Note: aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca yang masih setia menunggu fic ini. Sekian lama ditelantarkan olehku, huhu. Ya sepele, sih. Sebenarnya cuma karena malu dengan jumlah fav & follow yang ke-reset. Gara-gara akun ffn ini pernah mengalami kecelakaan di tangan orang lain, cerita-ceritaku dihapus semua. Untungnya bisa di-restore tapi resikonya jumlah fav & follow langsung ke-reset alias nol.

Makanya jangan heran kalau lihat jumlah fav & follow yang gak imbang dengan review. Karena cerita itu sempat terhapus jadi jumlah fav & follownya ter-reset, fav & follow yang ada sekarang adalah pembaca-pembaca yang baru atau mem-fav & follow ulang cerita-cerita tersebut...

Fic "Love Is In The Air" adalah pembatas fic baru dengan fic lama yang ter-reset tersebut, karena fic yang publish sebelum Love Is In The Air adalah fic2 yang sempat terhapus. Sekian, curhatan tak pentingnya selamat membaca ^^

.

.

==00==00==00==

.

Bisikkan Aku

Naruto milik Masashi Kishimoto

WARNING : OOC AND AU. Baik Sasuke mau pun Sakura, keduanya OOC banget. Jadi buat yang anti sama ke-OOC-an tidak disarankan untuk lanjut membaca. Terima kasih n_n

SASUSAKU slight GAAINO

.

==00==00==00==

.

.

Sakura yang tatapan matanya kosong tengah sendiri di sudut sekolah. Sudah sekian minggu Sakura merana hati. Ia kehilangan Sasuke-nya yang dulu. Kini yang tersisa hanyalah si tampan pemilik Konoha Academy yang berdiri angkuh melipat tangan di pinggir lapangan, Sasuke, bersandar pada dinding dengan tatapan tak kalah kosongnya.

Baik susah mau pun kaya, Sasuke tetap dijauhi.

Apa yang bisa Sakura lakukan untuk menutupi kesedihannya hanyalah dengan bergurau sebanyak mungkin dengan Tenten yang lucu. Termasuk acara kejar-kejaran hari ini di lapangan pada jam olah raga yang bebas guru. Ketika Sakura nyaris kehabisan napas, ia berhenti untuk meraup udara sembari memegangi pinggangnya dan bersimpuh kelelahan.

Tawa masih enggan pergi dari wajah Sakura paska bercanda riang dengan Tenten. Namun tawa dari bibirnya memudar pelan saat tak sengaja bertemu pandang dengan obsidian milik Sasuke. Mata itu. Tatapan Sasuke yang dulu masih terselip di sana. Tatapan sarat akan rasa ingin dekat satu sama lain yang kini tengah berjauhan.

Sebisa mungkin Sakura menahannya, tapi bibir mungilnya yang nakal terlanjur tersenyum. Sungguh ia rindu bercengkrama, tapi menurutnya Sasuke bukan lagi orang yang sama. Ketika dilihatnya—entah halusinasi atau bukan—tatapan mata Sasuke yang datar jadi melembut, tubuh Sakura memanas, ia menunduk sambil bangkit dan berbalik badan menghindari temu pandang dengan Sasuke yang berdiri di sana. Yang di sana, yang diam sendirian dan membuat ketampanannya kian hari kian kentara meski sering dihiasi ekspresi keras.

Sasuke tidak tersenyum.

Sedikit pun, tidak. Namun sang Haruno tetap menahan senyumnya saat memunggungi Sasuke—dilatar belakangi Sasuke yang masih melihat ke arah punggungnya di belakang sana, Sakura bergulat dengan sisi lain dirinya dalam hati. Ia masih benci dengan Sasuke yang berubah angkuh. Tapi tetap ia tak bisa bohong, ia suka dandanan baru Sasuke yang memikat hati para wanita. Belum lagi tatapan mata itu. Wajah Sasuke tak berekspresi di sana, tapi Sakura sempat menangkap adanya keinginan untuk kembali dekat dari sang anak pemilik sekolah.

Brak!

"Ah—!" Sakura mengaduh, disusul tawa Tenten yang baru saja menabraknya dengan sengaja.

"Kena! Kau yang jaga!" beritahu Tenten segera bangkit sambil membantu Sakura. Namun ketika gadis berparas manis dengan garis turunan china itu bersiap kabur, Hyuga Neji menghentikan niatnya.

"Ten, sibuk? Ada perlu." Neji berhenti tepat di depan Tenten yang baru saja berdiri. Pemuda itu berasal dari kelas lain dan termasuk tipe pendiam namun cool.

"Tidak, jam olah raga kosong. Perlu apa?" balas Tenten tersenyum meski sang Hyuga tak tersenyum sedikit pun padanya.

"Ayo ikut."

Tak pelak, Sakura ditinggal sendirian setelah Neji membawa Tenten seenaknya saja. Namun Haruno berambut merah muda lembut itu tersenyum saja. Rumor memang makanan sehari-hari sekolahnya—Neji sang ketua osis yang diam-diam disukai banyak siswi sedang dekat dengan Tenten si gadis ordinary yang ceria.

Sakura yang merasa haus pun berniat pergi ke pinggir lapangan. Melewati Gaara yang sedang bermain basket dengan kasar bersama kawanannya—saling sikut, hajar main-main, bahkan ada yang meraih balok kayu pinggir lapangan untuk memukul bola basket layaknya besbol.

Tangan kurus Sakura sudah terulur untuk meraih botol minum yang sebelumnya ia taruh di pinggir dinding belakang papan tiang bola basket. Namun belum sempat ia membungkuk, kegaduhan tercipta di belakangnya dan sesuatu menubruk tubuhnya.

BRAKKKK

Sakura tak begitu ingat dengan jelas karena semua terjadi begitu cepat. Tapi ketika ia membuka mata, tahu-tahu kepala bagian belakangnya sudah berada di leher seseorang. Tahu-tahu sudah ada telapak tangan seseorang di atas kepalanya, tahu-tahu sudah ada seseorang yang memeluk tubuh kecilnya dari belakang.

"Hmmph."

Suara itu…

Sasuke-kun?

Tangan-tangan Sasuke kini melepas Sakura dan berusaha seolah mendorong dinding di depan mereka dengan sekuat tenaga.

PRAAANGGGG

Informasi yang diterima gendang telinga Sakura menjadi sedikit jelas meski diburami kebingungan. Papan tiang basket yang terbuat dari lempengan besi tipis itu entah bagaimana lepas dari tiangnya dan suaranya yang terbanting di atas tanah lapangan begitu menggetarkan hati.

"Sasuke! Sakura!"

Suara teman-teman sekelasnya menjelas kemudian.

Sasuke menjauh—memberi jarak sambil memegangi tengkuk dan kepalanya, pemuda itu menarik napas panjang seolah habis berlari sekian ratus meter. Sakura bisa lihat dengan jelas kerutan alis Sasuke menahan sakit. Diliriknya papan tiang basket yang sudah tergeletak di atas tanah tak jauh dari mereka—lalu menatap Sasuke bingung.

Mengapa…?

"Sakura!" Gaara segera saja merangkul adik semata wayangnya dan memastikan tidak apa-apa. Sementara Sasuke ditarik mundur oleh guru olah raga dan dipaksa untuk berjongkok. Pak Gai menotokki punggung dan belakang kepala Uchiha tersebut sambil sesekali memijitnya dan menanyakan bagaimana perasaannya. Meski dibegitukan, mata kelam Sasuke tetap mencari gadis yang menjadi pusat perhatiannya—dan ketika ia menemukan gadisnya di rangkulan Gaara, ia tersenyum lega—meski dalam hatinya.

"Mana yang sakit? Apa kita perlu ke rumah sakit? Ke UKS saja?"

"Tidak apa, aku baik-baik saja." Sasuke berdiri dan beranjak pergi. Meski ia sempat sesak napas dan nyaris pingsan ditimpa papan tiang basket, ia tetap bisa berdiri dengan keseimbangan yang cukup bagus. Ada sisa sakit menempel di sana, tapi biarlah.

Rasa sakit itu seolah bukan apa-apa dengan rasa baru di hati Sasuke. Ia mendapatkan kedua mata hijau favorite-nya menatapnya shock tadi. Ia sampai lupa, sesinis apa Sakura belakangan ini padanya.

.

.

Aku tahu, kau peduli

Bisikkanlah… Bisikkan aku

.

.

==00==00==00==

(FINAL CHAPTER)

Special for Bisikkan Aku's readers…

CHAPTER XV

==00==00==00==

.

.

Sakura berjalan memeluk seragam olah raganya yang sudah ia ganti dengan seragam biasa untuk menyambut mata pelajaran selanjutnya. Ia terbengong menatap lantai, memikirkan bagaimana rasanya ditubruk Sasuke saat jam olah raga tadi. Berkali-kali. Suara gaduh lempengan besi tipis papan tiang basket itu begitu mengusik batin Sakura tiap kali mengingatnya. Pasti sangat berat bebannya dan Sasuke harus rela menanggungnya tadi. Sakura menggigit bibirnya, saking dalamnya ia melamun, ia sampai tak sadar nyaris bertabrakan dengan seseorang. Untunglah keduanya saling terhenti sebelum benar-benar menabrak satu sama lain di belokan menuju koridor tersebut.

Mata beriris hijau zambrud Sakura yang hari ini terus lesu kini membesar sedikit. Ia mendongak demi memastikan siapa—dan jantungnya seperti akan lompat dari tempat ketika menemukan wajah seseorang yang menjadi objek lamunannya. Sasuke berdiri dengan seragam biasa, di genggamannya ia menggulung seragam olah raganya. Wajah Sasuke amat datar namun tatapan matanya tak dapat bohong—ia begitu ingin tahu apa Sakura benar baik-baik saja.

Keduanya bertatapan beberapa detik, sempat sama-sama bergumam—membuka mulut dan menutupnya kembali. Akhirnya Sakura menunduk saja menyembunyikan wajahnya yang mungkin sudah jadi aneh sambil memeluk seragam olah raganya lebih erat. Hubungannya dengan Sasuke akhir-akhir ini tidaklah baik dan itu sama sekali menganggu kenormalannya dalam bersikap di depan Sasuke.

"Uh…"—keduanya bersamaan—oh ayolah! Sakura bejengit, menghela napas dan berani bertatapan akhirnya. "Kau duluan."

"Tidak, kau dulu." Sahut Sasuke cepat.

"Ngg, kau saja."

Sasuke menggeleng sambil menjilat bibirnya menghindari tatapan mata Sakura. "Aku… tidak terlalu penting."

"Tak apa, katakan saja duluan." Balas Sakura sama gugupnya.

Mata Sasuke masih belum menatap Sakura, melainkan lantai di samping gadis itu berdiri. Helaan napas berat. "Maaf." Katanya, "Untuk semua hal yang membuatmu benci padaku." Sasuke berusaha menatap mata Sakura yang sedang menunduk.

Sakura diam, malah Sasuke yang menggeleng pelan dengan tatapan kosong. "Maaf karena aku tidak pandai memperbaiki keadaan." Tentu saja ucapan itu terlontar tulus meski nadanya begitu gentar. Mulut Sasuke terbuka lagi, matanya berlari dari tatapan Sakura lagi.

Sakura memeluk baju olah raga di pelukannya lebih erat seakan memeluk diri sendiri. "Terima kasih untuk yang tadi." akhirnya kata itu terlontar juga. "Terima kasih. Sungguh aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku berhutang nyawa."

Sasuke mengerutkan alisnya kurang suka. "Kau merasa berhutang? Untuk itukah kau peduli?"

Sakura menatap Sasuke namun menutup mulutnya lagi seakan tak percaya dengan pasrangka laki-laki itu. "Lebih dari itu." Sahutnya cepat meski pelan sebelum Sasuke sempat berkata, ia tak tahan jika menambah salah paham di antara mereka seperti yang sudah-sudah. "Lebih dari itu, harusnya kau tahu aku, Sasuke-kun."

Sasuke menyambar cepat, nadanya mendadak agak tinggi. "Kau juga harusnya tahu aku! Seperti apa aku! Seharusnya kau tahu!" Ingin rasanya melanjutkan 'dan kenapa kau memusuhiku seolah aku seorang kriminal?' namun tak sanggup. Entahlah, lidahnya tak mampu bicara banyak-banyak. Terlebih untuk memaki gadis berparas manis yang sesungguhnya ia sayangi di sini. Sasuke hanya menghela napas… sabar.

Sejenak, rasa cemas itu kembali muncul pada hati Sakura. Rasa mawas diri yang tercipta akibat nada tinggi yang Sasuke lontarkan. Sakura berniat pergi, perasaannnya mengatakan ia butuh berpikir sendirian.

Set…

Dengan mata yang lurus menatap lantai di depannya, Uchiha Sasuke mengenggam lengan Sakura yang kurus, kelelahannya sudah di ambang batas sesungguhnya—ia sudah tidak tahan lagi dengan sifat buruk negative thinking Sakura. "Perasaan yang pernah kunyatakan sungguh bukan kebohongan."

Sakura menggigit bibirnya. Mengapa seolah Sasuke tak memberinya kesempatan untuk merenung? Dengan jahatnya, memorinya memutar kembali kenangan suara-suara Sasuke yang berteriak menyatakan suka padanya waktu itu, membuatnya sesak.

"Aku menginginkan jawabanmu." Suara parau Sasuke terdengar lagi. Sakura makin tercekat, menggigit bibirnya. Mereka bedua masih sama-sama sejajar tidak bertatapan dan menghadap berlawanan.

Sakura masih diam, seperti gadis tuli yang tak dengar apa pun.

"Sedangkal itu, ya, perasaanmu?" Sasuke samar memicingkan matanya, ia merasa Sakura enggan menyahutinya, "Mengecewakan, orang yang paling kuharapkan tak lagi memahamiku."

Bagai ada tangan tak kasat mata mencengkram ulu hati Sakura. Sakura menunduk kian dalam, tatapan matanya kosong dan seolah berkata 'aku-tak-tahu-apa-pun'. Bohong! Ia tahu segalanya! Ia hanya dibuat bingung dengan kondisi Sasuke yang berubah. Si culun modal beasiswa itu mendadak adalah anak orang kaya!

"Apa yang kau harapkan dariku?" Sakura bertanya pertanyaan yang sudah jelas.

"Kita yang dulu." Sahut Sasuke tanpa ragu. Ia tanpa ragu pula akan memilih tetap menjadi Sasuke yang tertindas dari pada Sasuke yang berkuasa tapi kehilangan Sakura-nya.

"Aku …"

"Aku suka padamu, aku ingin kita bersama." Sasuke tersenyum tipis, tapi tidak dengan matanya.

"O-oh, kau sekarang bisa mengatakannya dengan lancar…" Sakura tak bermaksud menyahuti dengan nada menyebalkan. Itu hanya reaksi kagetnya saja.

"Rasa gugupku tak ada apa-apanya dibandingkan takut kehilangan kita." Sasuke menghela napas, matanya terlihat memberitahukan bahwa ia juga bisa lelah menghadapi Sakura yang menyebalkan.

Sakura mengepalkan tangannya erat. Apa? Apa yang Sakura tunggu sebenarnya? "Aku tak kan menjawab!" kalimat bodoh. Tentu saja. Abstrak dan tidak jelas apa maksudnya. Sakura ingin sekali berlari. Ia butuh sendirian. Ia butuh merenung. Tapi lagi-lagi Sasuke mencengkram pergelangan tangannya.

"Aku bosan ditinggal olehmu," kata Sasuke mencegat, "Jawab sekarang." Ia menatap mata Sakura, "Kalau kau merasa malu, bisikkan saja." Sasuke mulai menunduk, mendekatkan telinganya di depan bibir Sakura. "Bisikkan saja, tak perlu orang lain tahu…" dan suara itu berakhir parau.

.

==00==00==00==

.

Gaara memicingkan matanya. Dari kejauhan ia bisa lihat adiknya menangis lagi dan lagidi tangan Uchiha yang sedang menghadapkan kuping ke depan bibir Sakura. Gaara tak lihat wajah Sasuke sama sekali karena posisinya membelakangi. Yang ia tahu, ia kepalkan erat tangannya kini. Apa lagi ulah bocah Uchiha itu? Apa lagi sekarang?

Langkah demi langkah Gaara perbesar dengan rasa ingin tahu dan ingin menjauhi adiknya dari manusia yang menurutnya sialan itu. Sejak kecil, sejak di panti asuhan, ia dan adiknya telah kenyang menangis karena kelaparan dan haus sentuhan orang tua. Dan ia tak tahan jika Sakura masih melanjutkan tangisannya karena hal-hal yang menurutnya bodoh di masa dewasa ini.

Namun langkah Gaara memelan teratur saat dilihatnya sang adik berlari kencang. Meninggalkan Uchiha Sasuke yang menutup mulutnya dengan kepalan tangan—menutupi gertakkan giginya—namun tak bisa menutupi mata kecewanya yang tak luput dari penglihatan Gaara.

Gaara itu tidak diam—lantas. Ia peduli akan Sakura, mau tak mau ia juga harus peduli terhadap Sasuke. Gaara melangkah, demi mencari tahu.

"Sasuke."

Sasuke menoleh, menghapus wajahnya dari sesuatu dengan lengan baju. Matanya memerah. Melunturkan niat Gaara untuk bertanya. Sedangkan Sasuke sendiri pergi dengan mata menelusuri lantai dengan tatapan kosong—setelah ia tahu Gaara menjadi bungkam.

.

==00==00==00==

.

"Gaara!"

Gaara tersentak, lamunannya buyar. Ia memejamkan matanya, terus menoleh ke arah Ino, "Hn?"

"Kau melamun, aku cerita panjang lebar. Kau tak dengarkan." Ino merengut, "Masalah apa lagi yang kau pendam? Apa yang kau pikirkan?" cecar Ino, gadis pirang itu sudah panjang lebar menceritakan betapa sembab mata Sakura saat berpapasan dengannya, tapi malah dicueki oleh Gaara.

Gaara diam, paska kejadian ia melihat Sakura dengan Sasuke, ia terbayang-bayang. Gaara ingat dengan benar Sakura berlari dan menangis. Maka sempatlah ia berniat untuk mencincang habis si Uchiha, tapi terhapus tanpa jejak niat tersebut saat menyaksikan langsung semerah apa rona di mata kelam Sasuke. Gaara tidak yakin jika Sasuke menangis, rasanya mustahil. Tapi…

"GAARA!"

"Hn?" Gaara menghela napas mendapati Ino mengerutkan alisnya, ngambek. "Bilang apa tadi?"

"Tau, ah." Ino sebal bersandar di kursi. "Dari tadi ngomongin papasan sama Sakura yang kayak habis nangis. Kau melamun saja."

Dan mata aquamarine Ino melirik, sedikit heran dengan Gaara yang tak bereaksi.

"Aku sudah tahu, aku lihat ia bertengkar lagi dengan Sasuke." Akhirnya keheranan Ino terjawab oleh kekasihnya. Gaara nampak berpikir keras menatap tanpa maksud ke meja di depannya, lalu menatap Ino. "Aku cuma tidak mengerti, kenapa dia (si Sasuke) juga menangis. Aku tak paham."

Ino terkejut, mungkin pendengarannya salah. Tapi suara baritone Gaara benar-benar berada di sebelah wajahnya. Mereka kan duduk berdekatan dan merapat.

"Melihatnya begitu, aku jadi malas untuk menghajarnya meski aku sempat marah. Aku tidak mengerti kenapa marahku pun jadi hilang." Lanjut Gaara meminum jus yang sudah didiamkannya sejak tadi.

Ino menghela napas, ia juga diam seperti tak berniat merespon, gadis pirang cantik itu tak nampak bingung. Biasa saja. Cuma menghela napas menyandarkan punggungnya pada tangan Gaara yang sudah melentang di belakangnya sejak tadi.

Ino pegang tangan itu. "Kau pernah menangisiku?"

Gaara yang bengong, balik mencengkram tangan Ino, "Hn?" ia heran dengan pertanyaan tersebut.

Hela napas. "Pernah tidak kau menangisiku?"

Gaara mengerutkan dahinya, "Apa-apaan pertanyaanmu?"

"Ish, jawab saja!"

Setelah saling tatap dengan dahi sama-sama mengerut, Ino pun tak sabaran, "Pernah, atau tidak?"

"Pernah." Gaara membuang pandagannya di depan meja.

Alis pirang Ino terangkat, "Sungguh?"

Gaara mengangguk kecil, ia masih tidak menatap Ino.

"Kapan?"

"Setelah kau bilang putus di atap sekolah." Gaara menjawab cepat, biar saja, pikirnya, biar saja bicara apa adanya. Kalau Ino sudah mengorek informasi seperti itu, cepat atau lambat terbongkar dengan sendirinya juga.

"Benarkah?"

"Hn," Gaara mengangguk.

Ino memang agak shock, dipikirnya Gaara tak terlalu segitunya, tapi ia masih tak percaya dan tak mengerti. "Kenapa? Kok bisa nangis?"

"Karena kau nangis duluan."

"Lho, kok bisa tahu?"

"Aku kan kamu…"

Blush.

Gaara tidak terbahak, ia mendenguskan tawa kecil. "Yah, aku hanya merasa sangat sakit."

"Lalu kenapa kau tidak mengejarku?"

Gaara angkat bahu, "Entahlah. Aku ingin mengejarmu," berdehem, "memelukmu, hanya saja aku terlalu pengecut. Pada saat itu aku berpikir baiknya aku harus merelakanmu."

"Tapi nyatanya kau tidak bisa kan," Ino tersenyum kecil, menggoda. Gaara mengangguk santai, biar saja si pirang ini berbangga hati mengingat bagaimana Gaara waktu itu memintanya kembali.

"Yah, itulah yang dirasakan Sasuke." Tutup Ino menaruh gelas plastik yang telah kosong di meja. Bersandar lagi.

"Maksudmu?" Gaara langsung menoleh.

Ino mengerutkan bibirnya ke dalam setelah itu berdecak ringan, "Kau bilang ingin mengejarku, hanya saja kau terlalu pengecut—seperti itu pula Sasuke. Kau melihatnya sendiri, kau yang bilang sendiri kalau Sasuke menangis?" Ino sebenarnya ragu, tapi Gaara tak mungkin bohong. "Dia itu tulus mencintai adikmu. Dia hanya tak pandai berbuat sesuatu. Sama sepertimu. Oh, kau lebih parah, sih…" Ino bergurau di akhir kalimatnya.

Gaara tersenyum kecil, memang kalau boleh melepas diri—Inolah gadis kedua setelah Sakura yang mampu membuatnya rileks di hidupnya. Ketiga, mungkin Karura, Ibu angkatnya yang Gaara kenal setelah Sakura dan Ino.

"Kalau kau tak bisa membantu memudahkan keduanya, lebih baik kau berhenti memperkeruh keadaan. Semisal dengan berhenti marah-marah pada Sasuke karena adikmu suka menangisinya." Ino melanjutkan sesi menasihatinya, "Aku kenal Sakura-chan, dia itu cengeng. Bahkan kau lebih sering membuatnya menangis sejak kecil. Apa aku salah?"

Gaara diam, yang artinya Ino benar. Ia tahu betul secengeng apa Sakura. Ialah yang memanja Sakura bak tuan puteri. Meski sejak kecil Gaara hanyalah bocah miskin yang tinggal di panti asuhan bersama adiknya, ia selalu memanjakan dan memperlakukan adiknya teramat istimewa. Karena hanya Sakura yang tersisa dalam hidupnya.

"Maka dari itu, jangan terus menyalahkan Sasuke. Dewasalah, Sakura juga salah. Ia terlalu cengeng dan sering berlebihan dengan kesedihannya sendiri."

"Ah, kau membelanya," sela Gaara menatap Ino dengan tatapan selidik.

Ino membalas, membela dirinya, "Aku hanya penengah. Melihat dari sisi netral. Justru karena aku juga peduli pada Sakura, aku mengatakan ini padamu, tahu."

.

==00==00==00==

.

Sakura tak nampak berekspresi. Ia diam. Sesekali memandang jam di dinding kelas. Pelajaran terakhir sudah dimulai sejak tadi dan bahkan hampir habis. Ia tatap kursi di sebelahnya. Kosong. Sasuke belum juga kembali.

Tenten menatap Sakura, Tenten tahu apa yang ada di benak teman merah mudanya itu. Ia melihat langsung bagaimana Sakura menenangkan diri di sebelah kursi Tenten. Sakura jelas habis menangis tadinya. Lalu Sakura sempat melamun beberapa menit hingga bel masuk terdengar, Sakura pamit pada Tenten untuk kembali ke kursi di depan guru—kursi Sakura sebelumnya bersama Sasuke yang sampai saat ini belum kembali.

Dan bel tanda berakhirnya jam sekolah pun berbunyi.

"Baiklah, jadikan peer saja tugasnya." Ujar sang Guru sebelum pamit untuk keluar kelas mendahului murid-muridnya.

Sakura nampak bingung. Ia sudah merenunginya bermenit-menit yang lalu. Tentang Sasuke, tentang dirinya, tentang mereka berdua dan apa yang ada di antaranya. Baru saja ia perpikir untuk memberi Sasuke tanda, memberi Sasuke kemudahan dengan duduk di tempat mereka semula. Namun hingga bel sekolah berdenting pun Sasuke bahkan tak menunjukkan batang hidungnya.

"Hei," sapa Ino di daun pintu setelah kelas sepi. Sakura tersenyum singkat mengambil tasnya sendiri dan menghampiri Ino.

"Gaara sms, katanya suruh temenin kau pulang."

Sakura melihat ke belakang, memang Gaara dan Sasuke tidak ada sejak jam istirahat habis. Absen mereka berdua pun alpha di mata pelajaran terakhir. "Kebiasaan deh Gaara-nii bolos. Bikin absen bolong aja." Gerutu Sakura menghadap Ino lagi, "Eh tapi aku dijemput supir lho."

"Supirnya Karura-basan kan?"

"Kok, tahu?" Sakura berkedip, berjalan beriringan bersama Ino. Memang akhir pekan ini ia sudah berjanji akan menginap di rumah orang tua angkat Gaara memenuhi undangan Karura.

"Kan aku juga diajak." Ino merangkul Sakura, "Karura-basan menelponku untuk menginap akhir pekan ini."

.

==00==00==00==

.

Sakura tak bisa bohong, ia masih kepikiran soal Sasuke. Didekapnya bantal besar berbentuk ikan Nemo tersebut. Di sebelahnya, Ino sudah terlelap. Mereka agak lelah setelah mengobrol dan bermain kartu bersama Karura yang ternyata berjiwa muda dan easy going. Keseruan di antara mereka tersebut nampaknya berhasil membuat Sakura lupa sesaat dengan beban hatinya.

Tapi di saat si cerewet Ino jatuh terlelap, Sakura jatuh lagi dalam kegundahannya. Belum lagi karena Ino membicarakan bagaimana perasaan Sakura terhadap Sasuke sebelumnya. Gadis pirang itu amatlah cerewet memberi nasihat pada Sakura.

'Dewasalah, Sakura. Cinta itu butuh pengorbanan yang sangat banyak. Sedangkan kau hanya punya masalah di dirimu sendiri. Bukan bertepuk sebelah tangan. Bukan dilarang orang tua. Dan bukan tertimpa musibah seperti Gaara dulu meninggalkanku.'

Sakura masih ingat suara-suara Ino menasihatinya. Jika diingat-ingat lagi perkataan Ino ada benarnya—tidak, bahkan semuanya benar. Selama ini hubungannya bersama Sasuke seperti tiada hambatan. Masalah-masalah yang tercipta antara mereka berdua berawal dari diri masing-masing. Bukan pihak luar.

Harusnya Sakura mensyukuri keadaan. Bukan terus memelihara sikap kekanakannya yang kerap kali menyusahkan orang-orang yang mengasihinya, seperti Gaara dan Sasuke.

Drrrttt…

Ponsel Ino bergetar, mengalihkan lamunan Sakura, diintipnya ponsel berlapiskan casing ungu tersebut selagi yang punya tertidur.

'Gaara is calling'

Oh Gaara, Sakura menyambar cepat ponsel itu sebelum Ino terganggu dengan getarannya. Toh yang menelpon kakak kandungnya, baik Ino mau pun Gaara tak kan marah. Lagian Gaara sejak bolos di sekolah tadi tidak ada kabarnya. Karura sampai menghela napas sudah biasa dengan kelakuan buruk anak angkatnya yang bahkan belum pulang hingga tengah malam begini.

Pip.

"Sayang, Sakura sudah tidur belum?"

Pffft. Sakura nyaris tak percaya akan panggilan seorang Gaara untuk kekasihnya. "Ini aku, Nii-san. Ino sudah tidur."

"O-oh, Sakura, kemana ponselmu? Aku menghubungimu tidak bisa."

Sakura menolehkan kepalanya ke sekitar, ponselnya ada di meja rias ruang tamu ini. "Ada, kok—eh mati Nii-san, aku tidak tahu kalau lowbatt."

"Aa." Jeda, Gaara terdengar diam.

"Kenapa, Gaara-nii? Kok belum pulang? Sudah tengah malam, Gaara-nii kemana saja? Tas nii-san sampai dibawa pulang sama Ino."

"Apa kau mengantuk?" potong Gaara, seperti tak peduli dengan kalimat Sakura sebelumnya.

Sakura menguap, "Iya, sudah malam. Nii-san cepat pulang, ya…"

Diam. Gaara tak menjawab untuk beberapa detik sampai Sakura memanggilnya. "Nii-san?"

"Aa. Ya sudah, kau tidur. Aku pulang besok pagi. Dah."

Sambungan terputus sebelum Sakura sempat menjawab. Gadis itu menghela napas menatap ponsel milik Ino di genggamannya. Ia hanya tersenyum kecil, mengetahui kalau kakaknya yang sibuk dengan kegiatan tak jelas di luar itu sempat-sempatnya menanyakan dirinya yang sedang menginap di rumahnya. Tengah malam lagi. Kan kasihan Ino, batin Sakura melirik si pirang yang rambutnya sudah tergerai di atas kasur.

Ino itu cantik, rambutnya yang panjang sekali tersebut sering kali dikuncir. Belum bodinya yang bagus. Serasi deh sama Gaara-niisan yang tak kalah kece. Tinggi besar, mana tampan. Sakura sibuk menilai sambil menyamankan diri di sebelah Ino. Ia mengetahui dan ingat betul bagaimana Ino amat memahami diri Gaara dan membuat lelaki itu enggan mencari gadis lain selain Ino untuk di sampingnya.

Sakura menghela napas. Iri dengan kemesraan Gaara dan Ino akhir-akhir ini. Diliriknya ponselnya yang sudah ia charge. Ingin rasanya menelpon Sasuke, sekali-kali menghilangkan gengsi dan keegoisannya lalu menghubungi lelaki yang tadi ia kecewakan. Tapi ia melirik jam di dinding, sudah lewat tengah malam, bahkan. Ia tak mungkin menghubungi seseorang selarut ini. Meski ia yakin, seyakin-yakinnya, Sasuke tak kan marah padanya jika ia lakukan itu, ia hanya tak ingin mengganggu tidur lelaki tersebut.

.

==00==00==00==

.

Sakura duduk di kursi meja makan yang agak besar di rumah ini, ia menguap meski rambutnya masih basah karena habis mandi. Di sebelahnya, Ino baru saja duduk setelah sibuk mondar-mandir bersama Karura menyiapkan makanan. Sakura sengaja tidak ikut bergabung, membiarkan Ino 'pendekatan' sama calon mertua yang sejak pagi sibuk masak bersama.

Yah, walau cuma nasi goreng.

"Semalam Gaara-niisan nelpon ke ponselmu. Aku angkat karena kau sudah pulas," lapor Sakura menerima piring yang disodorkan padanya.

"Iya? Bicara apa dia?" sahut Ino sibuk menyiduk nasi goreng ke piringnya setelah Karura selesai mengambil jatahnya.

Sakura angkat bahu, "Tau. Tidak jelas. Kan aku angkat telponnya, dia bilang 'Sayang, Sakura sudah tidur?'—" Sakura meniru gaya bicara Gaara beserta ekspresi kaku dan dinginnya seolah tahu dengan benar bagaimana Gaara berbicara. Sementara Ino blushing, matanya melebar sesaat mendengar penuturan Sakura, sedangkan Karura mengangkat alisnya tertarik.

"—aku jawab saja kalau ini aku, terus dia cuman nanya apa aku mengantuk, ya iyalah. Akhirnya dia suruh aku tidur, dia bilang bakal pulang pagi ini."

"Anak itu." gumam Karura mendesah. "Kadang aku bingung, dia itu pintar, lho. IQ-nya lumayan tinggi. Mantan juara kelas di sekolahnya yang lama. Hanya saja bandel, sering bolos, absensinya parah—"

"Lalu, kenapa Basan mengangkat Gaara sebagai anak?" tanya Ino sopan, Sakura menyalin pertanyaan yang sama dalam hati. Ia juga masih penasaran ada yang mau mengangkat kakaknya.

Karura tersenyum, "Suamiku yang jatuh sayang padanya. Suamiku yang mengeluarkannya dari penjara. Mereka berdua saling memahami meski keduanya sama-sama dingin. Mulanya, aku juga tidak terima. Tapi lambat laun aku mengerti, Gaara sebenarnya anak yang baik dan pendiam. Dia bisa jadi pembuat onar jika—dan hanya jika—itu menyangkut Sakura-chan."

"Nde?" Sakura yang sedang menggaruk rambutnya kini menoleh. Ia nyengir saja setelah Ino bilang, "Iya aku tahu, Gaara pernah bilang hanya Sakura yang tersisa dalam hidupnya. Dan ia akan lakukan apa pun untuk agar Sakura yang cengeng berhenti menangis."

Ino tersenyum meski matanya memicing menyudutkan bak bicara 'kau-pembuat-onar-yang-sebenarnya'.

"Hehe," Sakura menyendok suapan pertamanya sambil menyipitkan mata karena meringis.

.

==00==00==00==

.

Setelah makan, Sakura bergegas cepat untuk mengambil ponselnya yang sudah terisi penuh. Ia menyalakannya sambil duduk di sofa bersama Ino. Layar tersebut langsung terisi akan pesan singkat dan pemberitahuan nomor yang sempat menghubungi ketika non-aktif.

Ada beberapa miscall dari Gaara, dan sms yang menanyakan sedang apa Sakura.

Dan Sakura tersenyum.

Satunya lagi miscall dari Sasuke beberapa kali. Senyum Sakura tak bisa ditahan. Ia senang. Sasuke mencoba menghubunginya berkali-kali pula semalam.

"Duh, cerah sekali wajahmu. Dapat sms dari Sasuke, ya?" sindir Ino yang asal tebak namun benar dan membuat wajah Sakura memerah. Yah tak sepenuhnya benar, sih.

"Cuma miscall." Jawab Sakura nyengir, "Sembilan kali."

"Cie…" Ino memicingkan matanya jahil. Tiba-tiba terdengar samar suara Karura datang dari dapur dengan telepon wireless yang ia jepit di telinga dan bahunya selagi membawa beberapa cemilan ke ruang televisi tersebut.

"Benarkah? Astaga, kasihan sekali. Padahal masih muda…" Karura menaruh cemilan di atas meja, berisyarat menawarkannya pada Sakura dan Ino, ia masih sibuk dengan sambungan teleponnya. "Ah, baiklah. Tak apa. Sampai jumpa…"

Wajah Karura bersisa sedikit keibaan, ia menghela napas membuat Sakura dan Ino agak penasaran dengan telepon barusan. "Eum, siapa tadi yang nelpon, Ba-san? Gaara-nii kah?"

"Hm, bukan," jawab Karura duduk di antara Ino dan Sakura yang mulai menyerbu cemilan. "Teman kerja mengabari kalau atasan kami mendadak harus pergi ke luar negeri karena mau mengobati anaknya yang mengalami cidera di kepala."

Sing.

Sesaat Sakura teringat bagaimana kemarin ia nyaris tertimpa papan basket kalau tidak di-'tameng'-i oleh Sasuke… Sakura jadi langsung tak menyahuti Karura, Sakura buru-buru mengambil ponselnya. Ia mendadak ingin tahu Sasuke sekarang sedang apa. Mendadak pula ia rela mengebelakangkan gengsinya sebagai 'tuan puteri'.

Sakura was-was, padahal baru dua kali ia menelpon tidak diangkat.

"Oh masih muda, ya?" kata Ino yang sedang mengobrol dengan Karura perihal anak bos Karura yang katanya masih muda. "Kok bisa cidera? Kenapa? Berkelahi?"

"Menurut gosip sih katanya karena kecelakaan di sekolah saat main basket. Putera Uchiha itu tertimpa papan basket yang runtuh, katanya, sih…"

Sakura menghentikan usahanya untuk menghubungi Sasuke. Mata Ino membulat. "U-uchiha?" Ino terbata-bata, "Uchiha? Uchiha Sasukekah?"

Karura angkat bahu, "aku belum tahu namanya. Tapi Ayahnya memiliki banyak ladang bisnis. Salah satunya sekolah kalian. Konoha Arts Academy." Karura tersenyum di akhir kalimatnya.

Tidak mungkin…

Ponsel di tangan Sakura lolos ke lantai, jatuh, tercerai berai.

.

==00==00==00==

.

"TIDAK MUNGKIN!" Sakura mendorong dada Gaara sekuat tenaga melampiaskan emosinya. Gaara diam saja tertunduk. Mereka berada di rumah sakit. Tempat di mana semalaman Gaara berada di sini menunggui Sasuke yang tak sengaja ditemukannya jatuh di kamar mandi sekolah kemarin.

Mendadak semuanya jelas. Mengapa kemarin saat bel istirahat habis Gaara dan Sasuke tidak ada di kelas, menjadi sangat jelas. "TAPI KENAPA NII-SAN TIDAK BERI TAHU AKU? KENAPA!"

Gaara diam menunduk. Sebenarnya ia sempat menghubungi Sakura berkali-kali untuk memberi kabar. Tapi kemudian ia terlalu memikirkan Sakura. Ia tak mau Sakura kurang tidur. Ia tak mau Sakura menangis atau terlalu khawatir jika tahu keadaan Sasuke. Gaara terlalu memikirkan adiknya.

Apa lagi, Sasuke seperti itu karena efek tertimpa papan tiang basket. Gaara bisa menebak kalau Sakura akan terpuruk dan merasa bersalah.

Sakura menangis kesal akhirnya, ia tidak bisa masuk. Sasuke terlihat seperti orang yang tidur tenang di dalam. Sakura hanya bisa mengintip dari kaca pintu. Ia tak diperbolehkan masuk, karena beberapa jam lagi katanya Sasuke akan dibawa ke luar negeri oleh keluarganya yang tengah bersiap-siap.

Gaara akhirnya pergi tanpa berkata apa-apa sejak tadi Sakura terus memukulnya sambil menangis. Pukulan gadis lemah yang kecewa dan kesal.

Sakura duduk di tempat menunggu, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Sementara Ino mengejar Gaara yang langkahnya besar-besar seperti orang kesetanan.

"Dokter bilang, Sasuke-nii mengalami gegar otak." Suara seorang gadis membuat Sakura mendongak. Itu Satsuko, yang baru saja duduk di sebelah Sakura. Dengan wajah datarnya yang merah habis menangis.

"Tidak mungkin," Sakura menggeleng, "Kemarin dia baik-baik saja… kemarin dia berbicara denganku sehat-sehat saja…"

"Tidak usah membela diri," Satsuko mengerutkan alis seperti siap menangis lagi dengan tatapan bencinya pada Sakura. "Aku tau semuanya, Nee-san! Sudah cukup…"

"Satsuko," Sakura berusaha memegang tangan gadis itu namun ditepis, "Biarkan aku masuk, tolong…"

"Untuk apa? Mau apa? Mau bilang kalau kepala orang yang ketimpa papan tiang basket seberat itu bakal baik-baik saja?!" Satsuko mulai menangis, tapi ia tak berhenti memarahi Sakura yang merosot disampingnya.

"Biarkan aku masuk, kumohon… biarkan aku masuk…" Sakura menangis di atas lutut gadis berambut hitam yang mirip Sasuke tersebut.

"TIDAK AKAN!" suara Satsuko amat lantang meski air matanya mengalir. "Kemana saja Nee-san? Aku mencoba menghubungi Nee-san lewat ponsel Sasuke-nii! Berkali-kali!

.

.

"Gaara!"

Gaara tak menggubris Ino yang mengejar di belakangnya. Pikirannya tidak jernih. Ia memang begini. Selalu begini. Semua seperti salahnya.

Sore lalu saat ia sedang di toilet laki-laki, tak sengaja ia melihat Sasuke masuk. Sasuke sempoyongan dan tak lama mengerang kesakitan memegangi kepalanya dengan kedua tangan selagi tubuhnya sendiri sudah menghantam tembok karena kehilangan keseimbangan, dan akhirnya merosot.

Erangan Sasuke kian keras saat Gaara menghampirinya dan menyelamatkan kepalanya dari lantai. Kepala Sasuke yang Sasuke cengkram sendiri dengan kedua tangan.

"Sasuke!"

"ARGH…"

Bel suara pun berbunyi amat keras seakan menyiksa Sasuke sampai bel itu terhenti Sasuke pun ikut terhenti. Ia… pingsan.

Andai ia dan teman-temannya tidak sembarangan melempar bola basket dengan keras sampai membuat papan tiang basket itu rubuh.

Andai…

.

.

"Kau pikir orang gegar otak langsung ada efeknya?" Satsuko setia memaki Sakura. "Kau mau bilang ini dramanya orang kaya?"

"Biarkan aku masuk…" entah sudah kalimat ke berapa Sakura memohon.

Seandainya kamar itu tak dijaga, Sakura akan masuk tanpa peduli jika harus dimaki setelahnya. Ia sudah mencobanya dan berakhir dengan menemukan dirinya sendiri di lantai.

.

.

Satsuko mencaci maki panjang lebar. Termasuk soal Gaara yang pernah menghina kemiskinan Sasuke yang tak pantas untuk mendapatkan Sakura di depan kontrakan kecil Uchiha yang dulu.

.

.

"Akan kulakukan apa saja, apa saja, tolong biarkan aku masuk…"

"Semua sudah terlambat." Satsuko menghapus air mata dari kedua pipinya.

"Setidaknya, rasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi Sasuke-nii… kau tidak pernah merasakan jadi orang yang ditindas karena miskin apa lagi culun, kan? Setidaknya, kau pahami dulu penderitaan kakaku di masa lalu."

.

.

Sakura menunduk di kursi tunggu. Tatapan matanya kosong.

Hampir empat jam yang lalu ia meraung saat Sasuke yang masih seperti orang terlelap akhirnya dibawa keluar rumah sakit. Bahkan untuk memegang tangan Sasuke pun Sakura tidak sempat saking ada orang bertubuh besar yang menjaganya.

Mereka bilang Sasuke koma akibat cidera di kepalanya hingga ia harus dilarikan ke benua Amerika secepat mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang lebih menjanjikan.

"Ayo pulang."

Gaara berdiri di depannya.

Mata Sakura bergerak sejenak dalam tatapan kosongnya. Ia tak menggubris sama sekali Gaara yang mengajaknya pulang. Ia juga tidak menganggap Ino dan Karura ada.

Sakura bertingkah seolah ia sendirian di koridor tersebut. Ia merebahkan dirinya di jajaran kursi tunggu. Merebahkan diri ke samping, beralaskan lipatan tangannya di kanan.

Mengapa… tidak aku saja.

Harusnya aku yang meregang nyawa.

Harusnya aku yang koma.

Harusnya aku yang membuat Sasuke-kun menderita mengkhawatirkan aku.

Harusnya aku yang meninggalkan dia yang terpuruk di sini.

Mengapa… tidak aku saja…

Akhirnya Sakura dibawa Gaara yang menggendongnya setelah setengah jam Sakura tidak bereaksi apa-apa meski dibentak. Hanya kedipan mata sayu Sakura yang menadakan gadis itu masih ada di dunia.

.

==00==00==00==

.

Empat tahun kemudian

Rambut merah mudah noraknya dikepang dua seperti gadis desa, ia tak memiliki poni hingga dahinya terlihat semakin lebar. Kacamatanya bulat dan besar. Tak ada sedikit pun bedak di wajahnya hingga kulitnya berminyak. Bajunya seperti ia hidup di zaman delapan puluhan.

Kerjaannya hanya menunduk jika di luar jam mata kuliah.

"Mau sampai kapan kau begini?" Gaara melipat tangannya. Gadis culun itu berhenti. Ia menunduk.

"Sebaiknya kau pergi…" usir gadis itu dengan suara pelan.

Mata Gaara memicing, ia menghela napasnya kemudian pergi setelah berdecak kesal.

Gadis culun itu melanjutkan jalannya, matanya tak lepas-lepas menatap pada lantai di depannya. Sebisa mungkin ia berjalan di pinggiran, menghindari orang-orang.

Brak!

Ia jatuh terselengkat. Buku-bukunya berserakan. Ia dijegal seorang gadis berpakaian modis.

"Sakura, Sakura…" gadis modis itu bernama Amy, anak rektor di universitas tersebut. "Sudah kubilang jangan caper sama Gaara."

"Aku tidak merasa cari perhatian…"

"Bohong! Bahkan kemarin kulihat kau makan siang dengannya."

"Gaara-ni—maksudku, Gaara yang menghampiriku, kok." Sakura menunduk.

"Hah, jangan membuatku tertawa!" Amy menjambak Sakura hingga gadis cupu itu mendongak kesakitan. "Kau harusnya tahu diri, kalau tidak ingin beasiswamu dicabut!"

"H-hai' … maafkan aku."

Amy mendorong Sakura hingga jatuh. "Bagus, kalau sampai aku lihat lagi Gaara bersamamu, akan kubuat kau lenyap dari sini."

Amy bersama teman-temannya pun pergi dengan tertawa jahat setelah mendengar Sakura mengerang lagi karena jarinya terinjak high heels hingga berdarah.

Ah, ternyata seperti ini ya rasanya Sasuke-kun? Sakura bergumam dalam hati. Sudah enam semester ia masuk dan menjalani hidup sebagai mahasiswi berbeasiswa yang berpenampilan sulit dipercaya.

Matanya jadi berkaca-kaca lagi. Ternyata sakitnya tidak hanya di fisik, tapi di batin juga…

Sakura masih sibuk meniupi jarinya yang terluka ketika ada dua tangan yang memunguti buku-bukunya yang berserakan di lantai.

"Kau tak apa?" tanya penolong tersebut yang ternyata memiliki mata sehitam batu obsidian.

Mata Sakura membulat. "Sasuke-kun?"

Sasuke terlihat lebih tinggi, bahunya lebih lebar. Tapi matanya tetap hitam dan dalam. Ia masih setampan dulu. Dan alis hitam itu mengkerut, "Kau tahu namaku?"

Sakura terkejut, dadanya mendadak terasa sesak. Orang itu tidak mengingatnya. Sasuke memberikan buku-buku itu pada Sakura.

"Kau tidak mengenaliku?" Sakura buru-buru melepas kaca matanya, melepas kepangannya. Dari jauh ia persis gadis culun yang sedang mencoba menggoda pangeran baru kampus yang tampan dengan absurdnya.

"Ini aku, Sakura! Haruno Sakura!"

Wajah Sasuke semakin heran, ia memiringkan kepalanya sejenak menatap Sakura dan berjalan melewatinya.

Sakura terpaku, mengigit bibirnya. Inikah hukuman? Empat tahun berlalu. Empat tahun tak ada kabar. Tak ada harapan. Ketika Sasuke muncul di hadapannya… kini malah….

"Jangan nangis," sebuah suara terdengar tepat di telinga Sakura yang sudah berkaca-kaca, Sasuke memeluk tambah erat dari belakang, "Aku tidak pernah amnesia atau semacamnya."

Sakura membalikkan tubuhnya dengan wajah kesal bercampur haru.

.

.

Dari jauh, Gaara yang sempet terkejut, kini jadi tersenyum miring melihat adiknya yang mungil dipeluk erat oleh Sasuke sampai terjinjit-jinjit. Dan ketika pelukan mereka terlepas, Sasuke berbicara sesuatu yang entah apa pada Sakura, Gaara tak mungkin bisa dengar dari kejauhan ini.

Yang jelas, Sasuke menunduk mendekatkan telinga di depan bibir Sakura yang kini malu-malu berbisik. Dan Sasuke tersenyum.

"Hahh, si cupu itu tidak tahu diri, ya?" Amy memeluk lengan Gaara. "Tidak berhasil menggodamu, ia menggoda anak baru."

Gaara memutar bola matanya malas, ia melepas paksa tangan Amy. "Sakura itu adik kandungku." Mata Amy seakan mau copot dari tempatnya.

"Dan laki-laki bertampang homo di sana itu pacarnya dari SMA."

Gaara melengos pergi. Ia tersenyum simpul ketika melihat Ino menjadi heboh melihat Sasuke dan Sakura di sana.

"Hai, Sayang." Sapa Gaara sengaja OOC sambil ikutan memeluk Ino yang sebenarnya baru hari ini ingin mendaftar di universitas yang sama setelah bekerja terlebih dahulu.

.

==00==00==00==

TAMAT

==00==00==00==

.

A/N : Ahhh ending maksa. Dan soal Gaara….. no comment . maaf untuk fans Gaara, maaf… #digiling Terima kasih banyak, maaf yang sebesar-besarnya bila lagi-lagi aku mengecewakan pembaca dengan tulisanku… endingnya memang jauh dari bayanganku pas awal bikin fic ini, tapi seperti inilah adanya huhu. sekali lagi maaf dan terima kasih banyak.

.

BONUS

.

Mata Sasuke memicing tipis, dari kejauhan ia bisa melihat beberapa mahasiswi mengganggu Sakura lagi dan lagi. Mereka menyingkir ketika melihat Sasuke datang. Sakura memang tetap ingin berpenampilan seperti itu. Musuhnya sebenarnya tidak ada. Hanya Amy seorang yang menaruh dendam pada Sakura karena melihat Sakura terlalu dekat dengan Gaara sebelumnya.

"Mau sampai kapan begitu?" tanya Sasuke menghampiri Sakura yang menunduk, entah kata-kata menyakitkan apa lagi yang teman-temannya Amy itu katakan.

"Biar, anggap saja ini hukuman untukku." Jawab Sakura masih menunduk. "Biar aku merasakan rasanya jadi Sasuke-kun waktu SMA."

Sasuke mendengus sambil mengancing kerah kemejanya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kedua tangannya sendiri. Kemudian ia berpindah dari seberang meja ke sebelah Sakura.

"Mau apa?" Sakura mengerutkan alisnya.

Sasuke memakai sebuah kacamata kotak yang dulu sempat dipakainya. Ia menyandarkan kedua sikunya di meja sambil menatap Sakura di sampingnya. Mengangkat bahu.