[a/n]: Hits dan visitor yang sudah mencapai lebih dari 1k+ dan jumlah review yang bisa dihitung dengan jari. Well, poor me, orz. (insertGloomyEmothere) Chapter terakhir untuk fanfiksi ini. Terima kasih atas semua apresiasinya dan sampai jumpa di lain waktu. Enjoy!


Disclaimer: Naruto belong to Masashi Kishimoto-sensei. I only own the storyline. Nothing else.

Warnings: suggestive language and theme, typo, Sho-Ai, OOC&IC, dan sebagainya.


SCENT

Part III: Starting Over?

(c) crimson-nightfall


"—Ah, Uchiha!"

Sasuke tidak memperlihatkan ekspresi apapun di wajahnya mendengar sapaan Tsunade begitu ia memasuki kantor Hokage. Namun setelah melihat adanya sosok Asuma dan Kurenai yang berdiri di dekat jendela, salah satu alisnya terangkat. Ia tidak menyangka akan melihat kedua shinobi itu di tempat ini.

"Hokage-sama," Sasuke balas menyapa. Ia menganggukkan kepala kepada sosok Asuma, Kurenai dan Shizune sebelum menutup pintu di belakangnya, berdiri di depan meja Hokage. Seragam Jounin melekat di tubuhnya. Ia sama sekali tidak mempunyai ide apapun mengapa tiba-tiba saja wanita berambut pirang kotor itu memanggilnya secara mendadak seperti ini. "Ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan denganku?"

Sama seperti sebelumnya, Sasuke mendapati sang Hokage Konoha menegak sake sebelum berbicara. "Ah, ya. Aku memanggilmu ke sini sehubungan dengan kasus yang terjadi padamu," Tsunade berkata, menumpukan dagu pada tangan yang terlipat di atas meja. Wanita itu mengerling ke arah Shizune. "Shizune telah menemukan apa yang salah dengan efek samping yang terjadi pada tubuhmu. Tapi sebelum itu, kita harus menunggu Naruto terlebih dahulu. Kau tenang saja, aku mendapat kabar kalau Naruto sedang memberikan laporan misi terakhir kepada Yamato. Kurasa sebentar lagi—"

Belum sempat Tsunade menyelesaikan perkataannya, Sasuke mendengar suara gebrakan keras dan ringis kesakitan dari arah pintu di belakangnya. Sasuke mengutuk dalam hati saat matanya menangkap sosok Naruto di ambang pintu yang sedang memegangi kepala. Tentu saja ia dengan cepat mengetahui jika Sakura—yang saat itu berada di belakang si pirang—baru saja memukul Naruto.

"Sudah kukatakan berapa kali agar kau berhenti berbuat bodoh, Naruto!" gadis berambut merah jambu itu berteriak seperti tidak mengacuhkan tatapan dari orang-orang di kantor Hokage. Sasuke mendengar si pirang pecinta ramen itu meringis sambil menggerutu. "Gezz... kau benar-benar tidak pernah berubah, Baka!"

Sasuke berusaha tidak mengabaikan kedua teman yang pernah menjadi timnya. Hanya diam mengamati pertengkaran Sakura dan Naruto sebelum Tsunade menginterupsi kegiatan mereka dengan berteriak dan melemparkan botol sake kosong tepat ke arah kepala Naruto. Sasuke tidak menyadari jika sudut bibirnya terangkat membentuk seringai saat mendengar protes yang keluar dari bibir Naruto.

Akan tetapi, seringai di wajahnya dengan cepat menghilang setelah menyadari pandangan sepasang iris safir itu tertuju padanya. Sasuke dengan cepat mengalihkan perhatian kepada sosok Tsunade; luput melihat reaksi yang diberikan Naruto atas apa yang dilakukannya. Sasuke tidak mengerti mengapa harus menemukan si pirang di sini. Ia sudah cukup senang selama seminggu terakhir dirinya tidak menemukan keberadaan Naruto di sekelilingnya. Ia tahu jika pemuda pirang itu tengah menjalankan misi ke Suna atas permintaan sang Kazekage; berharap jika Naruto baru akan kembali setelah efek samping yang dideritanya menghilang.

Tapi sebelum efek samping sialan itu hilang dari tubuhnya, ia sudah kembali bertemu dengan Naruto. Sungguh, Sasuke tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah apa yang terjadi di antara mereka. Dan lebih parahnya lagi, ia bersikap seperti bukan dirinya sendiri dengan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun, dengan segera meminta Tsunade memberikan misi ke luar desa hanya untuk menghindari si pirang.

Ia sungguh terdengar seperti shinobi pengecut yang lari bersembunyi dari serangan musuh, damn it! Seorang Uchiha tidak sepantasnya bersikap seperti itu! Lagi pula bukankah apa yang terjadi adalah karena pengaruh efek samping dari jutsu? Ya! Sasuke dengan cepat menyetujui pemikiran itu. Apa yang terjadi bukanlah karena keinginannya. Bukanlah apa yang diharapkannya.

Tapi, mengapa jauh di dalam dirinya, ia mengaku menyukai apa yang terjadi tempo hari? Mengapa ia menyukai saat di mana dirinya menyentuh permukaan tubuh Naruto atau saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Naruto? Saat mereka berciuman atau ketika tangannya menjelajahi tubuh Naruto.

Fuck! Sasuke tidak tahu dari mana pemikiran semacam itu muncul di kepalanya. Ingatlah! Naruto itu laki-laki! Bukankah seharusnya ia merasakan hal itu jika bersama dengan lawan jenisnya? Tapi tunggu... bukankah sebelum ini juga ia tidak merasakan apapun terhadap lawan jenis? Sasuke ingat ketika masih berstatus Chunnin dan Kiba membawa majalah dewasa yang didapat dari Jiraiya-sama, bukankah ia tidak merasakan apapun setelah melihat gambar-gambar wanita dewasa di majalah tersebut?

Ah, Sasuke benci mengakui jika dirinya mulai mempertanyakan orientasi seksualnya sendiri.

"—kun? Sasuke-kun?"

Sang pengguna Sharingan itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Kedua oniks miliknya segera beralih ke arah sosok Shizune yang memanggilnya; dalam diam mendengarkan apa yang ingin disampaikan wanita itu. Sudut matanya bisa melihat Naruto berjalan memasuki kantor Hokage dengan diikuti oleh Sakura sembari melemparkan tatapan ingin tahu kepadanya. Ia mengernyit, berusaha menjauhkan diri mendapati pemuda pirang itu berdiri tidak jauh darinya. Sekali lagi, Sasuke berusaha tidak mengacuhkan tatapan yang diberikan Naruto kepadanya.

Terdengar Shizune berdeham pelan. "Aku ingin menyampaikan hasil yang kudapat mengenai efek samping yang kaualami, Sasuke-kun," kata Shizune sebelum mengalihkan pandangan pada gulungan di atas meja Tsunade, membaca tulisan yang ada di sana. "Sedikit mengejutkan setelah aku melakukan sedikit percobaan pada beberapa orang. Umm... bisa kukatakan kalau asap kuning yang pernah kau ceritakan itu mengandung aphrodisiac. Akan aktif begitu seseorang mengaktifkan secara penuh segel yang ada di gulungan itu."

"A—aporo apa?"

Shizune menghela napas panjang. "Aphrodisiac, Naruto-kun," koreksi wanita berambut pendek itu sembari melayangkan pandangan skeptikalnya kepada si pirang. Sasuke mendengus pelan. Ah, apa yang disebutkan Shizune bisa menjelaskan perilakunya belakangan ini. "Aphrodisiac disebut juga dengan—erm, sejenis obat perangsang. Dosis aphrodisiac di gulungan ini tergolong cukup tinggi; menyebabkan siapapun yang mengaktifkan segel akan dengan cepat terkena reaksinya. Aku sudah melakukan percobaan kepada Asuma-sensei, Kurenai-sensei dan beberapa orang lainnya dan aku memastikan jika hasil yang kuperoleh memang akurat."

"Tapi itu tidak menjelaskan sikap Sasuke-kun kepada Naruto, Shizune-san," Sakura yang sejak tadi diam mulai angkat bicara. Sasuke melihat medic-nin itu terlihat berpikir keras. "Kau mengatakan kalau efek samping yang dialami Sasuke-kun adalah karena pengaruh semacam obat perangsang dalam dosis tinggi. Tapi jika demikian, bukankah seharusnya Sasuke-kun bisa bersikap umm... seperti terangsang kepada siapapun? Bukan hanya terhadap Naruto seorang."

Sasuke, yang ketika itu mendengarkan dengan jelas apa yang diucapkan Sakura, melayangkan tatapan membunuhnya kepada gadis itu. Tentu saja Sakura tidak terlihat terpengaruh atas apa yang dilakukannya. Baik Naruto dan gadis itu sudah kebal dengan tatapan yang ia berikan.

"Ah, ya, aku lupa menjelaskan hal itu," Shizune kembali berbicara dan berhasil membuat Sasuke melupakan keinginannya untuk melakukan sesuatu yang buruk kepada Sakura. "Reaksi yang diberikan Sasuke-kun terhadap Naruto-kun adalah karena keberadaan Naruto-kun di saat yang boleh dikatakan salah. Saat Sasuke-kun membentuk segel, Naruto-kun berada di sana, bukan? Aroma tubuh Naruto-kun bercampur dengan asap yang ditimbulkan oleh segel yang dibentuk Sasuke-kun; membuatnya segera bereaksi terhadap aroma tubuh Naruto-kun. Katakan padaku, Sasuke-kun, aroma apa yang kau cium jika berdekatan dengan Naruto-kun?"

Sasuke memberikan pandangan menyipit kepada Shizune. Namun ketika wanita itu terlihat ingin mendesaknya, pemuda bermarga Uchiha itu menghela napas panjang. "Aku mencium bau matahari dan angin laut di musim panas," Sasuke berkata dengan suara nyaris berbisik. Segera memalingkan wajah saat Naruto melayangkan tatapan tidak percaya padanya. Ia tidak bisa mencegah tubuhnya sedikit bergetar ketika angin bertiup dari arah jendela tidak jauh darinya.

"Ah! Dan aroma apa yang kau cium dari Kurenai-sensei, Asuma-sensei?" Shizune bertanya kepada sosok Asuma Sarutobi yang berdiri sembari menghisap puntung rokok. Meringis pelan saat Kurenai menyikut perut pria itu. Sasuke menaikkan sebelah alisnya mendengar bahwa Asuma mencium aroma mawar dari sosok Kurenai. "Sekali lagi, apa yang dikatakan Asuma-sensei memperkuat deduksiku."

Dalam diam—dan tidak memperlihatkan ekspresi apapun—Sasuke mendengarkan apa yang dikatakan Shizune. Mendengarkan wanita itu menjelaskan jika reaksi yang didapatkan oleh orang-orang yang membentuk segel di gulungan itu berbeda-beda tergantung pada siapa yang bersama mereka ketika itu; entah jika mereka berada di ruangan yang sama dengan sesama ataukah lawan jenis. Reaksi serupa tidak akan didapatkan jika tidak ada seorang pun di sekitar pembentuk segel; aphrodisiac hanya akan bereaksi kepada aroma dari tubuh seseorang atau sesuatu (hewan misalnya). Dalam hati Sasuke merasa lega jika saat itu Narutolah yang ada bersamanya. Bukan orang lain apalagi seekor hewan.

Tapi mengapa? Mengapa ia merasa lega? Apakah ia akan mengutuk dirinya sendiri jika orang lain yang berada di posisi si pirang? Tidak. Sasuke tidak bisa membayangkan orang lain yang berada di posisi Naruto saat ini.

"I—ini terdengar... gila."

Ya. Sasuke membenarkan gumaman pelan dari Naruto. Semua yang yang terjadi memang terdengar gila dan tidak masuk akal. Namun jika kembali mencerna penjelasan Shizune, ia tidak mempunyai ide lain selain membenarkan penjelasan wanita itu. Apa yang terjadi antara dirinya terhadap Naruto adalah pengaruh aphrodisiac. Ia tidak mempunyai alasan lain untuk menyangkal apa yang terjadi. Dan memangnya, apa yang diharapkannya?

"Ini memang terdengar gila, tapi di sisi baiknya, aku menemukan cara untuk menghilangkan efek samping yang ada pada tubuh Sasuke-kun." Sasuke mengeryit dan tanpa sadar mengerling ke arah si pirang. "Hal yang harus dilakukan Sasuke-kun hanyalah—"

"—Bercinta dengan Naruto."

。。。

Keheningan melanda kantor Hokage selama beberapa detik sebelum—

"EHHH?"

—suara teriakan Naruto menggema di tempat itu. Kedua matanya membelalak menatap sosok Asuma yang baru saja melontarkan tiga kata mengejutkan tersebut. Ia tidak salah mendengar, bukan? Bercinta dengan Sasuke? Oh, kami-sama~! Apa yang dialaminya sekarang pastilah sebuah mimpi buruk. Demi para penemu ramen! Ia tidak mungkin... tidak mungkin bercinta dengan Sasuke!

Tapi mengapa ia juga tidak merasa keberatan atas ide itu?

"Apa? Aku sama sekali tidak salah. Itulah yang kulakukan untuk menghilangkan efek samping dari gulungan yang Shizune berikan," Sarutobi Asuma berkata dengan nada enggan setelah melihat tatapan tidak percaya yang diberikan Naruto sebelum Kurenai memukul kepala Asuma dengan rona merah di wajah wanita itu. "Benar seperti itu 'kan, Shizune?"

"Umm... yeah. Semacam itu, kurasa. Aphrodisiac dibuat untuk meningkatkan rangsangan dalam melakukan hubungan intim dengan pasangan mereka. Biasanya pengaruhnya akan berakhir jika orang yang mengkonsumsinya sudah mencapai kepuasan seksual. Entah itu dengan bercinta ataukah hal lain."

Naruto mengerjapkan matanya beberapa kali, mengalihkan pandangan dari Asuma ke arah Shizune sebelum terpaku pada sosok Sasuke yang berdiri tidak jauh darinya. Seperti biasanya, tidak terlihat ekspresi apapun di wajah pucat Sasuke. Pemuda itu hanya diam namun ia bisa melihat sesekali Sasuke mengerling ke arahnya. Tidak ada satu pun dari dirinya atau Sasuke yang berniat mengatakan sesuatu. Ia masih terkejut dengan apa yang dikatakan Asuma.

Katakan jika apa yang diucapkan pria itu hanyalah sebuah omong kosong.

Ia tidak mungkin bercinta dengan Sasuke, bukan?

"A—apa mereka harus melakukan hal seperti itu?" Naruto mendengar Sakura berkata. Ia dengan cepat mengalihkan perhatian kepada Sakura, menganggukkan kepala menanggapi apa yang ditanyakan gadis itu. "Apa tidak ada cara yang lebih aman selain harus... erm—melakukan hubungan semacam itu?"

Naruto sedikit mengernyit, namun tidak mengatakan apapun. Ia membiarkan penjelasan Shizune yang diberikan kepada Sakura berlalu begitu saja. Saat ini, ia terlalu sibuk memerhatikan sosok pemuda berambut raven yang sepertinya terlihat sibuk dengan pemikiran sendiri. Sasuke tidak mengatakan apapun sejak tadi. Pemuda itu hanya diam dan tampak berpikir serius; membuat Naruto mengurungkan niat menegur Sasuke.

Ah, Sasuke... Naruto sangat ingin tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Apakah Sasuke tengah berpikir melakukan apa yang dikatakan Asuma? Bercinta dengannya? Mengapa tiba-tiba saja pemikiran itu seperti sebuah ide terbaik? Seolah-olah ia mengharapkan hal seperti itu terjadi. Tidak! Naruto dengan cepat menggelengkan kepala. Apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Sasuke di gang sempit itu benar-benar sudah membuat kepalanya tidak bisa berpikir dengan baik. Ia perlu mengalihkan pikirannya ke hal yang lain.

Oke, pikirkan sosok Gai-sensei yang sedang mengenakan bikini dan bergaya seperti model. Pikirkan Gai-sensei dengan bikini... pikirkan Gai-sensei yang sedang bertelanjang dada... pikirkan Sasuke yang hanya memakai celana pantai dan—

"GAH! What the fuck?" Suara teriakan Naruto kembali menggema. Ia dengan cepat menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran aneh yang muncul di benaknya. Ringis pelan meluncur dari bibirnya setelah merasakan seseorang memukul bagian belakang kepalanya. Ia mendesis, melayangkan tatapan tajam pada Sakura yang tengah mengepalkan tangan. "Berhenti memukul kepalaku, Sakura-chan~!"

"Aku tidak akan menuruti perkataanmu sebelum kau berhenti membuat orang-orang terkejut dengan teriakanmu, Naruto!" bentak Sakura. "Dan apa maksud umpatanmu barusan? Kau tidak ingin menolong Sasuke-kun, huh? Bagaimanapun juga, apa yang terjadi padanya adalah kesalahanmu, kau tahu? Kau seharusnya membantu dan bukannya hanya—"

"—Aku tidak perlu bercinta dengan Naruto."

"Uh, apa yang baru saja kaukatakan, Sasuke-kun?"

Tanpa melihat pun, Naruto bisa menyadari jika saat ini pandangan orang-orang di kantor Hokage tengah tertuju kepada Sasuke. Naruto hanya bisa menaikkan sebelah alisnya setelah menyadari kalau pemuda berkulit pucat itu perlahan berjalan mendekatinya. Jangan katakan... jangan katakan jika efek samping yang dialami Sasuke tengah kambuh. Sasuke tidak berpikir untuk menyerangnya di saat Sakura ada di sini, bukan? Ia masih sangat menyayangi nyawanya dan tidak berpikir untuk menyerah kepada Dewa Kematian karena dipukul sampai mati oleh gadis itu.

"A—apa yang kaulakukan, Teme?" Suara Naruto nyaris berupa bisikan setelah menyadari jika sekarang Sasuke tengah berdiri tepat di sampingnya. Kedua matanya melebar melihat bagaimana pemuda berkulit pucat itu mendekatkan wajah dan menghirup napas panjang dengan kedua mata yang terpejam sebelum kembali menarik tubuh dan berjalan menjauh. Pandangannya bertemu dengan sepasang oniks milik Sasuke selama beberapa saat sebelum pemuda itu membuang pandangan ke arah lain. Naruto mengerjapkan mata beberapa kali, melayangkan tatapan bingung yang tidak diacuhkan oleh Sasuke. Apa... apa yang sedang terjadi? Reaksi ini bukanlah reaksi yang dulu diperlihatkan Sasuke terhadapnya.

Terdengar helaan napas panjang Sasuke. "Efek sampingnya sudah tidak ada," kata Sasuke yang lebih ditujukan kepada Shizune. "Aku baru menyadarinya tadi setelah tidak merasakan apapun terhadap Naruto apalagi dengan dia yang berada di ruangan yang sama denganku dan mendengarkan penjelasan Shizune-san. Aku sudah memastikan hal itu tadi. Aku tidak kehilangan kendali setelah berada cukup dekat dengan Naruto, kurasa."

"Apa hal ini bisa terjadi, Shizune? Kau mengatakan padaku kalau orang yang terkena efek samping harus melakukan hubungan intim untuk menghilangkan kadar aphrodosiac di dalam tubuh, bukan?" Tsunade angkat bicara dan mendapati Shizune mengangguk singkat. Naruto sedikit tergidik menyadari pandangan menyipit yang diberikan wanita itu kepadanya. "Oi, Bocah! Katakan padaku apa ada sesuatu yang terjadi denganmu dan Uchiha? Jangan katakan jika kalian sudah—"

"—Kami tidak melakukan hal seperti yang kaupikirkan, Baachan!" Naruto berseru sambil menggelengkan kepala dengan cepat, memalingkan wajah ke arah lain setelah merasakan panas mulai merambat di wajahnya. Ia kembali teringat apa yang pernah dilakukannya bersama Sasuke. Bukankah tadi Sasuke mengatakan jika efek samping itu hilang? Apakah karena mereka melakukan dry humping di gang sempit itu? Ia ingat jika Shizune mengatakan aphrodisiac akan hilang jika seseorang mencapai kepuasan seksualnya, bukan? Oh, tidak. Naruto sangat berharap jika wajahnya sekarang tidak semerah buat tomat.

Hell, ia hanya bisa berharap tidak ada siapapun yang tahu apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Sasuke. Ia juga tidak ingin mengatakan bahwa memang terjadi sesuatu antara dirinya dan Sasuke tempo hari. Tidak jika ada banyak orang di tempat ini. Terdengar Naruto menggerutu mendengar Tsunade menanyakan pertanyaan yang sama kepada Sasuke.

"Aku tahu ada sesuatu yang terjadi." Naruto meneguk ludah dengan paksa mendengar pernyataan yang dilontarkan Tsunade. Seringai mencurigakan tersungging di wajah wanita berdada besar itu. Ia juga berusaha tidak mengacuhkan pandangan penyipit dari Sakura. Damn... ia seperti tengah berada di dalam mulut binatang buas yang sewaktu-waktu akan mengoyak tubuhnya sampai tidak tersisa. "Tapi aku tidak akan mendesaknya. Itu urusan kalian. Yang terpenting adalah efek samping itu sudah tidak ada dan masalah ini sudah terselesaikan. Aku sudah tidak punya urusan lagi dengan kalian. Silahkan tinggalkan tempat ini dan biarkan aku beristirahat dengan tenang."

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Naruto dengan cepat berlari ke luar dari kantor Hokage dan tidak mendengarkan teriakan Sakura yang memanggilnya; menyusul Sasuke yang sudah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu. Ia tahu jika sekali lagi Sasuke berusaha menghindarinya dan dirinya tidak suka dengan kondisi seperti ini. Naruto ingin semuanya kembali seperti sebelum kejadian yang terjadi di apartemennya.

Tapi apakah bisa setelah semua yang terjadi?

Naruto berkeras jika setelah ini tidak ada yang akan berubah. Ia akan melakukan apa saja agar membuat semuanya seperti dulu. Ia merindukan saat-saat di mana dirinya dan Sasuke berlatih tanding dan menjalani misi bersama atau makan ramen di Ichiraku bersama pemuda itu.

Ah, ia sudah lupa kapan terakhir kali dirinya menghabiskan waktu hanya bersama Sasuke. Sungguh, ia benar-benar merindukan hal itu. merindukan semuanya... merindukan keberadaan Sasuke di dekatnya.

Sejak kapan keberadaan pemuda pecinta tomat itu bisa menimbulkan sikap seperti ini pada dirinya?

"Sasuke!" Naruto berteriak. Napasnya memburu karena mengejar Sasuke sebelum menemukan pemuda itu di depan sebuah toko makanan tidak jauh dari kediaman keluarga Uchiha. Namun bukannya mendekati Sasuke, Naruto hanya diam terpaku di tempat melihat seorang gadis berambut panjang tengah berbicara dengan pemuda berkulit pucat itu; menyodorkan sebuah kotak dan berbicara mengenai sesuatu hal kepada Sasuke.

Rona merah dan ekspresi malu terlukis jelas di wajah gadis itu. Entah mengapa, Naruto merasakan sensasi aneh di perutnya serta perasaan tidak suka terhadap gadis berambut panjang tersebut. Mengapa ia ingin menjauhkan gadis itu dari Sasuke?

Dan sebelum ia sempat memperoleh jawaban dari pertanyaan itu, Naruto sudah terlebih dahulu berjalan mendekati kedua orang tersebut. Ia sempat mendengar percakapan yang diucapkan gadis itu mengenai undangan hanabi di akhir pekan ini. Naruto sangat mengenal Sasuke. Pemuda itu tidak akan bersedia datang ke acara di mana banyak orang berada di tempat itu. Ah, Naruto sungguh berharap Sasuke akan menolak undangan tersebut dengan tatapan dinginnya. Ia ingin melihat gadis berambut panjang itu menjauh sambil menahan tangis.

Tunggu! Sejak kapan ia bersikap seperti itu? Naruto membelalakkan matanya, kembali terdiam tidak jauh dari tempat Sasuke berada. Ia bisa melihat baik gadis berambut panjang itu dan Sasuke menyadari keberadaannya. Kedua pasang mata tertuju padanya.

Apa yang akan dilakukannya sekarang? Berdiam diri seperti orang bodoh? Atau tetap berjalan dan tidak mengacuhkan apa yang terjadi? Kedua pilihan itu sepertinya bukan pilihan yang baik.

"Umm... kau tidak perlu menjawabnya sekarang, Uchiha-san. Kau bisa langsung datang ke acara hanabi nanti. S—sampai jumpa dan terima kasih atas waktunya."

Gadis berambut panjang itu pun berlari menjauh dengan semburat merah tetap melekat di wajah gadis itu. Dengan ragu, Naruto melirik ke arah Sasuke. Sedikit kecewa menyadari jika Sasuke tidak memedulikannya dan lebih memilih kembali berjalan menjauhi; memasuki kawasan kediaman Uchiha.

Naruto sungguh merasa jika dirinya terlihat menyedihkan.

Apa yang diharapkannya? Pertanyaan itu terlintas di kepalanya. Berharap jika Sasuke akan kembali bersikap seperti biasa dan menganggap tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka? Kalaupun Sasuke bersikap demikian, apa dirinya bisa melakukan hal yang sama? Apa ia bisa melihat Sasuke seperti orang yang dikenalnya sebelum ini?

Tidak, suara di dalam kepalanya berteriak dengan keras dan kali ini, Naruto tidak memberikan penyangkalan apapun. Ia membenarkan suara di dalam kepalanya. Hanya saja, apa yang harus dilakukannya sekarang?

。。。

Suara pintu tertutup menjadi satu-satunya suara yang terdengar di tempat itu. Kedua oniks miliknya menatap pintu kayu di hadapannya sebelum menghela napas panjang. Selama beberapa saat, hal yang dilakukannya hanyalah menatap pintu di hadapannya. Mendecakkan lidah, Sasuke membalikkan tubuh dan berjalan memasuki rumah miliknya. Terpaku sejenak pada bungkusan kotak yang sejak tadi dibawanya. Ia tidak mengerti mengapa gadis-gadis di Konoha tidak pernah menyerah untuk mendekatinya? Apa sekotak makan siang bisa membuat Sasuke membalas perasaan mereka? Hah! Jangan harap!

Dan jangan harap ia mau menghadiri hanabi dengan kerumunan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak suka dengan keramaian dan lebih memilih untuk mengurung diri di dalam rumahnya; menghabiskan waktu dengan beristirahat sebelum mengerjakan misi yang diberikan Hokage.

Kembali, pemuda berkulit pucat itu mendecak. Diletakkannya kotak makan siang itu di atas meja sebelum berjalan memasuki kamar mandi, membasuh wajah dengan air dingin. Ia melihat pantulan dirinya pada cermin. Iris matanya seolah-olah bertambah gelap setelah menyadari bagaimana pantulannya di cermin.

Ia terlihat sangat... menyedihkan.

"Damn that idiot," Sasuke menggerutu. Dengan kasar meraih handuk yang tergantung di dekat wastafel dan menghapus sisa tetesan air di wajahnya. Ingatan mengenai bagaimana rasa bibir Naruto muncul begitu saja saat ia melihat bibirnya sendiri. Walau efek samping itu sudah hilang, tetap saja ingatan mengenai bagaimana tubuhnya bereaksi atas sentuhan Naruto sama sekali belum memudar; sama dengan bekas ciuman yang tertinggal di leher pucatnya.

Sasuke tidak keberatan efek samping di tubuhnya sudah tidak ada lagi. Setidaknya dengan demikian ia tidak perlu mengkhawatirkan dirinya yang akan menyerang si pirang setiap kali mereka bertemu. Akan tetapi, mengapa ada perasaan di dalam dirinya yang tidak menyukai pemikiran itu? Mengapa pemikiran bahwa ia tidak keberatan untuk melakukan hal yang sama seperti tempo hari muncul di benaknya?

Mengapa perasaan semacam itu ada?

Mengapa ia berharap jika efek samping itu tetap ada sehingga mempunyai alasan untuk melakukan sesuatu terhadap si pirang? Demi pendiri Konoha! Katakan jika ia sudah gila dengan memikirkan hal semacam itu terhadap Naruto.

Tubuh sang pengguna Sharingan itu tersentak mendengar ketukan keras dari pintu rumahnya. Dengan enggan, ia berjalan mendekati asal suara. Tidak tahu siapa yang berniat mengganggu waktunya. Akan tetapi, saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya, Sasuke berusaha dengan cepat menutup pintu kayu itu. Ia tidak sedang ingin bertemu dengan si pirang. Tidak di saat dirinya sendiri merasa bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya.

"Jangan mencoba untuk menghindariku lagi, Teme!"

Sasuke memutar bosan kedua matanya mendengar teriakan Naruto. "Apa lagi yang kauinginkan, huh? Tidak bisakah kau meninggalkanku sendirian? Aku sedang tidak mempunyai waktu untuk—"

"—Aku tahu kalau kau tidak sedang melakukan apapun," potong Naruto yang kini mendorong pintu rumahnya. Menyerah karena tidak ingin merusak properti miliknya, Sasuke membiarkan Naruto menang. Kedua oniksnya menatap tajam ke arah Naruto, mengisyaratkan pemuda itu untuk mengatakan maksud kunjungan ke rumahnya. "Bisakah kau tidak memberikan tatapan dingin seperti itu kepadaku, huh? Kau seolah-olah berniat untuk mengulitiku hidup-hidup, Teme."

"Aku akan melakukan hal itu jika kau tidak segera mengatakan tujuanmu ingin menemuiku."

Sasuke mendengar Naruto mendesis pelan sembari menyandarkan tubuh pada pintu yang tertutup. Ia bisa melihat seperti ingin mengatakan sesuatu namun memikirkan bagaimana cara mengatakan hal itu dengan tepat. Cukup lama Naruto memilih untuk diam sebelum si pirang idiot itu menghela napas panjang.

"Aku ingin membicarakan apa yang terjadi di antara kita." Nada suara Naruto terdengar sedikit ragu. Berkali-kali memilih untuk mengalihkan pandangan begitu pandangan mereka bertemu. Sasuke terdiam di tempat dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Ya. Ia sudah tahu jawaban apa yang akan diberikannya.

"Kurasa tidak akan ada yang berubah, Usuratonkachi." Sasuke mengabaikan sensasi aneh pada dadanya yang berdenyut tidak nyaman. "Apa yang terjadi bukan karena aku mengharapkan sesuatu yang seperti itu, kau tahu? Semuanya karena efek samping yang ada pada tubuhku. Kau tidak perlu mengkhawatirkan jika aku akan menyerangmu seperti tempo hari. Aku tidak bisa mengendalikan diriku. Hanya itu. Tidak ada yang akan berubah hanya karena kesalahan yang kuperbuat."

Sasuke berusaha mengabaikan kilat aneh pada mata Naruto. "Kau menganggap hal itu hanya sebuah kesalahan, huh?"

"Hn. Apalagi yang kauharapkan? Kita tidak punya pilihan lain selain menganggap tidak ada yang terjadi di antara kita."

Benarkah? Apa mereka memang tidak mempunyai pilihan lain selain itu? Sasuke menolak untuk mencari pilihan yang lain. Lagi pula, apakah mereka masih punya pilihan yang bisa dilakukan? Sasuke tahu jika dirinya tidak menginginkan hal itu. Ia tidak ingin menganggap bahwa apa yang terjadi bisa ia lupakan dengan mudah. Tapi apakah Naruto juga mempunyai pikiran serupa?

Sasuke sungguh berharap jika pemuda itu mempunyai pikiran yang sama. Ia berharap jika Naruto menginginkan ada sesuatu yang lain di antara hubungan mereka karena Sasuke sadar, sangat sulit baginya untuk bersikap seperti biasa setelah apa yang terjadi. Sekarang saja ia sudah sering menghindari si pirang. Apakah nanti ia bisa menjamin dirinya tidak akan bersikap seperti itu? Damn... sejak kapan seorang Uchiha Sasuke bersikap seperti remaja yang tengah terlibat dengan cinta pertamanya?

Hah! Mengapa sekarang ini ia terdengar seperti sedang menyukai seseorang?

Oh, please... seorang Uchiha sepertinya tidak akan pernah bersikap seperti itu.

Sasuke, yang sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri, tidak menyadari jika sekarang Naruto berjalan mendekatinya. Kedua matanya melebar setelah menyadari Naruto sudah berdiri di hadapannya. Ia tidak memperlihatkan ekspresi berarti di wajahnya, hanya diam ketika tangan kecokelatan Naruto terulur ke arah wajahnya. Sorot mata safir itu terlihat serius.

"Katakan jika aku sudah gila dengan berpikir jika aku menginginkanmu," Naruto berbisik pelan tepat di depan wajahnya. "Yeah. Seorang Uzumaki Naruto menginginkan Uchiha Sasuke! Haha... katakan jika aku sudah gila dengan mempunyai pemikiran seperti ini, Teme!"

"Apa maksud dari kata-katamu, Idiot?"

Naruto kembali mendesis. "Aku tidak tahu, oke?" bentak pemuda itu. "Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba saja berpikir kalau aku menginginkanmu! Aku hanya menginginkanmu untuk diriku sendiri, kau tahu? Berharap agar kau hanya melihatku dan bukan orang lain. Fuck! Aku hanya tahu jika—"

"Kau... kau menyukaiku."

Sasuke tersentak atas kata-katanya sendiri dan merasakan tangan besar pemuda itu mengusap sisi kanan wajahnya. Ia tidak berkedip menatap sepasang iris safir milik Naruto; berusaha untuk tidak tenggelam dalam pesona mata itu. Sasuke tidak tahu sejak kapan dirinya mengagumi apa yang ada di depannya. Sejak pertama kali bertemu dengan Naruto? Atau sejak pertama kali ia menyadari keberadaan si pirang dalam hidupnya? Ah, mungkin sampai kapanpun Sasuke tidak menemukan jawaban yang tepat.

"Mungkin ya, mungkin tidak. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu jika aku menginginkanmu lebih dari sekadar teman. Katakan padaku jika kau juga menginginkanku, Sasuke," Naruto kembali berkata dengan nada frustrasi sembari menarik tangan menjauhi wajahnya. Sasuke terdiam dan menolak menahan tangan Naruto untuk tetap menyentuh wajahnya. Salahkah jika ia berpikir untuk membiarkan tangan itu menyentuhnya?

Dan apakah ia menginginkan Naruto? Menginginkan tubuh pemuda itu ataukah perasaan Naruto terhadapnya? Tidak. Sasuke tidak menginginkan salah satu dari dua pilihan itu. Ia menginginkan keduanya. Sasuke menginginkan tubuh dan perasaan Naruto untuknya. Hanya untuknya. Dan ia tidak menginginkan perhatian Naruto tertuju kepada orang lain.

"Yeah. Aku juga menginginkanmu, Usuratonkachi," ujar Sasuke pada akhirnya.

Cengiran lebar perlahan terukir di wajah dengan tiga pasang garis halus di hadapannya. "Lalu bisakah sekarang kau berhenti berpikir mengenai hal yang rumit dan mulai menciumku, huh?"

Sasuke tidak memerlukan waktu lama untuk berpikir. Dengan senang hati ia mengabulkan permintaan si pirang; kembali mengklaim bibir Naruto dan membiarkan si pirang meraup semua persediaan oksigen di sekitar dan menyusuri setiap jengkal tubuhnya.


The end


17/06/2012