DISCLAIMER :
Togashi-Sensei
TITLE :
Doctor Handsome
SUMMARY :
A fresh graduate Kurapika applied job at a famous hospital. She met a special person there, with unusual personality and double-sided life.
WARNING :
AU. OOC. FemKura.
A/N :
Happy reading^^
.
.
.
Terdengar suara tawa terbahak-bahak dari sebuah restoran makanan Jepang. Di salah satu private room yang ada di sana, nampak sekumpulan wanita muda sedang berpesta. Awalnya hanya makan-makan biasa, namun suasana menjadi lebih ramai saat sake dihidangkan.
"Akhirnya kita semua bisa lepas dari dosen-dosen bodoh itu!" kata seorang wanita sambil menuangkan sake untuk yang kesekian kalinya.
"Benar sekali, tidak ada lagi mata kuliah yang memusingkan, dosen yang menyebalkan, dan pria yang membuatku muak!" kata seorang lagi. Ia sudah tampak mabuk dengan penampilannya yang berantakan.
Di salah satu ujung meja, seorang wanita berambut pirang pendek hanya diam sambil memegang gelasnya. Wanita itu, Kurapika Kuruta, memperhatikan tingkah teman-temannya, lalu menghela napas. Ia pun merasa sedikit khawatir. Bagaimana nanti mereka semua bisa kembali ke tempat tinggal masing-masing dengan keadaan seperti itu?
Semua ini berawal dari acara wisuda yang diadakan di universitas siang tadi. Kurapika dan teman-temannya baru saja mendapatkan gelar sarjana. Pihak fakultas pun mengadakan acara perpisahan hingga sore hari. Di sana mereka berbincang dan berfoto bersama.
Tapi tidak semuanya sempurna pada hari itu. Misalnya Neon Nostrad, hubungannya dengan kekasihnya yang seorang dosen muda di universitas yang sama baru saja berakhir, sementara ayahnya langsung mengatur perjodohan antara Neon dengan putra rekan bisnisnya.
Lain lagi dengan Shizuku. Gadis berkacamata itu memang terkadang sifat pelupanya sudah sangat keterlaluan. Ia lupa memberitahu kedua orangtuanya yang tinggal di luar kota bahwa dirinya mengikuti acara wisuda hari ini. Tentu saja mereka marah dan tak bisa hadir, karena tak cukup waktu untuk datang ke Kota York Shin menghadiri acara tersebut.
Bagaimana dengan Kurapika sendiri? Tak ada orangtua yang melihatnya wisuda, pun tak ada orang yang menunggunya di rumah dan menyiapkan pesta untuknya. Kurapika sudah terbiasa hidup sendiri sejak duduk di bangku SMA. Saat itu, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan pesawat. Berbekal tabungan dan sebuah rumah yang ditinggalkan orangtuanya, Kurapika mulai berjuang menjalani hidupnya. Saat melanjutkan sekolah ke bangku kuliah, Kurapika terpaksa menjual rumah keluarganya untuk biaya kuliah dan mulai mencari kerja sambilan.
Suara botol minuman yang jatuh menyadarkan Kurapika dari lamunannya. Nampak Neon sudah menelungkupkan wajahnya di atas meja sambil mengoceh tak jelas. Wanita berambut pink itu benar-benar sudah mabuk sekarang.
"Ayo pulang, Neon," ajak Kurapika.
Neon membuka sedikit matanya dan menatap wanita pirang itu.
"Kau licik, Kurapika…seharusnya kau juga minum," gumamnya.
Kurapika tersenyum. "Kau tahu 'kan, aku tidak tahan minuman keras? Jadi lebih baik aku menghindarinya."
Neon tertawa kecil.
'Sudah cukup,' batin Kurapika. 'Kau harus pulang sekarang.'
"Neon, aku hubungi orang di rumahmu ya? Aku akan meminta mereka untuk datang menjemputmu ke sini," Kurapika berkata sambil mengeluarkan ponselnya dan mulai memencet nomor telepon rumah temannya itu.
Namun Neon segera mengambil ponsel Kurapika dan menutup teleponnya. Kurapika terkejut.
"Kalau kau menelepon ke sana, pasti Ayah akan menyuruh pria itu untuk menjemputku," katanya lemah.
"Hah? Siapa maksudmu?"
Neon hanya diam tak menjawab. Tak ada pilihan lain, Kurapika harus mengantarnya pulang. Ia pun bangkit dan mulai memapah Neon. Sekilas Kurapika melihat ke arah Shizuku. Ia lega saat melihat Shizuku masih cukup sadar untuk dapat pulang sendiri.
.
.
"Ughh…Neon, kau benar-benar harus diet! Badanmu terasa begitu berat," keluh Kurapika sambil memapah Neon. Mereka berdiri di tepi jalan lalu Kurapika memberhentikan sebuah taksi.
"Tolong ke Rumah Keluarga Nostrad," kata Kurapika.
Tak sampai setengah jam, mereka sampai di tempat tujuan. Pelayan Keluarga Nostrad sangat berterimakasih pada Kurapika, dan menawarkan untuk mengantarnya pulang.
"Terimakasih…tapi tidak usah. Aku akan pulang dengan taksi yang tadi kunaiki bersama Neon," tampiknya halus.
Kurapika pun berjalan keluar gerbang rumah besar itu. Betapa terkejutnya Kurapika, saat melihat taksi yang tadi mengantarnya sudah tak ada di sana! Padahal taksi jarang melewati daerah itu di malam yang sudah larut seperti sekarang.
Kurapika menengadah. Ia melihat bulan yang bersinar terang.
'Apartemenku 'kan cukup dekat…lebih baik aku jalan kaki saja dulu sampai ada taksi,' ia memutuskan dalam hati. 'Lagipula malam ini sangat indah.'
Kurapika mulai berjalan menuju apartemennya berada. Suasana sepi saat itu, membuat Kurapika tenggelam dalam lamunannya lagi.
'Ayah, Ibu…aku sudah berhasil menyelesaikan pendidikanku seperti yang kalian inginkan. Aku harap…saat ini kalian dapat melihatku dengan bangga dari atas sana.'
Kurapika tersenyum tipis. Tiba-tiba ia mendengar suara ribut dari sebuah gang kecil. Merasa penasaran, Kurapika menghampiri tempat di mana suara itu berasal.
Terlihat seorang pria bermantel hitam sedang berhadapan dengan tiga orang pria berwajah sangar. Sepertinya mereka terlibat suatu perkelahian. Kurapika tak dapat melihat wajah pria bermantel hitam itu, tapi ia dapat melihat saat pria itu mengeluarkan sebuah pistol dari dalam mantelnya.
Kurapika terhenyak. Ia ingin segera berlari pergi dari tempat itu sebelum orang-orang di sana menyadari kehadirannya, tapi kakinya terasa begitu lemas dan gemetar.
Lawan si pria bermantel pun mengeluarkan pistol. Tapi sebelum mereka bertiga sempat menarik pelatuk pistol masing-masing, si pria bermantel sudah bertindak duluan. Ia menembak ketiganya di bagian kaki, tangan dan perut…membuat mereka meraung kesakitan. Si pria bermantel membalikkan badannya sedikit, hingga Kurapika dapat melihat raut wajahnya yang dingin.
Ia menyeringai melihat keadaan orang-orang di hadapannya, lalu menembaki mereka lagi…tapi menghindari jantung dan kepala sebagai sasaran tembaknya. Sepertinya pria itu ingin membuat korbannya menderita dan mati perlahan-lahan.
Kurapika terkejut. Matanya membelalak. Melihat pemandangan mengerikan itu, ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan khawatir napasnya yang memburu akan terdengar.
Pria itu berbicara sesuatu dengan nada suara yang datar, namun Kurapika tak dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Ketiga korbannya benar-benar kesakitan hingga akhirnya mereka memohon agar segera dibunuh daripada terus merasakan rasa sakit yang begitu menyiksa.
Si pria bermantel menendang tubuh mereka lalu menembakinya tanpa ampun. Sepertinya pistol yang ia gunakan memakai peredam suara, karena suara tembakannya hampir tidak terdengar.
Kemudian pria itu mengambil sesuatu dari dalam saku jaket salah satu korbannya yang sudah bermandikan darah, lalu berbalik pergi. Dengan kekuatan yang tersisa, Kurapika menyingkir dan bersembunyi. Ia menahan napas saat si pria bermantel melewati tempat di mana ia berada. Ketika itu cahaya lampu jalan sempat menerangi wajah si pria bermantel…membuat Kurapika dapat melihat tanda yang aneh menghiasi keningnya. Tanda itu seperti sebuah tattoo.
Kemudian terdengar suara mobil mendekat.
"Suruh mereka membereskan mayat-mayat itu," perintah si pria bermantel.
"Baik, Danchou," terdengar seseorang menjawab.
Setelah dirasa aman, Kurapika keluar dari tempat persembunyiannya lalu berlari pulang dengan tergesa-gesa.
'Dia…benar-benar iblis!' jeritnya dalam hati.
.
& Skip time &
.
Hari-hari berlalu. Kurapika memilih melupakan malam mengerikan itu. York Shin kota yang sibuk dan ramai dengan banyak kasus kriminalitas yang terjadi, tentu apa yang dilihatnya bukan suatu hal yang aneh lagi.
Kurapika mulai mencari pekerjaan. Ia mengirim surat lamaran melalui email ke berbagai tempat. Setelah ada panggilan, Kurapika mulai mengikuti tes dan wawancara.
Saat ini Kurapika berada di sebuah bis kota dengan penampilan yang rapi dan mengenakan blazer. Wanita itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
'Masih ada waktu,' gumamnya dalam hati.
Ya, saat ini Kurapika tengah memenuhi panggilan wawancara. Ia sudah lolos tes tertulis, tinggal satu tes lagi. Kurapika sangat berharap dapat diterima bekerja di rumah sakit terkenal tempatnya melamar. Rumah sakit itu memiliki lowongan pekerjaan yang pas dengan pendidikannya dan menawarkan gaji yang bagus.
'Aku harus optimis,' ucap Kurapika dalam hati.
.
& Skip Time &
.
Kurapika memperhatikan wanita berwajah ramah yang ada di hadapannya. Sesi wawancara baru saja selesai, dan sepertinya wanita bernama Mito itu puas dengan kemampuan Kurapika.
"Oya, kau tidak keberatan 'kan bekerja selama enam hari kerja di sini?" tanya Mito sambil tersenyum. Entah kenapa, ia senang melihat wanita muda berambut pirang yang duduk di hadapannya saat ini. "Di sini, beberapa poliklinik tetap buka pada hari Sabtu. Dan selain paramedis, staf administrasi pun ikut masuk kerja pada hari itu."
"Tentu saja…itu tidak masalah bagiku," jawab Kurapika.
Mito melihat-lihat berkas lamaran Kurapika sekali lagi lalu merapikannya kembali.
"Baiklah, kau diterima bekerja di sini," Mito berkata yang langsung disambut dengan wajah berseri-seri Kurapika. "Bisakah kau mulai bekerja besok?"
Kurapika baru saja akan menjawab saat tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang wanita yang sepertinya adalah pegawai rumah sakit juga, melangkah masuk. Ia terlihat kaget saat melihat Mito tidak sendiri.
"Bu Mito, maafkan kelancangan saya…tapi ada sedikit masalah," jelasnya.
"Masalah apa?" tanya Mito heran.
"Dokter spesialis bedah itu berulah lagi. Pegawai yang bekerja di apotik menemuinya untuk meminta daftar usulan obat yang akan diajukan tahun ini. Dia menolak dengan alasan tidak ada orang untuk membantu membereskan tugas-tugasnya. Ngg…Bagian Pelayanan sudah menegurnya, tapi dokter itu malah menantangnya."
Mito menghela napas. Apa yang didengarnya sudah sering terjadi, namun hal itu tidak bisa terus dibiarkan. Lalu ia memandang Kurapika dan bertanya,
"Siapkah kau jika mulai bekerja hari ini? Tampaknya kami membutuhkan bantuanmu."
.
& Skip Time &
.
Saat ini Kurapika tengah melangkah di koridor rumah sakit bersama Mito. Kesibukan terlihat jelas di sana. Entah sudah berapa buah blankar yang terlihat membawa pasien dengan berbagai kondisi.
Menuju ke bagian barat rumah sakit, suasana mulai lebih tenang. Sepertinya daerah itu memang khusus ditujukan untuk staf dokter. Ruang rapat berukuran besar pun tersedia di sana.
Sesampainya di depan sebuah ruangan, Mito menghentikan langkahnya. Ia menghela napas. Jujur, sebenarnya ia tak sampai hati meminta pegawai baru seperti Kurapika untuk menangani segala urusan dokter bedah itu. Tapi tak ada pilihan lain, pihak rumah sakit sedang kekurangan tenaga sekretaris saat ini.
"Sebelumnya kuberitahu kau, dokter itu…berbeda. Memiliki ego yang tinggi. Cenderung praktis, tidak menyukai hal-hal yang bersifat birokrasi sehingga mereka memerlukan orang untuk mengurus semua itu. Lalu dokter bedah yang akan menjadi atasanmu sekarang merupakan orang yang cukup sulit ditangani."
Kurapika tersenyum tipis.
"Aku akan mencobanya," ia menjawab dengan tenang.
Mito terlihat lega mendengar jawaban Kurapika. Ia pun segera membuka pintu…melangkah masuk dan menghampiri ruangan yang berada di dalam.
Benar-benar ruangan yang rapi dan bersih. Kurapika mengira ia akan bertemu dengan seorang dokter yang berwajah sangar, namun apa yang dilihatnya ternyata sangat berbeda.
dr. Kuroro Lucifer, Sp.B.
Seorang pria tampan dengan kulit berwarna putih pucat dan bentuk tubuh yang bagus. Ia terlihat muda untuk ukuran seorang dokter spesialis, mungkin usianya masih kurang dari tiga puluh tahun.
"Permisi Dokter," Mito mulai bicara sambil menyerahkan berkas lamaran Kurapika kepada pria itu. "Ini Kurapika Kuruta yang akan menjadi sekretarismu mulai hari ini."
Tak ada reaksi sedikitpun terlihat dari wajah Kuroro. Bahkan ia sama sekali tak melihat ke arah kedua wanita yang tengah berdiri di hadapannya! Kuroro membaca berkas lamaran Kurapika sekilas, lalu menghempaskannya begitu saja ke atas meja.
Kurapika terlihat agak tersinggung melihat sikapnya, tapi untunglah ia masih bisa mengontrol emosinya.
Kuroro mengangkat wajahnya dan menatap Kurapika. Ada sedikit yang membuatnya terganggu, yaitu tentang apa yang ia rasakan saat berhadapan dengan wanita itu.
'Aku pernah merasakan perasaan ini…entah di mana,' batin Kuroro dalam hati.
Kurapika hanya diam, namun lama-lama ia merasa tak nyaman dengan tatapan Kuroro padanya. Suasana menjadi tak mengenakkan.
"Kerjakan ini," kata Kuroro sambil menyerahkan beberapa lembar kertas pada Kurapika.
.
.
Kurapika menatap kertas-kertas yang berada di hadapannya. Benar-benar istilah obat yang aneh, bahkan tulisannya pun aneh! Kurapika tak bisa membaca isinya, apalagi memahaminya. Ia kebingungan.
"Belum mulai juga?" tiba-tiba Kuroro sudah berdiri di depan mejanya.
Kurapika pun menjawab, "Maaf Dokter, tapi aku tak bisa membaca isinya…"
"Kau berani melamar pekerjaan di rumah sakit, jadi apapun latar belakang pendidikanmu, kau harus mengerti! Sekarang ada operasi yang harus kulakukan. Setelah aku selesai nanti, usulan obat itu harus sudah ada di mejaku untuk kutandatangani. Kalau kau tak sanggup, mengundurkan diri saja!"
Lalu Kuroro berlalu pergi dan membanting pintu dengan keras. Kurapika terpaku. Dia tak menyangka akan mendapat atasan yang sulit seperti orang itu. Dingin dan arogan. Tanpa sadar, karena emosi Kurapika meremas kertas yang ada di tangannya.
'Aduh! Apa yang kulakukan?' pekiknya dalam hati.
Kurapika mulai berpikir, akhirnya ia segera berdiri dan dengan tergesa-gesa menuju ke apotik.
.
.
Sesampainya di sana, para pegawai apotik rumah sakit itu terlihat heran melihatnya.
"Hai Nona Cantik, kau siapa? Pegawai baru ya?" tanya seorang pria berumur 40-an dengan kumis tipis di wajahnya.
Kurapika tersenyum. "Ya…aku baru mulai bekerja hari ini. Namaku Kurapika Kuruta. Aku kesulitan membaca tulisan dokter dalam daftar usulan obat. Mungkin ada yang bisa membantuku?"
Pria itu membaca kertas-kertas yang dibawa Kurapika, lalu tertawa terbahak-bahak. Kurapika menatapnya aneh. Ia pun merasa tak senang, kenapa ia ditertawakan?
"Kau sekretaris baru Dokter Lucifer? Aku benar-benar turut berduka cita untukmu!" katanya. Lalu ia membawa sebuah buku tebal dan memberi tanda pada beberapa nama dan merek obat di dalam buku itu sesuai dengan apa yang tertera di kertas yang dibawa Kurapika.
"Ini, bawalah!"
Kurapika menatap buku tebal di tangannya. Mungkin pria di depannya saat ini sudah keterlaluan menertawakan kemalangannya, tapi bagaimanapun dia sudah membantu Kurapika.
"Terimakasih," kata Kurapika senang.
.
& Skip Time &
.
Kurapika memeriksa hasil pekerjaannya sekali lagi, lalu meletakkannya di meja Kuroro. Ia terkejut saat mendengar pintu di belakangnya terbuka. Kurapika menoleh, dan melihat Kuroro berdiri di sana. Ia terlihat lelah, sepertinya operasi yang dia lakukan kali ini telah menguras energinya.
Tanpa bicara, Kuroro duduk di kursinya dan langsung memeriksa hasil pekerjaan Kurapika dengan teliti. Kurapika menunggu dengan cemas. Lama-kelamaan, perhatiannya teralih pada penampilan dokter itu. Wanita itu baru sadar, ada yang aneh dengan penampilan Kuroro.
'Kenapa ia menutupi dahinya dengan kain putih? Apakah ia terluka?'
Kurapika asyik sendiri hingga tak sadar Kuroro telah selesai memeriksa hasil pekerjaannya, bahkan ia pun sudah menandatanganinya. Kurapika terkejut saat menyadari Kuroro sedang bertopang dagu dan menatapnya. Wajah wanita itu pun merona.
"Jangan melamun saja. Ambil ini, lalu bawakan kopi untukku!"
"I-Iya Dok!"
Kurapika segera keluar dari ruangan itu. Setelah semua urusannya selesai, ia kembali dengan membawa secangkir kopi di tangannya. Kurapika terkejut saat melihat mejanya penuh oleh berbagai macam buku dan berkas.
'Apa maksudnya ini?' tanya Kurapika heran, tapi ia melanjutkan langkahnya dan masuk ke ruangan Kuroro.
Kursi yang biasa diduduki pria itu tampak kosong. Ternyata Kuroro tengah berbaring di atas sofa. Ia tertidur...dengan memakai baju operasi yang baru. Sebelah tangannya menutupi kening.
Kurapika melangkah masuk, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun. Dengan hati-hati ia meletakkan cangkir kopi yang dibawanya di atas meja. Beberapa helai kertas jatuh ke lantai saat Kurapika meletakkan cangkir itu. Ia membungkuk dan mulai memungutinya. Betapa terkejutnya Kurapika saat melihat kertas-kertas itu berisikan catatan dengan tulisan tangan Kuroro karena ada tandatangan Kuroro di bawahnya. Gaya tulisan yang sama nampak di halaman depan beberapa buah buku yang ada di meja itu. Masalahnya adalah, tulisannya begitu rapi dan mudah dibaca, berbeda dengan tulisan tangan yang diberikan Kuroro pada tugas pertamanya.
'Dia mengerjaiku!' pikir Kurapika geram.
Alarm di meja Kuroro berbunyi. Ia segera membuka matanya. Sudah saatnya untuk operasi berikutnya.
Kuroro segera bangkit dan melewati Kurapika begitu saja, seolah wanita itu tidak berada di sana. Kuroro menyesap kopinya sedikit.
"Maaf Dokter, tentang tumpukan buku dan kertas di mejaku—"
Ucapan Kurapika terhenti saat Kuroro membalikkan badannya. Wajahnya terlihat pucat, mulutnya menganga terkejut.
"Kau kenapa?" Kuroro bertanya dengan heran sambil melangkah mendekati Kurapika.
Kurapika langsung melangkah mundur. Matanya terlihat ketakutan...saat melihat kening Kuroro yang tidak tertutupi kain putih seperti biasanya. Sebuah tanda aneh terdapat di sana, membuatnya teringat akan kejadian mengerikan beberapa minggu yang lalu. Itu tanda yang sama!
Kuroro memerlukan waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa saat ini Kurapika ketakutan karena melihat tanda di keningnya. Kuroro pun baru ingat, setelah mencuci muka tadi, ia lupa memakai kain putihnya kembali.
Kuroro menyeringai dan terus melangkah maju, membuat Kurapika terus mundur hingga kini tubuhnya terdesak ke dinding.
"Kau...tahu ya? Kau pernah melihat tanda ini sebelumnya?" tanya Kuroro sambil meletakkan kedua tangannya di sebelah Kurapika, seolah memblokir jalan keluar bagi wanita itu.
TBC
.
.
A/N :
Review please…^^