Yap, disini mii author baru yang baru-baru ini baru belajar bikin fict –banyak amat kata barunya- *plak*
Ah, yasudahlah langsung sajalah…
Disclimer: Bleach punya Om Tite Kubo. Aku udah nagis-nangis gaje sambil ngesot-ngesot di kakinya om Tite tetep ga dikasih. Awas aja nanti malem bakal aku maling disclimernya. KHUKUKUKU *ketawa setan*
Warning: banyak banget, tapi yang penting yang nggak suka boleh nggak baca kok..
.
Shadow©miisakura
.
Ichigo POV
Pemandangan itu membuat perasaanku campur aduk. Marah, sedih, kecewa tercampur dengan kecepatan tinggi membuat akalku nyaris hilang. Segera saja kuhampiri dua orang yang sedang asik bercumbu itu dan kusentakkan perempuan berambut orange sepinggang agar segera sadar keberadaanku.
"Hime…" kataku lirih seraya menahan amarah.
"Ichigo-kun?" jawabnya terkejut membelalakan mata abu-abunya.
"Aku tak menyangka sama sekali, Hime…"
"A-aaku bisa jelaskan i-ini —"
"Tak pelu repot-repot, Hime. Aku mengerti sekarang," jawabku memasang wajah sedingin mungkin.
"Tidak! Kumohon dengarkan aku. Aku.. Aku.. hanya—"
"DIAM! Aku tak mau dengar apapun! Dan untukmu—," aku beralih menatap tajam lelaki berambut hitam dan berkulit pucat yang dengan kurang ajarnya berani mencium tunanganku itu. Sedetik berikutnya dengan tanpa aba-aba tinjuku melayang ke wajah tampannya.
"Anggap saja pertunangan kita tidak pernah terjadi, Hime. Dan jangan temui aku lagi!" bentakku kasar dan segera melangkah pergi meninggalkan mobilku yang terparkir didepan rumah Orihime itu begitu saja sebelum akalku benar-benar hilang dan melakukan pembunuhan kejam disana.
Samar-samar aku masih mendengar suara Orihime yang merengek agar aku kembali. Kenapa Orihime? Kenapa kau menghianatiku? Tidak tahukah kau, betapa aku mencintaimu? Bayangan kejadian tadi berputar-putar di kepalaku. Orihime, tunanganku yang cantik dengan rambut orange panjangnya dan mata abu-abunya yang indah sedang berciuman dengan lelaki pucat yang tak kukenal. Tangannya yang melingkar erat dipinggang Orihime-ku itu rasanya ingin sekali kupatahkan. Dan tangan Orihime yang bergelayut di lehernya— Arrggh!
Kutinju tembok tak bersalah disampingku, melampiaskan amarahku dan berharap perasaanku akan menjadi lebih baik. Namun percuma, itu malah menyebabkan rasa berdenyut-denyut di tanganku yang berdarah. Hujan yang datang tiba-tiba membuat perasaanku semakin kacau. Kulanjutkan langkahku dengan gontai, tak perduli dengan hujan yang terus mengguyur, tak peduli dengan dingin yang mengigit, tak peduli dengan lampu jalan yang telah berubah merah, dan tak peduli dengan suara deru mobil dan klakson yang semakin mendekat, tak peduli—
"Tidak! Kaien-dono!"
Suara decit ban mobil dan suara benturan setelahnya menarikku kembali ke kenyataan. Detik berikutnya, aku merasa aku telah berguling ditrotoar setelah dihantam oleh sesuatu. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, berusaha mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Suara hiruk pikuk itu telah tertangkap oleh telingaku yang belum kembali dari keterkejutanku. Aku melihat darah, darah yang bercecer dijalanan dan orang orang mengelilingi sesuatu. Kugerakkan kakiku melangkah kearah kerumunan dan aku melihat seorang gadis dengan dress terusan berwarna ungu muda yang telah ternoda darah tergeletak disana. Dari kepalanya mengucur darah segar, tanpa sadar aku mendekatinya dan berjongkok menyentuh kepalanya yang berdarah. Tiba-tiba dia membuka matanya, memperlihatkan iris violetnya yang cantik. Matanya menyiratkan kelegaan yang sangat, senyum tipis terkembang wajahnya yang pucat.
"Syukurlah, Kaien-dono. Syukurlah kau baik-baik saja," katanya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
.
Shadow©miisakura
.
Aku duduk dengan gelisah di depan ruang ICU, kabut kebingungan masih menyelimuti pikiranku. Siapa gadis itu? Kenapa dia tiba-tiba datang menyelamatkanku? Kaien-dono? Siapa dia? Suara pintu yang terbuka membuyarkan pikiranku. Seorang dokter perempuan dengan rambut hitam dikepang keluar dari ruang ICU, badge namanya menunjukan Unohana Retsu.
"Dokter? Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" kataku membrondongnya dengan cemas. Belum sempat sang dokter menjawab, terdengar suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh mendekat membuatku dan dokter Unohana mengalihkan pandangan. Kulihat seorang pria tiga puluh tahunan dengan rambut hitam panjang berjalan tergesa kearah kami, wajahnya datar, namun matanya menyiratkan kecemasan yang luar biasa.
"Rukia?"
"Anda keluarga pasien?" tanya dokter Unohana.
"Ya. Rukia? Apa yang terjadi?"
"Pasien tidak apa-apa. Pendarahan dikepalanya tidak parah. Luka-luka disekujur tubuhnya juga tidak fatal. Hanya syok ringan dan mungkin sebentar lagi akan sadar," jelasnya kemudian pamit untuk memeriksa pasien lain. Aku menghembuskan nafas lega yang membuat si pria tadi menyadari keberadaanku.
"Kaien?" Nama itu lagi. Nama itu terlontar dari mulut si pria yang menatapku dengan pandangan tidak percaya. Aku hanya mengerutkan kening bingung.
"Kau… Kaien?" ia mengulang pertanyaannya.
"Bukan. Aku Kurosaki. Kurosaki Ichigo," jawabku sembari mengulurkan tangan menatap wajah lelaki itu yang berkerut-kerut bingung, berusaha menyimpulkan sesuatu.
"Kuchiki Byakuya," jawabnya kembali menunjukan ekspresi datar sembari melangkah masuk ke kamar sang gadis yang sudah dipindahkan ke kamar VVIP atas permintaan pria tersebut.
Tatapannya kembali sendu saat menatap gadis mungil yang tergeletak tak berdaya. Sekujur tubuhnya penuh dengan perban. Mungkin dengan tambahan beberapa perban lagi dia akan menjadi mumi yang siap diawetkan. Tangan kanannya terhubung dengan cairan infus yang menetes dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan. Nafasnya yang teratur terdengar berat.
"Kaien-dono…" igaunya.
Lagi-lagi nama itu. Siapa sebenarnya si Kaien ini?
Pria Kuchiki itu mendekati ranjang si gadis yang dipanggilnya Rukia. Wajahnya menjadi lebih sedih ketika mendengar igauan si gadis. Tanggannya bergerak mengenggam tangan Rukia, berusaha mentransfer kekuatan. Perlahan tapi pasti mata Rukia menggeletar pelan dan kemudian terbuka. Mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya sembari mengumpulkan kembali kesadarannya.
"Rukia…"
"Nii-sama," katanya. "Apa yang terja—" matanya membelalak lebar begitu menangkap sosokku yang mematung didepan pintu. "Kaien-dono?" katanya kemudian.
"Kaien-dono?" ulangnya sembari memaksa tubuhnya yang terlilit perban untuk bangkit, namun segera dicegah oleh si pria Kuchiki.
"Kaien-dono! Kaien-dono!" Tangannya yang mungil menggapai-gapai kearahku, air matanya tumpah ruah seketika. Aku yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi, mengalihkan pandangan menatap si pria Kuchiki. Pria bermata abu-abu itu menatapku dengan tatapan yang menyuruhku untuk mendekat. Aku melangkahkan kakiku berjalan menuju sisi ranjang, memposisikan diriku duduk disisi ranjang berhadapan dengan si gadis mungil yang langsung memelukku dengan erat dan menangis di dadaku.
"Syukurlah! Syukurlah, kau baik-baik saja, Kaien-dono," katanya lirih disela-sela tangisannya. Setalah mengatakan hal itu tangisannnya tak terdengar lagi dan tubuhnya merosot dalam pelukanku. Pingsan.
.
Shadow©miisakura
.
Aku terduduk diam memandangi wajah Rukia yang tertidur. Wajahnya tampak bahagia, namun masih terlihat jelas bekas air mata di wajahnya. Aku kembali mengingat percakapanku dengan si Byakuya itu.
'Kasihan sekali gadis ini,' pikirku.
Ingatanku kembali ke saat aku berbincang dengan Kuchiki Byakuya.
"Kaien… adalah tunangan Rukia," kata Byakuya memecah keheningan yang terjadi setelah dokter Unohana pergi dan memastikan bahwa Rukia baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan karena memaksakan diri.
"Dia… meninggal dalam kecelakaan mobil tiga bulan yang lalu. Mobilnya terperosok kedalam jurang. Itu… membuat Rukia syok dan depresi. Sampai sekarang, dia masih tidak mau menerima kenyataan. Dia selalu menunggu Kaien-dononya kembali," jelas Byakuya dengan sorot mata sendu menatap adik mungilnya.
"Tapi kenapa dia mengira aku adalah Kaien?"
"Karena kau mirip sekali dengannya, kecuali warna mata dan rambut orange anehmu itu. Pertama kali aku melihatmu aku juga mengira kau adalah Kaien. Tapi aku sadar hanya ada dua kemungkinan Kaien berambut jeruk seperti itu. Dia sudah gila hingga mengecat rambutnya menjadi warna jeruk seperti itu atau kau memang bukan Kaien," katanya sedikit mengejek.
"Hei, ini warna rambut asliku," jawabku sebal.
"Bolehkah aku meminta sesuatu padamu, Kurosaki?" tanya Byakuya mengabaikan protes kesalku. Aku hanya menoleh memandangnya menunggu kelanjutan ucapannya.
"Bisakah kau menjaga Rukia? Sebagai… Kaien? Aku tak sanggup lagi melihatnya hancur seperti itu," pintanya. Aku tak menjawab, hanya mengalihkan pandanganku ke jendela luar rumah sakit yang memperlihatkan warna jingga matahari yang akan segera digantikan sang bulan.
Sudah tiga hari aku disini. Menemani Rukia. Dia sama sekali tak mau melepaskanku. Seolah tak mau kembali kehilangan sosok tunangannya lagi.
"Kaien-dono? Kau… terluka?" katanya cemas melihat perban yang membalut tanganku. Ah, aku bahkan lupa dengan luka ditanganku karena kejadian dirumah Orihime waktu itu. Aku bahkan melupakan Orihime? Entahlah. Yang ada dibenakku sekarang hanya Rukia. Bagaimanapun dia adalah orang yang telah menyelamatkanku. Aku merasa harus melindunginya.
"Ah, ini. Bukan apa-apa. Hanya luka kecil," jawabku sembari menyunggingkan senyum.
"Jangan terluka lagi. Aku tidak mau melihatmu terluka meski hanya luka kecil. Berjanjilah padaku. Berjanjilah bahwa kau tidak akan pernah terluka lagi," katanya memohon padaku mengenggam erat kedua tanganku yang terbalut perban dengan kedua tangan mungilnya. Aku menatapnya membiarkan diriku tenggelam dalam iris violetnya yang kelam. Aku tak mampu membayangkan berapa banyak air mata yang telah ia tumpahkan hingga irisnya menjadi sekelam ini. Iris violet kelamnya kini menunjukan sinar redup penuh harap. Aku tersenyum.
"Ya, aku berjanji. Tapi kau juga harus berjanji untuk banyak beristirahat, supaya kau cepat keluar dari rumah sakit. Lihatlah tubuhmu itu, sudah seperti mumi. Beberapa perban lagi, kau akan betul-betul menjadi mumi. Kau harus banyak makan, istirahat dan dengarkan apa kata dokter Unohana. Agar perban-perban itu segera dilepas. Dan apa kau tidak bosan berada dirumah sakit terus?" kataku menggerutu menceramahinya. Dia tertawa. Baru pertama kali ini aku melihatnya tertawa. Suara tawanya begitu indah ditelingaku. Wajahnya memancarkan kebahagiaan, dan iris violetnya tampak lebih cerah dan bersinar-sinar. Entah kenapa aku merasa ingin melindunginya. Melindungi sinar violet dimatanya agar tidak kembali meredup. Melindungi suara tawanya agar terus terdengar. Aku tidak ingin mendengarnya menangis lagi. Aku mengelus kepalanya.
"Tidurlah," kataku bangkit dari tempatku.
"Kaien-dono? Kau mau kemana?"
"Aku akan pergi sebentar. Tidurlah. Aku akan kembali sebelum kau bangun," kataku melangkah mendekati pintu.
"Tidak!" jerit Rukia sebelum sempat kusentuh kenop pintu. "Tidak! Jangan! Jangan pergi Kaien-dono. Jangan tinggalkan aku," katanya sembali mencabut selang infus ditangannya dan turun dari ranjang mencoba menghampiriku. Namun kaki mungilnya yang lemah tak mampu menopang tubuhnya dan dia jatuh berlutut.
"Rukia! Apa yang kau lakukan?" kataku cemas berlari menghampirinya.
"Tidak! Kau tidak boleh pergi lagi. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi. Jangan pergi. Kumohon-" katanya terisak sambil memelukku erat.
"Aku tidak akan keman-mana, Rukia. Tenanglah. Aku tidak akan meninggalkanmu." Kuelus rambutnya berusaha menenangkannya. Kemudian kuangkat tubuh mungilnya kembali keranjang.
"Aku akan memanggil dokter"
"Tidak! Tetaplah disini."
"Tapi Rukia—"
"Tidak! Tidak! Aku tidak mau. Tetaplah disini. Kumohon…" katanya kembali terisak menarik-narik kuat rambutnya dengan frustasi dan kemudian tiba-tiba saja pingsan. Kukeluarkan ponselku kutekan beberapa nomor.
"Dokter Unohana? Bisakah kau kekamar Rukia? Ya. Ini aku Ichigo. Ada yang tidak beres dengan Rukia. Rukia tiba-tiba histeris dan sekarang pingsan," cicitku panik.
"Apa yang terjadi, dokter?" tanyaku dan Byakuya hampir bersamaan.
"Sebelumnya saya ingin bertanya. Apa yang menyebabkan Rukia tiba-tiba histeris seperti itu?"
"Um… Aku mengatakan bahwa aku akan pergi sebentar. Dan tiba-tiba saja Rukia menjerit dan melepaskan infusannya serta berlari menghampiriku. Tapi karena tidak kuat dia jatuh."
"Saya mengerti. Tapi apakah sebelumnya dia memiliki trauma ditinggalkan seseorang?" kata sang dokter kemudian.
"Ya, tunangannya meninggal dalam kecelakaan mobil. Dan saya rasa tuan Kurosaki ini mirip dengan tunangannya itu sehingga dia mengira dia tunangannya yang hilang." Kali ini Byakuya yang menjawab.
"Apa terjadi sesuatu yang serius?" tanyaku.
"Tidak terlalu serius, namun juga bukan sesuatu yang bagus. Usahakan agar di tidak histeris lagi. Terlalu sering pingsan akan berdampak tidak baik bagi otaknya. Dan juga usahakan agar dia bisa melupakan traumanya, itu akan menjadi hal yang bagus. Terus-terusan histeris dan depresi seperti ini tidak bagus untuk psikologinya. Saya takut hal yang terburuk akan terjadi."
"Hal yang terburuk?"
"Ya. Dia tidak akan mampu mempertahankan kewarasannya lagi."
"Maksud dokter dia akan menjadi… gila?"
"Itu adalah kemungkinan terburuknya."
.
.
.
.
.
Yah.. tubikontinyu nih kayaknya *dibogem reader*
Berhasil… Berhasil… Hore! *gaya dora*
Fict pertama nihh…
Akhirnya bisa publish…
Buat yang baca Review dunkk *kedip-kedipin mata*