Dislaimer: Eichiro Oda tetap pemilik One Piece

Rate : Semi-M

Maafkan Author jika ini agak sedikit Mesum, entah kenapa Author sedang terserang wabah Fanfic-Mesum

*Membungkukkan Tubuh. "Gomen Minna-sai"

.

Arigatou minnasan

Neyta Minaira

Ryuu

Widy

NamikazeNoah

vaneela

Kina Echizen

kanginbrother

Hikaru Kisekine

Chuuu-Chan

.

.

"bolehkah? Nami?" pertanyaan Luffy membuyarkan pikiran Nami.

Tangan Luffy memegang dagu dan menengadahkan wajah Nami. Keduanya saling menatap. Wajah keduanya saling mendekat. Sedikit lagi. Beberapa senti lagi bibir keduanya akan menyatu bahkan hidung mereka telah lebih dulu bersentuhan. Namun dengan cepat Luffy mengangkat tubuh Nami dengan cara meletakkan kedua tangannya pada kedua sisi ketiak Nami.

"Kyaaaaa" Nami sedikit berteriak kaget.

Dengan cepat Luffy membaringkan tubuh Nami di tempat tidur dan segera dirinya memposisikan diri berada diatas tubuh Nami. Nami menahan dada Luffy dengan tangannya. Menghalangi Luffy untuk benar-benar menindihnya.

Sangat pelan Luffy menyingkirkan tangan Nami dari dadanya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Nami.

.


.

~o(0)o~

.

Luffy langsung merasakan manis jeruk dari bibir yang kini ia kecap. Dihisapnya pelan untuk merasakan lebih banyak manisnya jeruk. Rasanya enak sekali. Luffy semakin mendalamkan bibirnya pada bibir Nami. Tangannya mengelus pipi Nami yang lembut.

"Hhnn" Nami mendesah merasakan sensasi yang membuatnya mabuk. Terbuai dengan kecapan dan hisapan Luffy pada bibirnya. Dibukanya sedikit mulutnya untuk mencuri setidaknya sedikit udara agar ia tak kehabisan nafas.

Luffy menjulurkan lidahnya masuk kedalam mulut Nami, mencari lidah Nami untuk diajaknya bertarung dengan lidahnya. Sungguh Luffy sangat menyukai rasa dari bibir bahkan lidah Nami.

Luffy yang kehabisan nafas melepaskan kecupannya. Kini dirinya beralih ke leher Nami. Ia ingin mencoba apakah rasanya sama dengan rasa bibir itu. Karena aroma yang keluar dari tubuh Nami juga rasa jeruk.

Nami mengerang saat kecupan Luffy menyerang lehernya. Bukan hanya kecupan, Luffy memperlakukan lehernya sama dengan bibirnya tadi. Mengecap dan menghisap. Nami yakin saat ini titik itu sudah pasti membekas merah. Nami menarik kepala Luffy menjauh dari lehernya.

Nami menggelengkan kepala menghadap Luffy. Luffy menatap Nami sekilas setelah itu langsung menghambur membenamkan kepalanya didada Nami. Nami pun memeluk kepala Luffy, mendekapnya. Rasa hangat mengalir disekujur tubuh mereka. Biarlah seperti ini. biarlah dalam posisi ini.

Luffy suka aroma ini.

Nami suka dengan kehangatan ini.

.

~o(0)o~

.

"Luffy" panggil Nami pelan. Disentuhnya pipi kiri Luffy.

"Hn.."

"Sudah hampir pagi, kau bisa kembali ke kamarmu"

Luffy menatap Nami sendu. "Kau mengusirku, Nami"

Nami menggeleng. "Bukan begitu, Luffy. Bisa bermasalah jika ada yang tau kau ada di dalam kamarku"

"Ke-kenapa? Inikan kapalku. Apa masalahnya?"

"Baka" Nami memukul pelan dahi Luffy. "Tentu saja masalah, kau laki-laki dan aku wanita"

"Tapi, Nami.." protes Luffy.

"Sudahlah, kau harus segera ke kamarmu. Sebelum yang lain melihatnya. Nanti malam kau bisa kembali lagi"

"Benarkah?" Luffy blushing.

"Hn.. Dan setiap malam" Nami mengangguk. Sebuah senyum mengembang di bibirnya.

"Yosh" ucap Luffy yang sudah berdiri. "Aku kembali ke kamarku" Luffy mengecup sekilas bibir Nami. Pria itu berlari menuju pintu. "Oyasumi" ucap Luffy seraya menutup pintu kamar Nami.

Sepeninggal Luffy, Nami bangkit dari tempat tidurnya. Menuju cermin, sebuah bercak merah bertengger di lehernya. Nami menarik laci meja kerjanya. Mengambil plester yang ada disana dan menempelkannya pada bercak merah itu.

"Cukup menutupi" Ucapnya kepada diri sendiri.

Flashback Off

.

~o(0)o~

.

"Nami-swan. Kau ingin sarapan diruang makan atau aku bawakan sarapanmu ke kamar?" Ucap Sanji yang berada diluar pintu kamar Nami.

"Tidak perlu, Sanji-kun. Aku akan segera ke ruang makan" Jawab Nami dari dalam kamar.

"Baiklah Nami-swan" Sanji berjalan menuju ruang makan. Disana sudah ada kru Topi jerami yang sedang menyantap sarapan mereka, minus Nami yang sejak tadi belum datang dan Sanji memutuskan untuk mendatanginya karena saat tadi dirinya menyuruh Usop untuk memanggil Nami, Usop menolaknya dengan berdalih bahwa dirinya benar-benar kelaparan tingkat tinggi seolah dirinya belum menyentuh makanan sejak setahun yang lalu. Memang dasar, tukang bohong. Semua mata menatap Usop saat dia mengatakan alasannya tak mau memanggil Nami tadi.

"Ah.. Nami-swan. Kau lama sekali keluar. Apa kau sakit" Sanji mendekati Nami yang baru saja memasuki ruang makan. Nami melangkah menuju bangku yang kosong diantara Zoro dan Robin. Tepat dihadapan Luffy.

Luffy yang sedang asyik menyantap dagingnya menoleh pada Nami yang ada dihadapannya. Dahinya berkerut dan dia menunjuk pada leher Nami.

"Nami. Kau sakit? Apa itu yang ada di lehermu?" Tanya Luffy yang benar-benar innocent.

"Uhuuuk uhuuuk" Nami tersedak oleh sandwich yang baru saja ia gigit. Melotot pada Luffy. Apa-apaan dirinya itu. Dengan polosnya bertanya ini apa? ini karena ulahmu, Luffy. batin Nami.

Mendengar ucapan Luffy tadi dan respon yang terjadi pada Nami, membuat seluruh mata menatap Nami dan Luffy bergantian.

"Betul Nami, bahkan kali ini plester itu semakin banyak menempel di lehermu. Apa kau tidak apa-apa?" ucap Usop menunjuk leher Nami.

"Ah, kalau begitu. Biar nanti aku yang periksa. Takut itu sesuatu yang bu.." ucapan Choper terhenti.

"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Percayalah!" Nami menyentuh plester yang ada di leher sebelah kirinya. "I-ni cuma, di-gigit nya-muk" Wajahnya sudah merah padam.

"Jwi-kwa kwau twidwak awpwa-awpwa. awkwu twak pwerlwu khwawawatwir" (jika kau tidak apa-apa aku tak perlu khawatir) ucap Luffy masih dengan mulut penuh makanan.

Mendengar ucapan Luffy, semua yang berada di meja makanpun tak bersuara lagi dan melanjutkan kegiatan makan mereka.

.

~o(0)o~

.

Siang yang terik saat yang tepat untuk menikmati segelas juice yang dingin dan bersantai di bawa payung pantai di atas dek kapal.

"Nami-chan. Apa aku salah lihat atau tidak, ada bercak merah di belakang telinga-mu" kata yang diucapkan Robin kata yang biasa dan wanita berambut hitam itu bahkan mengucapkan itu sembari masih menatap dan menyimak buku yang tengah dibacanya.

Namun lain bagi Nami, seketika wajahnya berubah merah.

"Apa kau terkena alergi? Atau panas matahari hari ini membuat kau mengeluarkan bercak-bercak di se...ki..tar..."

Nami tak tahan lagi mendengar kelanjutan pertanyaan Robin. Dirinya ingin segera melarikan diri. Dilepaskannya kacamata hitam yang bertengger pada hidungnya dan beranjak berdiri dari posisi nyamannya di atas kursi pantai yang tadi menopang tubuhnya.

"Aku tidak apa-apa Robin. Tidak ada satu-pun penyakit yang sedang menyerangku saat ini. Seperti ucapanku tadi pagi, ini bercak gigitan..." Nami terdiam sesaat. Wajahnya kian memerah mengingat hal yang sebenarnya membentuk bercak merah itu. "Nyamuk" Ucap Nami menyelesaikan kata-katanya dan berjalan menjauhi Robin menuju kamarnya.

"Fufufufu..." Robin terkekeh mendengar ucapan Nami yang terlihat salah tingkah saat dirinya mengungkit lagi masalah bercak merah pada leher Nami.

Sebenarnya Robin tau apa yang sebenarnya terjadi pada Nami tanpa gadis penggila Jeruk itu berkata jujur padanya. Sebagai seorang wanita satu-satunya teman Nami di atas kapal dan juga sebagai teman berbagi kisah perempuan, fasion, hobi dan juga... soal perasaan. Robin tau ada sesuatu yang terjadi dengan Nami dan sang kapten seperti yang pernah ia lihat malam itu.

.

~o()o~ Flashback On ~o(0)o~

.

Malam telah larut namun rasa penasaran dengan isi lebih dalam buku yang tengah dipegangnya membuat Robin beranjak menuju dapur kapal untuk menyeduh secangkir kopi agar dapat terus membuka mata dan menyerap semakin banyak info dalam buku itu.

Secangkir kopi sudah didapatnya, aroma kafein yang cukup menyengat mengusir penciumannya untuk terus menghirup aroma yang benar-benar disukainya itu.

"Kyaaaaa"

Pekikan itu terdengar dari dalam kamar sang navigator, Robin yakin suara itu benar adalah milik Nami. Segera bertindak dan gegabah itu bukanlah milik Nico Robin. Walau dia merasa khawatir dan takut-takut terjadi sesuatu terhadap Nami, namun dia masih tak mau langsung bergerak.

Menunggu apakah ada lagi suara yang akan terdengar dari dalam kamar Nami atau malah suara pekikan kembali yang Nami keluarkan membuat Robin mempertajam pendengarannya.

"Hhnn" kali ini Robin yakin mendengar desahan nafas yang tertahan.

Robin tidak sama dengan para kru topi jerami yang lain, Robin tergolong mampu dan cukup pintar membaca situasi yang ada dan Robin sudah cukup dewasa mendengar suara desahan yang seperti baru saja terdengar olehnya dari dalam kamar Nami.

Dia bisa menduga kegiatan apa yang tengah dilakukan sang navigator selarut ini, yang jelas ia amat tau bahwa kegiatan itu adalah kegiatan yang sangat menyenangkan dan memabukkan, siapapun yang melakukannya pasti ketagihan dan kecanduan itu terus mendapati kenikmatan itu. Kenikmatan yang didasarkan pleh sebuah rasa suka, sayang dan cinta. Namun Robin menjadi penasaran siapa gerangan yang menjadi partner Nami dalam kegiatannya itu.

Robin memutuskan untuk membaca di bawah tiang utama kapal dengan menghadap langsung ke arah kamar Nami.

.

~o(0)o~

.

Blam

Kurang satu jam Robin menelusuri lagi setiap baris kata dari buku sejarah "Dunia Baru" itu segera terusik oleh suara pintu yang baru saja tertutup. Robin menoleh dan menutup bukunya.

Tak seperti dugaannya, sesosok yang terlihat jelas di depan pintu kamar Nami itu tak nampak terkejut, dengan menghadiahkan Robin sebuah cengiran sang kapten yang terkenal dengan sebutan topi jerami itu tanpa aba-aba langsung bergerak mendatangi Robin.

"Yo, Robin. Kau sedang apa?" Tanya Luffy Innocent.

Robin tersenyum. "Seperti yang kau lihat. Membaca buku" Ujarnya mengangkat bahu dan menggerak-gerakkan tangannya yang sedang memegang buku.

"Kau tidak tidur? bukankah sekarang sudah larut malam?" Luffy menopang dagunya dengan meletakkan tangannya di atas meja.

"Kau sendiri kenapa tidak tidur, kapten? Dan apa yang sedang kau lakukan di dalam kamar Nami selarut ini?" Robin menarik satu sudut bibirnya.

"Hm... Apa ya?" Tanya Luffy yang masih saja innocent. "Apa harus! Aku katakan padamu, Robin?" Luffy terlihat berpikir.

"Fufufu... Kalau kau merasa tak perlu mengatakannya padaku, yah jangan katakan!"

"Shishishi... Bukankah aku sudah bilang kemarin. Aku menyukai aroma dari Nami. Kau tau, Robin? Aromanya begitu haruuuum... Entah mengapa aku begitu menyukainya dan aku mau lagi untuk menghirup aroma itu."

"Fufufuuu"

"Hei, Kenapa kau tertawa?"

"Kau mencintainya?"

"Eh..."

"Kau mencintai Nami?"

"Benarkah?" Bola mata Luffy melebar.

"Aku bertanya padamu, Kap..ten..."

"Apa aku mencintai Nami? Apa itu 'Cinta'? Robin!"

Robin terdiam sesaat.

"Cinta itu apa? Seperti apa?" Ucap Luffy tak sabar.

"Apa kau suka melihat Nami bahagia dan tertawa?" Luffy tak menjawab namun ia hanya mengangguk.

"Apa kau suka melihat Nami bersedih dan menangis?"

"Tentu saja tidak" Sergah Luffy cepat. "Aku tak suka melihat airmatanya saat menangis"

"Apa kau selalu ingin bertemu dan melihatnya?" Luffy kembali mengangguk.

"Apa kau ingin terpisah dari Nami?"

"Tidak!" Kali ini Luffy berdiri dan melipat kedua tangan di depan dadanya. "Tak akan ada yang boleh memisahkan kita lagi"

"Fufufu... Tentu saja, kapten. Tak akan lagi ada yang terpisah diantara kita" Ucap Robin terkekeh yang melihat sang kapten sudah mulai bermain dengan emosinya dan nampak serius.

"Jadi itu yang dibilang cinta. Apa aku juga mencintaimu, Zoro, Sanji, Ussop, Choper, Franky, Brook?"

"Betul. Kau mencintai kami semua, kapten. Tapi terhadap Nami berbeda" Ucapan Robin membuat kedua tangan yang terlipat di depan dada Luffy mengendur dan jatuh di sisi tubuhnya.

"Apa kau menyukai bibir Nami? Apa kau menyukai tubuh Nami? Apa kau ingin menciumnya? Apa kau ingin memeluknya?"

"I...ya" Luffy mengangguk dan tanpa sadar semburat merah tipis menghiasi kedua pipinya.

"Dan apa kau juga ingin mencium kami? apa kau juga ingin memeluk kami?"

Luffy mengerutkan dahinya dan menautkan kedua sisi alisnya.

"Kurasa tidak!" Ucap Luffy pasti. "Zoro pasti memenggal kepalaku jika kulakukan itu padanya, Sanji sudah pasti aku akan diiris dan direbus olehnya. Ussop tak akan mau melakukannya, Choper cukup kuletakkan di atas pundakku saja. Franky dan Brook tentu saja aku tak mau, tubuh mereka begitu keras, aku suka tubuh Nami yang empuk" Jawab Luffy ringan.

Robin hanya memperhatikan sang kapten. "Dan kau Robin!" Luffy terdiam sesaat. Dipandangnya sosok wanita tinggi dengan warna rambut yang sama dengan rambutnya.

"Ya kapten" Robin terlihat menunggu kata-kata yang diucapkan Luffy.

"Apa kau mau mencium dan memelukku?"

"Jika kau inginkan itu" Robin beranjak dari posisinya mendekati Luffy.

"Aku rasa aku yang tak mau" Ucap Luffy.

"Mengapa?" Tanya Robin yang sudah mendekat pada Luffy.

"Entahlah" Jawab Luffy mengangkat bahunya. "Aku hanya tak mau saja"

"Itulah mengapa kubilang kau mencintai Nami, kapten topi jerami"

Luffy tak menjawab, ia hanya mengangguk. Robin melihat bahwa tanda itu menjelaskan sang kapten mengerti apa yang dikatakannya.

.

~o(0)o~ Flashback Off ~o(0)o~

.

~o(0)o~

.

Nami menarik sebuah garis menggunakan pensil dan penggaris pada selembar kertas putih besar yang ada di atas meja kerjanya. Ia sudah hampir menyelesaikan gambar peta pulau shabondy.

"Nami" Suara panggilan itu terdengar dari jendela ruang kerjanya. Nami menoleh sekilas.

"Luffy. Sedang apa kau disana?"

Luffy melompat masuk ke dalam ruangan dan mendekati Nami.

Nami kembali menorehkan pensilnya pada sketsa peta shabondy itu, mengacuhkan Luffy yang sedang mendekatinya.

"Aku mencintai Nami" Ucap Luffy tepat di belakang telinga Nami. Bola mata Nami melebar, Seketika Nami tercekat mendengar ucapan Luffy barusan. Tak ayal semburat merah menghiasi pipinya, gerakan tangannya pun terhenti dan terasa kaku.

Kedua tangan Luffy menyelinap dibawah kedua tangan Nami dan menautkan keduanya melingkari pinggang ramping itu. Nami benar-benar merasa serangan jantung melandanya, dengan mendengar ucapan Luffy saja membuat semburat merah menghiasi pipinya, apalagi merasakan lembutnya lengan yang kini memeluk pinggangnya.

Wajah Nami berwarna merah pekat. "Lu...ffy..." Ucapnya lirih. Gadis oranye itu berusaha kuat mengatur detak jantungnya yang berdebar kencang. "A...pa yang kau ucapkan?" Tanya Nami malu-malu, sejujurnya ia begitu bahagia mendengarkan pernyataan cinta dari Luffy barusan.

"Aku baru tau kalau aku mencintaimu, Nami" Luffy membalikkan tubuh Nami menghadapnya, dan segera mendaratkan bibirnya pada bibir Nami. Mengecup Singkat namun begitu dalam kecupan yang Luffy berikan membuat Nami terbuai. Luffy menjauhkan wajahnya dari wajah Nami.

Tangan kanan Nami menyentuh wajah Luffy dan ia tersenyum. "Aku juga mencintai Luffy"

"Shishishi..." Luffy kembali menarik wajah Nami untuk kembali mendapatkan ciumannya lagi dari Nami, dan kali ini ciuman mereka berlangsung lama dan semakin mendalam, saling menghisap dan menumpahkan segala perasaan mereka berdua. Keduanya begitu terbuai hingga tak menyadari sosok Sanji yang mematung di ambang pintu dengan baki berisi segelas minuman dingin dan sepiring cake coklat yang hendak diberikannya kepada Nami.

Sanji mengeluarkan aura membunuhnya karena marah, namun emosinya tiba-tiba terhenti saat sebuah tangan menyentuh bahunya. Robin tersenyum pada Sanji yang menoleh.

"Biarkan saja!" Ucap Robin sepelan mungkin, tak ingin Luffy dan Nami mengetahui keberadaan Sanji dan dirinya di depan pintu itu. Robin menarik keluar tubuh Sanji dari dalam ruangan. Menutup pintu tanpa meninggalkan suara sedikitpun.

"Aku tau Luffy dan Nami saling mencintai, mereka juga tau itu" Robin menunjuk lima orang kru yang sudah berada di hadapannya dengan senyuman dan tawa yang ditahan oleh masing-masing pemiliknya.

Walau dengan helaan nafas yang berat Sanji akhirnya tersenyum. "Setidaknya aku lihat Nami bahagia dengan calon raja lautan itu"

.

.

~o(0)o~

FIN

~o(0)o~

.

.