Disclaimer: Masashi Kishimoto

Rate: M

Pairing: SasuNaru

Warning: AU, Shounen-ai, Typo(s), Abal, violence scene, and A little bit OOC maybe.

Don't Like Don't Read!


Banyak orang mengatakan bahwa otak dan hati sulit untuk berpijak pada jalan yang sama. Dimana hati terkadang lebih menjurus ke hal-hal yang berbau perasaan dan otak akan berpegang teguh terhadap sebuah logika. Terkadang muak mendengar orang-orang menyuruh kita untuk mendengarkan apa yang hati kita katakan di saat kita sendiri bahkan tidak tau apa yang harus dirasakan.

Mendengarkan kata hati seakan-akan mendengarkan isakan sisi lain dari jiwa kita. Mereka mengatakan bahwa hati kecil akan selalu berkata baik dan membuat sebuah pintu yang menuju ke sebuah kebahagiaan. Lalu bagaimana jika bahkan hati kecil kita sudah tak mampu untuk mencurahkan kebaikan? Bagaimana jika hati kecil-lah yang menyuruh kita untuk menciptakan kekacauan yang bahkan akan merusak kebahagian orang lain? Benarkah jika kesabaran adalah jawaban dari semuanya?

I am not Sane

5th Chapter

I'll Die For Your Happiness


Sasuke mengacak rambutnya dengan kasar. Melihat Naruto mendengar percakapan Sasori dan Shikamaru membuat matanya merah ingin menangis dan berteriak di saat yang bersamaan. Entah apa yang mereka berdua itu pikirkan sehingga dengan bodohnya melakukan percakapan terbuka di tempat yang mungkin akan didatangi oleh Naruto. Sekarang Naruto sudah tau jika kedua orang tua Sasuke-lah yang membunuh kedua orang tuanya—meskipun secara tidak langsung. Sasuke masih mengingat kejadian itu dengan sangat jelas. Namikaze merupakan ketua kepolisian yang menjaga pesta yang diadakan keluarga Uchiha. Hal itu sendiri diminta langsung oleh Fugaku—demi melancarkan rencananya.

Sasuke menghembuskan napas dengan pelan—mencoba menenangkan dirinya. Sasuke yakin Kyuubi belum mengetahuinya. Entah apa yang akan terjadi dengan Itachi jika Kyuubi mengetahui kejadian yang sebenarnya. Sasuke menjedukkan kepalanya ke kemudi mobilnya dengan kasar, tak memedulikan rasa sakit yang mendera kepalanya. Saat ini yang ada di pikirannya hanyalah Naruto. Semenjak Kakashi memanggil dirinya untuk kembali ke Tokyo secepatnya, Sasuke sudah tau jika dia akan menghadapi hal ini namun dia tidak mengira akan secepat ini.

Sasuke menghentikan mobilnya dengan mendadak saat matanya menangkap pria berambut pirang yang sedari tadi dicarinya sedang berdiri di sebuah gedung yang cukup besar. Sasuke menepikan mobilnya dan segera keluar dari mobil tersebut. Matanya memicing tajam saat beberapa menit kemudian Gaara muncul di hadapan Naruto. Gaara nampak menjulurkan tangannya dan meraih tubuh Naruto yang lebih pendek darinya ke dalam pelukannya. Sasuke mengeraskan rahangnya melihat adegan yang sangat tidak disukainya tersebut. Dengan muka merah karena marah Sasuke meninggalkan tempat tersebut untuk menemui Itachi. Hal ini harus segera disampaikannya terhadap Itachi.


Naruto dapat merasakan air matanya mengalir dengan deras saat Gaara memeluknya dengan erat. Naruto tahu jika perlakuan Gaara yang seperti ini hanya akan bertahan selama beberapa menit sebelum dia kembali ke sifat buruknya. Senyuman tipis tertera di wajah Naruto, senyuman tulus pertama kali yang dia ciptakan dalam beberapa tahun ini. Kedua tangannya bergerak untuk membalas pelukan Gaara. Helaan napas kecewa keluar dari bibir manis Naruto saat Gaara melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi, Naru?" tanya Gaara sembari menatap kedua netra langit tersebut.

"Hm, tidak apa-apa. Aku hanya ingin menemuimu," ucapnya mencoba menyembunyikan hal-hal yang saat ini bergelut di dalam hati dan pikirannya. Saat Gaara hanya menatapnya dalam diam Naruto hanya mampu menghela napas lelah dan menggenggam kedua tangan Gaara. "Kumohon, jangan pernah mencariku lagi. Terima kasih untuk semuanya."

Gaara terdiam mendengar ucapan Naruto. Kesadarannya baru pulih saat matanya menangkap tubuh Naruto yang sudah memasuki sebuah taxi berwarna kuning yang berhenti tepat beberapa meter di hadapannya. "Na-Naru," lirihnya sembari mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Kedua mata hijaunya berkilat penuh amarah. Hatinya sakit. Satu-satunya orang yang sangat disayanginya pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberikan alasan apa-apa. Gaara mengambil ponselnya dari kantong celananya dengan kasar. Mencoba menghubungi satu-satunya orang yang mungkin akan tahu tentang Naruto. "Shika," desisnya tidak suka saat sudah terhubung dengan orang yang dibutuhkannya.

"Apa maumu?" balas Shikamaru terdengar menggunakan nada yang sangat tidak ramah.

"Jelaskan padaku apa yang sudah kau katakan pada Naruto, brengsek!"

"…"

Gaara mengeraskan rahangnya saat tak mendapat jawaban apapun dari Shikamaru. Gaara ingin mematikan ponselnya ketika kata-kata Shikamaru membuatnya mematung di tempat.

"Naruto tahu bahwa Uchiha-lah yang membunuh kedua orang tuanya."

"Apa?!" Gaara mengernyitkan keningnya bingung mendengar kata-kata Shikamaru melalui ponsel tersebut. "Ba-Bagaimana bisa?"

"Aku dan Sasori sedang membicarakan masalah itu dan … Naruto mencuri dengar. Seperti itulah."

Gaara menggigit bibir bawahnya dengan pelan. Ingatan masa lalu merasuki otaknya, membuatnya harus menggelengkan kepalanya dengan kuat—mencoba menghilangkan memori tersebut. "Apa yang terjadi jika bahkan kenyataan yang kau ketahui adalah kebohongan?" tanya Gaara pada Shikamaru melalui ponsel tersebut.

Percakapan itu tampak berhenti selama beberapa saat sebelum akhirnya Shikamaru berbicara, "Apa yang kau maksudkan, Sabaku? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

"Sudah kukatakan padamu sebelumnya bahwa aku bahkan mengetahui hal yang tidak kalian ketahui."

"Keluarkan, Sabaku!"

Gaara menyeringai lebar, beberapa detik kemudian tawa kecil keluar dari bibir merahnya disertai dengan dengusan menganggap remeh. "Kau mengingat bahwa Uchiha pernah mengalami masa-masa dimana mereka sudah hampir tak memiliki apapun, bukan? Kabar berita tersebar mengatakan bahwa Uchiha akan bekerja sama dengan Uzumaki. Aku mendengar hal tersebut dan menyelediki seluk beluk tentang Uzumaki yang ternyata merupakan istri dari ketua kepolisian, Tuan Namikaze Minato. Kau tahu aku sangat tidak menyukai kabar tersebut karena seharusnya Uchiha akan bekerjasama dengan Sabaku dalam beberapa bulan. Hal tersebut membuatku sangat ingin menghancurkan keluarga Namikaze-Uzumaki saat itu juga. Hahahaha, ahh hari-hari yang indah tersebut sulit dilupakan. Kau tahu Shika apa yang bisa membuatku mengeluarkan sedikit rasa kasihanku?"

"…" Shikamaru tak menjawabnya. Namun Gaara tahu jika dia sedang mendengarkannya dengan sangat baik. Mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Helaan napas Gaara dapat didengar oleh Shikamaru dengan sangat jelas. "Aku bertemu dengan keluarga Namikaze dan Uchiha. Tentu saja pada saat itu Kankuro-lah yang menjadi wakil Sabaku karena tak ada satupun yang tahu bahwa akulah … pemimpin Sabaku yang sebenarnya. Di saat itulah kehidupanku terasa seperti ditaburi dengan bunga dan gula. Hari itu, aku melihat Naruto sedang duduk bersebelahan dengan Kyuubi. Itu pertama kalinya aku melihatnya. Anak laki-laki yang begitu indah, begitu cantik. Membuatku tidak sabar untuk menyentuhnya, hahaha. Aku terus saja memperhatikannya dari balik topengku. Tentu saja dia tidak akan mengenaliku."

"Cepat katakan apa yang ada di dalam otakmu, Sabaku!" bentak Shikamaru, mulai tidak sabar dengan percakapan yang membuatnya mual sedari tadi. Meskipun Shikamaru sudah tahu kemana percakapan ini akan berakhir, Shikamaru tetap mendengarkan. Ingin mendengar kata-kata itu langsung dari Gaara.

"Tidakkah kau sadar, akulah yang menyuruh Uchiha untuk membunuh mereka! Aku yakin orang tua Naruto akan menjadi penghalangku untuk memilikinya, hahaha. Oleh karena itu aku membunuh mereka. Kini Naruto menjadi milikku sepenuhnya, Deer. Kau tahu betapa aku sangat bahagia akan hal itu meskipun aku harus menunggu sangat lama untuk bisa mendekatinya secara langsung. Tidak ada masalah, karena Naruto menjadi milikku, sampai beberapa menit yang lalu dia memutuskan hubungannya denganku! No, no it's ok. He's still mine, Deer. Still mine."

Shikamaru meremas ponselnya saat Gaara tiba-tiba memutuskannya. Shikamaru ingat dengan jelas, anak bertopeng yang berdiri tepat di belakang Kankuro pada pertemuan itu. Kini Shikamaru mengerti, Sabaku membunuh Namikaze melalui Uchiha—tentu saja melalui ancaman. Yang membuat Shikamaru bingung adalah kenapa Gaara dengan santainya membeberkan semua kebenaran ini kepadanya? Shikamaru mengacak rambutnya dengan kasar—mencoba memecahkan kepingan-kepingan yang ada di kepalanya. Seketika itu matanya membualat semua. Kini Shikamaru mengerti. Gaara sudah berada pada batasnya. Gaara sudah kehabisan akal. Hanya satu yang akan dia akan lakukan. Ya, pasti … Gaara akan memiliki Naruto dengan paksa. Meskipun harus membunuhnya.

Shikamaru mengantongi ponselnya dengan kasar dan sesegera mungkin menaiki mobilnya. Dia harus memastikan bahwa Naruto berada jauh dari jangkauan Gaara.


Sasuke mengelap wajahnya menggunakan telapak tangan kanannya. Beberapa menit yang lalu semua kebenaran yang selama ini hanya tujuh puluh persen dia ketahui menjadi sempurna. Kedua telapak tangannya mengepal kuat saat dirinya kembali mengingat perkataan Kabuto barusan. Sasuke segera memasuki mobilnya dan menyalankan mesin dalam kendaraan roda empat berwarna hitam tersebut. Matanya menatap lurus ke jalanan di hadapannya dengan sangat lekat. Berusaha secepat mungkin untuk menemui Kakashi. Masih ada satu hal yang harus dipastikannya.

Sasuke memukul kemudinya dengan keras saat mengingat Gaara memeluk Naruto. Gaara, pria itu benar-benar telah melampaui batasnya. Sososk itu sudah berdiri pada ujung kewarasannya. Kesabarannya sudah habis, mencintai seseorang tanpa balasan apapun memanglah sangat menyakitkan dan entah kenapa Sasuke sangat mengerti apa yang Gaara rasakan. Sasuke sangat mencintai kedua orang tuanya, namun Sasuke mengerti kasih sayang memanglah bukan bidang yang tepat untuk Uchiha.

Sasuke menginjak remnya dengan sangat kuat dan keluar dari mobil itu begitu saja tanpa berniat mematikan mesinnya terlebih dahulu. Kakinya melangkah dengan tergesa-gesa menuju ruangan Kakashi. Pria berambut hitam kebiruan itu menggigit bibir bawahnya dengan pelan saat tangannya dapat meraih kenop pintu ruangan milik Kakashi. Tanpa berniat untuk mengetuknya terlebih dahulu Sasuke langsung melongos masuk, "Kakashi apa kau—?"

Sasuke mengerutkan keningnya dengan bingung saat mendapati ruangan Kakashi dalam keadaan kosong. Matanya beralih ke secangkir kopi yang masih mengepulkan asap—menandakan Kakashi belum lama meninggalkan ruangannya. Sasuke berjalan mendekati meja kerja Kakashi dan meraih sebuah amlop cokelat yang berada tepat di sebelah cangkir tersebut. Kembali, Sasuke mengerutkan keningnya bingung membaca nama yang tertera pada amplop tersebut.

Uzumaki Naruto

"Laporan kesehatan bulanan?" lirih Sasuke bertanya pada dirinya sendiri. Sasuke tahu jika membuka barang milik orang lain tanpa seijin Sang Pemilik sangatlah melanggar aturan. Namun dengan nama Naruto yang tertera di sana membuat keinginan Sasuke untuk membuka amplop tersebut semakin kuat. Dengan perlahan Sasuke membuka amplop tersebut dan membaca deretan aksara yang membentuk puluhan kalimat itu dengan seksama. "Naruto …" lirihnya saat menyadari apa yang baru saja diterima oleh otaknya. Tanpa berpikir dua kalipun Sasuke segera meninggalkan ruangan tersebut sembari membawa amplop tersebut menuju mobilnya.


Shikamaru mencoba menetralkan napasnya dengan sebelah mata yang terpejam—perutnya sangat sakit karena berlari dalam waktu yang cukup lama. Sebelah matanya menatap lekat sosok pirang yang ada di hadapannya. Kedua mata biru itu menatap balik manik hitam miliknya dengan tatapan yang sangat redup. Shikamaru mengutuk dalam hatinya. Dalam hatinya dia memohon maaf pada kedua Namikaze dan Uzumaki. Saat ini dia sedang berada di pemakaman kedua orang tersebut. Shikamaru yakin satu-satunya cara agar Naruto mau mendengarkannya hanyalah dengan cara yang sama kerasnya yang digunakan oleh Naruto.

"Apa yang kau inginkan, Shika?"

Shikamaru menggigit bibirnya dengan kuat mendengar nada dingin itu meluncur manis dari bibir Naruto. Dengan perlahan Shikamaru meraih pistol yang ada di balik jaketnya dan mengarahkannya tepat ke arah kepala Naruto. "Bekerjasama-lah denganku dan dengarkan rekaman ini dengan baik-baik. Kau boleh menolak permintaanku ini akan tetapi aku tidak yakin untuk tidak menumpahkan darahmu di atas kuburan kedua orang tuamu."

Naruto memicingkan matanya dengan tajam dan mengalihkan pandangannya pada ponsel yang dilempar Shikamaru tepat di hadapannya. Naruto mengeraskan rahangnya namun tak menghentikannya untuk mengambil ponsel tersebut. Dengan perlahan Naruto menekan tombol 'play' yang ada pada layar ponsel tersebut.

"Shika,"

Naruto mengerutkan keningnya dengan bingung saat mengenali suara yang merasuki indera pendengarannya. "Gaara?" batinnya. Naruto terus mendengarkan rekaman percakapan telepon tersebut dengan seksama. Sesekali tampak raut bingung di wajahnya. Setelah Naruto mendengarkan rekaman itu hingga selesai, matanya beralih ke Shikamaru yang masih dalam posisi yang sama. "Bagaimana aku bisa tahu jika ini bukan rekaman yang hanya kau buat-buat?" tanyanya tidak percaya.

"Itu asli, kau bisa melihat nomor ponsel yang tertera pada rincian rekaman tersebut," ucap Shikamaru tanpa mengalihkan pandangannya dari mata Naruto. Tak mendapatkan respon apapun dari Naruto, Shikamaru berusaha mendekati Naruto hingga mulut pistolnya tepat tertempel di dahi Naruto. "Kau masih belum percaya hal itu? Gaara memperalatmu, Nar—"

"Berhenti menginvasi daerah privasiku atau aku tidak segan-segan melukaimu, Shika." Naruto menggenggam dengan erat ponsel milik Shikamaru. Rahangnya mengeras—berusaha untuk tetap membuat suaranya tidak meninggi.

"Naruto, hentikan semua pembalasan dendam omong kosong ini!"

"Omong kosong kau bilang?! Hahaha oh betapa aku ingin menghancurkan mulut manismu Shika. Kau tidak tahu bagaimana penderitaanku selama in—"

"Aku tahu, brengsek! Aku tahu! Kau pikir aku tidak melihat apa-apa selama bertahun-tahun mengikutimu!"

Naruto menolehkan kepalanya membuat mulut pistol milik Shikamaru kini bertatapan langsung dengan pelipisnya. Dengan seringaian tipis pada bibirnya, Naruto mengeluarkan pisau lipat kecil yang selalu dibawanya dan menancapkannya pada punggung telapak tangan Shikamaru yang memegang pistol tersebut. Shikamaru yang terkejut tanpa sadar melepaskan pistol miliknya dan memegangi tangannya—mukanya tampak meringis menahan sakit. Naruto tersenyum tipis dan mengambil pistol Shikamaru yang terjatuh dengan cepat. Senyuman itu masih terpatri di wajahnya. "Kau pikir aku tidak berani mambunuhmu, huh? Baiklah akan aku buktikan bahwa aku tak setakut yang kau kira," ucap Naruto dan menarik pelatuk pistol tersebut.

Gema bunyi peluru yang lepas dari mulut pistol tersebut memenuhi udara pemakaman tersebut. Shikamaru menatap Naruto yang tersenyum kecil kepadanya dengan tatapan sendu. Tetesan air mata pada kedua mata Naruto tak membuat Shikamaru merasa lebih baik. Shikamaru hanya melihat wajah naruto yang tersenyum lebar ke arahnya, senyuman yang selama ini hilang dari bocah pirang tersebut. Kedua bola mata biru yang terus menitikkan air mata tersebut membuat Shikamaru memejamkan kedua matanya dan membiarkan tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.


Kyuubi membuka pintu rumahnya dengan pelan, kerutan kebingungan menghiasi dahinya saat melihat Kakashi sedang berdiri di hadapannya. "Kakashi? Apa Naruto membuat masalah lagi?" tanyanya sembari mempersilahkan Kakashi untuk masuk dan menyuruhnya untuk duduk di kursi. Saat Kyuubi dan Kakashi merasa nyaman dengan keberadaan satu sama lain, Kyuubi kembali angkat bicara, "Lalu apa kali ini yang membuatmu datang kemari?"

"Sudah seminggu lebih Naruto tidak datang menemuiku. Apa dia baik-baik saja di rumah?"

"Menemuimu? Setahuku Naruto tidak perlu menemuimu lagi karena ada dosen pengganti, 'kan?"

Kakashi mengerutkan keningnya bingung. Takut apa yang ada di pikirannya menjadi kenyataan, Kakashi memutuskan untuk bertanya langsung. "Ah, ya kau benar. Namun aku datang ke sini bukan karena hal itu. Maksudku, Naruto sudah seminggu melewatkan masa pemulihannya."

Kyuubi menatap Kakashi dengan tatapan tak mengerti. Apa maksud Kakashi dengan pemulihan. Naruto sakit? Tapi Naruto tak pernah membahas hal itu sekalipun dengannya. Kyuubi menggigit bibir bawahnya dengan pelan, "Apa maksudmu, Kakashi?"

Kakashi menghela napas. Ternyata benar, selama ini Kyuubi tidak pernah tahu masalah ini. "Kyuu, kumohon tenanglah saat mendengarkanku. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu, oke?" melihat Kyuubi mengangguk Kakashi melanjutkan omongannya, "Jadi, tiga tahun yang lalu, Tsunade membawa Naruto kepadaku. Tsunade yakin ada yang salah dengan Naruto. Dalam seminggu penuh Tsunade dan aku menempatkan Naruto di rumah sakit untuk penelitian labih jauh akan tingkah lakunya."

"Aku tidak tahu-menahu soal hal itu. Yang kutahu hanyalah dia berlibur dengan teman-temannya."

Kakashi memejamkan matanya. Pantas saja pada saat Naruto di rumah sakit Kyuubi tidak pernah mengunjunginya. Naruto hanya memberitahu mereka bahwa Kyuubi sedang sibuk dengan perusahaan. Kini Kakashi tahu, bukan karena Kyuubi sibuk melainkan Naruto tidak memberitahukan Kyuubi soal hal itu. "Selama seminggu mengawasinya kami mendapatkan beberapa kepastian. Naruto mengidap depresi akut yang membuatnya sangat tidak stabil. Aku selalu memperhatikan selama di kelas Naruto memang cenderung menutup diri dan selalu memandang ke luar jendela seakan-akan dia sedang berpikir keras. Beberapa hari kemudian kami pun mengetahui bahwa Naruto melampiaskan pemikiran kacaunya dengan cara menyendiri atau melampiaskannya terhadap orang lain—

—Naruto memintaku untuk segera mengeluarkannya dari rumah sakit. Tsunade dan aku setuju namun dengan syarat dia harus mengikuti sesi pemulihan sebanyak tiga kali dalam seminggu yang sudah kami setujui jadwalnya. Sesuai dengan janjinya, Naruto selalu datang menemuiku. Dalam sesi pembicaraan dia akan bertingkah biasa saja dan banyak tertawa. Setelah beberapa bulan akhirnya aku tahu bahwa pemicu depresi ini adalah kematian kedua orang tua kalian."

Kyuubi menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Naruto mengikuti sesi tersebut sudah tiga tahun lebih namun dia tidak mengetahuinya sama sekali. Kakak macam apa dirinya. Kyuubi merasa telah gagal dalam membesarkan dan menjaga Naruto. Persetan dengan Naruto yang dengan sangat baik menyembunyikan semua rasa sakit yang di deritanya. "Ka-Kakashi a-aku tidak tahu harus apa …"

"Aku sangat senang saat Naruto mengalami peningkatan yang sangat baik. Namun dalam beberapa bulan ini keadaan Naruto semakin memburuk. Seakan-akan ada hal yang kembali memicunya untuk tenggelam dalam kematian orang tua kalian. Hingga akhirnya seminggu ini dia berhenti untuk menemuiku."

Kakashi dan Kyuubi terselimuti dalam keheningan saat Kakashi mengakhiri kalimatnya. Kyuubi mengacak rambut merahnya dengan kasar. Menerima semua informasi menyakitkan itu membuatnya mual. Naruto yang sedang tak berada di rumah sama sekali tak membantu menyurutkan kekhawatirannya. Ketukan kuat berkali-kali pada pintu rumah Kyuubi membuat baik Kyuubi maupun Kakashi terlonjak kaget.

Kakashi menggelengkan kepalanya ke arah Kyuubi—menyuruh Kyuubi untuk tetap duduk. Kyuubi menganggukkan kepalanya dan membiarkan Kakashi membukan pintu bagi siapapun itu yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya.

Kakashi membuka pintu tersebut dan mengangkat sebelah alisnya dengan bingung saat melihat Sasuke sedang berdiri di hadapannya sembari memegang laporan kesehatan milik Naruto. "Sasuke? Kenapa benda itu ada di tanganmu?"

Sasuke menatap Kakashi dengan lekat dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Raut kebingungan tak meninggalkan wajah Kakashi saat matanya menangkap Sasori yang sedang tergesa-gesa berlari ke arahnya. "Sasori? Ada apa?" tanyanya dengan pelan—sepelan mungkin agar Kyuubi tak mendengar percakapan mereka.

"Na-Naruto."

"Ada apa dengan Naruto?"

"Naruto … Shikamaru, Naruto menembak Shikamaru. A-Aku menemukan Shikamaru tergeletak tepat di hadapan pemakaman Namikaze dan Uzumaki."

Kakashi membulatkan kedua matanya. Hal yang sama terjadi pada Sasuke. Sasori sama sekali tak menyebutkan hal itu pada saat di dalam mobil tadi. "Apa maksdumu!" teriak Sasuke sembari menarik kerah baju Sasori dengan kuat.

"Uchiha."

Sasuke terdiam, mencoba mencerna suara yang baru saja memasuki indera pendengarannya.

"Lepaskan Sasori, brengsek."

Sasuke melepaskan Sasori dengan perlahan dan menolehkan kepalanya ke arah suara tersebut. Sasuke menatap lega ke arah Naruto yang sedang tersenyum lebar ke arahnya. Berbeda dengan Kakashi dan Sasori yang menatap Naruto dengan tatapan terkejut.

Sedetik kemudian mata Sasuke memicing tajam saat menyadari apa yang berada di genggaman tangan Naruto. "Naruto, letakkan benda itu sekarang juga."

Naruto tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. Naruto memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar ke arah Sasuke. "Siapa dirimu sehingga aku harus mendengarkan omonganmu, huh? Uchiha kau benar-benar menggelikan." Lagi-lagi tawa mengerikan itu keluar dari mulut Naruto. Mambuat Kakashi dan Sasori memejamkan kedua mata mereka.

"Naruto?"

Senyum Naruto hilang seketika itu juga saat matanya menangkap Kyuubi yang sedang berdiri tepat di belakang Kakashi. "Hai, Kyuubi. Sebaiknya kau masuk jika hatimu terlalu lemah untuk melihat adegan ini," ucap Naruto dengan nada riang. Senyuman itu kembali terukir di bibirnya.

Kyuubi membulatkan matanya. "Naruto! Letakkan benda itu sekarang juga!"

"Bagaimana dengan jawaban tidak? Berhenti bersikap baik pada Uchiha! Kau tahu jika mereka yang membunuh Mom dan Dad!"

Kyuubi terdiam. Pertama kalinya Naruto berani berteriak kepadanya dalam keadaan penuh amarah seperti. "Naruto, kumohon hentikan semua in—"

"Heh, teruslah bermimpi Kyuubi. Maaf, tapi aku sudah mambunuh Naruto yang selalu mendengarkanmu. Aku membunuhnya. Dia tidak berguna. Dia tidak bisa menciptakan keberanian dalam diriku." Naruto tersenyum miris. Tak memedulikan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. "Lihat, bahkan setelah aku membunuhnya dia masih bisa membuatku mengeluarkan air mata bodoh ini."

Tatapan Kyuubi melembut. Dengan perlahan dia berjalan dan berhenti tepat di hadapan Sasuke. Senyuman tipis yang begitu ihklas terukir di bibirnya. "Naru, jika kau ingin membalaskan dendammu, balaskan padaku. Akulah yang harus kau bunuh. Akulah yang menyembunyikan semuanya darimu dan bukan Uchiha."

Air mata Naruto semakin deras. "Kau pikir aku tidak berani membunuh kalian berdua? Hanya karena kau bersama Itachi tidak akan membuatku mundur untuk menanamkan peluru ini di kepala Uchiha yang ada di belakangmu."

"Naruto, hentikan ini semua. Kau sudah keterlaluan." Kini Kakashi angkat bicara, muak dengan kesalah-pahaman bodoh yang ada di hadapannya. "Kau harus tahu bahwa semuanya tidak seperti yang kau pikirkan."

"Aku tidak peduli. Aku tidak akan pernah bahagia tanpa membunuh kedua Uchiha itu."

Kakashi tahu kata-kata tidak akan mampu menembus otak Naruto. Kakashi harus melakukannya dengan tindakan. Tindakan yang mampu membuat Naruto berhenti sejenak. Namun belum sempat Kakashi melangkahkan kakinya. Sasuke berbicara, "Dobe …"

Naruto hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arah Sasuke.

"Kau berjanji akan bahagia jika aku mati?"

"Tentu saja, brengsek."

"Hn, lakukan."

Naruto yang mendengar pernyataan Sasuke tersenyum lebar dan menggenggam pistol yang di tangannya dengan erat.

"Sasuke apa yang kau maksud!" teriak Kyuubi dan Kakashi bersamaan.

"Kyuu-nii! Menyingkirlah, untuk yang terakhir kalinya. Menyingkirlah atau kau akan mati bersamanya."

Kyuubi mengeraskan rahangnya saat mendengar perkataan Naruto. Namun tak berniat untuk beranjak dari posisinya. Melihat hal tersebut Naruto tersenyum sangat lebar.

"Aku rela mati untuk kebahagiaannya, kebahagiaan yang hilang dari kedua mata biru indah itu. Aku ingin menghapus warna redup yang menyelimuti kedua mata itu. Jika kau tanya apa alasannya, aku yakin aku tidak mempunyai jawabannya untuk saat ini," lirih Sasuke pelan namun mampu di dengar dengan jelas oleh Kyuubi, Kakashi dan Sasori.

Kyuubi menolehkan kepalanya ke belakang dan melihat Sasuke tersenyum tipis ke arahnya. Belum sempat Kyuubi membalas senyuman itu, suara peluru menembus udara menggema di telinganya. Kyuubi membulatkan matanya. Matanya sempat melihat darah yang mengalir dari bibir Sasuke yang menyinggungkan senyuman sebelum akhirnya dia ambruk ke tanah.

"Na … ru … to …"

Kyuubi masih mampu mendengar lirihan Sasuke. Nama yang keluar dari mulut Sasuke itu membuatnya lenyap dalam ketidak sadaran.


BERSAMBUNG …