Disclaimer: Naruto and friends belong only to Masashi Kishimoto.
Pairings: Almost all possible pairings in Naruto fandom (SasuHina, KibaHina, NejiHina, NaruHina, SasuSaku, NaruSaku, SuiKa, NejiTen, ShikaIno, ShikaTema, SaiIno, ItaHana, ItaKonan, PeinKonan)
Rate: T
Genre: Drama & Romance
Warnings: Alternate universe, OOC possibilities, typo/misstypo, maruk(?) pairing, jalan cerita yang rada ribet dan berbelit-belit, (mungkin) bernuansa sinetron. Ada beberapa pairing yang nggak muncul dari awal, tapi nanti setelah cerita berjalan.
Summary: Kiba hanyalah pemuda biasa yang tidak banyak memiliki keistimewaan, namun ia menyukai teman masa kecilnya, seorang putri bangsawan bernama Hinata. Hinata sendiri tertarik pada sifat ramah dan ceria seorang pemuda berisik bernama Naruto. Padahal, Naruto bertingkah seperti itu untuk menarik perhatian Sakura, teman sekelasnya yang pintar. Sedangkan Sakura sudah punya pujaan hati sendiri, sang school prince Sasuke. Dan rantai itu tidak berhenti sampai di situ. Karena Sasuke juga ternyata menaruh perasaan kepada seseorang di Konoha Gakuen. Siapakah gadis beruntung itu?
Don't like, don't read ya ^_^ Enjoy!
.
.
.
Kimi Dake : Now
by. Kazahana Miyuki
"Ada seutas benang merah yang terikat di jari kelingking sepasang manusia. Benang merah yang mempersatukan pasangan itu, tidak membiarkan mereka terpisah walaupun ia terbelit dan kusut. Benang merah yang pada akhirnya akan membuat mereka bertemu dan menjalin hidup bersama-sama."
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu membuat kedua kelopak mata Uzumaki Naruto bergerak ke atas. Terbuka. Mimpi terakhirnya pun pudar seiring cahaya menerobos masuk korneanya. Gambaran langit-langit kamar menggantikan adegan di dalam mimpi. Sebuah mimpi yang hampir selalu hadir dalam tidurnya setiap malam. Mimpi yang sama tentang seseorang pemilik juntaian rambut merah cerah yang panjang, berbaring di sampingnya dan menceritakan kisah tentang benang merah dengan suaranya yang ceria.
Naruto tidak benar-benar ingat siapa yang ada di dalam sana, karena wajahnya tak pernah tampak dengan jelas. Namun, Naruto yakin bahwa mimpi itu bukan sekedar mimpi. Pemuda itu yakin bahwa, entah kapan, ia pernah mendengarnya langsung di dunia nyata. Kalimat tentang benang merah yang selalu menyambutnya saat bangun di pagi hari atau mengantarnya sebelum tidur. Kalimat yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini ia benar-benar menajamkan kesadarannya. Naruto melirik ke arah pintu. Ia sudah tahu siapa yang ada di baliknya. Hampir setiap pagi, orang itu memang selalu berbaik hati untuk membangunkannya.
"Iya, sebentar, dattebayo." sahut Naruto dengan suara berat khas orang yang baru bangun tidur.
Naruto berguling turun dari tempat tidurnya menuju pintu. Dibukanya pintu tersebut, dan tampaklah seorang pria paruh baya dengan rambut putih dan berantakan—tanda bahwa sepertinya ia juga baru bangun tidur.
"Paman genit, aku kan sudah tidak sekolah 'ttebayo. Aku ingin bangun siang. Kenapa masih dibangunkan pagi-pagi juga?"
Pria berambut putih itu tersenyum. "Ohayou, Naruto. Cepat sikat gigi dan ke ruang makan. Nanti ramennya keburu dingin."
"Ramen?" tanya Naruto bingung. Namun tak lama sampai kemudian ia menyadari maksudnya, "Kau membelikan ramen untukku pagi-pagi begini?"
"Tidak juga. Sebenarnya… aku membuatnya."
Naruto menyipitkan matanya. "Kau tahu, makanan buatanmu kan mencurigakan 'ttebayo."
"Jangan begitu, Naruto." Pria berambut putih itu berkacak pinggang. "Yah, memang tidak seenak buatan Ichiraku, tapi aku berusaha keras agar bumbunya pas. Kalau kau sakit perut, kau kan tinggal ke kamar mandi."
"Seenaknya saja. Perutku kan bukan mainan." omel Naruto.
"Sudahlah, kutunggu kau di ruang makan. Jangan lama-lama mandinya!"
"Iya, iya, oke, Paman genit." Naruto menjulurkan lidahnya.
Pria bernama Jiraiya itu hanya menggelengkan kepala saat mendengar ledekan Naruto. Ia pernah mengajarkan pemuda itu bahwa memanggil orang yang lebih tua dengan sebuah julukan itu sangat tidak sopan. Tapi, tampaknya Naruto sama sekali tidak punya niat untuk mengindahkannya. Naruto selalu saja menyebut Jiraiya dengan "Paman Genit" atau "Petapa Genit" karena ia memang punya kebiasaan mengurung diri di kamar untuk menyelesaikan karya-karya tulisnya yang berbau dewasa.
Jiraiya duduk di meja makan yang telah tertata dua buah mangkuk besar berisi ramen. Tak hanya dua mangkuk itu, ada sebuah map berwarna hijau yang tergeletak di atas meja. Jiraiya mengambil map itu kemudian melihat-lihat beberapa lembar kertas yang tersisip di dalamnya.
Tak lama kemudian, Naruto datang. Ada handuk kecil yang tersampir di atas rambut pirangnya yang masih setengah basah. Tanpa menunggu, pemuda itu segera duduk di hadapan semangkuk ramen dan langsung menyantapnya.
"Wow! Paman genit! Waktu kau bilang ini buatanmu, kau tidak sedang mengigau, kan?" seru Naruto tiba-tiba.
"Maksudmu?" tanya Jiraiya.
"Ini enak sekali, dattebayo!" puji Naruto kemudian menyantap sesumpit ramen lagi.
"Sungguh?" tanya Jiraiya lagi. "Padahal aku cuma iseng saja membuatnya."
"Kau harus mencobanya." ujar Naruto di sela-sela makan. "Tapi memang tetap lebih enak buatan Ichiraku."
Jiraiya tersenyum. "Karena kau sudah memujiku, kalau begitu char-siu punyaku buatmu saja."
Jiraiya meletakkan map yang sedari tadi dipegangnya. Ia kemudian mengambil sumpit dan memindahkan semua potongan char-siu yang ada di mangkuknya ke dalam mangkuk Naruto.
"Sankyuu, dattebayo." Naruto nyengir.
Sepuluh menit berlalu dan dua mangkuk besar ramen pun kini kosong tak bersisa. Naruto bersandar di kursi sambil mengelus-elus perutnya yang mengembang, sedikit merosot duduknya karena beban baru yang menambah bobot tubuhnya. Di seberang meja, Jiraiya tampak kembali menekuni map hijau tadi. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Naruto melihat apa yang sedang dilakukannya itu, kemudian berkomentar, "Oi, Paman genit, kau harus mulai mengurangi hobimu menulis novel-novel macam itu 'ttebayo."
Jiraiya mengangkat kepalanya. "Apa?" tanyanya.
"Itu," Naruto menunjuk map hijau di tangan Jiraiya. "Draft untuk novel mesummu yang baru kan?"
Jiraiya melongo, kemudian suara tawanya yang membahana pun terdengar.
"Dari mana kau tahu kalau novelku isinya begitu? Kau pernah baca ya?" tanya Jiraiya.
Naruto membuang muka, lalu menjawab sepelan mungkin, "Hanya sedikit. Soalnya aku penasaran."
Tawa Jiraiya mulai mereda saat ia berkata, "Draft-ku tidak mungkin kusimpan di map sebagus ini."
Naruto memutar kepalanya menghadap Jiraiya kembali. "Kalau begitu, itu apa?"
"Ini untukmu." ujar Jiraiya, lalu menyodorkan map hijau itu pada Naruto.
"Untukku?" Naruto menegakkan duduknya seraya menerima map tersebut.
Kedua mata biru safirnya langsung membulat saat melihat sebuah nama yang terpampang di bagian depan map itu.
KONOHA GAKUEN.
"K-Konoha… Gakuen?" tanya Naruto.
Tidak ada satupun warga Konoha yang tidak pernah mendengar nama Konoha Gakuen. Sekolah terbaik di Konoha yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga. Para pengajarnya memiliki pengalaman dan kemampuan terbaik, serta diseleksi dengan penilaian berstandar tinggi. Sistem pendidikannya rapi, teratur, dan terorganisir dengan baik. Bangunannya sudah jelas termasuk dalam kategori terlalu-mewah-untuk-ukuran-sebuah-sekolah. Ruangan kelas yang sama beningnya dengan aula dansa, kafeterianya terlihat seperti restoran bintang lima, bahkan toiletnya pun masih cukup higienis untuk dipakai tidur siang. Satu-satunya kelemahan sekolah itu adalah kenyataan bahwa hanya orang-orang yang berdompet tebal yang dapat mengemban ilmu disana. Dan Naruto tahu betul, dia bukanlah satu di antara orang-orang itu. Jadi mengapa Jiraiya memiliki map berlogo Konoha Gakuen ini?
"Kemarin kau bilang padaku ingin sekolah disana kan?" Jiraiya balik bertanya.
Naruto menatap Jiraiya dengan kedua matanya yang masih membulat. "Memang benar kemarin aku bilang begitu. Tapi aku tidak benar-benar serius, dattebayo!"
"Kau tidak… serius?" ulang Jiraiya.
"Aaa—bukan… bukan begitu. Aku hanya… tidak mau merepotkanmu." Naruto menjelaskan. "Sekolah itu kan mahal sekali."
Jiraiya tertawa lagi. "Kau tidak usah mengkhawatirkan hal itu, Naruto. Kantungku masih cukup luas untuk dapat menampung biaya sekolah untukmu. Dan kau perlu tahu satu hal."
"Apa itu?"
"Senju Tsunade, kepala sekolah Konoha Gakuen, adalah sahabat lamaku." lanjut Jiraiya.
"EEEHH? Tsunade-baachan yang itu?"
"Tsunade-baachan?" potong Jiraiya.
Namun tampaknya Naruto tidak mendengar. "Ne! Ne! Petapa genit! Kau benar-benar pernah kenal dengan Tsunade-baachan?"
"Tentu saja. Justru dia yang menawarkan map ini untukmu saat kemarin aku mampir ke Konoha Gakuen." jawab Jiraiya.
"Jadi kemarin kau pulang sore itu karena mampir kesana dulu?" tanya Naruto.
"Ya. Hei, aku bertanya padamu. Kenapa kau memanggilnya dengan sebutan –baachan?" Jiraiya balik bertanya.
Naruto nyengir. "Kalau itu sih… itu lelucon dari sekolah. Kami memanggilnya begitu sejak kami tahu kalau dia tetap cantik walaupun dia sudah seumuran denganmu."
"Yah, tidak ada salahnya juga sih." Jiraiya manggut-manggut. "Daripada membahas itu, Naruto, jadi kau ingin sekolah disitu atau tidak?"
"Ingin, sih, tapi—"
"Aku tidak perlu 'tapi'". potong Jiraiya. "Besok aku akan mampir kesana lagi dan mendaftarkanmu. Tidak usah pikirkan masalah biaya. Kau pasti bisa belajar sampai lulus. Percaya padaku."
"Petapa genit…" Naruto memandang penuh kagum pada pria di hadapannya itu. Pria yang telah banyak berjasa dalam menghidupinya sejak kecil, yang kini telah tersenyum tulus padanya.
Naruto tidak tahu harus membalasnya dengan apa. Namun, untuk sekarang, Naruto sadar kalau ia harus membalas senyuman itu, dan berkata, "Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh, dattebayo!"
.
.
.
Haruno Sakura berdiri menghadap cermin yang terpasang di dalam kamarnya yang rapi. Gadis remaja berambut merah muda itu sedang sibuk menata rambutnya agar dapat sesuai dengan seragam yang ia kenakan dan memberikan kesan yang cantik. Ia baru memotong rambutnya minggu lalu, dan ia merasa tidak puas dengan rambut barunya. Sakura merasa potongannya terlalu pendek dan tidak berhasil menyembunyikan bentuk jidatnya yang terbilang lebar.
"Mungkin lain kali," gumamnya pada diri sendiri. "aku harus coba pakai poni."
Ia kemudian memutuskan untuk memakai sebuah bando kain yang diikat untuk rambutnya. Saat ia sedang memastikan bahwa semua atributnya sudah lengkap, sebuah suara memanggilnya dari luar kamar.
"Sakura! Ayo, cepat berangkat. Jangan sampai kau terlambat!" panggil suara itu.
Sakura kenal betul siapa pemiliknya. "Iya, kaasan!"
Sakura berjalan keluar kamarnya, menuju ruang tengah yang tidak terlalu luas dan telah disulap sehingga mampu merangkap ruang keluarga beserta ruang makan. Memang, di apartemen murah yang memiliki panjang dan lebar terbatas seperti milik keluarganya itu, mereka harus pintar-pintar mengatur setiap ruangan yang ada agar dapat digunakan dengan nyaman.
Di ruang tengah tersebut, Sakura melihat ibunya sedang membungkus sebuah kotak bento dengan furoshiki berwarna hijau pastel kesayangan Sakura.
"Ah, Sakura!" sambut ibunya melihat kemunculan putri tunggalnya itu dari dalam kamar. "Karena ini hari pertamamu di sekolah, jadi kaasan membungkuskan bento spesial untukmu. Nanti siang, jangan lupa dimakan, ya!"
Sakura menerima bento yang disodorkan oleh ibunya dengan senang. Bahkan dalam keadaan masih terbungkus pun, Sakura bisa mencium sedapnya aroma makanan di dalam kotak itu. Sejak kecil, Sakura hampir tidak pernah makan atau jajan di luar rumah. Ia selalu berlari pulang setiap usai sekolah untuk dapat segera menikmati masakan buatan ibunya. Setiap kali ditanya apa makanan kesukaannya, jawaban Sakura pasti: semua masakan yang pernah dimasak ibunya.
"Pasti kumakan." ujar Sakura. "Ittekimasu."
"Itterashai, Sakura."
Sakura melangkah keluar apartemennya dengan langkah yang ringan. Udara pagi yang segar memenuhi rongga hidungnya. Sakura tersenyum melihat cahaya matahari yang menerobos dedaunan sebuah pohon di pinggir jalan, bertingkah seperti lampu sorot yang menerangi langkah Sakura menuju Konoha Gakuen.
Akhirnya, setelah perjuangan keras selama tiga tahun penuh di sekolah menengah pertama, Sakura berhasil lulus dan menembus seleksi masuk sekolah prestisius itu dengan menempati salah satu posisi sepuluh teratas. Karena hal itulah Sakura berhak mengantongi beasiswa yang ditawarkan langsung dari sekolah tersebut. Sakura sudah menjadikan sekolah ini sebagai target belajarnya dari dulu. Sakura sudah banyak mendengar dari senior-seniornya kalau Konoha Gakuen sudah dinyatakan berhasil melahirkan banyak orang-orang sukses. Dan Sakura sangat ingin menjadi satu di antara orang-orang itu.
Target tahap awal sudah tercapai. Dan Sakura kini bersiap untuk target selanjutnya. Ia akan kembali menekuni teknik belajarnya selama di Konoha Gakuen itu, tidak macam-macam dan tidak menyebabkan masalah yang berarti disana, berusaha sebisa mungkin untuk dapat kembali mengejar beasiswa yang akan ia gunakan untuk melanjutkan pendidikan ke Konoha Medical School, dan kembali belajar serius agar bisa menggenggam gelar 'dr.' di depan namanya.
Ya, Sakura sangat ingin menjadi seorang dokter. Ada dua alasan utama kenapa Sakura tidak bisa menyerah dalam menggapai cita-citanya itu.
Pertama, alasan tipikal semua orang yang memang bercita-cita menjadi seorang dokter: karena Sakura ingin menyembuhkan semua orang yang sakit. Sakura tidak mau berlama-lama melihat wajah seseorang yang kesakitan dan ingin segera menggantinya dengan wajah yang ceria karena kesembuhan. Sakura ingin mencari obat untuk penyakit yang belum dapat disembuhkan. Sakura hanya ingin menyembuhkan dunia ini. Alasan sederhana, namun butuh banyak perjuangan untuk merealisasikannya. Dan untungnya, seorang Haruno Sakura mempunyai kemauan berjuang yang tinggi.
Lalu alasan kedua—yang juga merupakan alasan paling utamanya. Terlahir di keluarga yang sederhana serta tumbuh dalam lingkup sosial dan ekonomi yang berada di kalangan menengah ke bawah, membuat Sakura begitu dekat dengan kedua orangtuanya, karena sejak kecil, Sakura sudah sangat menyadari usaha yang penuh liku serta kesulitan orangtuanya dalam mencari nafkah.
Ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu, dan hanya meninggalkan tempat tinggal berupa apartemen murah itu. Jadi kini hanya ibunya yang banting tulang untuk menyambung kehidupan mereka. Ibu Sakura adalah seorang wanita yang sangat ahli dalam urusan memasak. Setiap menemukan resep baru, ia akan segera mencoba membuatnya. Dan ajaibnya, eksperimen-eksperimen itu hampir selalu berhasil dalam percobaan pertama. Menyadari akan bakatnya, ibu Sakura kemudian bekerja sebagai juru masak di sebuah kedai makan sederhana yang dimiliki oleh salah satu teman lamanya.
Semakin bertambah usia Sakura, semakin sadarlah ia akan perannya. Bahwa sudah waktunya ia membantu orangtuanya. Namun, ia tidak mau mengambil jalan yang sama seperti ibu atau ayahnya. Maka, ia pun memutuskan untuk belajar, belajar, belajar, dan belajar agar dapat memiliki bekal dan pengalaman hingga ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Dengan cara seperti itu, ia yakin keadaan keluarganya akan lebih baik dan ibunya tidak perlu khawatir soal keuangan lagi. Sakura bahkan sudah membayangkan wajah ibunya yang bahagia setelah memiliki restoran sendiri.
Namun, sebelum mimpinya menjadi terlalu muluk, Sakura sadar bahwa ia harus lebih dulu bekerja keras. Sakura harus benar-benar fokus dan tidak boleh keluar dari jalan yang telah ia rancang.
"Ganbatte, Sakura!" gumamnya pada diri sendiri saat ia melangkahkan kaki ke gerbang Konoha Gakuen.
Melewati gerbang sekolah yang terlihat raksasa itu, Sakura masih harus berjalan menyusuri jalan besar beraspal yang tengah dilalui berbagai macam mobil beraura mahal. Sakura berjalan sendirian di pinggir jalan sambil memperhatikan sekilas satu mobil sedan hitam yang tengah melaju, yang tampak paling mahal di antara yang lain. Sakura menoleh ke belakang, berharap ada seseorang yang juga berjalan kaki sepertinya. Namun, begitu mengingat level sekolah itu, Sakura kembali menghadap ke depan dan berjalan lebih cepat.
Tidak memerlukan waktu lama bagi Sakura untuk mencari kelasnya. Ruangan dengan tanda '1-3' di atas pintunya ternyata tidak terlalu sulit dicari. Ruangan itu ada di gedung kedua dari gerbang, tepatnya di lantai 2, sangat dekat dengan tangga pertama dari pintu masuk.
Kemarin, ia dan ibunya telah menghadiri penerimaan murid baru di aula. Hari itu, duduk di antara orang-orang asing berseragam serupa dengannya itu, Sakura mendadak merasa seperti seekor semut di tengah rimba raya yang liar. Sangat ciut. Sakura mendadak kehilangan rasa percaya diri.
Bagaimana tidak?
Mereka benar-benar menguarkan aura yang berbeda 180 derajat dengan Sakura. Sepatu mereka begitu mengkilat dan bersih, seragam mereka tampak jelas merupakan hasil kerja laundry ternama, beberapa dari mereka memiliki jam tangan—yang Sakura duga diproduksi khusus atau mungkin hanya ada tiga buah di dunia—yang melingkari pergelangan tangan, yang perempuan rata-rata memiliki setidaknya dua aksesoris di tubuh mereka yang—tentu saja—bukan imitasi.
Sakura melihat dirinya sendiri. Sepatunya adalah sepatu yang dibelikan ayahnya empat tahun lalu. Ia masih memakainya karena kebetulan memang masih muat. Seragam Sakura tidak pernah mengenal jasa laundry. Hanya kedua tangan, deterjen murah, dan sebuah ember yang ia pakai untuk mencucinya. Sakura tidak pernah punya jam tangan, aksesoris, apalagi mobil.
Di hari pertama ia menginjakkan kaki di Konoha Gakuen saja, Haruno Sakura sudah merasa seperti alien.
Namun, kemudian sebuah kalimat dari mendiang ayahnya membuat kepercayaan dirinya tumbuh kembali,
"Jangan takut menjadi sederhana. Karena, dengan menjadi sederhana, kita menjadi diri sendiri. Dan dengan menjadi diri sendiri, kita menjadi yang paling kaya."
Kini, berdiri di depan kelas yang akan ia tempati selama beberapa tahun ke depan, kalimat-kalimat itu tak pernah lepas dari otaknya.
"Oke, jangan takut, Sakura." Gadis itu bergumam pada dirinya sendiri sambil menghela nafas dalam-dalam. "Jadilah diri sendiri."
Setelah itu, Sakura berjalan perlahan memasuki kelas. Masih merasa canggung, Sakura bisa sedikit bersyukur karena tidak ada yang memperhatikannya. Mereka semua telah membentuk kelompok-kelompok kecil dan membicarakan topik berbeda-beda yang mereka anggap menarik. Sakura celingukan, berharap bisa segera menemukan sebuah bangku yang belum ditempati.
Beruntungnya ia, karena menemukan bangku yang dicari berada di deretan paling depan, tepat di hadapan papan tulis.
Bagi murid lain, bangku itu merupakan bangku yang wajib dihindari. Karena disanalah tempat dimana murid bisa terlihat paling jelas oleh guru dan sulit mencuri kesempatan untuk mengobrol dengan teman lain.
Namun, bagi Sakura, bangku itu adalah surga. Ia bisa fokus disana. Bisa menyimak pelajaran dengan serius dan tanpa ada mengganggu. Bisa mencatat dengan bebas tanpa ada kepala-kepala yang menghalangi. Dan mungkin bisa menjadi yang tercepat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru.
Sakura menghempaskan tubuh langsingnya disana. Beberapa menit setelahnya, suara bel yang nyaring pun terdengar. Sudah waktunya memulai pelajaran. Lebih tepatnya, bagi Sakura, sudah waktunya memulai hari baru di Konoha Gakuen.
.
.
.
Lima belas menit sebelumnya…
"Hinata-himesama, apakah Anda sudah memakai kalung yang tadi saya pilihkan untuk Anda?"
"Sudah, Neji-san. Sudah dari tadi. Terima kasih sudah mengingatkan."
Sebuah mobil hitam mengkilap yang memancarkan aura mewah nan mahal berhenti tepat di depan lobi sebuah bangunan besar berwarna merah bata dengan nuansa Eropa. Di atas dua pilar utama lobi itu, terpampang tulisan besar berwarna emas yang berbunyi "Konoha Gakuen".
Dari balik jendela-jendela bangunan tersebut, beberapa gadis berseragam yang kebetulan sedang lewat langsung menghentikan langkahnya. Mereka berhenti untuk melihat ke luar jendela. Atau lebih tepatnya ke arah mobil itu. Dari lambang kecil berupa Yin Yang di bagian depan mobil, mereka sudah tahu siapa yang ada di dalamnya. Tidak salah lagi.
Seorang pemuda berwajah bersih dengan rambut cokelat panjang yang diikat tampak keluar dari dalam mobil. Ia mengenakan seragam yang sama dengan yang dikenakan para gadis di jendela. Walaupun begitu, terlihat dari wajahnya kalau pemuda itu merasa kurang nyaman dengan pakaian yang bukan pakaiannya sehari-hari.
Gadis-gadis di jendela mulai memekik berisik.
"Kyaaa! Itu Neji-sama!"
"Butler yang serba bisa dan rupawan!"
"Dia sekolah disini juga?"
"Sudah pasti untuk dapat terus mengawal Hinata-sama!"
"Dia tampan sekali!"
"Hinata-sama pasti sangat cantik!"
Pemuda yang tengah diributkan itu berjalan ke arah pintu belakang mobil. Ia membukakan pintu tersebut, dan seseorang melangkahkan kakinya keluar dari dalam bagian penumpang mobil.
Seorang gadis bertubuh mungil dan kulit yang bersih. Wajahnya halus. Pipinya sedikit tembam. Rambutnya yang berwarna indigo dibiarkan tergerai lurus di belakang punggung, jatuh dengan indah sampai mencapai pinggangnya. Hanya jepitan berwarna ungu lembut yang tersemat di sisi kiri rambutnya. Penampilan yang sederhana, namun tetap sangat mempesona.
Sesuatu yang sangat Hyuuga Hinata.
"Itu Hyuuga Hinata-sama!" Suara-suara di balik jendela kembali terdengar.
"Itu orangnya?"
"Dia lebih cantik dari yang di foto."
"Tidakkah kau pikir roknya terlalu panjang? Kupikir dia berpenampilan lebih modis."
"Kurasa tidak perlu. Dia sudah secantik itu."
"Sepertinya dia bahkan tidak berdandan."
"Kudengar, dia orang yang sangat sederhana."
"Tapi dia memang cantik."
"Ada gosip, katanya dia gagap ya?"
Tapi kedua orang yang tengah dibicarakan itu tidak bisa mendengar riuh rendah tersebut, karena memang jarak jendela dengan tempat mereka berdiri terbilang cukup jauh. Hinata kemudian mengambil tasnya yang masih teronggok di atas jok. Dan dengan sigap, pemuda berambut cokelat di sampingnya tadi langsung menyambar tas tersebut—tanpa suara, menawarkan diri untuk membawakan barangnya.
"Ano… Neji-san, t-tasku itu ringan." ujar Hinata. "Biar kubawa sendiri."
Pemuda yang dipanggil Neji itu tersenyum. "Saya selalu membawakan barang-barang Anda, Hinata-sama. Saya hanya melakukan tugas saya seperti biasa."
"Tapi—" Hinata hendak memprotes, namun mengurungkannya kembali.
Tidak ada gunanya melayangkan protes pada butler yang juga merangkap sepupunya itu. Walaupun berjuta kali menolak, Neji selalu punya alasan untuk membuat Hinata mengalah dan membiarkan pemuda itu melayaninya.
Neji kemudian mengangkat tangan kanannya agar dapat melihat jam tangan yang tersembunyi di balik jas yang ia kenakan.
"Bel masuk akan segera berbunyi, Hinata-sama." lapornya.
Hinata mengangguk.
"Hm!" Gadis itu kemudian berbalik untuk berbicara pada supirnya. "Jangan lupa jemput kami jam empat sore ya!"
Setelah mobil berlalu, Hyuuga Hinata berjalan perlahan menyeberangi lobi, dengan sang butler pribadi berjalan tegap di belakangnya. Beberapa pasang mata diam-diam melirik ke arah mereka berdua, walaupun para pemilik mata itu berpura-pura sedang melakukan kegiatan lain. Namun, rasa penasaran tidak dapat mereka cegah.
Rasa penasaran tentang putri sulung sekaligus pewaris utama keluarga Hyuuga, sebuah klan terpandang di Konoha, ibukota dari negara terbesar di dunia—negara Hi. Nama Hyuuga dikenal sebagai keluarga bangsawan, salah satu generasi pertama yang tumbuh bersama dengan Konoha sendiri. Keluarga yang anggun, tidak pernah meninggalkan tradisi dan adat istiadat leluhurnya, serta memiliki cara hidup yang rapi, penuh tata tertib, dan teratur. Hyuuga sangat menjunjung tinggi derajat mereka. Bukan karena mereka angkuh, tapi lebih karena generasi modern Hyuuga percaya bahwa status mereka yang disegani itu merupakan jerih payah dari para leluhur, maka tidak salah jika mereka sangat membanggakan kebangsawanan mereka.
Hyuuga Hiashi, penyandang gelar pemimpin dan kepala keluarga Hyuuga saat ini, serta juga merupakan ayah kandung dari Hinata, adalah salah satu orang yang paling menjunjung tinggi faham tersebut. Tidak heran jika ia bersikap kaku dan sedikit kuno pada keluarganya, termasuk kepada kedua putrinya. Dan terutama kepada Hinata selaku pewaris utama.
Awalnya, karena dalam masa merintis menjadi seorang pemimpin, Hinata tidak diizinkan untuk keluar dari lingkungan keluarganya. Ia mengganti sekolah dasar dan menengah pertamanya dengan sekolah privat di rumahnya sendiri. Namun, saat ia mulai menginjak usia empat belas, jiwa remajanya yang pemberontak pun memohon izin kepada ayahnya agar diperbolehkan mengambil pendidikan di sekolah umum. Sebenarnya, Hiashi tidak menyetujui hal itu. Tapi, Hinata tak pernah berhenti meminta. Pada akhirnya, permohonan itu pun dikabulkan, namun Hinata harus bersekolah di sekolah yang memang diperuntukkan bagi anak-anak berderajat sepertinya.
Karena merupakan pemimpin sebuah klan yang besar, Hyuuga Hiashi tidak bisa memberikan pengawasan penuh kepada kedua anaknya.
Maka, ia menawarkan Hyuuga Neji—keponakannya sendiri—untuk mengikuti pelatihan butler di luar negeri selama tiga tahun, dan kembali ke Konoha untuk menjadi butler pribadi Hinata, sekaligus monitor untuk Hiashi. Melalui Neji, Hiashi berharap bisa mendapatkan laporan harian tentang kehidupan Hinata, baik di rumah maupun di sekolah.
Sebagai calon pewaris seluruh usaha yang dibangun oleh ayahnya, Hyuuga Hinata mengerti betul tanggung jawab besar yang akan diembannya kelak. Rasa sayang kepada orangtua membuat Hinata tumbuh menjadi gadis yang penurut dan tidak pernah melawan aturan. Gadis yang pendiam, sopan, lembut, dan tidak pernah berkata kasar adalah berita tentang Hinata yang sudah tersebar ke seluruh masyarakat dari mulut ke mulut. Sebagian tidak percaya, karena beranggapan bahwa gadis yang 'menggenggam dunia di telapak tangannya' pasti akan bersikap arogan. Sebagian lagi percaya, karena hanya ingin percaya. Sebagian lagi percaya, karena sudah pernah bertemu langsung.
Namun, selembut apapun Hinata, tersembunyi sebuah ketangguhan luar biasa. Ia tidak menjadikan rumor-rumor buruk yang pernah beredar tentang dirinya sebagai sebuah masalah. Sebaliknya, hal itu justru ia jadikan cermin dan acuan toleransi agar tidak menjadi orang buruk yang diprasangkakan itu.
Dan hal itu merupakan satu dari sekian banyak alasan yang membuat sang butler merasa kagum dan bangga padanya. Sifat Hinata yang hampir sempurna sebagai seorang gadis itulah yang membuat Neji sama sekali tidak merasa keberatan untuk menjadi seorang pelayan, jika itu untuk Hinata. Bersiap meninggalkan kebebasan masa remajanya hanya supaya ia dapat terus menemani Hyuuga Hinata dan melindunginya dari segala jenis ancaman luar—salah satunya adalah ancaman berupa kerumunan gadis-gadis yang tengah berlari ke arah mereka itu.
"Selamat datang di Konoha Gakuen, Hinata-sama!" ujar salah satu di antara mereka.
"Senang bisa satu sekolah denganmu, Hinata-sama!" kata yang lain.
"Mau saya tunjukkan jalan sampai ke kelas?" yang lainnya lagi menawarkan.
Gadis-gadis memang lebih antusias, namun bukan berarti yang laki-laki tidak tertarik. Neji berani bersumpah, pemuda yang berdiri di dekat vas bunga itu tidak dapat melepas pandangannya dari Hinata sejak saat mereka berjalan memasuki pintu utama hingga mulai menaiki tangga. Yang di ujung koridor itu bahkan tidak sadar kalau bukunya berceceran. Dan yang sedang berjalan itu hampir menabrak tembok. Lalu, saat Neji melihat ada segerombolan murid laki-laki yang sedang berjalan turun, ia merasa itu saat yang tepat untuk bertindak.
"Tolong hentikan!" seru Neji tiba-tiba, membuat gadis-gadis yang tadinya riuh menjadi diam dan murid-murid yang baru turun itu menghentikan langkahnya. Hinata bahkan menoleh bingung padanya.
Neji mengabaikan perubahan situasi itu, lalu melanjutkan—sambil tersenyum lembut, "Tidak baik mengobrol di tangga. Bisa kita lanjutkan nanti saja mengobrolnya saat kita sampai di kelas?"
Jika dunia nyata bisa diberi sedikit animasi, mungkin gadis-gadis itu akan terpelanting ke belakang dengan darah segar yang mengucur dari lubang hidung saking terpesonanya dengan sikap Neji yang sopan nan ramah tamah. Belum lagi senyumannya itu.
Hinata hanya bisa menghela nafas lega melihatnya. Ia sempat was-was Neji akan membentak gadis-gadis itu. Padahal dia sendiri tidak masalah kalau dirubungi seperti itu. Hinata malah senang, karena ia merasa mempunyai banyak teman.
Neji kemudian membuka jalan untuk Hinata, sedikit membungkuk saat mempersilahkan sang ojousama lewat. Ia bahkan juga memperlakukan gadis-gadis yang lain dengan cara yang sama, membuat mereka semakin merasa ingin pingsan. Setelah mereka lewat dan berjalan beriringan menuju kelas, Neji menyusul sedikit jauh di belakang. Matanya melirik sedikit ke anak tangga paling bawah. Setelah Hinata berlalu, lobi sekolah telah kembali sepi. Kecuali satu orang.
Pemuda yang tadi berdiri di dekat vas bunga rupanya masih ada disana, menatap tanpa berkedip ke arah Hyuuga Hinata. Satu tangannya menenteng tas sekolah dan yang satunya lagi menggenggam sebuah boneka kecil.
Entah mengapa, mendadak Neji merasa familiar dengan pemuda itu. Rasanya ia pernah melihat sosok berambut cokelat jabrik itu, entah dimana.
Sayangnya, saat melihat bahwa Hinata sudah berjalan cukup jauh darinya, Neji mengurungkan niat untuk mengingat-ingat dan segera melangkah lebar-lebar menyusul sang hime.
.
.
.
Segera setelah mobil milik Hyuuga berlalu, sebuah mobil lain berhenti di depan lobi. Kali ini adalah sebuah mobil sport berwarna merah yang tampak hampir sama mewahnya dari yang tadi.
Tanpa menunggu dibukakan, seorang pemuda melangkah keluar dari dalam mobil. Seragamnya rapi, namun dari wajahnya, tampak jelas kalau ia tidak suka memakai seragam yang rapi. Matanya yang hitam kelam mendelik tajam ke arah gerombolan gadis-gadis baru yang kini menumpuk lebih banyak di jendela.
"Kyaaaa! Itu Uchiha-sama!"
"Lihat tatapannya itu! Kyaaaa!"
"Aku meleleh… aku meleleh…"
"Lihat aku, Uchiha-sama! Lihat aku!"
"Dia sudah punya pacar belum, ya?"
"Kyaaaa! Rasanya aku akan pingsan…"
"Rasanya aku ingin merobek seragamnya!"
"Rambutnya… rambutnya…"
"Eh? Yang di dalam mobil itu kan Uchiha Itachi!"
"Kyaaaa, Itachi-samaaaa!"
Gadis-gadis itu kini lebih berisik daripada saat kedatangan Hinata.
Tidak heran kenapa mereka bersikap seperti macan betina di musim kawin. Yang baru datang itu adalah Uchiha Sasuke. Pemuda berambut biru gelap dengan model jabrik di belakang kepala itu tampak sedang membicarakan sesuatu dengan seorang pemuda lain yang duduk di belakang setir. Dilihat dari wajah mereka berdua yang memiliki beberapa kesamaan, siapapun akan menduga kalau mereka bersaudara.
Lain Hyuuga, lain lagi Uchiha.
Keluarga Uchiha dapat dibilang adalah satu-satunya keluarga yang dapat disetarakan kekayaannya dengan keluarga Hyuuga. Jika keluarga Hyuuga adalah keluarga bangsawan dan memang sudah terlahir dalam keadaan berlimpah harta, maka Uchiha adalah keluarga yang mendapatkan penghasilan dengan mengandalkan kerja keras dan kejeniusan otak mereka—yang tampaknya merupakan bawaan gen turunan.
Orang-orang Uchiha adalah orang-orang yang bekerja dengan strategi yang matang dan cerdas, serta dapat dengan cepat beradaptasi dengan situasi apapun. Mereka bisa bekerja dengan hati-hati dan penuh perhitungan, namun bisa juga mengatasi masalah dengan gaya yang cepat dan sedikit licik. Tidak heran jika mereka memiliki grafik kekayaan yang nyaris tak pernah membelok ke arah bawah.
Uchiha juga terkenal sebagai keluarga yang 'berani'. Gerakan dan cara berpikir mereka yang seolah mempunyai dua sisi, membuat mereka tidak hanya dikenal baik oleh orang-orang berdasi di lingkungan bisnis dan finansial, namun juga mereka memiliki beberapa relasi dengan banyak sindikat bawah tanah. Karena itulah, jika ada orang yang berani membuat masalah dengan para Uchiha, orang itu dijamin tidak dapat kembali dalam keadaan utuh keesokan harinya.
Sedikit ekstrem, memang. Namun, tak ada seorang pun yang berani melawan mereka. Polisi sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah hal tersebut, karena sebagian besar anggota kepolisian yang memegang pangkat cukup tinggi pun juga berasal dari Uchiha. Selain itu, tentu saja, uang berbicara lebih besar dari mulut siapapun.
Sebenarnya, tidak sedikit skandal yang muncul dengan membawa nama Uchiha. Namun, sebelum hal itu sempat bocor ke publik, pers sudah lebih dulu disodori beberapa koper ryo. Dan nama Uchiha pun terhindar dari catatan kelam.
Sekarang, jika seseorang mendengar nama Uchiha disebutkan, yang pertama kali terlintas di dalam benak orang itu pasti adalah duo kakak beradik remaja yang merupakan putra dari Uchiha Fugaku, pemilik Uchiha Corp., Itachi dan Sasuke.
Berbeda dengan Hinata, kakak-beradik Uchiha ini lebih senang memanfaatkan apa yang dimiliki orangtuanya. Mereka senang berfoya-foya dan sangat menyukai kehidupan malam. Jika melihat pembawaan luar mereka yang tenang dan irit bicara, tidak semua orang menyangka kalau mereka memiliki jiwa bad boy. Namun justru, hal itulah yang menjadi daya tarik utama bagi lawan jenis mereka.
"Aku tidak mau tahu. Kau sudah harus ada disini saat aku pulang sore nanti!" ujar Sasuke dengan nada meninggi.
"Jangan manja begitu, Sasuke. Sore nanti aku ada rapat penting. Lagipula aku bukan supirmu." jawab Itachi dengan nada yang nyaris datar.
"Supirku atau bukan, pokoknya kau harus menjemputku!"
Itachi menoleh sedikit pada Sasuke. Ia kemudian mengulurkan dua jarinya untuk mengetuk dahi Sasuke.
"Maaf, Sasuke. Lain kali saja ya."
Setelah itu, Itachi memacu mobilnya pergi sebelum Sasuke merajuk lebih jauh lagi. Sasuke berdiri di depan lobi, menatap kepergian mobil merah itu dengan geram.
"Baka aniki!"
Uchiha Sasuke kemudian menyampirkan tasnya ke bahu. Kedua tangannya dimasukkan lebih dulu ke dalam saku celana sebelum ia mulai berjalan ke dalam gedung sekolah.
Puluhan pasang mata yang terpesona pun segera menyambutnya. Tapi, entah sengaja atau tidak, Sasuke seolah tidak menyadarinya. Atau mungkin ia memang menyadarinya—tidak mungkin ia tidak sadar kalau ia punya pesona kan?—namun bersikap tidak peduli. Ia terus saja berjalan, lalu menaiki tangga, menuju ruangan kelas yang sama dengan dua orang Hyuuga.
.
.
.
Inuzuka Kiba berdiri di depan gedung mewah itu. Pemuda berambut cokelat jabrik itu menatap gedung tersebut dan area sekitarnya dengan mata yang berbinar. Bara semangat terlihat jelas disana. Kedua tangannya tidak kosong. Yang satu menenteng tas sekolah dan yang satunya menggenggam sebuah boneka kecil usang berbentuk anak anjing.
"Ketemu." ia berbisik.
Kiba mengangkat boneka anjing tersebut, lalu menatapnya lekat-lekat. Boneka itu seharusnya berwarna putih. Namun, entah apa yang sudah dialaminya, boneka itu kini sedikit kotor karena sisa lumpur yang mengering dan ada beberapa jahitan di bagian kaki kanan.
"Akhirnya… ketemu."
Dengan senyuman lebar, Kiba berjalan memasuki gedung Konoha Gakuen. Peluh membanjiri wajahnya, karena ia sudah berlari-lari dari gerbang menuju gedung, hanya karena ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya.
Kiba berdiri di lobi utama sekolah. Ia menoleh ke koridor sebelah kanan, memperhatikan setiap orang yang ada disana. Setelah tidak menemukan orang yang dimaksud, ia menoleh ke koridor sebelah kiri, namun tak kunjung menemukannya.
Kiba hendak berjalan menaiki tangga saat ia mendengar suara-suara ribut di dekat pintu masuk. Dan seruan salah satu di antara mereka membuat Kiba menoleh,
"Itu Hyuuga Hinata-sama!"
Itu dia! Itu orang yang Kiba cari-cari.
Kiba melihatnya dengan jelas. Rambut gadis itu sudah bertumbuh menjadi sangat panjang. Ah, Kiba tidak bisa meledek rambut berwarna indigo itu lagi. Tapi badannya masih pendek. Kiba tersenyum. Dugaannya dulu benar. Ia pernah membuat taruhan yang tidak serius dengan Hinata kalau saat gadis itu remaja nanti, ia pasti tidak akan menjadi gadis yang tinggi. Aha! Gadis itu kalah taruhan dengannya.
Kiba melihat Hinata berjalan semakin mendekat, tersenyum sangat hangat kepada beberapa murid perempuan yang mengiringi jalannya. Kiba sudah menarik nafas dan membuka mulut, hampir mengucapkan sebuah "Hai" saat dilihatnya Hinata berjalan melewatinya.
Melewatinya.
Begitu saja.
Kiba tertegun. Rencana sapaannya tercekat di tenggorokan, tak menemukan kesempatan untuk terlontar keluar. Kiba berbalik. Pandangannya mengikuti arah jalan Hinata—menaiki tangga. Sempat terlintas dalam benaknya untuk memanggil nama gadis itu. Sempat terlintas kemungkinan kalau gadis itu tadi memang tidak melihatnya karena terlalu banyak orang mengerubunginya.
Tapi—
Kemudian, yang menoleh ternyata malah laki-laki berambut cokelat panjang itu. Kiba tahu betul siapa dia. Hyuuga Neji, sepupu Hinata.
Kiba juga yakin kalau Neji juga mengenalinya. Terlihat dari cara Neji mengerutkan alis saat menatapnya, seolah berusaha menemukan nama yang tepat untuk memanggil wajah yang tengah ditatapnya itu.
Ada sedikit harapan dalam hati Kiba. Jika Neji masih mengenalinya, bukan tidak mungkin kalau Hinata juga pasti merasakan hal yang sama. Jika Neji mengenalinya, Kiba mungkin bisa menyapanya, dan mereka bisa berjalan bersama menuju Hinata, lalu Hinata akan terkejut saat melihat Kiba karena sudah lama tidak berjumpa, lalu mereka akan mengobrol ringan, lalu—
Tapi Neji melengos.
Neji tidak menyapa Kiba. Pemuda itu melengos dan berjalan menyusul Hinata. Meninggalkan Kiba sendirian, berdiri di samping vas bunga di lobi, dengan begitu banyak pertanyaan berawalan "kenapa" berkecamuk dalam kepalanya.
Kiba terpaku. Masih belum begitu paham akan apa yang sedang terjadi.
Kiba sudah menabung sejak sangat lama. Uang hasil nafkah ibu dan kakaknya pun juga dikuras habis-habisan demi bisa mendaftar di sekolah mewah itu. Kiba memang tidak berasal dari keluarga yang berada. Dia sejak kecil juga bukan tipe bocah berotak encer. Tapi apa dengan begitu artinya ia tidak layak mendapatkan teman? Apakah terlalu muluk baginya memiliki teman seperti Hinata, yang berasal dari kalangan keluarga yang berbanding terbalik dengannya? Jika ia menjawab tidak, apakah itu artinya Kiba begitu tidak tahu diri?
Satu hal yang pasti, ibunya tidak pernah mengajarinya untuk menyerah. Tidak butuh menjadi jenius untuk dapat mencari jalan keluar.
Ia sudah berencana untuk menemui Neji saat istirahat nanti.
To Be Continued…
.
.
.
A/N:
Halo, minnasan!
Aku kembaliii! Nggak tau juga deh kenapa aku mendadak menelantarkan dunia fanfic. Empat bulan masih termasuk hiatus nggak sih? Kalo bukan, berarti emang aku-nya yang males.
Dan ternyata aku nggak tahan nyimpen fic ini lama-lama. Jadi yah… rilislah dia. Jangan bingung sama pairingnya ya. Emang udah rencana pairingnya keroyokan begitu. Boleh kan ya bikin fanfic yang pairingnya bejibun? Boleh lah… *plak*
Sekedar trivia nggak penting aja. Judul fic ini tadinya "Heartstrings" karena hubungan antar tokoh yang berbelit tapi sambung-menyambung. Lalu diganti jadi "Akai Ito" (artinya sih sama aja). Tapi akhirnya aku pakai "Kimi Dake", judul dari salah satu lagunya NICO Touches The Walls. Oh, lagu itu berperan banyak dalam pembuatan fic ini. Theme song pribadi saya lah buat jadi inspirasi fic ini. Hehehe. :p
Chapter ini dan chapter berikutnya dikasih sub-judul "Now" sama "Yesterday", nah dua chapter itu masih prolog. Cuma sedikit perkenalan disana-sini. Nanti pas chapter 3 dst, baru ceritanya berjalan.
Belum mau cas cus banyak dulu. Nunggu pertanyaan dari readers aja, kalo emang ada yang mau nanya. Jangan lupa review ya, apapun bentuknya aku terima kok, asalkan sopan. Kalau bisa, aku minta concrit-nya banget, terutama dari sisi diksi dan EYD-nya. Oke? Oke?
Akhir kata, arigatou gozaimaaaaaaaaaasu! ^o^