Title : Wound Inside
Disclaimer : Inspirasi dan plot dasar berasal dari Manga Sho-Ai Lovely Sick karya Ohmine Shouko. Karakter yang digunakan milik diri mereka masing-masing, saya hanya meminjam visualisasi dan FF ini merupakan karya saya.
Cast : DBSK Members
Pairing : Yunjae
Rate : T+ / M
Genre : Romance (+Hurt Comfort)
Warning : Yaoi, (could be) Pedophilia contain, not-betaed (kemungkinan besar terdapat kesalahan penulisan di berbagai tempat)
Summary : Kim Jaejoong, bocah berumur 17 tahun yang diselamatkan dan diadopsi oleh Jung Yunho, seorang dokter muda 5 tahun lalu dari sebuah kecelakaan maut. Kehilangan kedua orangtua membuat kepribadian periang Jaejoong berubah 180 derajat. Ketus, pendiam, penyendiri dan egois berkebalikan dengan Jung Yunho yang kalem, ceria serta ramah. Walaupun begitu Yunho tetap mencintainya, lebih dari apapun.
[NOTE]
Jung Yunho – 27 tahun
Kim Jaejoong – 17 tahun
5. Imperfect
Jaejoong mulai muak.
Wortelnya hancur menjadi gumpalan oranye, bercampur dengan nasi yang juga telah bernasib sama. Tiga puluh menit berlalu sejak jemari Jaejoong bergerak monoton menusuk makanan di depannya asal dengan garpu tanpa menyuap satupun masuk ke mulutnya. Sementara pikirannya berkelana jauh, makan siangnya tak lagi berbentuk—untuk yang kesekian kalinya.
Pagi ini dia bangun dalam keadaan yang sama—sunyi. Yunho telah lama pergi ke rumah sakit meninggalkan sup ayam tanpa notes apapun di atas meja. Memandang kosong pada seragam yang terlipat rapi di samping kasur sementara alarm-nya berbunyi nyaring belum dimatikan. Lagi, menambahkah satu lagi hari dalam kalender maya dalam kepalanya, hari ke tujuh tepat setelah kejadian hari itu.
Dia tidak lagi merasa takut. Perasaan takutnya malam itu telah berubah menjadi bingung ketika matahari terbit. Kakinyaa melangkah gontai, merasa linglung. Tidak ada yang benar-benar dia pikirkan, bahkan Jaejoong sendiri tak terlalu mengerti alasan dia merasa bingung. Entah karena perasaan baru atau pengalaman baru, atau mungkin keduanya.
Awalnya hanyalah bingung, sekedar itu.
Tapi saat matahari beranjak dari satu timur ke timur lainnya, perasaan itu berubah menjadi rasa resah dan bersalah. Yunho jelas menghindarinya, lebih lama dari yang dia harapkan. Hari bergerak maju meninggalkan kondisi yang masih sama. Tidak ada lagi kecupan sebelum tidur, ucapan selamat pagi, atau bahkan sekedar senyuman. Demi Dewa! Bahkan satu-satunya kesempatan dia dapat melihat Yunho hanya saat matahari telah lama tenggelam. Mencuri-curi kesempatan di tengah malam ketika Yunnie-bear nya telah terlelap tidur.
Tangannya kembali menusuk satu potongan wortel besar yang tersisa dengan garpu. Tidak, saat ini Jaejoong tidak lagi merasa takut, bingung atau resah. Satu minggu berlalu dan perasaan itu telah berubah menjadi jengkel—yang perlahan tapi menyakinkan berubah menjadi marah. Apa yang Yunho pikirkan? Kenapa Yunho terus menghindarinya? Rutuknya dalam hati kesal. Satu minggu ini jelas tidak mudah. Setiap gerakan yang dia lakukan tiap kali merambati dinding menuju kamar mandi, tertatih menuruni tangga, maupun hanya sekedar merentangkan tubuh mencoba meraih buku tanpa menggunakan kakinya membuat tubuhnya luar biasa melelah. Tapi yang terburuk betapa dia sudah sangat-sangat rindu.
Dan entah mengapa itu membuatnya semakin kesal.
Perlu dua tarikan nafas panjang untuk meredam hasrat melempar garpu itu pada dinding di depannya. Menenggelamkan wajahnya pada kedua tangan, mencoba menenangkan pikiran. Marah adalah perasaan yang asing bagi Jaejoong. Dia bukan anak yang temperamental sejak kecil, sedikit sulit tapi bukan pemarah. Hanya ada sedikit memori dia pernah merasa semarah ini, itupun sekedar samar.
"Er... Jaejoong?" Suara Junsu terdengar ragu dan hati-hati. Merasakan beberapa hari terakhir mood sahabatnya itu sedang jelek dan semakin buruk saja. Berulang kali dia mendesak Jaejoong untuk bercerita, bermain dengannya, atau apapun untuk membuat sosok itu setidaknya sedikit ceria—yang hanya dibalas dengan senyum tipis penolakan serta ucapan terimakasih, berkata bahwa dia baik-baik saja. Tapi jelas masalah apapun yang Jaejoong punya, belum memiliki jalan keluar.
"Sori," helaan nafas berhembus dari bibir Jaejoong.
Mengerutkan dahi, temannya itu terdengar lelah. "Kau butuh istirahat? Aku bisa memintakanmu ijin untuk jam berikutnya," tanya Junsu khawatir.
Jaejoong kembali hanya memberikannya sebuah senyuman, "Aku tidak apa-apa, Junsu." Mendorong piringnya menjauh. Itu juga salah satu hal yang membuat Junsu begitu khawatir, beberapa hari ini juga Jaejoong nyaris tak menyentuh makan siangnya. Ditambah pula dengan kantung hitam di bawah matanya yang samar terlihat. Junsu menghela nafas, andai Jaejoong tidak sangat keras kepala, mungkin dia bisa membantu masalah apapun yang menghantui temannya itu.
Y&J
"Bisakah kau berhenti menghantui tempat ini?"
Kepala Yunho nyaris terantuk di atas meja, jika saja suara Changmin tidak membuatnya tersentak, setengah terjungkal ke belakang. Changmin memberikan satu cengiran menyebalkannya, bangga telah berhasil membuat hyung-nya terkejut. Mengusap matanya, Yunho menguap setengah menggerutu. Kerutan tampak menajam di alisnya ketika menghadap Changmin. "Tidakkah kau mengenal yang namanya ketukan?"
"Aku ketuk pintu sekalipun kau tetap akan terkejut," elak Changmin menghempaskan diri di atas kasur pasien yang kosong. Ini bukan yang pertama kali dia berhasil membuat Yunho tersentak. Entah karena apa, tapi hyung-nya itu tampak banyak melamun belakangan ini. Tapi yang paling membuatnya pensaran, kini sang dokter bedah syaraf selalu datang luar biasa pagi.
Bukannya Yunho dokter pemalas. Hanya saja Changmin tahu betul [i]hyung[/i]-nya itu akan selalu menghabiskan paginya selama mungkin dengan Jaejoong.
Dan jangan lupakan wajah kuyu kusut yang tak biasanya ada dalam ekspresi sosok ceria itu.
Melipat kedua tangannya di depan dada, Changmin menatap tajam menyelidik ke arah Yunho yang tengah sibuk memfokuskan diri pada kertas di depannya. Tak pernah dia melihat Yunho begitu kacau, well... setidaknya tidak separah ini. Mengenal Yunho begitu lama, bahkan ketika Ahra pergi ke Amerika Yunho hanya menjadi sedikit lebih pendiam—tapi tidak kacau.
"Ada sesuatu dengan Jaejoong ya?"
Tidak sulit baginya untuk menebak. Pusat perhatian Yunho hanya pada Jaejoong, mudah saja menyimpulkan apapun yang membuat Yunho begitu berantakan pasti berhubungan dengan Jaejoong. Changmin tidak yakin baik Yunho maupun Jaejoong menyadari ketergantungan mereka satu sama lain, tapi dia yakin semua orang yang ada disekitar kehidupan mereka berdua setuju. Menatap Yunho yang mengalihkan pandangannya pada laporan—yang jelas sekali sudah selesai diperiksa—di atas meja, membuat Changmin yakin tebakannya benar.
Beberapa detik berlalu hening sebelum Yunho memutar balik kursinya menghadap Changmin dan menatap sepupunya itu. "Aku.. melakukan sesuatu," suara terdengar ragu dan bersalah. Yunho membuang pandangannya pada langit mendung di luar.
"Kau tahu kan, aku pergi minum dengan Yoochun minggu lalu," dokter muda itu memulai, raut wajahnya bertekuk kelam—terlalu rumit untuk dijelaskan hanya dengan satu kata. Nada suaarana penuh dengan ragu "Dan...um.. aku...Jaejoong..."
Rangkaian menggantung itu dengan cepat dipotong dengan gerakan setengah meloncat Changmin dari kursi pasien—tempat dia duduk—berdiri dengan mata membelalak. Maniknya mengerjap cepat menatap Yunho tak percaya. "Oh tidak Hyung! Oh tidak! Hyung kau tidak mabuk kan? Kau melakukannya kan?"
Bibir Yunho baru saja terbuka, hendak menyangkal dugaan sosok yang sudah seperti adik kandung sendiri itu baginya. Tapi kemudian cengiran lebar menyebalkan merekah wajah Changmin, maniknya berkilat jail sembari menepuk-nepuk pundaknya, "Akhirnya! Aku pikir kau tidak akan pernah melakukannya Hyung! Akhirnya!"
Entah Yunho harus menjitak sepupunya itu karena tiba-tiba mejerit dalam ruangannya atau karena menganggap melakukan itu adalah sebuah prestasi, tapi jelas dia tetap melayngkan satu jitakan keras pada kepala Changmin, yang mendapat ringisan keras dan pelototan. Seharusnya dia ingat bahwa Changmin jarang menjadi pendengar yang baik, apalagi memberi saran yang dapat diterima.. "Aw Hyung! Kenapa memukulku?" ucap Changmin setengah menggerutu samil mengusap-usap kepalanya.
Mendecak kecil sembari memutar kursinya kembali pada kerjaannya di depannya, mengabaikan sang sepupu. "Tidak, lupakan saja."
"Yah Hyung! Masa lupakan saja! Ayo ceritakan padaku! Bagaimana rasanya?" Desak Changmin yang kini mencondongkan tubuhnya di samping Yunho, nada suara terdengar seperti anak-anak yang kegirangangan dibelikan manisan. Membuat Yunho semakin geram.
Brak.
"Dokter Yunho, Dokter Changmin... Perlukan seseorang mengingatkan kalian bahwa ini adalah rumah sakit pukul 9 malam"
Sosok Yoochun berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang tidak menyenangkan. Alisnya mengernyit tajam sementara bibirnya melengkung sedikit ke bawah, tidak senang. Changmin memberikan cengiran lebarnya, "Justru karena ini sudah malam, Hyung!" Yang kemudian mendapat jitakan kembali di kepala oleh Yoochun.
Yunho sendiri hanya diam di kursinya, wajah itu datar seakan tidak apa-apa tapi Yoochun dapat melihat dari kedua manik hitam itu kalau pikiran pemiliknya tengah melayang entah kemana. Tidak hanya Changmin yang menyadari perubahan Yunho. Dia sendiri bahkan hingga merasa khawatir—yang jarang terjadi—sekalipun kemungkinan besar lagi-lagi berhubungan dengan Jaejoong.
Terlepas dari masalah etika profesionalitas—mengingat Jaejoong adalah murni pasien Yunho pada awalnya—hingga sekaranga bagi Yoochun hubungan anatar sahabatnya dengan bocah itu tidak sehat. Bukannya Yoochun menentang hubungan sesama jenis, dia sama sekali tidak memiliki masalah terhadap homoseksual. Hanya saja cara Yunho memanjakan Jaejoong dan ketergantungan bocah itu pada Yunho bukan sesuatu yang dapat dia mengerti.
Tapi setidaknya Yoochun mengerti bagaimana pentingnya Jaejoong bagi Yunho. Dan mau tak mau dia merasa khawatir pada keduanya.
"Changmin," Suara Yoochun terdengar normal, tapi jelas pandangan matanya tidak menerima bantahan. "Bantu tolong Dr. Kim di ruang jaga, ada pasien yang harus ditangani."
Jelas bocah itu enggan tapi tetap tak cukup berani untuk membantah. Apalagi dengan atmosfer yang terasa makin berat, dia tidak mau terjebak dalam percakapan frustasi tidak menyenangkan. "Er, kalau begitu aku pergi dulu," melirik ke arah Yunho yang entah mengapa terasa makin suram, membuatnya bertanya-tanya apakah pengalaman Yunho sebegitu tidak menyenangkan.
Nah, dia memilih untuk tidak tahu saja.
"Kau melakukannya?" tanya Yoochun setelah Changmin keluar. Suaranya datar, berusaha agar nadanya tak terdengar menuduh maupun memihak. Yunho menggelengkan kepalanya lesu, menghembuskan nafas panjang. "Nyaris."
Suara Yunho bergetar, perasaan bersalah yang amat sangat menguar dari nadanya. Yoochun menepuk pundak Yunho, "Kau tidak melakukannya, kau tidak melakukan apa-apa."
Yunho menggelengkan kepalanya. "Kau tidak melihat apa yang kulakukan padanya." Penyesalan yang dalam tersirat di sana. Menghela nafas panjang, dia yakin bahwa kondisi Jaejoong saat ini juga tak jauh lebih buruk dari Yunho. Apapun yang terjadi malam itu membuat Yunho merasa bersalah yang amat dalam, terlalu bersalah hingga menutupi perasaan lainnya pada sosok itu.
Tapi kemudian perasaan apa yang mungkin Jaejoong rasakan saat ini?
Entah kenapa Yoochun yakin mungkin sama frustasinya dengan dia saat ini, melihat cara Yunho menangani kejadian itu—juga setengah marah mungkin.
"Tentu saja tidak. Hell, aku tidak akan mau," jawab Yoochun mengusir lamunannya, duduk di pinggir kasur pasien tempat Changmin duduk sebelumnya. Alisnya itu mengerut dalam, wajahnya setengah meringis untuk sesaat. "Tuhan, Yunho..."
Yoochun menggelengkan kepalanya, menatap wajah frustasi Yunho, menghela nafas putus asa. "Kau pikir Jaejoong-mu tersayang itu sebodoh itu?"
"...Huh?"
Yunho menengadahkan kepalanya, menatap bingung pada Yoochun yang sekarang tampak memandanginya kesal. Berdecak, sahabatnya itu kini menjitak kepalanya keras. "Kalau kau melakukannya 5 tahun yang lalu, aku tidak akan komentar apa-apa melihatmu depresi seperti ini. Dia sudah 17 tahun, Yunho! Remaja laki-laki bermental sehat, terakhir kali aku melihat medical record-nya," gerutu Yoochun tak habis pikir melihat raut Yunho yang sekarang memandangnya kosong, berusaha mencerna informasi.
"... Jadi?"
"Pulang dan temui dia, kau bodoh!" Kini Yoochun melemparkan tas kerja sang dokter bedah pada pemiliknya. "Kau nyaris menyerang remaja 17 tahun yang sudah menjadi kekasihmu kurang-lebih 5 tahun. Bukan nyaris menyerang anak umur 8 tahun."
Yoochun mendorong tubuhnya yang setengah enggan keluar dari ruang kerjanya. Wajah kesalnya berubah kembali menjadi ekspresi yang biasa dia lihat di sana—kalem, "Kau harus memaafkan dirimu sendiri, aku berani bertaruh Jaejoong sudah lama memaafkanmu."
Y&J
Sudah seminggu lebih sejak terakhir kali Yunho pulang dengan lampu apartemen yang masih menyala. Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata Yoochun terus terulang dalam benaknya. Membuatnya tertegun, tujuh hari terakhir dia meninggalkan Jaejoong sendirian? Bagaimana kalau sesuatu terjadi? Meringis kecil, perasaan bersalahnya tetap menjadi bersalah, hanya saja kini karena dengan egois meninggalkan bocah itu sendiri, hanya karena dia terlalu malu untuk menghadapi Jaejoong.
Suara derik pelan terdengar ketika dia membuka pintu apartemen. Semua lampu masih menyala dan sayup-sayup dia dapat mendengar suara televisi menyala dari ruang tengah. Merapikan sepatunya pada rak, melepas jas kerjanya sebelum berjalan dengan sangat pelan menuju asal suara, jantungnya entah mengapa berdebar kencang—was-was. Mengintip memastikan sebelum benar-benar memasuki ruangan, memastikan Jaejoong ada di ruang tengah.
Rambut hitam segelap malam itu terurai berantakan setengah basah. Handuk lembab menggantung pada leher putih pucat itu sementara wajah pemiliknya menunduk. Ekspresi pemilik wajah manis itu berkerut, kesal. Menatap salah satu kakinya yang berselonjor pada sofa. Pijama-nya tergulung hingga selutut, menampilkan luka kasar sepanjang pangkal lutut hingga sedikit di bawah ibu jari kakinya. Luka itu terlihat lama, tapi tetap tampak menyakitkan. Merah pucat, dengan tarikan di kanan-kirinya, menunjukkan operasi yang sudah berulang kali diterima kakinya.
Meringis, Jaejoong mengurut kakinya. Hari ini sama sekali tidak baik baginya. Udara begitu dingin lebih dari biasanya dan tugas sekolah terus bertambah seiring libur yang semakin mendekat. Membuatnya menghabiskan waktu di perpustakaan kota hingga lupa bahwa langit telah lama menjadi gelap dan angin musim dingin berhembus kencang. Kakinya sudah terasa begitu ngilu saat dia akhirnya sampai di apartemen. Air hangat dia siram pada kakinya hanya meredakan rasa nyeri itu sesaat sebelum kembali lagi dengan intensitas yang sama kuat.
"Kakimu sakit?"
Kepalanya tersentak menengadah, mendapati sosok dewasa itu berdiri di ambang pintu, di ujung ruangan. Masih dengan baju kerjanya dan tas hitam di tangan. Khawatir mewarnai manik yang selalu berhasil meluluhkannya, tapi ragu dan bersalah juga kental dalam gestur tubuhnya. Jaejoong membuang pandangannya, menyembunyikan rasa kaget yang dengan cepat mulai membaur dengan perasaan rindu, marah lalu kesal. Amat sangat kesal.
"Sekarang kau berbicara lagi padaku?" Dia ingin nadanya terdengar ketus, tapi rindu yang melilit perutnya terlalu kental untuk dapat dia abaikan. Nada itu tetap terdengar masam, hanya tidak sekeras yang dia harapkan.
Menurunkan kakinya yang berselonjor di atas sofa sembari merapikan kembali gulungan pijamnya seperti semula. Jaejoong menyeret tubuhnya jauh hingga ujung sofa, menekuk kakinya yang sehat mendekati dada, menjadikan tempurung lututnya sebagai tumpuan selagi kepalanya memandang lurus ke arah televisi yang menyala pelan. Sekalipun manik matinya sekali-kali mencuri pandang pada Yunho, di luar kehendaknya.
Perlahan Yunho mendekati sosok manis itu, duduk di ujung sofa berseberangan dari Jaejoong. Raut kehati-hati dan keraguan terlihat dalam maniknya. Yunho memandangi Jaejoong yang menatapi televisi dengan bibir sedikit cemberut—gestur yang Jaejoong yang tidak pernah sadar selalu muncul di wajahnya tiap kali bocah itu marah. Ah, tidak, merajuk adalah kata yang lebih tepat. Yunho tidak akan pernah bisa tahan dengan marah di manik pekat remaja itu. Selalu berhasil membuat rasa malu dan bersalah yang jatam di hatinya. Dan kini dia bisa merasakan otot-otot pipinya tersenyum tipis ketika melihat ekspresi kesal bermain raut Jaejoong. Walau senyum itu hanya melintas sesaat, sebelum kembali menjadi ekspresinya semula.
Mata Yunho terus melekat memandanginya, membuat Jaejoong merasa tak nyaman di tempatnya—penasaran. Tapi sirat gelisah dan bersalah di mata itu membuat Jaejoong menghela napas gelisah, menoleh, alisnya berkerut, berdeham kecil kini memastikan suaranya benar-benar terdengar ketus. "Apa?"
"Aku..." suaranya pecah, kaku bercampur gelisah. Mengalihkan pandangannya pada bunga di atas meja, hatinya menciut memikirkan apa yang akan dikatakan Jaejoong. "Aku minta maaf."
"Untuk?" ekpresi remaja manis itu tetap datar—sekalipun jengkel dan marah tergambar jelas dalam rautnya. Ketus masih mewarnai setiap intonasinya.
Manik Jaejoong lurus menatap TV. Ekspresi Yunho menggetarkan hatinya, membuat ragu untuk tetap marah. Perasaan itu kini berada di ambang-ambang, menunggu apakah pemicu akan dilayangkan atau tidak.
"Untuk... malam itu."
Nada penuh penyesalan itu cukup untuk Jaejoong mengepalkan genggamannya kuat-kuat, mengabaikan rasa tajam ujung kukunya menusuk permukaan telapaknya. Rautnya yang sedari tadi datar memandang ke depannya kin mengeras, seakan seluruh perasaan yang mencengkram dadanya seminggu ini meledak ke permukaan. Giginya menggeretak, tangannya yang sedari tadi memeluk kaki sontak mengambil bantal sofa di sebelahnya dan melemparkan kuat-kuat benda kotak itu pada sosok di sebelahnya.
Bantal bewarna putih bersih itu menghantam sang dokter tanpa bunyi, menyisakan Yunho mengerjap bingung dan kaget. Mata hitamnya mengikuti gerak Jaejoong yang kini berdiri di depannya, wajah yang seringkali pucat itu kini merah, membalas tatapannya dingin—terlalu dingin untuk tidak terasa sakit di dadanya. Dan dapat dia lihat perlahan air mata membasahi manik indah itu.
Bibir merah BooJae-nya membuka, "Aku tahu aku harus menyeret kaki sialan ini seumur hidupku."
"Tidak! Kau akan segera bisa berja—"
"Aku tahu aku cacat, Yunho. " potong Jaejoong pelan, membisikkan kata yang terlalu keras untuk tidak bergema di kepalanya. Perih membalut suaranya.
Menunduk, surai hitamnya jatuh menutupi sebagian mata yang selalu sanggup mencuri hatinya, tapi pandangan sosok manis itu tetap tak lepas dari Yunho. "Tapi aku juga laki-laki. Laki-laki dewasa, bukan lagi seorang bocah," kali ini dingin menusuk gendang telinganya. "Kenapa kau harus minta maaf karena malam itu?"
Kenapa kau harus minta maaf karena ingin menyentuhku?
Kalimat itu membuat Yunho terpaku di tempatnya, matanya nanar mentap malaikatnya yang kini membuang pandangan darinya. Sakit menyelimuti raut wajah.
Ya, Jaejoong akui ada perasaan takut—mengakui dia bersikap lemah malam itu. Tapi perasaan itu hanya sesaat, hanya perasan terkejut yang merebak sejenak dan dia juga memahami rasa bersalah Yunho. Tapi hari demi hari yang berlalu dengan sang dokter tetap menjauhi darinya terlalu sakit untuk dapat Jaejoong tahan tanpa membekaskan rasa penolakan yang kuat di hatinya. Marah dan gelisah ikut menusuk tajam, mempergelap pikirannya, menciptakan asumsi-asumsi tak sehat. Dia marah, marah kenapa Yunho harus merasa bersalah hingga tak sanggup melihatnya, karena menganggap bahwa menginginkan dirinya yang cacat seakan dosa yang teramat besar.
Marah kenapa dia harus merasa takut malam itu. Kenapa dirinya tidak bisa menunjukkan pada Yunho bahwa dia tidak selemah itu.
Menarik kruknya dari pinggir sofa. "Sekalipun aku cacat, aku juga menginginkan Yunnie," bisiknya pelan sambil menggigit ujung bibirnya. Maniknya yang panas mulai mengabur, merasakan basah mengalir pada pipinya. Jemarinya menyeka kelopak matanya kuat-kuat. Sekejap kaki sehatnya melangkah cepat, menyeret kakinya yang lumpuh sembari mengayunkan kruk untuk membantunya tetap berdiri, tubuhnya seakan insting untuk berlari jauh dari sang dokter.
Emosinya terlalu meluap untuk dapat dia berpikir jernih. Otaknya bahkan tak dapat mencerna ekspresi Yunho yang mencerna kalimatnya seakan tiap katanya adalah jarum. Dunianya seakan dengan cepat dijungkir balikkan, perutnya seakan dikocok dengan rasa bersalah. Perih, sedih, sakit, sesal dan gelisah meremas tubuhnya. Kepalanya berteriak pada tiap kalimat Jaejoong, berusaha membantah tapi bibirnya tetap kaku terkatup rapat. Membiarkan perasaan Jaejoong menampar kesadaran sosok dewasa itu.
Bentuk rasa bersalahnya tanpa dia sadari telah menjadi penolakan. Penolakan menyakitkan bagi Jaejoong, yang kini menganggap dia menolak sang remaja karena luka pada kakinya.
Tidak, cacat seluruh tubuh-pun Yunho akan tetap selalu mencintai Jaejoong.
Lalu kenapa? Kenapa dia merasa bersalah hingga tak mampu menatap malaikatnya?
Kesadaran menghantamnya keras, menghancurkan bingung dan ragu yang masih menggenang dalam dirinya. Ketidakmampuan Jaejoong tidak akan sanggup merebut rasa sayangnya memang, tapi cukup untuk membuatnya menganggap sosok pendiam itu lemah, rapuh, terlalu rentan hingga dia tak sanggup menyentuhnya.
Tapi Jaejoong tidak lemah, tidak... BooJae-nya baru saja menamparnya keras. Membentak bahwa kakinya tidak akan pernah membuatnya lemah.
Tubuhnya tersentak berdiri, mengejari Jaejoong yang berjalan ke sisi lain apartemen mereka. Jemarinya menyentuh kulit halus yang begitu dia rindukan, mengenggam pergelangan kecil itu dengan tangannya. "Boo... tunggu," suaranya serak, seakan aja tali yang mencengkram lehernya, rautnya memohon.
Berhenti, Jaejoong tetap diam di tempatnya. Tidak beranjak menolak, tidak berucap, tidak menggubrisnya.
Jatuh berlutut di atas lantai kayu mereka, menciptakan bunyi ketukan pelan. Genggamanya pada tangan Jaejoong lepas, berganti mencengkram pada kedua lututnya. Kepala sang dokter saraf itu menunduk dalam. "Maaf kan aku... tolong maafkan aku," suaranya pecah penuh getar. Takut dan bersalah menusuk tajam pikiran dan hatinya. Takut karena kebodohannya lima tahun bersama Jaejoong akan hancur begitu saja dan bersalah karena tak menyadari bahwa tindakannya telah menyakiti Jaejoong—jauh lebih dalam dari yang dia kira.
Dia tidak punya alasan apapun, sadar bahwa apa yang Jaejoong simpulkan terlalu banyak benarnya ketimbang tidak. "Aku mencintaimu," air mata menggenang di matanya, perlahan menetes dari ujung kelopaknya. "Dan akan terus menginginkanmu."
Sebagaimanapun kecewanya dia dengan dirinya sendiri dan Yunho, dia tidak akan pernah sanggup membiarkan air mata mengalir dari manik ceria itu. Kruknya jatuh menyentuh permukaan lantai dan menjatuhkan tubuhnya depan satu-satunya orang yang dia cintai. Satu kakinya berlutut sedangkan kakinya yang tak berfungsi bersolonjor ke arah sisi lain, membuat posisi duduknya ganjil. Tapi Jaejoong tak peduli, semarah apapun dia pemandangan Yunho yang terduduk di depannya berhasil menyeretnya turun, menggenggam tangan Yunho erat.
"Aku juga minta maaf," ucapnya pelan memandang Yunnie-bearnya. Dia tak mau ada air mata di wajah penuh senyum itu, dia tak mau ada perasaan seperti ini lagi menyayat dirinya maupun Yunho. Menyentuh pipi sosok yang lebih tua darinya itu, berbisik lembut, "dan Aku juga mencintai Yunnie."
Dia masih memandangi Jaejoong, terpaku oleh rasa lega yang datang seiring dengan otaknya yang mulai mcncerna refleksi dan pendengaran inderanya saat bibir Jaejoong menyentuh permukaan bibirnya. Terasa hangat dan lembut. Untuk sejenak tak ada dari mereka yang bergerak, menikmati perasaan hangat yang perlahan mengusir seluruh emosi yang tadi menyelimuti mereka. Dapat dia rasakan bibir merah itu bergetar di bawahnya saat dia mulai bergerak, menyapus perlahan. Ciuman itu bermula lambat, manis terasa tiap kali dia merasakan Jaejoong di bibirnya. Tapi hangat berubah menjadi api saat tangannya menarik Jaejoong lebih dekat, mendudukkan sosok lebih mungil itu pada pangkuannya, meniadakan jarak, berusaha merasakan setiap inci dari bibir Jaejoong.
Menit berjalan dan nafas mereka mulai memberat seiring dengan tempo yang mencepat. Dengan enggan Yunho melepaskan dirinya dari Jaejoong, nafasnya masih memburu satu demi satu dengan milik Jaejoong. Menyapu helaian rambut hitam dari wajah sang kekasih sebelum kembali menelusuri sisi wajah manis itu, Bibirnya yang menuruni pipi kemerahan, mencecap leher putih susu Jaejoong. Desahan pelan terdengar seiring dengan tanda kemerahan yang mulai muncul. Panas terasa membakar di tubuhnya saat jemari-jemari BooJaenya melingkar pada lehernya, tanpa sadar bergerak menelusuri punggung bidang Yunho.
"Kita akan melakukannya?" gumaman Jaejoong terdengar samar, tapi cukup jelas untuk Yunho menghentikan kecupannya pada sisi-sisi leher sang pemilik suara dan menatap sosok itu. "Kau menginginkannya?"
Wajah yang telah merah itu semakin memerah, menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan malu yang merebak di muka. "Selama Yunnie mau..."
Tersenyum lembut—senyum yang telah lama tak merekah pada wajah laki-laki bemarga Jung itu. Mendekatkan bibirnya pada sisi wajah Jaejoong, sedikit dari bersentuhan dengan telinga sang remaja, "Aku sangat menginginkannya," bisiknya menggoda, merasakan Jaejoong bergidik dalam pelukannya. Yunho mengecup pipi lembut itu lagi. "Tapi aku tidak memiliki perlengkapan yang kubutuhkan. Tidak apa-apa kalau kita menundanya kan?"
Jaejoong menatapnya dalam, ada sedikit kecewa di sana tapi ditutupi oleh tanda tanya besar yang jelas terlukis di maniknya. "Perlengkapan?" tanyanya polos, membuat Yunho tertawa renyah, mengacak surai halus bocah yang selalu ada di dekatnya itu. " Ya, Boo... Lube, misalnya."
"Lube?" Alis Jaejoong berkerut. Kegiatan panas mereka sejenak lalu terlupakan dengan pembicaraan ini. Dia tahu bagaimana—secara garis besar—dua laki-laki berhubungan intim. Tapi perlengkapan? Keningnya mengernyit, tidak paham dengan benda Lube yang lain Yunnie-nya bilang.
"Untuk melumaskan, BooJae... Aku tidak ingin membuatmu luka," nada itu sabar, lembut tapi kedua mata Yunho berkilat jahil dengan jelasnya. Seakan menunggu bocahnya itu memproses kata-katanya. Sang dokter kembali melanjutkan kalimatnya saat merah kembali merambati raut wajah remaja di depannya.
"Dan jangan lupakan kondo—"
"Hentikan! Hentikan!" jerit Jaejoong dengan wajah yang sudah merona merah—sangat merah. Tangannya menutup mulut Yunho yang tengah tersenyum di balik telapak tangannya. Bukannya diia takut, tapi kepalanya tak sanggup tidak membayangkan benda-benda yang diebutkan Yunho—yang membuatnya mendadak sangat malu.
Karena sekalipun malu dia tetap menginginkannya.
Menggeser tubuhnya dari pangkuan Yunho, Jaejoong berusaha menjernihkan suaranya, "Dan aku juga masih harus sekolah besok," imbuhnya berusaha acuh, hendak beranjak dari posisinya tapi tangan sang kekasih tetap melingkar erat di sekitar pinggangnya.
"Kalau begitu lebih baik kita istirahat," sambung Yunho beranjak dari posisinya, menggendongnya ketimbang membiarkannya berjalan.
Menggeliat dari posisinya, bibir merahnya cemberut. "Aku bisa sendiri," tolaknya saat sosok yang lebih tua darinya itu membawanya menuju kamar mereka, walau tanpa banyak perlawan dalam nada suara, tetap membiarkan Yunho yang hanya tersenyum ringan padanya. Bersandar pada kepala kasur, Yunho kembali menariknya dekat, kembali memeluk tubuhnya erat—seakan takut dia akan menghilang.
Menyandarkan kepala pada dada hangat Yunnie-nya, merasakan hangat mulai membuai dirinya. Tidak menyadari bahwa tubuhnya ternyata selelah ini. "Aku tidak akan pergi kemana-mana, Yunnie. Aku akan selalu di sini," gumamanya pelan, setengah menguap.
"Aku tahu," suara Yunho terdengar mengalun dalam kantuknya, mengaburkan pikirannya dan menariknya ke alam mimpi.
"Boo?"
"Hmm?"
"Bagaimana kalau kita berlibur?"
"Nng... yeah."
"Pantai, tropis, taman bermain?"
"I like It."
"Good," saat senyum merekah di bibir Yunho, kelopak mata Jaejoong sudah sepenuhnya terutup, tenggelam sepenuhnya dalam alam mimpi. Mengecup pucuk kepala malaikatnya, menghirup aroma sejuk dari helaiannya dan memejamkan mata.
"Terimakasih sudah memaafkanku,"
[to be continued]
A/N : Sejujurnya, saya benar-benar gak yakin dengan chapter ini. Saya berusaha agar chemistry mereka dapat tanpa terlalu berlebihan—walau sepertinya saya gagal total. Dan saya juga mulai kehilangan jejak mau dibawa kemana ceritanya ini. Jadi kalau ada request scene seperti apa yang ingin kalian lihat, itu bakal membantu saya (banget) dalam mengumpulkan ide ;;w;; (karena saya penulis yang jelek, cuman mikir ide awal tapi gak tau endingnya gimana). Dan iya, belum ada adegan NC di chapter ini, karena saya ragu... anyone up to NC? I'll try to write one but if majority says no, then I'll just make a brief descriptions that they have done it.
Thanks to : seluruh pembaca yang sudah menyempatkan waktunya membaca fic ini, pasang alert dan me-review bahkan setelah satu tahun sudah lewat. saya cinta kalian semua A