Pair : Gaara x Tenten

Genre : Romance, Fantasy, a bit of Humor—might more or less than "a bit"

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto, She is a Psychic © Izumi Nairi :D

Rate : K+

Story's note : AU, court-centric, some out of character—I hope no…


She is a Psychic

Chapter 15

.

Tenten menarik napas panjang. Ini kali pertama dia berada di luar kediamannya setelah dua minggu lebih tidak diperbolehkan meninggalkan kamar oleh tabib istana—yang dia yakin pasti atas perintah Sang Kaisar. Nyaris saja dia berpikir Gaara berusaha mengurungnya supaya dia tidak kabur lagi dari Istana, lalu kemudian dia berpikir Gaara tidak mungkin melakukannya.

Sekarang dia sedang duduk-duduk sendirian di gazebo di taman istana, tidak ada niat untuk kabur atau semacamnya, jadi pasti—semoga, tambahnya dalam hati—Gaara tidak akan marah saat melihatnya.

Dia melirik ke salah satu lorong di dekat taman, memastikan Ino dan Kurenai maupun beberapa pengawal tidak beranjak dari tempat mereka—yang dia inginkan sebenarnya cuma menghirup udara bebas, jauh dari orang-orang yang melihatnya dengan sorot mata, dia tidak terlalu yakin, kasihan atau sedih atau khawatir. Atau malah curiga.

Satu-satunya orang yang bisa dengan nyaman dia ajak bicara adalah Tsunade, dan setelah dia mendengar kabar bahwa pembersihan dari para pemberontak yang belum tertangkap sudah hampir selesai, cenayang legendaris itu pulang ke Utara dengan Yugao.

Meskipun ada dua dayang yang senantiasa menemani dan mendukungnya, Ino dan Kurenai, dia merasa menceritakan uneg-unegnya pada mereka tidak akan menyelesaikan masalah. Malah mungkin akan membuat pikirannya bertambah runyam karena kekhawatiran mereka yang makin menjadi-jadi, terlebih setelah tabib mendiagnosisnya kemungkinan akan ada trauma psikis yang akan berdampak di masa depan—membuatnya seolah-olah jadi lemah mental dan semacamnya—dan menyebabkan semua orang di sekitarnya heboh sendiri. Tentu tidak bagi Tsunade, karena dia tahu apa yang Tenten alami.

Tenten tahu apa yang dia alami, apa yang dia rasakan, dan apa yang akan dia lakukan kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya. Dia sudah melakukan berbagai hal, dari rasional hingga hal paling konyol yang tidak bisa diterima bahkan oleh akal sehatnya—setelah dia melakukannya, dan dengan sedikit pengalamannya di masa lalu dalam menghadapi masalah, Tenten pikir cukup meyakinkan kalau dia memutuskan dirinya baik-baik saja.

Meskipun terkadang dia mimpi buruk, terlebih sampai sekarang dia belum melihat Neji—surat yang diterimanya, sense yang diterimanya mengatakan lelaki bermata pucat itu baik-baik saja, tapi itu tidak cukup.

Lagi, dia menghela napas, membiarkan rongga dadanya terisi oleh udara musim dingin yang menusuk daging dan tulangnya kalau saja dia tidak dibalut kimono dan selimut tebal yang dia pakai. Lagi, dia membayangkan berada di Utara dan melakukan hal yang sama seperti sekarang, di serambi depan rumah Tsunade, ditemani teh yang masih mengepulkan asapnya, melihat ke arah Yugao yang tengah bermain-main dengan kelinci yang mereka pelihara. Tsunade akan terus memejamkan mata, kemudian mengatakan beberapa nasihat padanya tentang "bagaimana caranya menjalani kehidupan senormal mungkin." Dia hanya terdiam, mendengarkan semua ucapan Tsunade, menganggukkan kepala, lalu menanyakan beberapa hal tentang "normal" ketika dia sendiri sudah merasa ketidaknormalannya adalah hal yang normal. Yang dia tahu, Tsunade tidak pernah mengatakan apapun setelah itu, hanya tersenyum singkat, kemudian masuk ke dalam rumah sambil membawa cangkir tehnya.

Kalau saja dia tidak pergi bersama Neji dan harus membawa lelaki itu ke istana untuk mendapatkan perawatan karena luka-lukanya—kalau saja dia pergi sendirian, mungkin sekarang ini dia sedang duduk di serambi rumahnya dan melihat Yugao dan Tsunade—

"Akh!" serunya tanpa sadar. Dia mengetuk-ngetuk dahinya pelan dengan telunjuknya. "Bagaimana kau bisa berpikir soal itu lagi, Tenten?"

Dia menyandarkan kepalanya pada salah satu tiang gazebo, kemudian memejamkan matanya. Membayangkan apa yang baru saja dia pikirkan, mencoba melihat memori masa lalunya dalam pikirannya.

Senyumnya terkembang tipis. Meski samar-samar, dalam balutan putih nyaris abu-abu dia bisa melihat jalan setapak yang dikelilingi pepohonan yang biasa dia lewati ketika dia pergi ke pasar dari rumah Tsunade. Tidak ada bekas sepatu di jalanan yang terselimuti salju tebal. Dia menoleh ke belakang, dan menemukan pemandangan yang sama.

Keningnya mengernyit tipis.

"Hei."

Perasaan ragu yang sempat menghampirinya hilang sudah. Sekarang dia tahu kenapa dia tidak bisa berkonsentrasi.

Tenten membuka mata, sejurus kemudian dia melihat manik jade begitu dekat dengannya, nyaris tak berjarak.

Wajah Gaara yang hanya beberapa belas senti dari Tenten segera menjauh, kemudian Gaara duduk di sebelah Tenten yang terus menatap ke arahnya tanpa ekspresi.

"Apa yang kau lihat?" tanya Gaara.

Tenten mengerjap, seakan baru tersadar dari ilusi di pikirannya.

"Yang Mulia."

"Kau melihatku?"

Tenten menggeleng. "B-bukan—" dia berhenti sedetik "—maksudnya—maksud saya, saya menyapa Yang Mulia. Saya… saya tadi hanya sedang melamun. Memikirkan sesuatu—bukan sesuatu yang penting—saya tidak melakukan apa-apa."

Gaara mengernyit. "Kau baik-baik saja?"

Tenten terdiam, mengerjap-ngerjapkan matanya seiring dia memikirkan apa yang baru saja dia katakan. Mungkin yang dikatakan tabib istana benar—dia mungkin punya penyakit kejiwaan aneh yang membuatnya berkata dan berlaku aneh sewaktu-waktu. Herannya—dan menyebalkannya, batinnya—itu hanya terjadi kalau dia sedang bersama dengan Gaara. Tidak memperdulikan penyebabnya, dia akan mencari solusi agar bisa menyembuhkan penyakit aneh ini, paling tidak dia tidak mau Gaara percaya dengan diagnosis si tabib.

"Kau seharusnya tidak keluar saat dingin seperti ini," kata Gaara lagi. "Dan kondisimu belum sepenuhnya pulih."

"…"

"Kau baik-baik saja, kan?"

Tenten mengangguk.

Gaara menunggu Tenten mengatakan sesuatu. Namun saat menyadari Tenten juga tengah melakukan hal yang sama, akhirnya dia membuka suara, "Kiba dan yang lainnya berhasil menemukan bukti-bukti kuat keterlibatan Danzo dengan para pemberontak di Utara beberapa hari terakhir ini. Kesaksian dari beberapa menteri yang berkhianat—juga sudah dipertimbangkan dan dibuktikan keasliannya karena ada berkas penting yang ditemukan. Kiba mengatakan itu berkas mengenai catatan pertemuan Danzo dengan panglima pemberontak di Utara."

"Sidang berikutnya akan dilaksanakan seminggu lagi, tapi bisa saja lebih cepat kalau Danzo mau mengaku—tentu saja dia tidak akan melakukannya."

Tenten menatap Gaara, menyadari air muka Sang Kaisar begitu letih dan sangat kelelahan, seperti tidak tidur berhari-hari. Dia bisa saja melihat apakah Gaara benar-benar tidak tidur atau tidak, rasanya tidak perlu. Dia sudah tahu.

"Tsunade-sama pernah menyebutkan Uchiha Madara padaku sebelumnya. Kau… kalau kau masih ingat dengan telepati atau apapun itu yang kau lakukan dengan Tsunade-sama—" Gaara berhenti sebentar, "—saat itu, mengatakan dia seperti dijebak, atau melakukan pemberontakan karena terpaksa. Kau tahu, tentu saja, kalau tanpa bukti apa yang kau katakan tidak akan menghasilkan apapun. Tapi, tentu saja, aku akan menyuruh pengawalku melakukan yang terbaik. Kau yang bilang sendiri, soal keadilan dan semacamnya."

"Saya cuma mengutip ucapan Sang Kaisar terdahulu, Yang Mulia," kata Tenten.

Gaara melirik Tenten yang tersenyum kecil kepadanya.

"Yang Mulia adalah orang paling kuat yang pernah saya temui," kata Tenten lagi. "Setelah kepergian ayahanda Yang Mulia, Yang Mulia harus menanggung beban sebagai seorang kaisar meskipun baru seusia saya, kemudian bertemu dengan saya yang begitu kekanakan dan dengan seenaknya sendiri—"

"Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak membahas soal itu lagi," potong Gaara tajam.

"…dan Yang Mulia harus menghadapi pemberontakan yang terjadi beberapa waktu lalu di Utara," lanjut Tenten, dengan suara lebih lirih dari sebelumnya. "Ibu Suri sedang sakit, Temari-sama dan Kankurou-sama sedang tidak berada di Istana. Yang Mulia harus menghadapi semuanya sendirian."

"Itu sebabnya tou-sama menyuruhku untuk menggantikannya sebagai kaisar," kata Gaara datar.

"Itu karena Yang Mulia memang berhak mendapatkannya. Orang lain… tidak akan sebaik Yang Mulia," ujar Tenten.

Gaara menatap Tenten yang mengulum senyum, kemudian berkata, "Terima kasih banyak, Tenten."

Mata Tenten membulat. Dia segera mengalihkan pandangannya ke jemarinya yang saling mengatup rapat di atas pangkuannya. Tiba-tiba dia merasa tidak kedinginan seperti sebelumnya. Mungkin musim semi datang lebih cepat—

"Sidangmu dimulai besok."

—atau tidak.

"Iya, Yang Mulia."

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Gaara.

"Saya…" Tenten tidak melanjutkan ucapannya. Apa yang sebenarnya dia pikirkan, yang sebenarnya dia rasakan, bahkan dia sendiri tidak yakin. Saat dia mengatakan pada Gaara kalau dia pantas dihukum, pantas diasingkan, dan pantas untuk menunggu selama beberapa tahun sebelum bersama Gaara dan tidak akan pernah beranjak dari sisi Sang Kaisar lagi, saat itu dia masih setengah sadar—beberapa hari pingsan, dan langsung bertemu Gaara, membuatnya bisa mengatakan bahkan hal paling tidak mungkin sekalipun. Saat ini, ketika dia sadar kalau semuanya sudah kembali seperti semula, saat dia sudah benar-benar sadar dia sudah berada di Istana, melihat Gaara, dan bahkan bisa menyentuhnya hanya untuk memastikan bahwa Gaara bukanlah bayangan belaka, semuanya akan pergi. Dia harus pergi.

"Beberapa tahun," ucap Gaara, menerawang langit kelabu. "Bukan waktu yang sebentar dibandingkan saat itu.

"Setelah aku yakin aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan," lanjut Gaara, "mendapatkanmu, fakta menyakitkan muncul, memberitahuku kalau kau akan pergi. Kau tahu, bukan pemberontakan ini yang membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak, makan dengan nyaman, atau bernapas tanpa merasa sesak."

"Saya… akan baik-baik saja, Yang Mulia," Tenten—dia sendiri tidak terlalu yakin, apakah sedang berusaha menghibur Gaara atau meyakinkan dirinya sendiri. "Paling tidak, saya akan aman di sana. Paling tidak, Yang Mulia tahu saya ada di mana."

"Kau tahu aku bisa melakukan apapun untuk membuatmu tetap berada di sini," kata Gaara, tidak mendengar ucapan Tenten. "Kau tahu kau bisa memintaku melakukannya, dan jika kau lakukan, akan dengan senang hati aku kabulkan."

Tenten menoleh.

"Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi, karena kau tidak akan pernah memintanya. Karena, kau juga tahu, itu tidak akan pernah berhasil. Tapi paling tidak—" Gaara berhenti bicara.

Hati Tenten mencelos. "Yang Mulia—"

Gaara kali ini memutar badannya ke arah Tenten, membalas tatapan Sang Permaisuri. "Aku harus memimpin Suna sampai aku meninggalkan dunia ini," kata Gaara lamat-lamat. "Aku tidak akan bisa menghadapi semuanya sendirian—lagi."

Melihat mata jade Gaara yang menghunus ke arah hazel-nya dengan intens membuat Tenten tidak bisa mengatakan apapun. Mereka pernah membahas soal ini sebelumnya, tapi belum pernah Tenten melihat Gaara sebegitu putus asa dan hilang harapan seperti sekarang. Lidahnya kelu, pikirannya buntu, dan matanya mulai menghangat.

Tes…

"Ma-maafkan saya, Yang Mulia," bisik Tenten. Entah dia minta maaf karena "tanpa ijin" menangis di hadapan Gaara, atau karena dia membuat Gaara sedih.

Tenten menghapus jejak air matanya yang sempat lolos beberapa detik lalu, mengucek matanya yang berair dan sedikit memerah, lalu menarik napas panjang. Dia tidak mau membiarkan Gaara melihatnya seperti ini—harusnya dia menyemangati Sang Kaisar, memberi dukungan sebagaimana yang seorang permaisuri harus lakukan, bukan sebaliknya.

"Maaf," kata Tenten dengan suara lebih jelas. "Se-seharusnya saya tidak boleh seperti ini."

"Kau boleh menangis sesukamu," ujar Gaara setelah bergeming cukup lama. "Kau boleh terlihat lemah, menangis, melakukan apapun yang kau inginkan. Kau boleh terlihat kuat untuk membuatku percaya kalau kau baik-baik saja—aku akan mempercayaimu. Selama itu tidak menyakiti dirimu sendiri, selama kau bahagia, kau boleh melakukan apa saja."

Bibir Tenten bergetar. Dia langsung menangis sejadi-jadinya, seakan-akan itu adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan. Dia meluapkan segala emosinya, segala perasaannya ke dalam tangisannya, air matanya, meskipun dia harus tercabik ketika melihat ekspresi Gaara yang begitu menyedihkan. Dia tidak peduli dengan orang lain selain dirinya dan Gaara saat itu, tidak peduli para dayang dan pengawal kerajaan mendengar tangisannya yang keras.

"Saya juga ingin melihat Yang Mulia bahagia," rengeknya. "Saya juga ingin melihat Yang Mulia mendapatkan apa yang Yang Mulia inginkan…"

Tangisannya melemah—energinya nyaris terkuras, terlebih dengan kondisi tubuhnya yang masih belum sepenuhnya membaik. "Tapi kita tidak bisa—Yang Mulia tidak bisa melakukannya. Kita tidak boleh egois, tidak boleh memikirkan diri sendiri. Tapi di sisi lain—saya—" Tenten menggigit bibirnya, "Yang Mulia adalah salah satu orang terbaik yang pernah saya temui. Saya sangat mengagumi Yang Mulia. Saya… benar-benar mengagumi Yang Mulia."

Meskipun air matanya masih mengalir di kedua pipinya, dia mulai mencoba menguasai diri. Dia tidak ingin memperpanjang ke-melankolis-annya dan membuat Gaara makin bersedih. Dia menarik napas panjang, kemudian berkata dengan suara bergetar, "Sa-saya…" Tenten sesenggukan, "benar-benar tidak ingin pergi dari sisi Yang Mulia."

Dia bisa merasakan kedua tangannya tidak sedingin beberapa waktu lalu. Gaara dengan lembut meraih tangannya, meskipun masih terasa canggung. Sang Permaisuri tanpa ragu langsung membalas genggaman Sang Kaisar dengan erat, membiarkan pipinya yang basah merona merah dan menghangat. Dia ingin membiarkan semua emosinya terlihat oleh mata jade Gaara, terpeta jelas dalam ekspresi wajahnya yang sembab, seolah mengatakan kalau Gaara akan selalu memiliki dirinya, meskipun jarak, waktu, hukum, bahkan seluruh dunia memisahkan mereka, dan bahwa perasaan mereka satu sama lain mutual.

Baik Gaara maupun Tenten, tak satupun dari keduanya mengucapkan sepatah kata apapun lagi. Mereka hanya saling bertatapan satu sama lain dalam diam.

.

—The End—

.


Author's note: hallo, terima kasih banyak karena sudah men-support, baca She is a Psychic yang updatenya sering—selalu—ngaret dan lama banget, banyak typo dan ketidakjelasan plot—yang intinya banyak kekurangan karena ketidakprofesionalan penulis fanfic amatiran ini (_ _) terima kasih bagi yang sudah membaca, mereview, fave, memberi kritik saran membangun supaya saya lebih baik—dan saya akan terus berusaha untuk lebih baik di projects selanjutnya. Terima kasih kepada Jelliesdewi, akira ken, namika ashara, Yumeiko21 Fumasaki, yoshikohamano, Yuhiko-Chan, Ran Megumi, LadyElvish, .5, nejitenchan, Eva ryuki, guestNSL, yg ingin tahu, hera-chan, Name khusnul, yamanaka tenten, satennejyp, lanjutkan, dan semuanya yang udah review di chap-chap sebelumnya.

Sekian dari saya, dan sampai jumpa di project berikutnya \(^o^)/


.

Epilogue

.

"Yang Muliaaaaaaa….!"

Tenten yang tengah menyapu di depan rumahnya menoleh, lalu tersenyum manis ketika Ino setengah berlari ke arahnya sambil membawa barang yang gadis bermata aquamarine itu beli dari pasar. Namun matanya menyipit ketika melihat Ino melambai-lambaikan secarik kertas ke udara.

"Apa itu, Ino-san?" tanyanya ketika Ino melewati berjalan memasuki halaman.

"Setelah sekian lama, Yang Mulia," jawab Ino sambil mengatur napasnya. "Akhirnya Neji-sama membalas surat Yang Mulia."

Tenten terbelalak. Bibirnya menyulum senyum lebar sebelum mengambil surat yang diserahkan Ino kepadanya. Dia menatap amplop putih tulang dengan sketsa bunga matahari yang bertuliskan namanya. Tulisan dengan tinta hitam yang kaku dan rapi—benar-benar khas Neji, batinnya. "Akhirnya…"

Dia membuka amplop Neji, lalu mulai membaca isi suratnya.

.

.

Tenten-san,

karena kau tidak memperbolehkanku menyebutmu dengan panggilan "Yang Mulia" atau "Kōgō-heika",

Maaf karena aku baru membalas suratmuada beberapa hal yang perlu aku pertimbangkan, meskipun sebenarnya aku tahu aku tidak perlu melakukannya. Semoga kau masih menunggu balasan dari surat yang kau kirimkan untukku, dan semoga setelah ini kau mau membalas suratku ini.

Aku baik-baik saja. Keadaanku jauh lebih baik setelah meninggalkan istana beberapa tahun yang lalu. Tabib istanadan Tsunade-samabenar-benar melakukan hal yang hebat.

Sekarang ini, aku sedang berkelana di sekitar Suna Barat, tetapi setelah aku mengirimkan surat ini padamu, saat kau membaca surat ini, kemungkinan aku sudah berada di Iwa. Aku akan menetap di sana selama beberapa tahun, kemudian akan pergi ke negara lain. Mungkin aku akan membelikan beberapa cenderamata untukmu, kalau kau tidak keberatan.

Aku tidak yakin kapan akan kembali ke Suna, namun aku sangat berharap bisa bertemu denganmu lagi, bisa meminta maaf dan berterima kasih kepadamu secara langsung.

Tenten-san, sekali lagi aku ucapkan terima kasih banyak karena kau telah menolongku. Mendengar apa yang kau lakukanmendengarkan semua yang telah kau lakukan, aku tidak bisa mengharapkan seorang permaisuri Suna yang lebih baik daripada dirimu. Kau mengorbankan nyawa dan pilihanmu demi menyelamatkan hidupku, dan aku tidak bisa memberikan apapun yang pantas untuk membalasmu.

Aku sangat berharap kau hidup bahagia bersama Tennō-heika, kau selalu sehat, dan tetap menjadi permaisuri Suna yang luar biasa.

Salam hangat,

Hyuuga Neji.

.

.

"Yang Mulia."

"Ada apa?" tanya Tenten. Dia kembali memasukkan surat Neji ke dalam amplop, lalu menoleh.

Ino tampak ragu-ragu sebelum akhirnya dia berkata, "A-anda… menangis."

Tenten mengerjap. Dia segera menghapus air matanya, lalu tersenyum kecil. "Aku hanya senang bisa mendengar kabar Neji-sama. Neji-sama sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, dan aku sangat bahagia saat tahu dia kalau baik-baik saja. Setelah ini, aku pikir aku akan membalas suratnya."

"Saya akan mengantarkannya ke kantor pos setelah Yang Mulia selesai menulis, kalau begitu," tukas Ino.

Tenten menganggukkan kepala. Dia meletakkan surat Neji di teras rumahnya, kemudian melanjutkan menyapu halaman.

"Yang Mulia?"

"Hm?"

Tenten kembali melihat Ino yang sedang memperhatikannya. "Tinggal beberapa minggu lagi sebelum Yang Mulia kembali ke istana," kata Ino. "Dan sekarang, para pengawal istana pasti tengah bersiap-siap. Semua orang di Istana pasti sedang menyiapkan semuanya untuk menyambut kedatangan Yang Mulia."

"Aku tahu," kata Tenten, "kalau bukan itu yang sebenarnya ingin kau katakan, Ino-san."

Tenten menyandarkan sapunya pada salah satu batang pohon, kemudian duduk di samping Ino. "Aku tidak akan merasa canggung saat berada di Istana nanti, karena aku, saat berada di sini, merasa kalau ini tidak akan berlangsung lama, dan kehidupanku yang sebenarnya adalah di Istana. Walaupun aku merasa nyaman berada di sini—maksudku, tempat ini seperti rumahku di Utara, lalu ada kau yang mau menemaniku menggantikan Kurenai-ba-san—aku tidak pernah berpikir kalau di sini lebih baik dari pada di Istana—aku tidak boleh, dan tidak akan memikirkan hal seperti itu.

"Aku… ingin seperti Kurenai-ba-san dan Asuma-sama, seperti dirimu dan Kiba-sama," dia melirik Ino yang memerah, kemudian tersenyum tipis, "seperti Yugao-nee-chan dan Kakashi-sama. Aku ingin punya kisah yang memiliki akhir yang bahagia, meskipun aku harus menunggu sampai bertahun-tahun sekalipun."

"Yang Mulia pasti akan memiliki akhir yang bahagia," kata Ino spontan. "Jangan menyerah, Yang Mulia!"

Tenten terkekeh. "Sudah, jangan dilanjutkan. Kau akan menangis lagi seperti kemarin kalau kita terus-terusan membicarakan soal ini. Hari ini giliranmu membereskan rumah. Cepat kerjakan, ya, setelah ini aku akan memasak."

Ino mengangguk, kemudian segera masuk ke dalam.

Tenten menghela napas. Dia memejamkan matanya, sembari membayangkan Gaara yang memandangi langit musim gugur. Senyumnya terkembang saat matanya bertemu pandang dengan mata jade Gaara yang seolah sedang menatapnya, dan perlahan air matanya kembali menetes ketika dia membaca gerakan bibir Gaara, "Aku juga merindukanmu, Tenten."

.

—The End, really—

.