dan ia bisa merasakan kulit lehernya robek—

BRUGH!

—bersamaan dengan hilangnya topangannya.

Ia terjatuh, memegangi lehernya dan mendapati beberapa tetes darah di sana, terusap di tangannya yang sekarang bernoda darah.Darah itu tak seberapa banyak, tapi cukup membuat sosok Bryan dan Spencer meraung—memunculkan taring mereka dan merusak beberapa barang di sekitar mereka, sebelum—

POFF!

berubah menjadi kelelawar dan pergi. Diikuti satu sosok lagi, Vincent.

"APA-APAAN KAU MARCUS!"

Pandangan semua orang beralih termasuk Aiden, ia bisa melihat sosok Marcus itu terbaring dengan sosok lain yang menduduki tubuh dan menahan lengannya. Meski begitu tatapan tajam bak binatang buas milik Marcus masih menatap tajam Aiden, darah Aiden lebih tepatnya. Aiden memeluk lututnya dengan gemetaran tubuh tak kendali—tapi pandangannya tak bisa berpalinng. Terkunci pada sepasang mata merah itu. Pandangannya begitu kosong dengan air mata yang terus meleleh. Degup jantungnya masih cepat.

"AAAAAAAAAAAAAH!"

"KENDALIKAN DIRIMU!" Pria di atas Marcus kembali berteriak, tapi Marcus semakin brutal, mencoba memberontak."SIAPAPUN BAWA ANAK ITU KELUAR!" Pria itu nampak kewalahan, ia terlempar beberapa meter dan berhasil mendapatkan Marcus lagi, mendorongnya ke dinding.

Dennis dan Joshua cepat bertindak. Mereka berjalan mendekati Aiden dan membatunya berdiri. Tapi kaki Aiden terlalu lemas dan gemetaran sehingga ia tak bisa berjalan. Tubuhnya masih bergetar hebat dengan tangan memegang bekas luka kecil di lehernya. Air matanya tak kunjung berhenti.

"CEPAT!"

GRAAP!

Tubuh kecil yang bergetar ketakutan itu kini berada dalam dekapan Joshua yang segera pergi meninggalkan tempat itu secepat mungkin diikuti Dennis di belakangnya. "Tenanglah…" bisik Joshua.

Tapi bayangan mata merah darah dan taring itu masih berada jelas di pikiran Aiden. Membuatnya tak bisa berhenti menangis dan gemetaran hingga sosok itu tak terlihat.

Setelah mereka pergi, Marcus mulai tenang. Pria itu melepaskan pegangannya. Mata dan taringnya sudah hilang, yang tersisa kini hanya nafasnya yang memburu cepat. Matanya menyapu ke segala arah. Dan tatapan berbeda dari orang orang yang melihat dengan jelas kejadian itu dengan jelas ia lihat.

"Temui aku di kantor," itulah kata terakhir yang diberikan pria itu sebelum—

POFF!

Berubah menjadi kelelawar dan terbang keluar.

Marcus bangkit, memasang wajah dinginnya dan berjalan pergi setelah merapihkan pakaiannya—seakan tak terjadi apapun. Meski kini—pikirannya kalut.

Casey yang masih berada di sana, mendesis tak suka sebelum pergi juga. Berlari dengan begitu cepat dengan perasaan khawatir meluap.

—o0o—

Aiden memeluk lututnya dan duduk di ranjangnya dengan gemetaran yang belum bisa ia hilangkan. Pandangannya kosong, trauma dengan kejadian yang baru saja ia alami. "A-apa itu… tadi?"

Dennis dan Joshua berpandangan dan tak ada yang buka suara.

"A-apa mereka v-vam…pire?" napasnya tercekat saat mengatakan kata terakhir. Gemetarannya semakin bertambah hebat dan tangisannya sama sekali belum berhenti, meski kini lukanya sudah dibersihkan dan di plester.

"Banyak yang tak kau ketahui Aiden," Dennis mulai bercerita, raut wajahnya tampak sangat menyesal, Ia begini karena ini tanggung jawabnya, "Seharusnya aku mengatakan semua ini lebih awal." Lanjutnya.

"A-apa?"

"Sekolah ini—"

"Sekolah ini bukan hanya untuk manusia," suara Casey memotong begitu saja, di datang dari arah pintu, masuk dan mendudukkan dirinya di sisi ranjang Aiden begitu juga, "Tapi untuk para Black itu juga—untuk ya… vampire."

DEG… DEG… DEG…

"Ini memang disengaja, pemilik sekolah atau kastil ini punya keinginan membuat manusia dan vampire hidup damai—benar-benar ide bodoh—makanya ia membuka sekolah ini untuk para vampire menjijikan itu melatih menahan nafsu mereka pada kita, darah kita—manusia," Casey terlihat benar-benar terlihat tak senang. Membicarakan ini seakan akan membuatnya muak.

"Jadi… semua murid berpakaian hitam itu benar... v-vampire?"

Casey mengangguk. Aiden mengalihkan pandangan pada Dennis dan Joshua yang juga mengangguk.

Tiba-tiba ia merasa jiwanya melayang entah kemana bersamaan dengan ia yang menenggelamkan wajahnya pada lutut dan lipatan tangannya. Bagaimana bisa…

Mum… Dad…

"Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya—penyerangan siswa Black, benar-benar mengerikan."

Aiden sudah tak tahu siapa yang bicara, pikirannya kosong. Shock.

"Kurasa, ada sesuatu yang aneh. Marcus? bukankah ia menjadi vampire yang selalu bisa menahan nafsunya terhadap darah manusia. Ia darah murni dan hampir semua darah murni mempunyai kelebihan itu."

Gemetaran di tubuh Aiden semakin menjadi saat ia mendengar nama 'Marcus' disebut. Ia menutup matanya semakin rapat—

Cekikan...

Mata merah...

Taring...

Semuanya kembali terbayang begitu jelas di benaknya membuatnya ketakutan. Ketakutan itu menjalari setiap senti tubuhnya seakan-akan bisa membuatnya mati saat itu juga. Membuat dadanya sesak dan kepalanya pening—

"AKU MAU PERGI DARI SINI!"

Casey, Joshua dan Dennis yang sedari tadi berbincang langsung terlonjak kaget, saat mendengar Aiden menjerit histeris

"AKU MAU PULAAAAAAAANG!"

—o0o—

To be Continued

—o0o—

Cuaps Author's:

Okeeee. Ini panjang. Berharap reader ga bosen bacanya ._.

Yaps, ini KYUHAE (atau MARDEN?) pair! Bagi yang ga sukaaa~~ udah diperingatkan ya, jangan salahin kalo nyesel /ditimpuk. Ceritanya aneh? Typo? KOMEN PLIS

Author bener-bener mengharapkan kometar, saran kritikan (flame juga boleh) dari para reader sekalian. Ya, ya, ya? *ngasih 6Jib satu-satu—nyogok* hehehe~~ Tapi kalau ga mau juga ga papa kok, author ga maksa :)

LANJUT? DELETE?

—o0o—

See yaa ^^

Bandung 09/07/2012

(Edited: Bandung 03/05/2013)