Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

Rated: T

Genre: Sci-fi, Romance

Pairing(s): NaruHina

Warning(s): AU, typo(s), Out of Character

Language: Bahasa Indonesia

SPECIAL FIC FOR aigiaNH4'S BIRTHDAY!

Happy Reading—Happy Thinking #dorrr ! Yang teliti baca tahunnya ya!

::Chapter Three/Final Chapter::

~CAN I CHANGE THE FUTURE?~

.

.

.

"S-siapa kau?" tanya Hinata terbata.

Ia merangkul tubuh Naruto dengan erat. Hinata menopangnya dengan cara menahan tangan Naruto agar melingkar di lehernya. Tubuh Naruto hangat. Ini menambah keyakinan Hinata bahwa Naruto setidaknya—bernyawa.

Tadi Hinata memutuskan untuk tidak menyeret pergi tubuh Naruto. Keputusan yang tepat karena tubuhya tak akan kuat menyeret Naruto dalam waktu yang lama.

Lagipula, menyeret Naruto bukanlah jalan keluar yang bijaksana jika ada seorang pemuda berambut merah sedang mengawasimu dengan tatapan lapar seperti serigala.

"Oh, kau sangat mengenalku." jawab Gaara tenang. Ia melangkah pelan mendekati Hinata.

Gaara melirik Naruto dengan pandangan tanpa ekspresi. Ia mendecih kesal.

"Cih. Kenapa Naruto selalu ada bersamamu?" tanyanya heran.

"Siapa kau?!" tanya Hinata lagi, lebih keras.

Ia melepaskan rangkulannya dari Naruto, meletakkan tubuh Naruto di rumput lagi. Hinata tak ingin Naruto menjadi sasaran pemuda berambut merah itu.

"Aku Gaara. Aku bisa siapa saja kan? Mungkin aku anakmu atau apa saja."

Hinata menatap Gaara dengan ngeri, menyangka telinganya salah dengar. Matanya kini membulat sempurna. Ia mulai merasa semua ini tidak masuk akal. Sangat tidak masuk akal.

"B-bohong…" balas Hinata, sebenarnya untuk dirinya sendiri. Ia mundur sedikit.

"Ya, memang bohong. Aku memang bukan anak kandungmu. Aku ke sini untuk—bagaimana mengatakannya? Melenyapkanmu? Ya semacam itu," gumam Gaara sambil mengangkat bahu. Ia mengambil handgun dari saku jaketnya dengan santai.

Ceklek—

Ia sudah mengokang handgun. Sepertinya siap membunuh—ralat, melenyapkan.

"Atas dasar apa kau ingin melenyapkanku? Apakah aku pernah berbuat salah padamu? Siapa kau pun, aku tak tahu." kata Hinata sengit.

Hinata mulai merasa mendapatkan keberaniannya kembali. Buat apa takut kepada manusia? Kecuali kalau di hadapannya ini bukan manusia atau semacam itu…

Gaara semakin dekat.

Hinata bergeming di tempatnya. Kakinya mati rasa. Entah karena takut—bukan, atau karena memang kakinya sedang tidak bekerja seperti semestinya.

Otak Hinata tak bisa berhenti untuk berteriak, 'Lari! Lari! Lari!' namun tubuhnya tak mengimbangi perintah otaknya. Seluruh tubuhnya seperti tersihir untuk terikat sempurna dan tak beranjak dari tempatnya berdiri.

Deg.

"Kau ini selalu penuh kejutan ya," ucap Gaara datar. Gaara sepenuhnya tahu bahwa Hinata berbeda dari semua perempuan yang ia temui. Entah berbeda seperti apa yang ia maksud.

Ia kini berada persis di hadapan Hinata.

Hinata terpaku di tempatnya. Tak mengerti apa yang dikatakan pemuda di hadapannya.

Dari jarak ini, Hinata dapat melihat lebih jelas wajah Gaara. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Mereka saling bertatapan selama beberapa detik sampai Gaara mengangkat handgunnya dan menempelkan moncong handgun tepat ke kepala Hinata.

"Ada kata-kata terakhir?"

Sreett— DUAKK!—

BRUUGG! –––

Kejadian itu berlangsung luar biasa cepat sehingga Hinata tidak sadar bahwa Naruto telah bangun dan menendang tulang kering Gaara hingga Gaara terjatuh.

Naruto segera merenggut handgun dari tangan Gaara dan bersiap menembak Gaara.

Bukan Gaara jika menyerah begitu saja. Ia segera bangkit dari posisi jatuhnya. Tak menghiraukan moncong handgun yang diarahkan Naruto padanya.

"Tembak saja aku, Naruto. Haha— itu juga kalau kau berani melakukannya," dengus Gaara.

Ia membuat gerakan seolah akan meninju Hinata, sehingga Naruto segera memasang tubuhnya di depan Hinata agar Hinata tidak terluka.

Dari saku jaketnya lagi, Gaara mengeluarkan pisau lipatnya dan segera menancapkannya di leher Naruto.

Sreet—

Ralat.

Gaara mengirisnya.

Darah segar langsung memancar dari leher Naruto.

Benar-benar memancar—bukan mengalir ataupun menetes.

"Pembuluh arteri-nya kusayat. Darah manusia dari arteri memiliki kecepatan tinggi. Dalam waktu dua menit, darahmu akan habis. Cih, peduli apa aku?"

Naruto terduduk. Ia memegangi lehernya yang terus mengeluarkan darah. Ia cyborg, namun tetap saja, ia manusia…

Hinata berlari mendekati Naruto. Ia tidak berteriak ataupun panik. Ia bahkan lebih shock dan khawatir daripada sekedar takut—dan tentu saja, berteriak malah akan membuat keadaan semakin buruk.

"K-kau…b-baik saja kan, Hinata…" ucap Naruto parau. Ia seperti tak peduli dengan lukanya sendiri.

Deg. Deg. Deg.

Jantung Hinata berdebar kencang. Ia tak tahu perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Takut, shock, ataukah perasaan lain…?

Hinata benar-benar tidak suka jika seseorang berkorban nyawa demi dirinya. Atau mungkin ia memang tidak rela jika Naruto terluka.

DARR!—

Gaara segera menoleh ke sumber suara, begitu pula Hinata.

Rupanya mereka kedatangan tamu.

Muncul seorang gadis berambut pink dengan wajah pucat pasi dan berkeringat. Ia langsung lari secepat kilat menuju tempat Hinata dan Naruto.

"Cih, perempuan ini lagi. Yah, sepertinya Sasuke sadar kalau ia kalah," ucap Gaara seraya mengambil handgunnya yang terjatuh di rumput. Siap mengokangnya lagi.

Gadis itu segera memegang pergelangan tangan Naruto dan segera membebat leher Naruto dengan kain entah dari mana agar pendarahan berhenti sementara. Saat melakukannya, seluruh tubuhnya gemetaran.

"K-kau… Kau yang b-ber-nama Hinata H-Hyuuga?" tanya Sakura parau. Ia bahkan tak berani menatap mata Hinata.

Hinata tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya dapat mengangguk lemas. Ia melihat darah yang dikeluarkan Naruto amat banyak… Sepertinya lima liter…darah. Hinata tahu, kalau terus-menerus dibiarkan, Naruto akan kehabisan darah.

Tanpa bertanya apapun lagi, Sakura segera mengatur jam digital di tangannya.

Jam digital itu mengeluarkan sinar hijau terang.

DARR!—

Saat Hinata mengerjapkan mata, Sakura dan Naruto sudah lenyap.

Hanya sisa-sisa darah Naruto yang berceceran di rumputlah yang menjadi saksi bahwa ada seseorang tersayat di tempat itu baru-baru ini.

DARR!—

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan lenyapnya Sakura dan Naruto, pemuda berambut raven muncul.

"Apa yang—" ucapan Gaara terputus saat Sasuke berlari dan langsung menerjangnya.

Bugh!— Buagh!—

-mymysteriousfic-

.

.

.

Hinata terpana. Gaara dan Sasuke saling pukul di atas rumput.

"Dasar bodoh kau Gaara! Kau bisa membunuh Naruto, tahu!" seru Sasuke di sela-sela perkelahiannya.

Mereka berdua terengah-engah dengan saling bertatapan sengit.

"Memang begitu yang kuinginkan dan dia juga akan kubunuh," balas Gaara, mengelap bibirnya yang berdarah terkena pukulan Sasuke. Ia melirik Hinata dengan sengit.

BUGH!—

Sasuke meninju Gaara lagi. Gaara balas meninju bahu Sasuke. Mereka saling pukul. Lagi.

"Kau-diperalat-Neji! Gunakan otakmu! Siapa yang selama ini menginginkan Naruto mati?!" teriak Sasuke marah.

"A-apa? Tapi Hinata kan yang menyuruh kita untuk berpikir bahwa Naruto—"

"Listen to me! Berpikir! Ya, dia menyuruh kita untuk berpikir! Coba kau lihat api itu! Itu perbuatan Neji. Lihat bagaimana—"

"HEI KALIAN BERDUA! Jangan lupa kalau aku ada di sini!" teriak Hinata.

Gaara dan Sasuke menoleh bersamaan ke arah Hinata. Tampang keduanya sudah tidak karuan lagi.

"Jangan membuat semua ini semakin kacau. Tahukah kalian bahwa kalian tahu apa yang tidak kuketahui? Bisa jelaskan padaku mengenai semua kegilaan ini?! Orang macam apa yang begitu inginnya menghancurkan kehidupanku yang semula baik-baik saja?! Mengapa kalian berdua mengenalku? " tanya Hinata, emosinya memuncak.

Gaara dan Sasuke terpana.

Hinata berdiri dan mendekati Gaara dan Sasuke.

Ia berada dia antara keduanya sekarang.

"Kau. Siapa namamu?—" kata Hinata menoleh ke arah Sasuke. "Dan kau, kau tidak jadi membunuhku? Aku siap mati kalau itu maumu." lanjut Hinata lagi ke arah Gaara.

Keduanya terdiam.

"Hei, jangan diam saja kalian."

Sasuke memutuskan untuk angkat bicara, karena sepertinya Gaara agak tercekat dengan perkataan Hinata tadi.

"Aku, Sasuke. Hn, maafkan kami berdua, Hinata. Maaf karena kami lancang masuk ke dalam kehidupanmu yang damai—"

"Damai tapi penuh dengan kepalsuan," sambung Gaara sinis.

"Kau tahu tidak bahwa Kakek Hiashi— maksudku, ayahmu menyimpan mesin waktu?"

"Bukan dia yang menyimpan alat itu, Sasuke. Kek Minato yang menyimpannya!" sambung Gaara lagi.

"Bisakah kau berhenti melanjutkan kalimatku?" kata Sasuke gusar. Gaara mengacuhkannya.

"Kau dan Naruto, sudah ditunangkan sejak kecil. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang kutahu, kalian teman kuliah juga. Pada tahun 2017 kalian menikah. Itu membuat seseorang yang selama ini mencintaimu—entah apa namanya, kesal dan ingin mengubah takdir kalian."

Mata Hinata membulat. Ditunangkan? Menikah? Takdir?

"Siapa yang mencintaiku?" tanya Hinata parau.

"Siapa lagi yang tinggal denganmu selama 9 tahun ini?" tanya Gaara balik.

Wajah Hinata seperti ditampar. Siapa lagi yang selama ini mengekangnya dari dunia pergaulan selain sepupunya sendiri?

"Neji… Tetapi bukankah dia membenciku seperti Kabuto membenci diriku?"

"Waktu dapat membuat seorang manusia berubah, Hinata. Kau sendiri yang bilang padaku." balas Sasuke serius.

"Neji mencuri time machine dari rumah Kek Minato dan menggunakannya untuk memutarbalikkan fakta di masa lalu dengan membuat Naruto menjadi manusia percobaan—cyborg kutebak. Kelicikkannya berbanding lurus dengan kepintarannya. Pada dasarnya, ia adalah Hyuuga yang hebat." lanjut Sasuke.

"Tunggu, kalian bilang Hiashi dan Minato sebagai kakek kalian? Hiashi ayahku. Lalu siapa Minato? Apa hubungannya denganku?" tanya Hinata bingung.

"Ayah Naruto." jawab Sasuke cepat. Ia terlihat gelisah.

"Sasuke, aku tak tahu siapa yang benar atau salah, kau tahu, sampai mati pun aku tak akan berada di pihakmu. Sejak awal kita memang ditakdirkan untuk berbeda. Aku butuh kepastian siapa yang akan kupercaya. Ibu saja bilang, kebenaran bukan tentu kebenaran." ucap Gaara tiba-tiba.

"Kau mau apa?" tanya Sasuke pelan. Ia agak was-was dengan handgun yang ada di tangan Gaara.

"Kalau tak ada yang mau membunuhnya, aku saja yang membunuhnya. Setidaknya harus ada yang mati agar yang lain bisa bahagia."

"Tak bisakah kau—?"

Gaara menatap Hinata sejenak. Tatapannya sayu. Ada yang membuat hati Hinata bergetar saat ia menatap dalam-dalam mata Gaara. Ada rasa tertekan dan kesepian dalam mata Gaara. Tapi dibalik semua itu, Hinata tahu Gaara sepertinya orang baik. Sepertinya.

Gaara menggenggam erat handgun-nya. Ia berkeringat. Mungkin agak gugup karena terus ditatap Hinata.

"Kau baik-baik saja? Apa kau sakit?" tanya Hinata khawatir.

Hinata memegang dahi Gaara namun tangannya ditepis Gaara.

"Cukup. Kebaikan hatimu malah membuat hatiku sakit. Kemari kau."

Hinata tak mengerti apa yang dimaksud Gaara. Apakah Gaara menyuruhnya mendekat untuk dibunuh atau—?

Dipeluk?!

Ya. Gaara tiba-tiba saja memeluk erat Hinata selama dua detik. Sasuke yang melihat itu sepertinya mengerti sesuatu tetapi diam saja dengan dahi berkerut sebal.

"Maafkan aku, aku akan menebus kesalahanku. Sampaikan maafku pada Naruto. Selamat tinggal."

DARRR—!

Gaara pun lenyap dari pandangan.

"Hn—sebaiknya kita pergi juga. Ayo kita susul Naruto." kata Sasuke bersuara.

-mymysteriousfic-

.

.

.

Jepang, satu jam yang lalu

Sakura POV

"Tak ada waktu lagi, menurut prediksiku, Gaara sudah tiba di masa lalu untuk membunuh Hinata." kata Sasuke cepat, terus-menerus menatap jam digitalnya dengan dahi berkerut.

Aku yang melihatnya jadi sebal juga. Bayangkan, di tengah jalan ia menceracau tidak jelas dengan segala hal yang tidak kumengerti.

Sasuke terus memencet tombol yang ada di jam-nya, berharap sesuatu terjadi.

Krek—Cesshh—

"Sial, sial, sial! Jam-ku rusak! Geez! Di saat seperti ini pula. Sial," ceracau Sasuke lagi. Giginya gemetar saking marahnya.

"Halo—Aku masih di sini, lho." ucapku menyadarkannya.

Dia menengok ke arahku dengan cepat. Seperti mendapat pencerahan, ia tersenyum kepadaku. Senyuman aneh yang mungkin saja dapat melelehkan es di Antartika.

"A-apa?"

"Begini. Saat ini situasi sedang genting. Tolong kau selamatkan Naruto. Ia sedang terluka. Setelah itu kau bawa ia ke rumah sakit terdekat, oke? Jangan salah tekan tombol. Ini ada jam cadangan untuk sekali pakai. Aku pakai jam yang ini. Yang ini agak rusak memang—"

"Hee—Apa? Kau menyuruhku menggunakan jam itu dan menolong siapa? Naruto? Siapa dia?" tanyaku kaget. Bisa tidak sih, Sasuke tidak melakukan hal-hal di luar nalar seperti ini? Nalarku, tentu saja.

"Diam dan dengarkan aku dulu, Sakura," balas Sasuke pelan. Nada suaranya penuh keputusasaan.

Aku mengangguk pelan dan mulai mendengarkan.

"Aku dan Gaara dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami selalu bertengkar, lagi dan lagi. Mulanya kukira saat kami sudah dewasa, kami tidak akan bertengkar lagi. Tapi aku salah. Kami bahkan lebih dari sekedar bertengkar—kami saling benci. Seperti air dan api yang memperebutkan sesuatu."

"Apa yang kalian perebutkan?" tanyaku, memotong kalimat Sasuke.

"Yah—kasih sayang, mungkin. Pada umur 5 tahun, kami berdua diadopsi orang yang sama. Ada sepasang suami-istri muda yang baik hati mau menampung kami. Mereka orang yang baik. Sangat baik, pertama kali aku menemukan orang seperti mereka."

"Siapa?"

"Naruto dan Hinata."

Mataku membulat sempurna. J-jadi… Hinata itu orang tua angkat mereka berdua?!

"Tahun-tahun bersama mereka yang membuatku merasa hidup yang sebenarnya, sampai Neji memutuskan untuk, yah—mengambil Gaara. Aku tak mengerti apa yang ada di dalam otak Gaara, aku tahu ia sangat menyayangi orang tua kami, tapi ia mengiyakan saja saat dibawa Neji pergi," ujar Sasuke pelan.

"Akhirnya aku tinggal di New York bersama ibu. Tentu saja aku seharusnya senang Gaara tidak muncul lagi. Tapi tiba-tiba aku merasa kesepian, entah kenapa. … Tapi itu tidak mungkin kan? Gaara yang bodoh itu."

Sasuke mulai mencerocos betapa menyebalkannya Gaara.

"Lalu ayahmu? Naruto?"

"Ah—ya. Ini bagian terpenting. Dia memutuskan untuk pergi ke Jepang menjemput Gaara dari rumah Neji. Apa yang terjadi kemudian sangat tidak masuk akal. Neji menghilang. Gaara sendiri ada di rumah Kek Minato. Gaara berubah. Ia menjadi tambah arogan. Lupa akan keluarganya sendiri."

"Lalu?"

"Lalu seperti ada sistem yang salah, Sakura. Ibu tiba-tiba saja jatuh sakit dan mengurung diri di kamar—entah apa yang dikerjakannya. Ayah tiba-tiba menghilang entah kemana. Aku dan Gaara semakin tidak terkendali, kuakui itu. Kami membuat gank, menghancurkan kota dan banyak lagi."

Sakura mengernyit. Ia tak menyangka hubungan Gaara dan Sasuke bisa mengenaskan seperti itu.

"Kemudian tiba-tiba Ibu keluar dari kamarnya lalu menemui Gaara. Hanya Hinata—Ya, hanya dia yang mampu mengendalikan Gaara. Mereka membicarakan entah apa. Lalu dengan cepat Hinata menghilang dan Gaara bersikeras untuk membunuh Hinata di masa lalu."

Sasuke berhenti sejenak dan mengambil napas sebelum melanjutkan ceritanya.

"Ternyata, masa lalu sedang diubah."

"Diubah?"

"Ya. Neji ingin mengubah masa lalu Hinata sekaligus mengubah masa lalu Naruto. Sesuai keinginannya yang pasti. Ia mencuri time machine yang ada di rumah Kek Minato—entah bagaimana ia tahu ada alat semacam itu. Banyak yang dilakukannya. Mengubah Naruto menjadi cyborg… dan macam-macam lagi."

"Jadi, kau ke sini juga untuk mengubah masa lalu?"

"Bukan mengubah, tetapi memperbaiki. Jadi, ini rencanaku…"

End of Sakura POV

-mymysteriousfic-

.

.

.

2020, Jepang, 16:45

"Neji, kau bohong padaku."

"Hei—Ada apa dengan sopan-santunmu? Panggil aku Paman."

"Paman? Pantaskah kau sebut dirimu, Paman? Paman mana yang ingin menghancurkan keluarga keponakannya sendiri?" kata Gaara getir.

"Diamlah. Kau hanya keponakan angkat, tak lebih. Lagipula, apa yang kau harapkan dari sosokku sebagai Paman? Bermanis-manis di depan orang yang tidak kusukai membuatku muak." ucap Neji gusar.

"Kau bilang, Naruto yang akan kubunuh itu bukan Naruto yang asli. Tapi itu memang dia. Kau apakan aku sehingga mau menuruti kata-katamu?"

"Itu… Inovasiku. Mengubah Naruto yang masih remaja menjadi cyborg dan siapa yang ingin punya suami setengah robot? Hahaha—"

Gaara mengerutkan dahi saat Neji tertawa.

"Kau hanya akan melukai Hinata lebih dalam lagi. Berhentilah, Paman. Kumohon." pinta Gaara pelan. Ia menundukkan wajahnya.

Ia tahu, Pamannya tidak sepenuhnya salah jika menyangkut Hinata. Jatuh cinta itu tidak salah. Yang salah adalah terkadang kita jatuh cinta kepada orang yang tidak tepat.

"Hinata tidak tahu apa yang kulakukan. Ia tidak akan tahu apa-apa. Bahkan setelah aku—"

"Kau salah. Ibu tahu semua yang kau lakukan. Ibu tahu semuanya." potong Gaara cepat.

Mata Neji membulat. Tersirat rasa takut dari matanya. Gaara merasa inilah kesempatannya. Mungkin ia harus sedikit berbohong sekarang.

"Ibuku tak selemah itu. Bagaimanapun, ia seorang Hyuuga yang pintar. Selama ini ia pura-pura tidak tahu saja segala perbuatanmu. Tinggal tunggu waktu saja sampai ia datang dan balas dendam padamu atas apa yang kau lakukan pada keluarganya dulu."

"Tidak. Itu tidak mungkin. Hinata… dia tidak mungkin punya pikiran licik seperti itu. Tidak… Ia tidak mungkin tahu. Kau bohong!"

"Tidak ada yang tidak mungkin, Paman. Memang siapa yangmenyuruhku ke sini untuk membunuhmu kalau bukan Ibu?" tanya Gaara, menyeringai.

"Itu… tidak mungkin…," ucap Neji lambat-lambat.

Gaara segera mengokang handgunnya.

"Kau akan membunuhku?"

"Tidak. Handgun-ku terlalu baik untuk membunuhmu. Bagaimana kalau kita ke rumah sakit jiwa? Mungkin ada tempat untuk menampungmu."

-mymysteriousfic-

.

.

.

2016, Jepang, 13:00

"Itu kalian kan?" tanya Sasuke memastikan.

Hinata memperhatikan pintu gerbang yang ada di depan sebuah universitas. Ada dirinya yang lain. Lebih dewasa darinya. Dirinya yang lain itu baru saja keluar dari sebuah mobil hitam.

Saat mata Hinata menyipit, ia terkejut. Orang yang ada di dalam mobil itu, Neji!

Ia segera memasang telinganya untuk mendengarkan dirinya yang lain yang bercakap-cakap dengan Neji.

"Sampai nanti, Neji. Terima kasih sudah mengantarkanku."

Neji tersenyum senang.

"Jangan lupa, nanti siang kau kujemput. Kita harus makan bersama untuk merayakan kemenanganmu dalam Olimpiade Sains di New York kemarin, Hinata."

"Nanti siang aku ada janji makan bersama Naruto. Gomenasai. Jaa!" seru Hinata seraya berlari masuk ke dalam universitas.

Neji merengut. Ia segera pergi dari tempat itu dengan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Wow. Olimpiade Sains! Tak kusangka Ib—eh, kau sepintar itu. Kenapa kita ke tempat seperti ini?" tanya Sasuke heran. Ia melihat jam digitalnya yang tidak beres.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Baiklah, ini tahun berapa?"

"2016. Kenapa?"

"Kalau kita pergi ke tahun 2017, berarti itu pernikahanku kan? Baiklah, apa yang terjadi di tahun 2015? Ayo kita ke sana." kata Hinata sambil merenggut jam digital dari tangan Sasuke.

"Ha? 2015? Apa yang istimewa di tahun itu? Hei—itu jamku. Jam-ku sedang rusak. Memang kau tahu cara menggunakannya? Sini kemarikan."

DARR—

Terlambat.

Hinata lenyap.

Meninggalkan Sasuke yang terpana—ralat, terjebak di tahun ini tanpa jam digital.

"Oh, sial."

-mymysteriousfic-

.

.

.

2018, Jepang 14:00

"Ini alat untuk melihat masa depan. Seperti time machine. Tidak, kau tidak sedang bermimpi, Neji."

"Kau yang membuatnya Hinata? Bagaimana bisa?"

"Hehehe—kubantu dengan do'a sih, jadi Hinata yang jenius ini mampu membuatnya!"

"Aku tidak meminta komentarmu, Naruto. Hinata, apakah alat ini bisa membuat kita berpindah juga?"

"Aku tidak yakin. Alat yang asli masih kukembangkan di rumah ayah Naruto. Hei Neji, ternyata aku dan Naruto sudah kenal sejak masih kanak-kanak! Tapi aku baru tahu itu baru-baru ini."

"Yah—untung kita sudah menikah. Masa lalu biarlah berlalu, Hinata. Ayo, Neji, kutunjukkan kau sesuatu di luar. Jangan mengganggu Hinata di ruang kerjanya. Hehehe—"

.

.

BEEZZZHHTTT—DARR!

.

.

2019, New York 20:00

"Kau jangan macam-macam, Neji. Aku sudah menikah dengan Naruto… "

"Tapi… Kau tahu, akulah yang mencintaimu lebih dulu. Kenapa kau tak mengerti juga Hinata?"

"Kami sudah pindah ke sini bersama Gaara dan Sasuke. Tak ada alasan kau mengekang kehidupanku lagi sekarang. Kumohon, kembalilah ke Jepang."

"Boleh aku membawa Gaara?"

"A-apa?"

.

.

BBZTZTZTEEZZZHHTTT—DARR!

.

.

2035, New York 00:00

"Gaara… Apa yang terjadi padamu? Aku tidak tahu apa saja yang telah dikatakan Neji padamu, tetapi itu semua tidak benar. Kau masih percaya padaku?"

"Ibu…"

"Anak baik. Aku tahu kau memang memiliki hati yang baik. Pada tahun 2020, Ibu akan mati dibunuh oleh ayahmu. Percayalah. Itu bukan Naruto. Walaupun Naruto adalah dia. Bunuh aku pada tahun itu."

"A-apa…? A-aku… tidak bisa."

"Tentu saja kau bisa. Aku lebih memilih mati di tanganmu dengan sekali tembak daripada melihat Naruto berubah menjadi—"

"Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa bukan Sasuke?"

.

.

.

.

-mymysteriousfic-

.

.

.

2012, Japan 19:00

Tokyo Hospital

"Kau yang bernama Sakura?" tanya Hinata kepada gadis berambut pink yang sedang duduk di ruang tunggu.

Gadis itu terpana sesaat melihat Hinata sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Hinata tersenyum dan duduk di samping Sakura.

"Aku tahu ini agak riskan dan yah—mungkin melanggar hukum. Kau dan Sasuke berbeda usia 21 tahun, tahukah kau? Tetapi, cinta kan tidak memandang umur ya?"

"Apa maksud Anda?"

"Maksudku adalah, kenapa kau tidak tinggal saja di masa depan supaya kalian tidak terpaut usia begitu jauh? Tahun 2036 tak seburuk yang kau kira."

Sakura masih tidak mengerti dengan perkataan Hinata.

"Bagaimana keadaan Naruto?"

"Kurasa baik-baik saja, kau boleh masuk ke ruangannya, kalau kau mau."

Hinata beranjak pergi menuju ruangan Naruto. Sebelum itu, Hinata melemparkan jam tangan digital kepada Sakura yang segera Sakura tangkap dengan ekspresi bingung.

"Jemput Sasuke di tahun 2016. Kalian bisa kembali ke tahun 2036. Aku sudah memperbaiki jam rusak itu. Yah—Sasuke memang egois, tapi dia baik hati. Semoga berhasil!"

.

.

.

"Kau sudah ingat? Kau sudah tahu kalau—"

"D-diamlah, Naruto-kun. Lehermu masih sakit bukan? Ya, aku bukan saja ingat, tapi tahu se-mua-nya. Semua s-sesuai dengan prediksiku." jawab Hinata pelan. Ia terbata.

Ia tidak menatap mata Naruto saat berbicara dengannya. Wajahnya hanya merona seperti kepiting rebus terkena cat merah.

"Baguslah kalau begitu. Hehehe—" kekeh Naruto.

"K-kenapa waktu itu kau bersikap dingin dan kaku denganku, Naruto-kun?"

"Tidakkah terpikir olehmu, bukankah aneh kalau aku merasa dekat denganmu, tetapi engkau sendiri lupa siapa dan bagaimana aku?"

Betul juga. Hinata waktu itu bahkan tidak tahu kalu Naruto ada sebelum Naruto muncul di kelasnya.

"Lalu, bagaimana dengan tubuh cyborgmu ini? Bukankah baterainya habis…?"

"Ingat waktu kau merangkulku? Panas tubuhmu membuat energiku kembali. Bukankah itu menarik?"

Hinata merona. Lagi.

"Kita harus memperbaiki lagi, sepertinya. Aku tidak mau selamanya menjadi cyborg. Ayo kita kembali ke masa depan, Hinata-chan." ucap Naruto iseng.

"Jangan bermain-main dengan waktu, Naruto-kun! Apapun kau, manusia setengah salmon atau cyborg sekalipun, a-aku tetap—"

"Suka? Hehehe—"

Tepat. Hinata pun merona. Lagi.

.

.

.

.

Jauh, jauh dan jauh sebelum cerita ini dimulai…

Di sebuah taman pada tahun 2001

Ada seorang anak peremuan yang berlari ke sana kemari, tak menghiraukan larangan para pelayannya.

"Nona Hinata, jangan mendekati kolam itu!"

BYUURR—

"Ini menyenangkan! Kalian harus mencobanya sesekali. Hihihihi—"

Para pelayan itu segera berlarian menghampiri Nona mereka yang tengah asik bermain air di kolam. Hinata meronta-ronta saat tubuhnya diangkat dari kolam.

Ia menangis keras.

"BERISIK—! Mengganggu saja!"

Muncul satu suara anak laki-laki tanpa wujud. Hinata berhenti menangis dan melihat ke atas pohon di pinggir kolam.

Ada seorang anak laki-laki berambut pirang di atas pohon. Para pelayan Hinata juga terkejut melihatnya.

GABRUUGG—

Anak itu dengan sengaja menjatuhkan dirinya dari atas pohon ke tanah. Ia melakukan itu seperti tindakannya itu wajar dan tidak berbahaya.

"Kau anak perempuan kan? Cengeng sekali," gumam Naruto.

"Aku tidak cengeng."

"Kalau begitu buktikan. Berhentilah bersikap konyol dengan bermain-main di kolam. Buktikan kalau kau pintar."

"Kau juga konyol di atas pohon seperti itu. Akan kubuktikan kalau aku ini pintar. Lihat saja!" seru Hinata kecil dengan lantang, tidak mau kalah.

"Hehehe—dengan apa? Kalau kau bisa membuat mesin waktu, itu baru namanya pintar!"

"Aku bisa!"

"Yasudah, aku pergi dulu ya! Aku yakin nanti kita bertemu lagi. Jaa—!" ucap Naruto seraya berlari meninggalkan Hinata.

-mymysteriousfic-

.

.

.

::the end::

A/N: halo… makasih buat silent reader, reviewer, dan elo atas partisipasi membacanya dalam fic ini gue senang tentu saja karena fic ini bacanya harus mikir (ini apa coba? sotoy to the max). Di sana mendung di sini mendung, tengah2nya ada kaca, readersnya bingung, ueelahdalahh authornya juga bingung, yang penting? bisa baca… (WOYY INI MAKSA BANGET PANTUNNYA!)

mind 2 review?

.

.

R

E

V

I

E

W

.

.

.